MENDISAIN
BLACK THEOLOGY OF
LIBERATION
THEOLOGI
PEMBEBASAN KULIT HITAM
DALAM BENTUK CONPREHENSIF INTEGRATED
MatiusSobolim
NIM:
16047
DiserahkanKepada:
Dr.
Gunaryo Sudarmanto, D.Th
Sebagai Bagian
Dari Tugas Mata Kuliah
Comprehensive & Integrated Systematic Theology
ISTITUT INJILI INDONESIA
Batu 17 April, 2017
A.
Latar Belakan
Desain
bisa diterjemahkan sebagai seni terapan, aristektur dan berbagai pencapaian
kreatif lainya. dalam sebuah kalimat sebuah “desain” bisa digunakan sebagai
baik kata benda maupun kata kerja. sebagai kata keraja, “desain” memiliki arti “proses untuk membuat dan
menciptakan opjek baru”. sebagai kata benda desain digunakan untuk menyebut
hasil akhir dari sebuah proses kreatif, baik itu berwujud sebuah rencana, proposal
atau berbentuk benda nyata. Proses pada umumnya memperhitungkan aspek fungsi,
estetika, dan berbagai macam aspek lainya dengan sumber data yang didapatkan
dari riset, pemikiran, brainstorming, maupun
dari desain yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini penulis akan Mendisain salah satu bentuk Teologi secara Konprehensif,
mengintegrasikan Karya Penulisan
James H. Cone Berjudul A Black Theology of Liberation Theologi Pembebasan Kulit Hitam.
Teologi Pembebasan
Kulit Hitam adalah teologi yang dikembangkan oleh para teolog berkulit
hitam
dari gereja-gereja
Kristen Protestan di Amerika Serikat. James Hal Cone adalah teolog kulit hitam yang memperkenalkan
teologi hitam pertama kali. Para teolog hitam mencoba membaca Alkitab dan menekankan pada pembebasan orang berkulit hitam dari diskriminasi orang-orang berkulit
putih. Menurut penulis,
orang kulit hitam telah banyak merasakan pengalaman pahit yang seharusnya
diperhatikan dalam proses berteologi. Pada waktu itu, yang mendominasi bidang
teologi adalah teolog-teolog berkulit putih. Teologi hitam meyakini Yesus
sebagai sahabat setia bagi semua manusia yang mengalami penindasan, penderitaan
dan penghinaan tanpa memandang ras atau bangsa. Yesus dalam pandangan theology hitam datang untuk mengangkat dan meneguhkan
martabat serta identitas orang hitam sebagai orang hitam. James Hal Cone dalam bukunya A Black Theology of Liberation yang ditulis tahun
1970,
menyatakan bahwa Allah
telah menggabungkan diri-Nya dalam perjuangan orang-orang berkulit hitam. Dengan
demikian, Yesus dapat dikatakan sebagai Mesias Kulit Hitam (Black Messiah).[1]
I.
Lahirnya Theology Hitam
Teologi Kulit Hitam lahir
dikarenakan terjadinya “diskriminasi perkepanjangan dalam lugos dunia. Nasip yang
mengenaskan dan pahit warga kulit hitan di Amerika Serikat tak kunjung kala,
terjadi sepanjang abad. Sejarah kulit hitam di Amerika banyak mengalami pasang
surut. Hampir warga kulit hitam yang hidup semua berasal dari benua Afrika.
Nenekmoyang mereka di culik oleh AS dari Afrika, serta dibawa secara paksa ke
Amerika dalam kondisi yang sangat mengenaskan. setibanya di Amerika mereka
dijadikan budak secara paksa.[2]
Warga Kulit Hitam di Afrika tidak salah,
hanya karena warna kulitnya saja mereka menjadi budak dan dihina habis-habisan.
Sejak saat itu, kehidupan yang manis dan tenang menjadi impian yang sangat
mustahil untuk dicapai. Alex Haley, Penulis besar AS menceriterakan secara
terapik penderitaan warga kulit hitam di Amerika. Cerita menyedikan perbudakan
di Amerika mulai terjadi sejak tahun 1691 para budak dari Afrika dibawa ke
negeri ini pada abad ke 17 dan 18. Mereka dipekerjakan di kebun Jagung dan Kapas, ladang tembakau
dan beras. Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa para budak Afrika ini memainkan
peran penting dalam perekonomian Amerika Serikat.
Tenaga mereka dikuras dan
keringat mereka di peras hingga titik terakhir dan dipaksa kerja keras dengan
gaji yang sangat kecil. Bahkan wanita Afrika yang tenga hamil pun di paksa
pekerja keras diladang dan perkebunan. Perempuan ini hanya memberikan hak asuh
anak tiga sampai empat bulan untuk menyusui bayinya. oleh karena perbuatan
semacam ini membuat para bayi mereka cepat meninggal dunia dengan mengenaskan. Penyiksaan
terhadap Kunta sampai dengan keturunannya mendapat penyiksaan berulang-ulang
kali merupakan makanan sehari-hari dan makan sehari keturunan berikutnya. Dalam
pandangan orang kulit putih orang hitam tidak bertuhan. Jika orang kulit putih
bersumpa bahwa budak kulit hitam berdusta maka budak tersebut akan memotong
telinganya. Orang kulit hitam membunu kulit putih maka konsekwensinya adalah
hukuman gantung. Jikalau seorang kulit putih membunuh kulit hitam hukumannya hanya
dicambuk. Menulis dan membaca bagi orang hitam dilarang dan hukumnya ilegal.
Memberi buku kepada orang hitam juga merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang. Ingin mehirup udara bebas, hidu seperti layaknya manusia lain,
namun itu hanya tinggal mimpi buruk. berkali-kali meloloskan diri namun tangan
besi menindas. pada saat ketahuan orang kulit hitam melarikan diri, maka
hukumannya adalah tangan mereka di paku ke
dinding dan mereka dipaksa makan telinga mereka sendiri. Berbagai tidakan keji
orang kulit putih juga diceritakan dalam Novel ini.[3]
Mereka dirampok dalam jumlah yang cukup
fantastis, sekitar 11 Juta orang Afrika kulit hitam dari pantai barat Afrika sekitar
tahun 1562 dan 1807. Nama julukan kulit hitam ialah Negro, definisinya sungguh
menyakitkan dan mengandung unsur negatif. Manusia Kulit hitam itu seolah-olah
menjadikan sebagai orang hutan (monyet). Kulit putih berangkapan bahwa orang
brkulit hitam adalah keturunan monyet. Makan tidak boleh satu tempat dengan
orang berkulit Putih. Tidak boleh naik bus bersama dengan orang kulit putih. Sampai
saat ini, Amerika yang dewasa ini kita kenal dan mengklaim pembela Hak Asasi
Manusia (HAM), tumbuh dan berkembang diatas penderitaan dan cucuran darah pada
budak afrika. Namun anak cucu para budak ini yang berkembang di Amerika,
namanyapun tidak pernah disebut untuk mendapat pujian, namun sebaliknya mereka
masi tetap hidup dalam diskriminasi.
Berjalanya waktu dunia Amerika
di resolusi oleh kekuatan Injil secara luar biasa namun, perbudakan adalah
kesempatan dan diskriminasi merupakan lahan subur bagi orang kulit putih. Orang
kulit putih sejak itu Injil bisa dikatakan sudah matang dan dewasa. Tetapi,
Pikiran Imprealis, Klonialis, serta militeris yang membuat mata rohani mereka
tertutup. oleh karena itu, mereka melihat firman Tuhan dengan lensa hermeneitik
yang kabur. dengan demikian orang kulit putih melihat orang kulit hitam adalah
dari spesies lain. Padahal, dalam Kisah Para Rasul 17: 28 Sebab didalam Dia
kita hidup, kita bergerak, kta ada,
seperti yang telah dikatan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan
Allah juga. Hal-hal ini yang membuat Cone mendirikan suatu Theology Hitam.
II.
Pemikiran Terhadap Theology
Kulit Hitam
Menurut James H. Cone, Yesus Kristus tidak
hanya datang untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Dia datang ke dunia bukan
melulu terkait soal keselamatan, dan pengorbanan, tapi juga memberi pembebasan.
Pembebasan dari ekonomi, politik, atau sosial yang tidak adil. Peran
inilah yang digumuli oleh para teolog pembebasan. Tidak itu saja, para
Teolog pembebasan juga berjuang untuk menafsirkan ulang kabar Injil gereja
mula-mula, di mana kekristenan secara politis dan budaya
terdesentralisasi. Salah satu di antara sederet nama para teolog pembebasan
adalah James Hal Cone.
James H. Cone dikenal banyak orang sebagai teolog “hitam” terkemuka di Amerika
Serikat. Dalam kesaksiannya, Dia dipanggil untuk melayani Tuhan di usia
yang relatif muda, 16 tahun, dan menjadi seorang pendeta pada tahun berikutnya, 1954,
ketika dia sedang studi di perguruan tinggi. Perjuangan Cone membela
kaumnya tidak hanya ketika dia menjadi seorang teolog, sebelumnya Cone juga
berjuang melalui tulisan-tulisannya dengan menjadi seorang jurnalis untuk
sekolah. Dia juga terlibat aktif dalam serangkaian demo, termasuk
boikot bus di Montgomery yang diselenggarakan oleh Martin Luther King, Jr.
Meskipun ia merasa tidak siap untuk mengorganisir umat layaknya dilakukan King
namun dia sangat terinspirasi oleh karya King bagi kaumnya. Dengan
mengusung “Teologi Pembebasan Hitam”, Cone berjuang keras bagi kemerdekaan
rakyat “hitam” Afrika secara sosial, ras, filosofis dan teologis, seperti yang
dilakukan King. Kendati dengan cara berbeda, teolog yang memperoleh gelar
Ph. D dari Northwestern University ini ternyata mampu menghimpun
kembali spirit “black power” untuk melawan ketidakadilan dan
diskriminasi. Untuk tujuan kemerdekaan kaumnya, Cone kemudian menggali
ulang berita Injil, dan berusaha mencari kebenaran Alkitab terkait
karya Allah bagi orang miskin dan tertindas. Mengawali teologinya,
Cone mencari akar permasalahan dengan mempertanyakan kembali
pengalaman-pengalaman Afrika-Amerika
yang dialami, ditinjau dari segi teologis. Pertanyaan-pertanyan yang sama
juga menghantarkan dia pada titik terang dalam kitab suci tentang unsur-unsur
liberatif dalam kitab Keluaran, tradisi Israel dan teladan
kehidupan Yesus. Namun, Alkitab bukan satu-satunya sumber yang membentuk
teologi Cone. Menanggapi kritik dari para teolog kulit hitam lainnya
Cone mulai memanfaatkan sumber-sumber literatur lain tentang komunitas Kristen
Afrika Amerika untuk karya teologisnya.
Bagi Cone
teologi tidaklah universal, namun terikat dengan konteks sejarah
tertentu. Pemikiran inilah yang juga melatar-belakangi kritikannya
terhadap teologi barat yang dianggap sangat abstrak. Cone sendiri
merumuskan teologi pembebasan dengan beranjak pada konteks pengalaman
hitam, dan penin-dasan. Dalam teologinya, teolog kelahiran 5 Agustus 1938
di Fordyce, Arkansas ini menggambarkan Yesus sebagai sosok suci yang
dekat dengan orang miskin, tertindas, dan kebangkitan sebagai tindakan utama
pembebasan. Pandangan pandangan seperti itulah yang kemudian membentuk
“Lensa hermeneutik” (sudut pandang penafsiran) terhadap Injil. Pengaruh
teologi Cone terus meluas setelah penerbitan buku sebagai karya perdananya
(1969). Ia dipandang sebagai teolog yang berperan sangat besar dalam
munculnya teologi pembebasan di seluruh Dunia Ketiga dan membangun kepedulian
orang untuk membebaskan kaum tertindas dari penderitaan politik, sosial, dan
ekonomi. Tahun 1977 dalam bukunya Cone mengajak agar orang Kristen memiliki
visi yang lebih jauh lagi. Cone melihat teologi Kristen harus terus
mengembangkan visinya untuk merangkul dunia lebih luas lagi melampaui
keprihatinan kaum Hitam Amerika dan kekhasan iman Kristen. “Saya berpikir
bahwa waktunya telah datang untuk teolog hitam dan orang gereja bergerak
melampaui reaksi hanya untuk rasisme kulit putih di Amerika dan mulai untuk
memperluas visi kita tentang kemanusiaan konstruksi sosial baru di seluruh
dunia yang dihuni. Demi kemanusiaan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan menjadi
kelompok-kelompok rasial dan nasional. “ seperti ditulis dalam bukunya
“Cross Currents”. Sebagai hamba Tuhan dan Teolog James H Cone sangat produktif. Ada
begitu banyak karya fenomenal yang dihasilkan dari buah pikirnya.
Beberapa diantaranya adalah “Teologi Hitam & Black Power (1969)”;
Teologi Pembebasan Hitam(1970), Kaum Tertindas (1975), dan Martin
& Malcolm & Amerika: Mimpi atau Mimpi Buruk (1991). Hampir
keseluruhan karya Cone bernuansa teologi pembebasan. Semua karyanya yang
telah dibukukan juga telah diterjemahkan ke dalam sembilan bahasa.[4]James H. Cone, tokoh yang mengembangkan Teologi
Hitam (Black Theology) di AS sejak akihr tahun 1960-an, diundang untuk
menyampaikan kuliah tamunya. Ia sendiri sesungguhnya adalah dosen teologi
sistematika di Union, New York. Menurut
Cone, para budak Afrika yang menjadi Kristen di Amerika, mengalami ketegangan
di dalam pemahaman iman mereka. Bagaimana mereka dapat menerima pengajaran
bahwa Allah itu kasih apabila pada kenyataannya mereka menderita secara luar
biasa di dalam perbudakan? Mengapa Allah membiarkan mereka menderita seperti
itu? Memang sempat muncul teologi yang mengajarkan mereka agar tetap bersabar
dalam penderitaan mereka itu, karena pada akhirnya mereka akan menerima
ganjarannya di surga kelak. Tetapi teologi seperti ini tidak dapat mereka
terima.
Menurut penelitian Cone, ada dua teks Alkitab
yang menonjol bagi orang-orang kulit hitam, yaitu kitab Keluaran dan Mazmur
68:32 yang menurut mereka secara samar-samar mengacu kepada janji Allah untuk
membebaskan para budak Afrika, “Dari Mesir orang membawa barang-barang tembaga,
Etiopia bersegera mengulurkan tangannya kepada Allah.” Allah
adalah pembebas kaum tertindas. Inilah dasar keyakinan orang-orang Afrika itu.
Kalau Allah memang ada, Allah tidak akan membiarkan perbudakan terjadi dan
berlangsung terus. Di dalam
perjuangannya, orang-orang kulit hitam ini dipimpin oleh Martin Luther King,
Jr., yang menekankan pendekatan anti-kekerasan yang diperolehnya dari Mahatma
Gandhi. King memimpin gerakan anti-kekerasan secara radikal, meskipun itu
berarti orang-orang kulit hitam itu harus menderita. “Tidak ada pembebasan
sejati tanpa penderitaan,” demikian keyakinan mereka. Hal ini mengusik hati nurani orang-orang kulit
putih, namun tidak sepenuhnya memuaskan orang-orang kulit hitam. Sebagian orang
kulit hitam akhirnya malah menolak Amerika dan kekristenan. Mereka
mengembangkan gagasan untuk memisahkan diri, membentuk sebuah negara yang
terpisah di Amerika, atau malah kembali ke Afrika. Tokoh-tokoh seperti Malcolm
X, mengritik King dan mengatakan bahwa kekristenan adalah agama orang kulit
putih. “Bagaimana mungkin kamu menyembah Allah yang disembah orang kulit putih
yang menindas kamu?” begitu Malcolm X menantang orang-orang kulit hitam. Tantangan ini membangkitkan kesadaran baru di
kalangan orang kulit hitam dan pada tahun 1966 terbentuklah apa yang disebut
sebagai “Black Power” – suatu gerakan di antara orang-orang kulit hitam
yang mencoba membangkitkan kebanggaan mereka atas identitas mereka. Gerakan ini
mencapai tujuannya ketika semakin banyak orang kulit hitam yang mencoba
menantang semangat keunggulan orang-orang kulit putih. Gereja orang-orang kulit
hitam yang selama ini mengajarkan “anugerah yang murah” dan spiritualitas yang
dangkal, disentakkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang baru. “Anugerah yang murah” di sini jelas mengacu
kepada gagasan yang dikemukakan oleh seorang teolog Jerman terkemuka, Dietrich
Bonhoeffer, yang mengatakan betapa banyak gereja yang mengajarkan pengampunan
tanpa pertobatan dan perubahan yang radikal di dalam diri orang yang mengaku
dosa itu, sehingga anugerah pengampunan Allah itu menjadi murah. “Bagaimana
mungkin pengampunan yang dibayar mahal oleh Allah dengan pengorbanan Anak-Nya
sendiri dijadikan begitu murah oleh manusia?” begitu pertanyaan yang diajukan
oleh Bonhoeffer. “Penderitaan
memaksa kita berpikir, mencari makna,” kata Cone mengutip Feuerbach, seorang
filsuf. “Kita (orang kulit hitam) harus menantang realitas penderitaan yang
dihadapi sehari-hari dalam bentuk racial profiling (pemilah-milahan
berdasarkan ras), kebrutalan polisi yang membuat banyak orang kulit hitam
bulan-bulanan polisi atau bahkan dicari-cari kesalahannya hingga jumlah tahanan
kulit hitam jauh melampaui proporsi mereka di Amerika Serikat,” kata Cone pula. Teologi Hitam James Cone telah membangkitkan
kesadaran orang-orang kulit hitam terhadap iman mereka dan kenyataan sosial
yang mereka hadapi sehari-hari. Mereka ditantang untuk menerjemahkan iman
mereka secara konkret, sebab bila tidak demikian maka iman mereka menjadi hampa
belaka atau malah mati.[5]
III.
RANCANG BAGUN COMPREHENSIF
INTEGRATED THEOLOGY PEMBEBASAN KULIT HITAM DAN AREA STUDI THEOLOGISNYA!
Teologi “pembebasan kulit hitam” adalah turunan
dari teologi pembebasan yang lahir di Amerika Selatan, kebanyakan bersifat humanistik, karena berusaha untuk mengaitkan pengajaran Kristen pada nasib orang miskin.
Teologi pembebasan kulit hitam umumnya berfokus pada orang Afrika dan secara
khusus pada orang Afrika-Amerika, agar dibebaskan dari segala macam perbudakan, diskriminasi, dan yang nyata terlihat ataupun yang hanya
dapat dirasakan, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hukum ataupun agama di America.
Tujuan Theolgi Pembebasan Kulit Hitam: Tujuan dari teologi pembebasan kulit hitam ini
adalah untuk “membuat Kekristenan menjadi nyata bagi kaum kulit hitam.”
Kesalahan utama dalam teologi pembebasan kulit hitam ini justru terkait fokus
dari teologi itu sendiri. Teologi pembebasan kulit hitam berusaha membawa
Kekristenan pada usaha pembebasan dari masalah ketidakadilan sosial di dunia
ini dan saat ini, bukannya untuk kehidupan setelah kematian nanti.
Metodologi
Theology Hitam:
Para teolog dari teologi pembebasan kulit
hitam beranggapan bahwa hal yang pertama yang tepat
harus dengan “sudut pandang dari bawah”, artinya, “dimana terdapat
penderitaan”; yang berarti dalam konteks penderitaan dari yang tertindas dan
yang terbuang. Kita harus terpanggil untuk melihat dunia dari sudut pandang
mereka. Sementara teologi tradisional meletakkan strukturnya pada filosofi,
teologi pembebasan berjalan kepada ilmu sosial.
Doktrin Tentang Allah: Allah
berbicara kepada kaum kulit hitam dalam “kehitaman”-Nya, Dia tahu bahwa Dia
adalah “pribadi.” Dalam masyarakat dimana terdapat orang yang tertindas sebab
perbedaan warna kulit, Allah menerima warna kulit orang tersebut, menyerukan
bahwa “hitam adalah indah.” Sifat Allah yang menonjol dalam teologi kulit hitam
adalah kuasa dan kedaulatan-Nya; tidak mengherankan bahwa orang kulit hitam
sebagian besar sadar sebagai sebuah kelompok yang kurang berkuasa. Atribut lain
yang penting dari Allah adalah kebaikan-Nya. Roberts mengatakan bahwa Allah
adalah absolut dalam kuasa dan kebaikan terhadap kaum kulit hitam. Kuasa yang
absolut menjamin kemenangan yang terbaik dari yang baik, tetapi kebaikan
absolut meyakinkan kita bahwa kuasa absolut tidak akan disalah gunakan.
Pribadi
dan Karya Kristus: Orang kulit hitam melihat Yesus
sebagai salah satu dari mereka, karena dalam Perjanjian Baru menggambarkan-Nya
sebagai Seorang yang tertindas. Dia berkumpul dengan yang tertindas, pengemis
dan tunawisma. Sebagai Mesias, Kristus adalah Raja. Ke-Raja-an ini bukan hanya
masa yang akan datang. Para teolog kulit hitam sepakat dalam pandangan mereka
bahwa Yesus adalah kulit hitam. Gagasan Cleage mengenai Yesus secara literal
dan sejarah adalah dari golongan kulit hitam orang Ibrani. Orang kulit hitam
menaruh pengharapan pada 1 Kor. 15:25, “Karena Ia harus memegang pemerintahan sebagai
Raja sampai Allah meletakkan semua musuh-Nya di bawah kaki-Nya.” Pengajaran
tentang Kristus sebagai Pembebas merupakan sebuah tema utama dalam teologi
kulit hitam.
Eskatologi: Teologi kulit hitam adalah sebuah teologi pengharapan.
Penekanannya lebih kepada realitas masa kini daripada masa yang akan datang
yang tidak nyata. Janji upah yang akan datang (seperti sorga) atau penghukuman
(neraka) sedikit pengaruhnya kepada orang yang lapar, yang diperkosa dan yang
melarat. Cone mengatakan bahwa gagasan sorga tidak relevan dalam teologi kulit
hitam. Orang Kristen tidak boleh membuang waktu merenungi dunia yang akan
datang (jika ada). Orang Kristen sejati tidak akan menghabiskan waktu memikirkan
sorga dan neraka, tetapi menggunakannya untuk memperjuangkan hak-hak manusia
dan kebebasan.
Konsep
Allah Dalam Teologi Afrika: Terdapat perbedaan pandangan tentang
warna kulit Allah, apakah putih atau hitam, atau berwarna. Di Afrika Selatan,
kekristenan “putih” sudah sangat ditegaskan. Hal-hal yang hitam sudah
dihubungkan dengan yang jahat. Akibatnya, diperlukan sebuah konsep baru tentang
Allah yang berbeda dari yang sudah ada. Sabelo Ntwase dan Basil Moore
menyarankan sebuah konsep baru yaitu, kebebasan hubungan gambar Allah. “Allah
bebas dikenal secara sepintas dan secara tidak sempurna dalam pengalaman kita
sendiri. Tetapi Allah juga bebas diatas segala sesuatu yang kita sudah ketahui,
bebas untuk melepaskan kita dari belenggu penindasan dalam seluruh kehidupan.”
Yesus
Kristus Sebagai Pembebas: Satu perhatian utama dari orang
Afrika adalah ancaman serangan roh-roh jahat. Pelepasan adalah satu tema yang
umum diantara orang percaya dan yang tidak percaya. Maka, tidak heran untuk menemukan
bahwa Yesus dilihat sebagai Juruselamat, Penebus dan Kuasa. Jelas sekali ini
ada hubungan dengan konsep Kristus sebagai Pembebas. Yesus memiliki kuasa untuk
membebaskan dari ketakutan, penyakit, dan roh jahat, seperti dari penindasan,
rasisme dan eksploitasi.
Pandangan
Teologi Afrika Tentang Keselamatan: Teolog
Afrika, Manas Buthelezi, menerangkan karakter hidup sebagai “sakramental.”
Hubungan manusia dengan Allah adalah sesuatu yang diberikan sepanjang
kehidupannya. Untuk menjadi serupa dengan gambaran Allah, artinya bahwa orang
tersebut mengekspresikan hubungan itu. Keselamatan adalah sebuah sakramen
dengan jalan manusia menerima dan mengakui karunia-karunia Allah yang baik dan
sempurna bahkan seandainya belum menerimanya dalam totalitas. Allah memberikan
hal-hal yang baik, meskipun itu pada suatu waktu akhirnya kepada orang lain.
Kepercayaan ini adalah salah satu aspek iman. Aspek lain dari iman adalah
menerima orang lain sebagai umat manusia yang Allah sudah terima. Maka bagian
iman yang krusial, termasuk melibatkan hubungan damai dengan orang yang
mengeksploitasi.
Gereja
dan Masyarakat: Julius Nyerere menyarankan bahwa
gereja harus menerima perkembangan manusia yang terlibat dalam pemberontakan.
Dunia sudah terbagi antara yang punya dan yang tidak punya, yang kaya dan yang
miskin, yang beruntung dan yang rugi. Mereka adalah orang yang berkuasa dan
yang tidak. Kaum minoritas tersisih oleh karena perbedaan warna kulit dan ras.
Gereja semestinya tidak terus mengikuti masalah seperti itu. Gereja harus
mendesak dunia untuk menjadi satu dan untuk memenangkan keadilan sosial.
IV.
ANALISIS DAN KRITIK
PENULIS TERHADAP THEOLOGY PEMBEBASAN KULIT HITAM AFRIKA AMERIKA
Dalam pembahasan diatas
James Hal, Cone menegaskan bahwa, Yesus datang bukan untuk menyelamatkan manusia dari
perbudakan dosa saja. Melainkan Ia datang sebagai, Politikus, Sosialis, dan
Rekonsiliator. Jadi, Theology pembebasan
Kulit hitam disini James H. Cone, berusaha Mengintegrasikan secara Comprehensif
masalah diskriminasi dan ketidak adilan sosial hukum dan politik, menjadi area
studi, menjadi sumber utama (primer) dan Theology menjadi sember sekunder,
artinya dari deduktif ke induktif. Alkitap sebagai pendukung, masalah
diskriminasi, serta rasisme.
Tetapi, Dalam pandangan
lensa hermeneutika kontras dengan pandangan Cone dan pandangan Yesus Kristus.
Dalam hal ini penulis tidak membatasi kedatangan Yesus membawa visi besar untuk
menyelamatkan manusia pastilah ada potensi yang bersifat multi dimensi, didalam
Yesus Yakni: Allah mengaruniakan Yesus Nama diatas segalah Nama. Namun,
pertanyaan Theologis yang paling kontradiktif adalah pengajaran Yesus Kristus. Yesus mengajarkan sebaliknya: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yoh 18:36).
Apakah kaum kulit hitam (orang Afrika) dan khususnya orang Afrika-Amerika telah
diperlakukan dengan tidak adil, curang dan kejam di dalam sejarah? Tentu saja ya! Haruskah salah satu buah dari Injil adalah
berakhirnya rasisme, diskriminasi, prasangka, dan ketidaksetaraan? Lagi-lagi ya benar, tentu saja (Gal 3:28). Apakah pembebasan
dari masalah ketidakadilan sosial adalah inti dari Injil? Tidak, bukan itu. Inilah pesan dari Injil: kita semua telah
tercemar oleh dosa (Rom 3:23). Kita semua layak terpisah dari Allah dalam
kekekalan (Roma 6:23). Yesus mati di kayu salib, mengambil
alih hukuman yang sepantasnya ditimpakan kepada kita (2 Kor 5:21; 1 Yoh 2:2),
dan malahan mengaruniakan keselamatan kepada kita. Yesus kemudian bangkit,
menegaskan bahwa kematian-Nya adalah pembayaran yang memadai untuk hukuman atas
dosa-dosa kita (1 Kor 15:1-4).
Jika kita beriman-percaya kepada Yesus sebagai
Juru Selamat, maka semua dosa-dosa kita akan diampuni. Kita diberikan karunia
agar bisa memasuki surga setelah kematian kita (Yoh 3:16). Inilah injil yang
sebenarnya. Inilah yang seharusnya menjadi fokus kita. Inilah yang benar-benar
dapat menyembuhkan “wabah penyakit” umat manusia. Ketika
seseorang menerima Yesus sebagai Juru Selamat, dia menjadi ciptaan baru (2 Kor
5:17).
Roh Kudus yang berdiam di dalam hatinya memulai
proses pengudusan supaya orang itu semakin serupa dengan Kristus (Rm 12:1-2).
Hanya melalui transformasi spiritual inilah rasisme dapat benar-benar
ditaklukkan. Teologi pembebasan kulit hitam ini tidak memadai karena teologi
ini hanya mencoba menghilangkan gejala-gejala yang ada, tanpa mengatasi
penyakitnya. Dosa yang sesungguhnya menjadi penyakitnya. Rasisme hanyalah salah
satu dari banyak gejala penyakit ini. Pesan
Injil adalah: Yesus mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia.
Keselamatan karena-Nya hanya
tersedia melalui iman-percaya kepada-Nya. Berakhirnya rasisme akan menjadi
hasil dari masyarakat yang benar-benar menerima Yesus Kristus sebagai Juru
Selamat.
Namun, Injil sendiri tidak secara khusus
membahas rasisme. Karena
penekanannya yang terlalu berlebihan terhadap isu rasial, teologi pembebasan
kulit hitam ini cenderung memisahkan komunitas orang Kristen kulit hitam dengan
kulit putih. Ini benar-benar tidak alkitabiah. Kristus datang ke dunia untuk
menyatukan semua yang percaya kepada-Nya dalam sebuah Gereja universal, Tubuh
Kristus, di mana Dia menjadi kepalanya (Ef 1:22-23). Anggota dari Tubuh Kristus berbagi ikatan yang
sama dengan seluruh orang Kristen lainnya, terlepas dari latar belakang, ras,
ataupun kebangsaan mereka. “Supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh,
tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan” (1 Kor
12:25).
Kita harus menjadi satu pikiran, dengan
memiliki pikiran Kristus, dan memiliki satu tujuan, yaitu untuk memuliakan
Allah dengan melaksanakan perintah Kristus untuk “pergi ke seluruh dunia,”
memberitahu bangsa-bangsa tentang Dia, mengabarkan Injil, dan mengajar orang
lain untuk taat kepada perintah-Nya (Mat 28:19-20). Yesus mengingatkan kita mengenai dua perintah
yang terbesar: mengasihi Allah dan mengasihi orang lain seperti diri sendiri,
terlepas dari ras apapun orang itu (Mat 22:36-40).
V.
Presuposisi
Presuposisinya dalam Black
Theology James H. Cone, menegaskan bahwa Yesus Sebagai Aktor Pembebas,
Rekonsiliator, umat manusia terutama orang kulit hitam. Yesus Kristus sang
sosialis, Humanis, Politikus. Yesus Kristus adalah sosok yang dihina, dianiaya,
mengalami penderitaan memikul beban berat sampai disalipkan secara tidak
manusiawi. Menurut James H Cone, Penderitaan Yesus Kristus sama dengan penderitaan
warga kulit hitam Afrika Amerika, dari abad ke abad, dirantai, dicambuk,
dipisahkan sebagai manusia yang berasal dari mahluk lain. Kerja Paksa, hak
memandang sekeliling pun disita oleh aturan (undang-undang) pemerintahan warga kulit putih. Hak duduk bersama tidak ada tempat, bagi
warga kulit hitam, makan minum diperlakukan tidak layak sebagai manusia pada
umumnya . Itulah sebabnya, James H. Kone, berperangkapan bahwa Yesus adalah solusi terakhir, hal tersebut
ditekankan pada Black Theology. Dan selanjutnya Menurut James H. Cone,
mengatakan bahwa makna Injil bagi orang kulit puti selama itu tidak jelas
semakin kabur, baik: dalam pengajaran, penerapan, dan dalam pemberitaan Injil.
Sebab selama berabad-abad, dari waktu ke waktu makna Injil sebenarnya
dilengserkan oleh sistem kapitalis, militeris, modalis membuat menjadi manusia
rakus angkuh, mementingkan diri-sendiri, dan menjadikan diri mereka orang kulit
putih sebagai gen utama dari semua ras. Hal-
hal ini yang menyebabkan warga kulit putih sendiri secara tidak langsung Injil pun
turut diperbudak, dikaburkan makna Injil yang sebenarnya, bahkan
dikuburkan secara dalam, memakai lapisan
timbunan serentetan persoalan yang disebutkan diatas dan jelas sekali bahwa
makna Injil yang sebenarnaya saat itu ada, namun tidak ada di permukaan. Kacamata
rohani orang kulit puti sudah kabur saat itu kata Cone. Dari sinilah ada tempat bagi warga kulit hitam
untuk Rancang bagun Area Theolohy Hitam. Cone mengatakan bahwa Rancang Bagun
Theology Hitam, bertujuan untuk belajar theology hitam, dan berteology secara
terbuka. Karena menurut Jamen H Cone Theology Hitam adalah jawaban bagi orang
kulit hitam, sebagai kekuatan untuk menghapus ketidak adilan sosial, bagi
seluruh warga kulit hitam. Dan menanamkan, serta menemukan nilai-nilai
kemanusian, yang adil dan beradap. Manusia yang berketuhanan dalam Yesus
Kristus, sama seperti manusia pada umumnya di belahan dunia ini. Theologi Kulit hitam perperan penting
mengajarkan persatuan dan kesatuan warga kulit hitam dan kulit Putih. Teologi
kulit hitam berpihak pada hikmat kebijaksanaan, bermufakatan untuk perwakilan
orang kulit hitam sebagai presentator
atau ujung tompak, wakil kulit hitam di muka umum. Jadi, Menurut Jamens H Cone,
Theology Pembebasan Kulit Hitam adalah solusi dalam segala serentetan aspeck
kehidupan orang kulit hitam.
VI.
Saran
Theology Pembebasan Kulit
Hitam lahir melalui kesadaran, dari abad ke abad dari waktu ke waktu para
sendikiawan kulit hitam, ilmuwan kulit hitam , dan para Theolog kulit hitam,
bergumul untuk menemukan jati diri dan identitas sebagai manusia kulit hitam sebagai
wakil Allah yang ada di bumi ini. Pada akhirnya James H. Cone, Menemukan suatu rancang
bangun Theology Pembebasan Kulit Hitam (Area sutdi Theology Pembebasan Kulit
Hitam.
Melalui lembaga ini orang
kulit hitam sudah dan telah menemukan jati diri. Melalui survei kami baik,
bacaan maupun pantauan langsung melalui sistem elektronika telah terpantau bahwa
Theologi Kulit hitam, berpendirian jelas sampai saat ini, sudah terakreditasi
di Amerika dan Di Afrika. Di beberapa Negara Kulit Hitam ada Teology Hitam yang
berhaluan Injili sampai saat ini. Penilaian Kritik maupun sacaran dari siapun
dipersilakan menangkapinya sebagaimana mestinya para teolog yang lain sudah
mendahului kita dalam hal mengkritisi Black Theology. Namun Penulis sarankan
bahwa dalam hal menangkapi, kritik dan saran terhadap Theology Pembebasan Kulit
Hitam, harus menangkapi secara Comprehensif (menyeluruh) secara utuh dan tidak
sepenggal penggal. Sebab para interpretator selama ini menilai dan
menginterpretasi (menafsirkan) theology pembebasan kulit hitam dari sisi
Negatifnya saja. Sedangkan sisi positifisme terhadap latar belakang permasalahan munculnya
teologi pembebasan kulit hitam belum di soroti. Secara kwantitas terlalu
sedikit yang menilai hal-hal positif mengenai pemikiran Cone sebagai Pendiri Theology
Pembebasan Kulit Hitam.
Adanya Theologi Pembebasan
Kulit Hitam memberikan tempat bagi warga kulit hitam, secara penuh dalam
menilai diri sendiri, menyampaikan dan menghargai pendapat orang lain sebagai
mahkluk sosial, dan mematuhi hukum dan ham, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai, ineransi Alkitab, Otoritas
Alkitab, Keapsahan, keautentikan Alkitab serta pengilhaman Alkitab itu sendiri penuh
dan bertanggung jawab.
B.
Kesimpulan
Theologi Hitam lahir,
karena adanya diskriminasi yang berkepanjangan, dan tidak ada keadilan sosial
bagi seluruh warga kulit hitam di kalangan Afrika, Amerika. Kemajuan di bidang
ekonomi besar-besaran samapai menjadi negara adidaya dikarenakan ada pemeran
utuma yang dimainkan di belakang layar yakni: “petani, buru kasar warga kulit
hitam. Peranan yang dimainkan oleh warga kulit hitam di Amerika menjadi negara
super power, namun tidak ada pengakuan sedikitpun dari pemerintahan. Warga kulit
puti melakukan suatu penyangkalan rasis, serta diskriminasi, besar-besaran
terjadi dalam segala zama. Adanya Theology pembebasan kulit hitam , maka
terjadi revolusi mental di kalangan warga kulit hitam. Melalui Pendirian
theology inipun, juga membuat warga kulit
hitam dimerdekakan. Dalam uraian diatas kita melihat bahwa, sebelumnya warga
kulit puti sudah mengalami apa yang disebut transformasi misi Allah. Namun,
mereka menggunakan lensa hermeneutika yang salah, akibatnya Injil Yesus Kristus
diperbudak oleh sistem Eksploitasi hak hidup orang lain, militeris, imperialis
dan klonial.
Dengan demikan, dalam
theologi pembebasan kulit hitam, lebih menekankan pada diskriminasi, keadilan
sosial, hukum dan hak-hak hidup orang kulit hitam. Secara teologis James H. Cone, menegaskan
penderitaan Yesus Kristus itu sama dengan penderitaan orang kulit hitam di
segala zaman. Dan Cone menegaskan dalam theologynya bahwa Allah dipahami dalam
konteks orang kulit hitam sebagai Allah yang hitam, dan Yesus Kristus sebagai
kulit hitam. Menurut kone, surga bukan masa yang akan datang saja tetapi
sekarang juga harus ada surga didalam kehidupan kita.
Dalam rancang bagun
Theologisnya lebih menekankan kekinian, atau gereja saat ini. Dia tidak terlalu
melihat masa yang akan datang. Hal-hal tersebut mempegaruhi para teolog yang
lain mengkritis Cone, bahwa Theologinya mebuat pukulan telat terhadap Theologi
orang Kulit Putih. Dengan demikian secara keseluruhan Theologi pembebasan kulit
hitam adalah baik, sebab adanya pemikiran Teolog seperti Cone, yang membuat
orang kulit hitam di bebaskan dari perbudakan. Orang Kulit Puti tudak hanya
memperbudak warga kulit hitam, melainkan Injil tentang kerjaan Allah diperbudak
sampai ratusan tahun. Seorang teolog Kulit hitam membongkar tirai besi yang
menjadi tembok raksasa dengan berbagai macam cara sehingga sampai sekarang
orang kulit hitam hidup sebagai orang yang merdeka seprti selayaknya manusia
yang lain.
.......
C. DAFTAR RUJUKAN
ALKITAB Yaitu: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
dalam Terjemahan Baru yang diselenggarakan oleh
Lembaga Alkitab Indonesia LAI,
James H. Cone Berjudul A Black Theology of Liberation Theologi Pembebasan Kulit Hitam Anton Wessel. 2001. Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai
Budaya.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hlm. 83-84.
_______________ Reformata
Menyuarakan Kebenaran dan Keadilan.
Reformata.com. 2012
________________http:www:// Google, Pencaraian kata Theologya Hitam.com
[1]
Anton
Wessel. 2001. Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya.
Jakarta:BPK Gunung Mulia. hlm. 83,84.
[3]
Novel
Roots berbeda dengan novel-novel lainnya, yang bersifat fantasi dan khalayan
belaka. Novel ini adalah sebuah realita sejarah yang menyakitkan Roman yang
ditulis berdasarkan data-data sejarah ini dengan gamlang menceritrakan
keganasan dan kepuasan kulit putih, terhadap kulit hitam Afrika. Roman ini juga
kemudian menjadi bukti kezaliman kulit putih terhadap warga kulit hitam Afrika
yang diperbudak secara paksa. Ini bukan kejadian Prasejarah, namun terjadi
sekitar 120-130 tahun yang lalu. indonesian arib.ir
[4]
Copyright © 2004-2017 Reformata.com. All rights reserved
[5] Copyright
©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi
Undang-Undang. Address:
Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia. Phone:
62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814