Administrasi Publik
oleh
Matius Soboliem, S. Th.
oleh
Matius Soboliem, S. Th.
Anikmas |
Administrasi Publik (Inggris:Public Administration) atau Administrasi
Negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen
penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan
publik yang meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi
pembangunan, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara.
Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pengelolaan suatu organisasi publik. Meskipun sama-sama mengkaji tentang organisasi, administrasi publik ini berbeda dengan ilmu manajemen: jika manajemen mengkaji tentang pengelolaan organisasi swasta, maka administrasi publik mengkaji tentang organisasi publik/pemerintah, seperti departemen-departemen, dan dinas-dinas, mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Kajian ini termasuk mengenai birokrasi; penyusunan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publik; administrasi pembangunan; kepemerintahan daerah; dan good governance.
Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pengelolaan suatu organisasi publik. Meskipun sama-sama mengkaji tentang organisasi, administrasi publik ini berbeda dengan ilmu manajemen: jika manajemen mengkaji tentang pengelolaan organisasi swasta, maka administrasi publik mengkaji tentang organisasi publik/pemerintah, seperti departemen-departemen, dan dinas-dinas, mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Kajian ini termasuk mengenai birokrasi; penyusunan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publik; administrasi pembangunan; kepemerintahan daerah; dan good governance.
Daftar isi
|
Lokus
dan fokus
Lokus
Lokus adalah tempat yang
menggambarkan di mana ilmu tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu
administrasi publik adalah: kepentingan publik (public interest) dan urusan
publik (public affair).[2]
Fokus
Fokus adalah apa yang
menjadi pembahasan penting dalam memepelajari ilmu administrasi publik. yang
menjadi fokus dari ilmu administrasi publik adalah teori organisasi dan ilmu
manajemen.[2]
Sejarah
Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian
menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The
Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly. Kemunculan artikel itu
sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan
terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu
itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil system (sistem
perkoncoan) yang menjurus pada terjadinyainefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu
ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian
Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan
efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana
keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya
lebih sulit mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan
merumuskan konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu
belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan
baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasitersebut. Ilmu yang oleh
Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya
efisiensi dalam mengelolapemerintahan dan perlunya
menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari
urusan pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan
efisien, Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan
oleh organisasi bisnis ―the field of administration is the field of business.
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut
kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics
and Administration pada tahun 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali
dirujuk oleh para ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap
lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu
Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi
politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba
mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian,
sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi
Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to
the Study of Public Administration pada 1926. Buku White yang mencoba
merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi
oleh berbagai karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan
tentang bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan
efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudulScientific
Management, Henry Fayol (1916) dengan
pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial
Management, W.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The
Movement for Budgetary Reform in the State, dan Max Weber(1946) dengan tulisannya yang berjudul Bureaucracy.
Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan
administrasi negara berusaha membangun body of knowledge ilmu
ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang
mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama
dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes
on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang
terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning,
Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting).
Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk mengembangkan
body of knowledge ilmu administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi sebagaimana
dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip
administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat
juga diterapkan di organisasi pemerintah.[3]
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi
negara diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang
tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam
meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara
mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut
sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi
Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan
terbitnya tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government
is Different. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi
pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi
dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi
pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The
Proverbs of Administration semakin memojokkan gagasan tentang
prinsip-prinsip administrasi yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang
keliru. Kenyataan yang demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami
"krisis identitas‟ dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun
demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara
mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.[4]
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan
kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas
tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan
terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan
bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda
dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme pasar bekerja karena dorongan untuk mencari laba,
sementara lembaga pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi
kepentingan publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan
organisasi swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi
negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda
dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori
administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu
Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara
lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan
lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).
Perubahan
administrasi negara ke administrasi publik
Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih
terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu
administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak
berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi
kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu
Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut
terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak
memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit
untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara
tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui
berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu
menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi
barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007)
juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi
pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan
publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan
ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan
aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat
sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan
mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen
pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market).
Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau
masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus
balik dari apa yang disebut Grindle sebagai too
much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak
melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalusentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut
setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi
peran negara, yaitu:
1. Dinamika ekonomi, politik
dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat
memenuhi semua tuntutan masyarakat;
2. Globalisasi yang membutuhkan daya
saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara
melalui debirokratisasi dan deregulasi;
3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin
banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam
proses perumusan kebijakan dan implementasinya;
4. fenomena hybrid
organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis. Berbagai fenomena tersebut menimbulkan
gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara:
Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu
Administrasi Negara?
Pemaparan di atas
menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi
terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu
Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo
(2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara
telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan
sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai
kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan
demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk
diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika
diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas
daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan
Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan
keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil
society di dalam pengadministrasian pemerintahan.
Konsekuensi dari perubahan
makna public administration sebagai administrasi publik di
sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang
sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi
publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah
yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan
pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun
bidang-bidang pembangunan yang lain.
LingkupKebijakan publik
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di
atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih
jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan
organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi
bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi
publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya
menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut
kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok
perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat
logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto,
2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai
untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai
persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive
policy, protective regulatory policy, competitive regulatory policy,
dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60).
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa
tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada
studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator
memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal
ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak
dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan
kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat
teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan
teknokratis dalam proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab,
pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan
masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang
dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik.
Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat
analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan
oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah
menghasilkan berbagai buku penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi
administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain
itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin
implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi
kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990)
merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi
dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.
Manajemen
publik
Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan
Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi
ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya
adalah persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan
tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti
sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public
Management and Administrationmerupakan pemikiran yang memicu perlunya
perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.
Jika di masa-masa
sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public
administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi
administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk
menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi
publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an
yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal
sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip
yang diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya
prinsip-prinsip birokrasiWeberian sudah sering
disampaikan.
Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip
oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old
Public Administrationbarangkali mewakili pemimpin negara yang lain:
Namun yang paling fenomenal tentu saja
pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang
ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing
Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara
setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat mengadopsinya secara
sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public
managerialism dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan
terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa
pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna
lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan
perlunya diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan
effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas
sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di antara
para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa
administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen
publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh
Hughes (1998: 4): It is argued here that administration is a narrower and more
limited function than management […]. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes
mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih
luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford English Dictionary, Webster Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur
yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk
memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas,
yaitu tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan:
pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target
yang telah ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut
semakin meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik.
Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami
penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan
istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi
pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami
kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik
atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf.
Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih
superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes
(1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:
As
part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a
description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where
once administrators‘ was used.
Dukungan terhadap pendapat
Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly
they were called administrators‘, principal officers‘, finance officers‘ atau
assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu saja, pentingnya
perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekedar sebuah
pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun teoritis
yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi
menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan,
hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan
turut berubah.
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen publik‟ secara epistimologis juga
berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan
mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih
berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika
dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika
administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan dari
disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal tentang
bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik mencapai tujuan
organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial mereka dan bagaimana
meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat.
Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami:
1. semakin meningkatnya
tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor
swasta;
2. bagaimana membuat keputusan
yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari public choice
theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
3. perubahan-perubahan
lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi;
4. terjadinya perubahan
teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan
berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus
belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government
Pemikiran untuk mengubah
nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟ sebenarnya bukan sesuatu
yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh
Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This
is why there should be a science of administration which shall seek to straighten
the paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun
demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan
administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen
bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Dinamika
administrasi publik di Indonesia
Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik
sebagaimana diuraikan di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi
negara terhadap fokus dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah
berhenti. Sebagai wadah yang menjadi naungan para ilmuwan administrasi negara
di Universitas Gadjah Mada, Jurusan Ilmu Administrasi
Negara tidak lepas dari dinamika tersebut. Sejak kelahirannya di Universitas Gadjah
Mada pada 1957, dinamika keilmuan para dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara
tercermin dariresearch interest dan arus pemikiran mereka. Kumpulan
naskah pidato enam Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diterbitkan
oleh Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah
Mada (2007) secara nyata mencerminkan betapa pandangan keilmuan dan pemikiran
para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara secara substansi terus berubah
dari waktu ke waktu sebagai upaya merespon dan mengikuti perkembangan dinamika
keilmuan administrasi negara yang terjadi pada aras internasional.[5]
Sayangnya, dinamika
keilmuan yang terjadi selama lebih dari enam dasawarsa tersebut belum tercermin
dari wadahnya, yaitu nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota
bene menjadi tempat civitas akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu
Administrasi Negara tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis
warga Jurusan yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu
Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam naskah
ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu Administrasi
Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga Jurusan Ilmu
Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan perubahan nama Jurusan,
yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu Administrasi Negara menjadi Jurusan
Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama Jurusan yang baru tersebut secara gamblang
mencerminkan lokus dan fokus ilmu ini sebagaimana dipaparkan dalam naskah ini.[6]
[1]
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
[2]
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
[3]
Ibid Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
[4]
Ibid. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas .
[5]
Materi ini, dikerjakan dengan buku-buku yang terkaid dengan Administrasi
Publik.
[6]
Ibid. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas