EVALUASI PRAGRAM SEKOLAH MINGGU TAHUNAN SECARA HOLISTICK SEKALIGUS REKRUTMEN CALON GURU SEKOLAH MINGGU GEREJA INJILI DI INDONESIA (GIDI) JEMAAT AGAPE
WAMENA
TAHUN AJARAN, 2016/2017
Matius Sobolim
NIM: 16.047
DiserahkanKepada:
Prof. Dr. Joni Bungai, M.Pd
Sebagai Bagian Dari Tugas Mata Kuliah
Evaluasi Program Pendidikan
INSTITUT INJIL
INDONESIA
PROGRAM
DOKTORAL
BATU, FEBRUARI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Evaluasi Program Sekolah
Minggu harus dan perluh dilaksanakan untuk mengukur dan menilai. Mengukur lebih
bersifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif. Namun secara
umum orang hanya mengidentifikasikan kegiatan evaluasi sama dengan menilai,
karena aktivitas mengukur sudah termasuk didalamnya. Dan tidak mungkin
melakukan penilaian tanpa didahului oleh kegiatan pengukuran (Ari Kunto, 1989).
Didalam pelayanan Sekolah minggu, evaluasi adalah kegiatan penilaian terhadap
kinerja dan unjuk kerja dari proses dan hasil pelaksanaan kegiatan pelayanan Sekolah
Minggu di gereja selama setahun. Evaluasi ini dilakukan terutama untuk
mengetahui sejauh mana tujuan program pelayanan sekolah minggu sudah tercapai
atau belum. Standar penilaian adalah indikator-indikator keberhasilan yang
telah direncanakan sebelumnya dan pengungkapan masalah kinerja program
pelayanan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kinerja program
pelayanan sekolah minggu.
Sedangkan dalam
konteks manajemen pendidikan
sekolah minggu, di
gereja sangatlah penting, karena mengkaji tentang mutu
keberhasilannya akan ditentukan oleh berbagai faktor, baik sistem maupun
prosesnya. Ini menandakan bahwa dalam mengelola pelayanan sekolah minggu merupakan garapan
yang kompleks, sehingga perlu penanganan menyeluruh, melibatkan berbagai pihak
dan harus dilaksanakan. Permasalahan
yang sering muncul di dalam proses adalah masih rendahnya mutu sumber daya
manusia (SDM) pengelolah organisasi pendidikan sekolah minggu. Jika dalam lingkup keorganisasian adalah masih rendahnya mutu
guru dan ketua pengasuh
sekolah minggu, organisasi
gereja jeli merekrut tenaga pendidik yang berkompeten dan handal, dimulai dari
ketua pengasuh sekolah minggu sampai dengan jajaranya. Sebab, ketua sekolah minggu merupakan tenaga pendidikan yang paling
strategis untuk menggerakkan garda terdepan dalam sistem pendidikan didalam gereja. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilaksanakan, agar kesenjangan kualifikasi dan kompetensi
Kepala Pengasuh Sekolah Minggu antar denominasi di gereja-gereja di sekitar dapat pekerja sama.
Sistem dalam perekrutan tidak menggunakan prosedur
yang diatur dalam Peraturan ADART Sinode Gereja Injili Di Indonesia GIDI tersebut,
masalah ini merupakan faktor penyebab kualitas sumber daya manusia kepala Pengasuh sekolah minggu rendah. Seleksi yang
digunakan tidak berdasarkan kompetensi yang dimiliki calon kepala Pengasuh Sekolah Minggu seperti
yang diatur dalam Peraturan ADART Pendidikan Sekolah Minggu
tentang standar perekrutan kepala Pengasuh sekolah Minggu dan Peraturan tentang penugasan
guru sebagai Ketua Pengasuh Sekolah Minggu,
kenyataan di lapangan ketua sekolah minggu yang diangkat berdasarkan atas kematangan, seleksi kwalifikasi
sekedar prasyarat yang tidak menggugurkan calon ketua pengasuh sekolah minggu apabila tidak dipenuhi.
Calon kepala Pengasuh Sekolah
Minggu yang akan diangkat tidak mengikuti prosedur seleksi
dan tahap pendidikan dan pelatihan, pendidikan dan pelatihan Masih ditemukan
calon kepala sekolah yang tidak melalui proses perekrutan, sehingga banyak
ditemukan Kepala Pengasuh Sekolah Minggu yang tidak mengetahui peraturan gereja setempat, tentang standar kepala pengasuh sekolah minggu,
baik dari segi penguasaan isi Peraturan gereja tentang Pendidikan Sekolah Minggu itu sendiri maupun implementasinya.
Mencermati
tentang mutu ketua pengasuhsekolah minggu, berdasarkan penelitian dan laporan jemaat, bahwa
menurunnya mutu pendidikan sekolah
minggu di gereja
disebabkan masih rendahnya tingkat profesionalisme kepala pengasuh sekolah minggu sebagai manajer pendidikan kerohanian anak di tingkat lapangan.
Rendahnya profesionalisme diantaranya karena masih lemahnya di dalam cara
pengangkatan kepala pengasuh sekolah minggu.
Dari pemahaman
rekrutmen di atas, dan gambaran sebelum dilakukan aktivitas rekrutmen,
setidaknya akan muncul beberapa pertanyaan seperti; siapa yang akan melakukan
perekrutan, berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan, dari mana calon pelamar
pengasuh sekolah minggu akan direkrut,
persyaratan dan kualifikasi macam apa yang harus dipenuhi calon pelamar kepalah pengasuh sekolah minggu dan kapan waktu melaksanakan program evaluasi dan rekrutmen
kepala pengasuh sekolah minggu. Dengan demikian maka dalam perekrutan
diperlukan suatu konsep perencanaan yang matang. Untuk
menetapkan persyaratan calon Ketua
Pengasuh Sekolah Minggu, maka perlu memperhatikan berbagai aspek yaitu
tingkat pendidikan, tingkat Kematangan
kerohanian, kecerdasan, tingkat, tingkat pengalaman kelahiran baru, tingkat keahlian khusus dalam bidang kerohanian, tingkat
karakteristik personal dan kualitas latar belakang para kandidat (1 Timotius 3:3; Titus 1:7). Kebijakan
dalam melakukan rekrutmen calon-calon kepala pengasuh sekolah minggu maupun penempatan
calon kepala pengasuh sekolah minggu seperti yang terungkap diatas adalah salah
satu fenomena yang berdampak pada munculnya kesenjangan diantara kalangan guru-
guru sekolah minggu akibat dari kebijakan yang tidak berpihak pada ketentuan
yang berlaku seperti adanya anggapan para guru, bahwa siapa yang dekat dengan
penguasa gereja, walaupun tidak memenuhi yang dipersyaratkan calon kepala pengasuh
sekolah minggu dalam ketentuan bisa saja di angkat tanpa melawati prosedur
tersebut, dan ini akan berdampak pula pada pola kebijakan rekrutmen calon pengasuh
sekolah minggu yang diamanatkan dalam peraturan gereja tentang Penugasan Guru Sekolah
Minggu sebagai Kepalah mengelolah program dan mengatur jalanya program kerohanian
sekolah minggu berjanggah pendek, menegah dan janggah panjang. Dengan demikian,
sangat dipentingkan dalam pengimlementasian kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan pengangkatan maupun evaluasi program pelayanan sekolah minggu penunjukan
seorang calon ketua pengasuh sekolah minggu mulai dari penyiapan, rekrutmen,
ferifikasi data calon, test, pendidikan dan latihan, dan pengujian untuk
penempatan yang berkaitan dengan kondisi sekolah yang akan ditempati bagi calon
kepala sekolah yang sudah memiliki sertifikat calon kepala pengasuh sekolah,
minggu dari seluruh rangkaian pelaksanaan rekrutmen diharapkan dapat
meminimalisir berbagai anggapan yang muncul dikemudian hari tentang sistim
rekrutmen yang selama ini berlangsung dalam gereja.
B.
Fokus Penelitian
Mengingat
luasnya cakupan mengenai evaluasi
program dan perekrutan calon kepala sekolah minggu, berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti perlu menetapkan fokus
permasalahan yang berkaitan dengan komponen-komponen apa yang akan peneliti
evaluasi, penelitian ini difokuskan pada Evaluasi program tahunan secara holistick dan Implementasi
Kebijakan Rekrutmen Calon Ketua Pengasuh
Sekolah Minggu di Lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI)
dengan sub fokus sebagai berikut:
1) Agar Mengevaluasi program
kerja sekolan minggu yang telah dan sudah dilaksanakan selama satu tahun secara
holistick.
2) Agar Perencanaan program penyiapan sumber
daya manusia dalam rekrutmen calon kepala Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena.
3) Agar Penerapan program sekolah minggu dan rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena.
4) Agar Proses pencapaian pelayanan sekolah minggu dan rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu meliputi aspek administrasi, penyiapan
sumber daya manusia, dan penganggkatan Pengasuh sekolah Minggu
Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena.
5) Pencapaian
sasaran program mpelayanan sekolah minggu dan
rekrutmen calon kepala sekolah minggu meliputi efektivitas terhadap dampak dan strategi
implementasi kebijakan.
6) Perbandingan
hasil dan tujuan dalam program rekrutmen calon kepala pengasu sekolah minggu meliputi evaluasi penugasan guru sebagai
Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena.
C.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang, fokus dan sub fokus penelitian di atas, maka rumusan masalah
dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana Mengevaluasi
program kerja sekolah minggu yang telah dan sudah dilaksanakan selama satu
tahun secara holistick ?
2) Bagaimana
perencanaan program penyiapan sumber daya manusia dalam rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena?
3) Bagaimana
penerapan program dan rekrutmen
calon Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena?
4) Bagaimana
proses pencapaian program dan
rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah
minggu meliputi aspek administrasi, penyiapan
sumber daya manusia, dan penganggkatan Pengasuh sekolah Minggu
Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
5) Bagaimana
pencapaian sasaran program dan
rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu meliputi efektivitas terhadap dampak kebijakan dan
strategi implementasi kebijakan di Gereja
Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
6) Bagaimana
perbandingan hasil dan tujuan dalam program sekolah minggu dan rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu meliputi evaluasi penugasan guru sebagai Pengasuh Sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena?
D.
Kegunaan Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis dalam upaya
pembinaan dan peningkatan profesionalitas
kepala pengasuh sekolah minggu, dan juga dapat digunakan sebagai bahan
pengembangan sumber daya manusia khususnya di bidang pendidikan sekolah minggu. Secara teoritis penelitian ini diharapkan
dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang pendidikan kerohanian, dan dapat dijadikan salah
satu acuan bagi penelitian lanjutan terutama yang berkonsentrasi pada masalah
yang berkaitan dengan rekrutmen ketua
pengasuh sekolah minggu.
Pada tataran praktis penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi:
1) Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena dalam upaya peningkatan kinerja ketua pengasuh sekolah minggu,
sistem rekrutmen calon ketua
pengsuh
sekolah minggu
menggunakan peraturan gereja yang
tertuang dalam ADART tentang penugasan sebagai
Ketua Pengasuh Sekolah Minggu.
2) Bagi ketua
pengasuh sekolah minggu atau calon ketua pengasuh sekolah minggu di
lingkungan Gereja Injili Di
Indonesia (GIDI), kiranya
penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab sehingga berjalan secara optimal dan pada akhirnya dapat menjadi
motivasi ke arah peningkatan kwalitas
dan kwantitas pendidikan,
sebagai usaha meningkatkan kompetensi ketia pengasuh sekolah minggu.
3) Bagi para peneliti, hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan bahan
acuan dan pertimbangan serta petunjuk untuk menetapkan sasaran penelitian pada
masa yang akan datang dengan tidak meninggalkan norma kebenaran.
BAB II
KAJIAN TEORETIK
1. Definisi Sekolah Minggu
Sekolah
Minggu adalah sekolah yang diadakan pada hari minggu” . Hal ini juga sependapat
dengan Lautfer dan Dyck (1998:3) menyatakaan bahwa ”Sekolah Minggu” adalah anak
dikumpulkan dan diajar firman Tuhan pada hari minggu. Elsie Rives menyatakan
bahwa Sekolah Minggu adalah organisasi gereja yang diatur untuk menjangkau dan
mengajar orang tentang pesan Alkitab dan membimbing mereka untuk mengikuti dan
melakukan pekerjaan yang diperintahkan Allah. Dari pendapat di atas dapat
ditarik benang merahnya, bahwa sekolah minggu adalah kegiatan keorganisasian gereja yang dilaksanakan pada hari minggu
untuk mengajar dan membimbing tentang pesan Alkitab untuk mendapatkan
pengharapan keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus.
2. Evaluasi Kurikulum
Pendidikan Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Kurikulum Sekolah Minggu Kurikulum dapat diibaratkan
sebagai menu makanan yang disusun oleh seorang ibu rumah tangga yang baik. Jika
makanan yang disajikan selalu sama, tentu akan membosankan seisi rumah.
Demikian halnya dengan kurikulum di Sekolah Minggu, karena secara rohani
anakpun membutuhkan makanan yang bergizi dan bervariasi, sesuai dengan tingkat
umur dan pola pikir yang telah mereka capai. Melaluinya ”nafsu makan”
dipelihara dan mereka dapat bertumbuh secara rohani Kurikulum dikemas untuk
memenuhi kebutuhan murid sesuai kelompok usia atau umur anak.
Lebih
lanjut menurut Wyckoff dalam Leo Sutanato menyatakan bahwa ”Kurikulum adalah
alat komunikasi yang direncanakan dengan sangat hati-hati, yang digunakan oleh
gereja dalam bidang pengajarannya agar iman dan hidup Kristen dapat dikenal,
diterima, dan hidup”. SK Mendiknas No. 232/U/2000 Ps.1 butir 6 menyatakan bahwa
”Kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi maupun bahan
kajian dan pelajaran serta cara penyampaiannya dan penilaiannya yang digunakan
perguruan tinggi.” Dengan kedua pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa
kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk mengkomunikasikan rencana pengaturan
kegiatan belajar mengajar yang harus dimiliki, dipahami, dan dilakukan oleh
para pengelola dan pelaksanaan Sekolah Minggu.
3. Rekrutmen dan Evaluasi Kompetensi dan Provesionalisme Guru Sekolah Minggu (GSM) Jemaat
GIDI Agape Wamena
Kompetensi tentang Guru
Sekolah Minggu Rianto, M.M., M.Pd.K Mengatakan bahwa, Sekolah minggu berhasil
adalah kunci sukses sebuah gereja yang maju dan bertumbuh. Pertumbuhan gereja
bisa dibaca dari perkembangan sekolah minggu. Sekolah minggu tidak terlepas
dari guru. Pertanyaan adalah apakah guru sekolah minggu sudah berkompetensi? Inilah yang perlu dibahas bagian ini.
Pengertian Sekolah Minggu Sekolah minggu merupakan kegiatan gereja untuk
menjangkau dan membawa setiap orang kepada Tuhan Yesus Kristus serta mengajarkan Alkitab untuk mengubah
kehidupan mereka menjadi murid Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru
selamat. Harapan utama adalah memperoleh
keselamatan. Keselamatan yang dapat diperoleh dengan mengimani atau mempercayai
Tuhan Yesus Kristus diajarkan melalui
Sekolah Minggu.
George R. Knight
mencermati filosofi pendidikan sebagai berikut: “Filosofi pendidikan adalah
menghasilkan guru-guru, kepala sekolah minggu, konselor dan ahli kurikulum masa
depan yang akan langsung berhadapan dengan banyak pertanyaan yang mendasari
arti dan tujuan pendidikan. Jadi tugas utama dari filosofi pendidikan adalah
menolong para pendidik agar benar-benar berpikir tentang pendidikan yang
menyeluruh dan proses kehidupan supaya mereka dapat berada di dalam posisi yang
lebih baik untuk mengembangkan program yang konsisten dan komprehensif yang
akan membantu murid-murid mencapai target yang memuaskan.”
Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa: Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dari pernyataan di atas dapat digaris bawahi
beberapa hal yang terkait dengan pendidikan yaitu: (a) Pendidikan sekolah minggu dilaksanakan dengan
mengutamakan perencanaan yang matang dan bertujuan sehingga segala sesuatu yang
dilakukan guru dan siswa diarahkan pada pencapaian tujuan. (b) Pendidikan sekolah minggu tidak boleh
mengesampingkan proses belajar dan tidak semata-mata berusaha untuk mencapai
hasil belajar. Dengan demikian antara hasil dan proses belajar harus berjalan
secara seimbang. (b) Suasana belajar dan
pembelajaran diarahkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya,
berarti proses pendidikan harus berorientasi kepada siswa (student active learning). (c) Akhir dari proses pendidikan guru sekolah minggu adalah
membuat kemampuan anak untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan dalam kamus Umum Bahasa Indonesia ”Kompetensi
”artinya : ”kewenangan, kekuasaan untuk menentukan, memutuskan sesuatu hal .
Kompetensi itu mencakup dasar keahlian dan ciri-ciri umum penunjang. Keahlian
mencakup dasar pengetahuan bagi profesi, kecakapan tehnis pokok dalam profesi,
dan kemampuan memecahkan macam-macam masalah dalam profesi. Dapat dikatakan
bahwa kompetensi ini langsung berhubungan dengan ”wawasan” dan ”karya” profesional
. Nana Sudjana mengartikan kompetensi sebagai suatu kemampuan yang disyaratkan
untuk memangku profesi . Mengutip pendapatnya Kunandar mengartikan kompetensi
sebagai: Pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang
yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan
perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Sanjaya (2006:18-19)
menyatakan bahwa Kompetensi guru meliputi:
1.
Kompetensi Pribadi Kompetensi Pribadi adalah kemampuan
dalam pribadi guru diantaranya: (a) Kemampuan
yang berhubungan Tuhan atau Beriman (b) Kemampuan
untuk menghormati dan menghargai antar sesama manusia (c) Kemampuan untuk beperilaku sesuai dengan
norma, aturan dan system nilai yang berlaku di masyarakat; (d) Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai
guru misalnya sopan santun, dan tata karma (e) Bersifat demokrasi dan terbuka terhadap
pembaharuan dan kritik.
2.
Kompetensi Profesional Kompetensi Profesional
adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian
tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting,
sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Kompetensi ini
diantaranya: (a) Kemampuan
untuk menguasai landasan pendidikan; (b) Pemahaman
dibidang psikologi pendidikan; (c) Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran; (d) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai
metodologi dan strategi pembelajaran; (e) Kemampuan
merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (f) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi
pembelajaran; (g) Kemampuan
dalam menyusun program pembelajaran; (h) Kemampuan
dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang dan; (i) Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan
berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
3.
Kompetensi Sosial dan Masyaraka.t.
Kompetensi Sosial dan masyarakat adalah kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan
guru sebagai makhluk sosial
dan anggota masyarakat meliputi: (a) Kemampuan
untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat; (b) Kemampuan untuk mengenal dan memahami
fungsi-fungsi tiap lembaga kemasyarakat dan; (c) Kemampuan untuk menjalin kerja sama, baik secara
individu maupun kelompok.
Suparno menjelaskan bahwa kata kompetensi
biasanya diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas
atau sebagai memiliki ketrampilan dan kecakapan yang disyaratkan. Dalam
pengertian luas di atas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang
diajukan untuk mencapai kompetensi adalah untuk mengembangkan manusia yang
bermutu yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan sebagaimana
disyaratkan . Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cakap
(mengetahui) . Cakap disini adalah Cakap kepribadiannya, cakap pedagogiknya dan
cakap secara profesional. Konsep cakap kepribadiannya dengan indikatornya
bertindak sesuai dengan norma sosial; bertindak dewasa ; arif dan bijaksana;
berakhlak mulia dan menjadi teladan. Konsep cakap pedagogik meliputi pemahaman
terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
Dan Konsep cakap profesional merupakan
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup
penguasaan materi kurikulum dan metodologi keilmuan . Menurut Palan (2007:8)
dalam Yamin dan Maisah, mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dasar
seseorang yang memiliki hubungan kausal dengan kriteria referensi efektivitas atau
keunggulan dalam pekerjaan atau situasi tertentu. Karakter dasar diartikan
sebagai kepribadian seseorang yang cukup dalam dan berlangsung lama, yaitu
motif, karakteristik pribadi, konsep diri, dan nilai-nilai seseorang. Kriteria referensi berarti kompetensi dapat
diukur berdasarkan kriteria atau standar tertentu. Hubungan kausal, bahwa
keberadaan kompetensi memprediksi atau menyebabkan kinerja unggul. Kinerja
unggul berarti tingkat pencapaian dalam situasi kerja. Sedangkan kinerja
efektif adalah batas minimal level hasil kerja yang dapat diterima.
Farida Sarimaya (2008:17-22) menjelaskan
keempat jenis kompetensi guru sebagai berikut; 1) Kompetensi kepribadian
merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik; 2) Kompetensi Pedagogik. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya; 3) Kompetensi Profesional. Kompetensi provesional merupakan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata
pelajaran di sekolah; 4) Kompetensi
Sosial. Kompetensi
Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, dengan sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar. Masing-masing indikator kompetensi tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1)
Indikator Kompetensi Spiritual Lidya Yulianti
menjelaskan bahwa kompetensi spiritual adalah Kemampuan pendidik yang berkaitan
dengan hal-hal yang berasal atau bersumber dari Tuhan, yang menjadi bagian
hidup dari manusia sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua atau wali
peserta didik, dan masyarakat sekitar dengan roh atau jiwa, pikiran dan hati
nurani Sub indikator dalam Kompetensi Spiritual melipiuti: a. Lahir Baru, sudah diselamatkan Pendidikan di Sekolah Minggu
bukan hanya menyampaikan pengetahuan Alkitab, namun juga mementingkan pembinaan
hidup. Seorang yang tidak memiliki hidup Kristus, tentu tak sanggup membina
hidup, apalagi mempengaruhi hidup orang lain. Sebab itu pengalaman lahir
baru/diselamatkan adalah syarat utama bagi seorang guru sekolah minggu .
Pengertian tentang Lahir Baru menurut Alkitab diuraikan sebagai berikut :
Seseorang yang sudah benar-benar lahir baru, yang diberikan sebagai "kasih
karunia" (anugerah) dari Tuhan tidak dapat menahan kuasa kasih karunia
Tuhan untuk menyelamatkannya. Dan Tuhan akan menyelamatkan semua orang-orang
pilihan yang ingin Ia selamatkan, dan tidak satu orangpun yang dapat
menghalangi rencana Tuhan. Yesus berkata di Yohanes 10:27-29:
"Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka
mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka
pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut
mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar
dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan
Bapa." Allah yang kita sembah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, dan Ia adalah
"pengarang dan penyelesai" dari iman kita jika itu adalah iman yang
diberikan sebagai kasih karunia dari Tuhan. Alkitab berkata di Ibrani 12:2a
(versi BIS) "Hendaklah pandangan kita tertuju kepada Yesus, sebab Dialah
yang membangkitkan iman kita dan memeliharanya dari permulaan sampai
akhir". Karena itu dijamin kalau kita sudah betul-betul diselamatkan kita
tidak dapat kehilangan keselamatan tersebut (Roma 8:35-39). Nah, sekarang kapan
kita bisa mengetahui kalau kita sudah betul-betul diselamatkan? Alkitab berkata
misalnya di Roma 8:16 "Roh Allah akan bersaksi bersama-sama dengan roh
kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah." Dan di 1 Yohanes 2:3-6 berkata:
"Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita
menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi
ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya
tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu
sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada
di dalam Dia. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup
sama seperti Kristus telah hidup” . b. Bertumbuh Seorang Kristen yang suam-suam
kuku dan tidak mempunyai kerinduan untuk maju dalam hidup rohaninya, tak
mungkin memiliki gairah untuk memperhatikan kehidupan rohani orang lain. Sebab
itu hanyalah orang Kristen yang memiliki kerinduan untuk bertumbuh dalam Kristus
layak menjadi guru Sekolah
2)
Minggu. Menurut Dr Billy Graham dalam Ruth
dan Ani (1998:39) menyatakan bahwa untuk membawa seorang sampai mengenal Tuhan
Yesus sebagai juruselamat pribadi, dibutuhkan usaha sebanyak 5%. Tetapi untuk
membimbing orang yang telah menerima Tuhan Yesus dalam pertumbuhan
rohani,dibutuhkan 95% usaha. Paulus membicarakan pertumbuhan yang bertobat, dan
firman Tuhan itu berlangsung baik dalam hidup orang dewasa maupun anak:”kamu
telah menerima Kristus Yesus Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di
dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia.
Hendaklah kamu di dalam iman yang telah diajarkan kepadamu dan hendaklah hatimu
melimpah dengan syukur Kolose 2:6-7. Bertumbuh meliputi berdoa (berdoa dalam
segala keadaan; mengakui dosa; mengucap syukur; mendoakan orang lain;
persekutuan doa), membaca Alkitab (waktu teduh), aktif dalam
persekutuan-persekutuan orang-orang percaya dan bersaksi . Bahwa proses
bertumbuh menjadi dewasa tidak ada yang otomatis, namun perlu komitmen. Dan
komitmen itu harus dengan sengaja dilakukan dan dipraktekkan. Jangan berpikir
jika setiap minggu datang ke gereja kemudian dengan tertib memberikan
persembahan itu sudah cukup sebagai modal untuk bertumbuh. Mengapa? Karena
hidup orang percaya bukan hanya mendengar tetapi ia juga harus taat dan
mempraktekkan apa yang sudah didengar. Tidak jarang menemukan orang-orang yang
sudah mengerti pengetahuan Alkitab, namun tetap hidupnya berantakan. Gossip
tetap saja berlangsung, omong kotor tetap diucapkan, dendam tetap ada di dalam
hatinya dan tidak ada pengampunan. Semua ini dapat terjadi karena tidak adanya
komitmen di dalam dirinya untuk bertumbuh.
3)
Dr John Chamber, seorang misionaris yang
pernah melayani di Indonesia dan saat ini melayani mahasiswa Indonesia di
Amerika Serikat pernah mengucapkan satu kalimat begini “Orang Kristen tidak
diminta Tuhan menjadi salesman, tetapi ia diminta menjadi free sample” Di dalam
teori ekonomi, yang dimaksud dengan free sample sudah pasti produk yang mutunya
paling baik, sebab kalau yang free sample mutunya jelek, maka produknya tidak
ada yang bakal beli. Sayang sekali, ada banyak free sample yang pada mulanya
baik, namun kalau sudah menuju ke produknya, hasilnya sudah jelek. Tidak jarang
menemukan para pedagang yang menjual Mangga atau Salak, yang memberikan contoh
Mangga dan Salaknya untuk dimakan rasanya manis, namun jika kita sudah membeli
sekarung, maka rasanya asem semua. Kekristenan juga demikian, pada saat
permulaan kita mengenal seseorang yang di persekutuan atau gereja, maka
orangnya baik sekali, dan kelihatan sangat rohani dan suci. Namun makin lama
bergaul, keluarlah belangnya.
4)
Jadi dengan tegas bahwa tidak ada gunanya
segudang teori, entah itu Seminar, Conference, bahkan Sekolah Alkitab yang
pernah ikuti kalau di dalam diri ini tidak ada komitmen untuk bertumbuh maka
akan menjadi sama seperti orang luar, dan orang Kristen Bonsai, kepalanya boleh
besar penuh dengan segudang ilmu, namun hatinya kecil dan kerdil. Perlu adanya
Pembaharuan hidup yang nyata Berhubung manusia sudah berdosa, maka akar manusia
lama tetap saja lengket dalam hidup ini. Apalagi menyangkut kepentingan
pribadi, maka orang percaya kadang bisa lupa diri, itu sebabnya saudara dalam
Kristus pun rela dikorbankan. Nah hal-hal semacam begini yang menjadi batu
sandungan bagi orang luar untuk masuk ke dalam gereja. Bahwa terlalu sering
orang percaya sendiri menjadi penghalang utama bagi baru untuk menjadi percaya,
bukan orang luar. Mengapa? Karena si orang percaya tersebut tidak ada
pembaharuan dalam dirinya. Alkitab mungkin sudah berulang kali dibacanya,
bahkan ada puluhan ayat yang sudah dihafal secara luar kepala. Ia juga memiliki
Alkitab lebih dari satu, mulai dari meja kamar, meja kerja, meja tamu, mobil,
bahkan kantong saku semua berisi Alkitab. Namun semua ini tidak menjamin
kerohaniannya bertambah dewasa, karena ia tidak pernah membiarkan dirinya
diperbaharui oleh firman Tuhan itu. Tatkala semuanya berjalan lancar, maka puji
Tuhan; namun jika kesulitan menimpa, Tuhan pun dilupakan. Orang percaya yang
dewasa, kekristenan harus didemonstrasikan atau diwujudnyatakan. Orang luar
tidak perduli dengan keaktifan di gereja, persekutuan bahkan melayani, namun
yang paling penting adalah karakter dan integritas yang nyata.
5)
Perlu mengalami secara pribadi, Rick Warren,
pendeta senior gereja Saddleback mengatakan, “adalah suatu kekeliruan jika
orang-orang berpikir bahwa kerohanian seseorang akan bertumbuh melalui studi
Alkitab”. Pada saat pertama saya membaca tulisannya, saya merasa kaget juga.
Namun setelah berpikir ulang saya sadar, bahwa sesungguhnya studi Alkitab tidak
menjamin bahwa rohani seseorang bertumbuh. Terlalu banyak ditemukan mereka yang
makin belajar Alkitab, lalu pulang ke gereja menjadi para pengkritik, bahkan
ada satu dua yang mencoba-coba mengadakan reformasi di gereja. Jika seseorang
hendak bertumbuh rohaninya, maka selain Alkitab yang dibacanya, maka ia juga
perlu mengalami Tuhan secara nyata, dan untuk mengalami Tuhan secara nyata maka
perlu waktu, tidak dapat secara instant. Mengalami kesulitan bahkan penderitaan
dan tekanan, supaya benar-benar merasakan dan mengalami kasih Tuhan yang nyata
itu. Tatkala Musa berumur empat puluh tahun, ia berpikir bahwa ia sudah
terlatih dan memilki segalanya dari istana, sehingga dengan tekad bulat ia
berusaha membebaskan bangsanya yang sedang disiksa oleh salah seorang prajurit
Mesir. Namun apa lacur? Perbuatannya terbongkar, sehingga ia terpaksa harus
melarikan diri dalam pengasingan, dan di sana ia mengalami kasih Tuhan. Pada
saat umur seratus dua puluh tahun dia kembali diutus Tuhan untuk menghadapi
Firaun untuk membebaskan orang Israel, namun pada saat itu Musa mengaku bahwa
dirinya tidak ada apa-apanya. Mengapa? Orang yang sudah mengalami kasih Tuhan,
walaupun ia penuh dengan segudang ilmu dan keahlian, ia tetap saja merasa
rendah di hadapan Tuhan. Studi Alkitab tidak cukup, pengalaman menyembah Tuhan,
pengalaman persekutuan satu dengan yang lain dan juga pengalaman penginjilan.
Dengan demikian bukan hanya dibangun dan diisi secara otak, tetapi juga hati,
sehingga benar-benar menjadi orang Kristen yang dewasa secara rohani.
6)
Loyalitas Terhadap Gereja, seorang guru sekolah minggu bukan hanya
membawa orang datang ke sekolah minggu, tapi lebih dari itu, ia harus dapat
membawa orang datang ke hadirat Allah, menjadi salah satu anggota keluarga
Allah. Ia juga harus seorang anggota gereja yang loyal atau setia, yang sanggup
memimpin murid untuk menjadi satu bagian dalam gereja, mengikuti ibadah di
gereja dan kebaktian-kebaktian lain. Pengertian loyalitas adalah sebagai
berikut: (a) Loyalitas
(loyality) adalah karakter kepribadian seseorang, yang berarti setia. (b) Konkordansi Alkitab mencatat kata lain selain
kesetiaan adalah kata "Setia" dan "Setiawan". Setia (loyal)
lebih berkenaan dengan sifat seseorang, sementara Setiawan menunjuk pada
orangnya.
7.
The International Standard Bible Encyclopedia
menjelaskan konsep kesetiaan/loyalitas - menurut akar kata hesed (bahasa
Ibrani) atau pistos (bahasa Yunani) yang berarti mencakup dua aspek: (a) Mempercayai (trust) (b) Dipercayai (faithfullness) sehingga seorang
dengan yang lain dapat berhubungan dengan sangat baik. Jadi, sudahkah Gereja
menjadi tempat bagi orang untuk trust and faithfullness? Dalam bahasa Inggris, karakter loyal,
diterjemahkan dengan: a) kindness (kebaikan) b) mercy (murah hati) c) goodness
(kebaikan) d) loyal friendship (kesetia-kawanan) e) faith (iman) f) befriended
(berteman dengan baik) g) faithfully (terpercaya). 5) Beberapa bagian Alkitab
yang mencatat karakter Loyal dalam berbagai dimensi: a) Kej.21:23 - kesetiaan
berupa persahabatan yang tidak curang. b) Kej.24:49 - kesetiaan sebagai suatu
komunikasi yang terbuka/terus terang/transparan. c) Kej.47:29 - kesetiaan
berupa janji yang akan ditepati. d) 1 Sam.20:14-15 - kesetiaan adalah kasih
setia Tuhan dalam persaudaraan. e) 2 Sam.2:5-6 - kesetiaan sebagai kebaikan. f)
2 Sam.3:8 - kesetiaan sebagai pengabdian dan pembelaan. g) 1 Raj.2:7 -
kesetiaan sebagai keberanian menanggung resiko karena kebenaran. h) 1 Taw.19:2
- kesetiaan ditunjukkan dengan persahabatan. i) Mzm.18:26 - kesetiaan terkait
dengan keadilan Allah. j) Ams.3:3 - kesetiaan merupakan sikap hati yang
dihargai Allah dan manusia. k) Ams.14:22 - kesetiaan adalah hadiah yang
diperoleh karena kebaikan. l) 3 Yoh.5 - kesetiaan adalah tindakan iman kepada
orang asing. Sudahkah karakteristik Loyal tersebut terasa dan dialami betul
dalam Gereja? 6) Tujuh catatan penting mengenai Loyalitas: a) Faedah: lahirnya
persahabatan yang teruji dalam waktu, dan semangat pembaharuan yang baik. b)
Konsekuensi buruk: tidak ditemukan. c) Janji Allah yang terkandung: penghargaan
Allah. d) Peringatan Allah bagi orang Kristen: Allah dapat berlaku tidak setia,
jika orang Kristen tidak setia. e) Perintah Tuhan: berlaku setia. f) Penulis
Alkitab yang sering mengulas: Paulus. g) Kategori Karakter: digolongkan sebagai
Buah Roh Kudus (Gal.5:22). 7) Loyalitas dapat disimpulkan sebagai cerminan
sifat Allah, dalam keadilan-Nya, sehingga setiap orang Kristen harus bertindak
loyal, karena Allah adalah loyal (1Kor.1:9; 2Tim.2:13), dan itulah yang disebut
sebagai Buah Roh Kudus (Gal.5:22). 8) Paulus adalah tokoh teladan dalam
Alkitab. a) Loyalitas-nya kepada Kristus, tampak dalam penderitaannya (2
Kor.6:4-10; 11:23-29). b) Loyalitas-nya kepada Kristus menguasai hati dan
pikirannya, sehingga seluruh hidupnya berprinsip pada kesetiaan (Flp.1:21). c)
Loyalitas membantu hidupnya, terbukti ia tidak kuatir akan hidupnya (1
Kor.9:12). d) Dengan hasil pertumbuhan gereja yang sehat . d. Kesadaran
Terhadap Panggilan Allah Guru memahami bahwa pelayanan pendidikan di sekolah
minggu adalah panggilan yang khusus dari Allah, maka seharusnya guru dapat setia
dan bertanggung jawab kepada Allah, sehingga dalam kesulitan yang bagaimanapun,
guru dapat tetap teguh dalam iman, sabar dan setia sampai pada akhirnya . Jika
seorang guru kehilangan panggilannya, maka salah satu hal berikut ini mungkin
dapat terjadi : 1) Tidak mau lagi menjadi guru karena kehilangan panggilan itu;
2) Guru mungkin masih melayani, namun hanya merasa ingin menjadi guru bantu,
merasa mangajar itu bukan panggilannya, bukan tanggung jawabnya, Pelayanan
kurang berkualitas;3) Guru mungkin aktif melayani, merasa hanya sekedar sebagai
aktivis sekolah minggu/komisi anak. Ketidaksadaran akan sebagai guru ini
membuat menjadi aktivis yang banyak bermasalah karena tidak mengerti panggilan
seorang guru. Yang jelas, bukan guru yang patut diteladani sikap hidupnya.
Orang semacam ini sering menjadi pembuat masalah di antara para guru . 2.
Indikator Kompetensi Pedagogik Menurut Lidya Yulianti, kompetensi
pedagogik adalah, “Kemampuan mengelola pembelajaran yang mendidik, dialogis,
dan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik” . Sub indikator kompetensi
pedagogik meliputi sebagai berikut: a. Mengenal Anak Didik Tidak semua orang
suka mendekati anak-anak atau remaja dan pula tidak semua orang suka bergaul
dengan pemuda. Seorang guru Sekolah Minggu harus mengetahui dan mengenal anak
didiknya karena untuk kelancaran dan keefektifan proses belajar mengajar di
Sekolah Minggu. Menurut Lie mengatakan bahwa “... mana mungkin memahami keadaan
dan kebutuhan anak, kalau namanya saja tidak kenal? “ pastilah sangat miskin
hasil, atau kurang berhasil. Diibaratkan orang yang membuat sebuah bangunan,
tetapi tidak tahu untuk apa bangunan itu, siapa yang akan menggunakannya, dan
bagaimana fondasi bangunan itu? Meskipun rumah itu berhasil dibangun, tetapi
pasti tidak bisa digunakan secara maksimal karena desain awalnya sudah tidak
terarah pada kebutuhan . b. Mengetahui Teknik Mengajar Seorang guru Sekolah
Minggu yang berhasil haruslah mengisi diri dengan pengetahuan Alkitab, memahami
ciri-ciri khas dari tingkah laku, maupun perkembangan jiwa muridnya, menguasai
teori mengajar yang dasar,juga memahami adminitrasi dan organisasi Sekolah
Minggu. Sebab itu, guru perlu mengikuti latihan-latihan tertentu, barulah dapat
mengajar dengan efektif . 3. Indikator Kompetensi Sosial Kompetensi sosial
adalah kemampuan pendidik yang merupakan bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama guru atau
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, maupun masyarakat
sekitar. Sub indikator kompetensi sosial adalah kesaksian hidupnya. Bila guru
sendiri tidak memiliki kesaksian hidup yang baik, maka bagaimana mungkin dapat
memberikan pengaruh yang baik kepada muridnya?. Pohon yang baik menghasilkan
buah yang baik, demikian juga kesaksian hidup yang baik.
4. Rekrutmen dan Evaluasi Tugas Guru Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Tugas-Tugas
Guru Sekolah Minggu terjun dalam pelayanan pendidikan gerejawi suatu jabatan
rohani yang kudus karena merupakan panggilan dari Allah. Oleh karena itu ia
harus menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Allah. Adapun tugas-tugas guru
sekolah minggu menurut Setiawani secara Alkitabiah adalah sebagai berikut: a. Mengajar
(teaching) 1 Timotius 2:7 Yang disebut ”mengajar” adalah suatu proses belajar
mengajar (Teaching-Learning Process). Di dalam proses mengajar dan belajar guru
harus dapat mewujudkan suatu perubahan dalam diri murid, misalnya perubahan
dalam pengetahuan, sikap maupun tingkah laku. b. Menggembalakan (Shepherding)
Yehezkiel 34: 2-6; Yohanes 10 : 11-18. Seorang gembala yang baik harus
mempunyai hati yang rela berkorban, meskipun menghadapi kesulitan juga tidak
akan meninggalkan dan membiarkan domba-dombanya; ia harus mengenal setiap
dombanya, juga bersedia membawa domba yang berada di luar untuk masuk ke
kandangnya; ia pun wajib untuk menyediakan dan mencukupi segala kebutuhan
dombanya, termasuk kebutuhan intelektual, emosi, mental dan rohani. c. Kebapaan
(Fathering) I Korintus 4 : 15 Seorang guru bukan hanya dapat menggurui, tapi
juga harus memiliki hati seorang bapa. d. Memberikan Teladan (Modeling) I
Korintus 11:1 ;Filipi 3: 17 ; I Tesalonika 1:5-6; II Timotius 4: 11-13) Seorang
guru akan mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap muridnya karena murid
mudah sekali meniru tutur kata dan tingkah laku gurunya. Oleh karena itu,
seorang guru perlu selalu memperhatikan diri sendiri apakah ia sudah menjadi
teladan yang baik bagi muridnya. e. Menginjili (Evangelizing) I Timotius 2:7
Sasaran yang terutama dari seorang guru Sekolah Minggu adalah mengajar muridnya
untuk menerima injil . Kompetensi Guru 1. Pengertian Kompetensi Guru Kompetensi
ialah perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Guru
Sekolah Minggu (GMS) adalah pendidik yang memberikan perhatian
bagi pembentukan dan pengembangan kepribadian peserta didik dalam arti
seutuhnya untuk menuju kedewasaan. Menurut Pullias dan Young dalam Sidjabat
menyatakan bahwa guru adalah segala-galanya, artinya, murid amat berharap
banyak atas peran dan fungsi yang dilakukan oleh gurunya. Lebih lanjut Pullias
dan Young (1968) menyatakan bahwa : Seorang guru sekolah minggu adalah
pembimbing, pendidik, pembaru, teladan hidup, pencari gagasan baru, penasihat
(konselor), pencipta, pemegang otoritas, pengilham cita-cita, penutur cerita
dan sebagai penilai. Pendidikan yang semakin baik akan mempengaruhi cara
berpikir seseorang dan akan dapat menganalisis berbagai persoalan yang ada
disekitarnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin luas
cakupan berfikirnya dan akan semakin tajam di dalam menganalisis berbagai
persoalan yang menjadi perhatiannya, dengan demikian akan membentuk motif
dirinya. Seseorang yang memutuskan diri untuk menjadi
guru antara lain disebabkan karena dia memahami potensi diri dan kecintaanya
kepada profesi yang akan ditekuninya. Tanpa kesadaran dan kualifikasi
pendidikan tertentu seseorang yang mengambil keputusan menjadi guru akan
mengalami banyak persoalan, apalagi dengan adanya motivasi bersedia menjadi
guru daripada tidak ada pekerjaan.
Perkataan “guru” meliputi semua orang di
gereja bertanggung jawab dalam pendidikan para murid” . Menurut Ngalim
menyatakan bahwa guru adalah semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau
kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang . Dari beberapa
pengertian guru tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa guru adalah
pendidik yang memberikan ilmu atau kepandaian serta membentuk kepribadian yang
seutuhnya. Sedangkan guru sekolah minggu menurut Setiawani menyatakan bahwa:
Guru Sekolah Minggu terjun dalam pelayanan pendidikan gerejawi, suatu jabatan
rohani yang kudus karena merupakan panggilan dari Allah, maka guru sekolah
minggu harus menyelesaikan tugas yang sudah dipercayakan Allah dengan setia.
Dasar Alkitab Guru Di dalam Alkitab
Perjanjian Lama, Kejadian 1 dan 2 memberi bukti bahwa Allah membimbing dan
mengajar manusia pertama Adam dan Hawa. Walaupun manusia pertama mengalami
kegagalan dan tidak tunduk pada otoritas Allah, tetapi Allah tetap setia untuk
menjadi pengajar dan mendidik . Dan di Perjanjian Baru khususnya Injil Yohanes
3:2 mengatakan, ”Yesus lebih daripada seorang guru, namun Ia dikenal sebagai
”Guru yang datang dari Allah”. Pengajaran-Nya selalu bertujuan untuk memperkenalkan
Allah, sifat dan Karya-Nya kepada manusia dan menegaskan bahwa setiap
pengajaran guru harus kembali kepada pengajaran Kitab Suci. Rasul Paulus
menyebutkankan, dalam kehidupannya sebagai pengajar, seorang guru sanggup
mewujudkan perubahan atas diri orang lain : yang tadinya tidak percaya menjadi
percaya; juga perubahan pada pengetahuan: yang tadinya tidak memahami kebenaran
berubah menjadi memahami kebenaran. Hakekat
Guru Sekolah Minggu Pendidikan
Agama Kristen menurut Sidjabat mengatakan sebagai berikut:
a.
Guru Sebagai Pemberita Injil. Seperti
hakikatnya sebagai orang Kristen, maka guru PAK menerima mandat spiritual untuk
memberitakan Injil kepada dunia (Matius 28:19-20). Menurut Henk Wenema
menyatakan: “Perintah Yesus Kristus ini sedang dilaksanakan Seluruh umat Tuhan
dipanggil untuk meneruskan kewajiban mengabarkan Injil sampai tuntas mencapai
seluruh “kosmos’. Memberitakan Injil adalah kewajiban gereja sampai kepada
kedatangan Kristus yang kedua kali. Marilah kita memberitakan Injil kepada
segala makhluk!” Di lingkungan profesinya, maka yang menjadi sasaran utama
pemberitaan Injil guru PAK adalah peserta didik khususnya yang beragama
Kristen. Masih terbatasnya pengenalan, pemahaman, dan pengalaman tentang
keagamaannya, maka peserta didik yang masih muda perlu untuk mendengar berita
Injil secara lebih luas dan terus menerus. Peran guru PAK di sini adalah
menyampaikan pengajaran (didache) tentang berita-berita (kerygma) dengan
pendekatan pribadi dan atau kelompok.
b.
Guru Sebagai Imam. Istilah Imam sangat
menonjol dalam Perjanjian Lama. Imam biasa diartikan sebagai: “Jurubicara umat
Israel kepada Allah, dan jurubiacara Allah kepada umat-Nya.” Dalam Perjanjian
Baru istilah ini juga muncul walaupun tidak sesering dalam Perjanjian Lama.
Makna imam dalam Perjanjian Baru tidak sama dengan Perjanjian Lama. Menurut
Perjanjian Baru bahwa setiap orang yang sudah percaya kepada Kristus dapat
menjadi imam bagi dirinya sendiri. Ia dapat berbicara secara langsung kepada
Allah di dalam doa dan pujian. Ia juga dapat menerima penyataan Allah secara
langsung melalui iman kepada-Nya. Sebagaimana hakikatnya tugas imam adalah
untuk melayani, maka dalam peran ini guru PAK juga melayani peserta didik guna
menyampaikan berkat Tuhan. Sidjabat menambahkan bahwa guru PAK tidak mengharapkan
muridnya mengalami malapetaka, sebaliknya selalu berharap penuh untuk
memperoleh intervensi Allah. Dengan demikian, pengajaran yang disampaikannya
merupakan pesan-pesan yang berisikan berkat dan anugerah Allah Tritunggal
kepada peserta didik.
c.
Guru Sebagai Gembala. Dalam Ensiklopedia
Alkitab Praktis, istilah gembala diartikan sebagai penilik jemaat (Tit 1:7),
pemimpin sidang (Flp 1:1 TKB), atau pendeta, yang seharusnya memelihara para
anggotanya secara lembut, sama seperti seorang gembala memperhatikan tiap
dombanya (Kis 20:28; Ef :11) . Abineno menyoroti tentang motif gembala dalam
perspektif Alkitab yaitu ekspresi dari pengajaran atau pemeliharaan Allah yang
penuh dengan kasih dan penghiburan . Dalam perannya sebagai gembala di sekolah,
guru PAK mempunyai tanggung jawab untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan
peserta didik untuk hidup sesuai imannya. Guru PAK hendaknya mengaktualisasikan
perannya ini dengan sikap yang lembut dan penuh kasih tetapi juga tegas.
d.
Guru Sebagai Konselor. Di sekolah guru PAK
terkadang berhadapan dengan peserta didik yang mempunyai masalah baik yang
berhubungan dengan proses pembelajaran maupun masalah-masalah yang berlatar
belakang tentang keluarganya. Dalam hal ini guru PAK tentu tidak boleh tinggal
diam. Ia wajib memberikan penguatan kepada peserta didik untuk dapat menghadapi
dan menemukan jalan keluar atas masalah yang dialaminya. Bentuk perhatian
konkrit yang dapat ditunjukkannya adalah dengan bersedia mendengar keluhan
peserta didik dan memotivasinya dengan sikap yang simpatik. Abineno manyarankan
agar sebagai seorang konselor, hendaklah ia seorang yang praktis, seorang yang
mengasihi penderita yang ia tolong dan (di samping itu) terutama seorang yang
cukup mempunyai pengetahuan tentang kehidupan. Ditambahkannya lagi, bahwa
seorang konselor dalam ikhtiar-ikhtiar dan nasihat-nasihatnya harus mempunyai
sifat yang jelas dan konkrit. Ikhtiar-ikhtiar dan nasihat-nasihat itu harus
dapat digunakan dalam praktik.
e.
Guru Sebagai Teolog. Sidjabat memberikan
alasannya tentang peran teolog yang disandangkan kepada guru PAK: Guru PAK
dapat kita anggap sebagai teolog, dalam arti praktisnya, karena ketika ia
mengajar, keyakinan dan pemikiran teologisnyalah yang dikomunikasikan. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa teologi berbicara tentang pribadi Allah
Tritunggal dan karya-Nya serta nilai-nilai hidup iman Kristen . Pengajaran yang
disampaikan guru PAK bersumber dari Alkitab. Ia menggali, menafsir, dan
menceritakan pesan-pesan yang ada dalam Alkitab kepada peserta didik untuk menjadi
pengetahuan dan petunjuk praktis dalam hidupnya sehari-hari.
5. Rekrutmen dan Evaluasi Kwalifikasi menjadi guru sekolah minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Melihat
berbagai persoalan dengan sumber daya seorang guru sekolah minggu di Gereja
Injili Di Indonesia, maka Pemerintah Gerejawi melalui Peraturan dengan
diadakannya standarisasi pendidik dan tenaga kependidikan menunjukkan bahwa
seorang guru sekolah minggu harus memiliki standar kompetensi tertentu seperti
yang dituangkan dalam peraturan gereja. “Standar kompetensi lulusan adalah
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
ketrampilan”. Agar Standar Kompetensi Pendidikan sekolah minggu tersebut dapat
tercapai maka dibutuhkan standar pendidik dan tenaga pengajar yang memadai.
Mulyasa tentang beberapa persyaratan seorang guru sekolah minggu sesuai dengan
standar pendidikan anak dalam program gereja antara lain: (a) Seorang pendidik harus memiliki kualifikasi
guru sekolah minggu dalam hal ini firman Allah dan kompetensi sebagai agen
penyampai berita firman Allah, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan keselamatan. (b) Yang dimaksud dengan kualifikasi guru sekolah
minggu adalah Firman Allah adalah tingkat pendidikan yang harus dipenuhi oleh
seorang pendidik yang harus dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang relevan
sesuai ketentuan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga gereja. (c) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada
jenjang pendidikan sekolah minggu meliputi: kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional, sosial, dan kompetensi moral, spiritual secara proposional. (d) Seseorang yang hanya memiliki keahlian khusus
yang diakui namun tidak memiliki ijazah atau setifikat dapat diangkat menjadi
seorang pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. (e) Pendidik pada Guru Sekolah minggu harus
memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum SMA maksimum sarjana. Oleh
karena itu,
seorang guru sekolah minggu harus mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan
dedikasi yang tinggi dalam menjalankan fungsi dan tugas guru. Dengan kualitas
guru sebagai pendidik akan memberikan andil yang sangat besar terhadap
keberhasilan pembelajaran di geraja. Jadi Guru Sekolah Minggu sangat berperan
penting dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan
hidupnya secara optimal karena minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi
yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa
bantuan pengasuh atau guru. Dalam rangka untuk membantu peserta didik
mengembangkan potensinya secara optimal, maka seorang guru sekolah minggu harus
mampu memposisikan diri sebagai: (a) Orang
tua yang penuh kasih sayang pada peserta didik. (b) Teman, tempat mengadu,dan mengutarakan
perasaan bagi para peserta didik. (c) Fasilitator
yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat,
kemampuan, dan bakatnya. (d) Memberikan
sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang
dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya. (e) Memupuk rasa percaya diri, berani dan
bertanggung jawab. (f) Membiasakan
peserta didik untuk saling berhubungan (bersilahturahmi) dengan orang lain
secara wajar. (g) Mengembangkan
proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan
lingkunngannya. (h) Mengembangkan
kreativitas. (i) Menjadi
pembantu ketika diperlukan.
Lebih
lanjut ada beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru adalah sebagai
berikut: (a) Seorang
GSM jangan sampai terjebak pada rutinitas belaka, namun selalu mengembangkan
dan memberdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan
kompetensinya. (b) Seorang
GSM hendaknya mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran
yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat
menggairahkan peserta didik. (c) Dominasi
GSM dalam pembelajaran harus dikurangi agar peserta didik lebih berani,
mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar. (d) Seorang GSM kiranya mampu memodifikasi dan
memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar
yang lebih bervariasi. (d) Seorang
GSM kiranya mencintai pekerjaannya sebagai suatu profesi yang menyenangkan. (e) Seorang GSM kiranya dapat mengikuti
perkembangan ilmu dan teknologi sehingga tidak tertinggal. (f) Seorang GSM dapat menjadi teladan dan
mempunyai integritas yang tinggi. (g) Seorang
GSM kiranya mempunyai visi kedepan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga
siap menghadapi perubahan. Sidjabat mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang
seharusnya dikembangkan oleh GSM agar dapat berperan aktif sebagai motivator
bagi anak didiknya bukan untuk mementingkan diri sendiri, yaitu: (h) Meningkatkan kemampuan yang dapat menampilkan
penguasaan bahan atau pengetahuan. Oleh karena itu seorang GSM banyak dituntut
untuk selalu belajar yang terkait di bidangnya. (i) Menunjukkan sikap memahami secara mendalam
terhadap perasaan dan pengalaman peserta didik. Sikap empati akan memberikan
“kesempatan kedua” kepada anak didik untuk berubah. (j) Menunjukkan semangat mencintai pelajaran
rohani yang digelutinya, karena dengan demikian akan memberikan semangat
belajar kepada peserta didik. (k) Memberikan
penjelasan terhadap hal-hal yang masih “kabur” atau kurang jelas, dengan bahasa
dan sikap yang dapat dimengerti. (l) Pengetahuan
yang hidup mengenai pokok yang diajarkannya itu. (m) Kecakapan untuk menimbulkan minat, bahkan
menggembirakan hati orang lain dengan pokok itu. (n) Kerelaan untuk dilupakan sendiri, asal hasil
pengajarannya tetap tertanam saja dalam hidup orang didikannya, dan (o) Semangat
pengorbanan diri, sebagai sebutir benih yang rela mati, supaya dapat melahirkan
hidup baru berlipat-lipat ganda.
Kompetensi Guru Sekolah Minggu Mengacu pada
pendapat Setiawani (2005) yang mengatakan bahwa
syarat guru sekolah minggu adalah . Seorang
yang telah lahir Baru/diselamatkan. Seorang
Kristen yang bertumbuh. Seorang
Kristen yang setia terhadap Gereja. Seorang
yang memahami bahwa pelayanan pendidikan adalah panggilan Allah. Seorang yang suka pada objek yang dididiknya;
6) Seorang yang baik dalam kesaksian hidupnya. Seorang yang telah menerima latihan dasar
sebagai guru. Seorang yang melayani dengan bersandar pada kuasa Roh Kudus .
Dari syarat guru sekolah minggu tersebut di atas dapat dikatagorikan dalam
jenis indikator kompetensi guru Sekolah Minggu sebagai berikut: Indikator Kompetensi Spritual yang meliputi
sub indikator : (a). Lahir Baru/diselamatkan; (b).
Bertumbuh(berdoa, membaca Alkitab dan tekun beribadah); (c).
Loyalitas terhadap Gereja; d.Kesadaran terhadap panggilan Allah. 2) Indikator
Kompetensi Pedagogik meliputi sub indikator; a. Mengenal anak didik dan (b).
Mengetahui teknik mengajar.
7. Rekrutmen dan Evaluasi tentang Fungsi dan Peran Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Fungsi
dan Peran Sekolah Minggu merupakan dua aspek yang
saling berkaitan. Peran tersebut tidak dapat terwujud bila fungsinya tidak
dapat dilaksanakan. Pengelolaan dan guru sebagai pelakasan harus memahami dan
mengupayakan agar Sekolah Minggu dapat berjalan sesuai dengan perannya dan
bermanfaat sesuai dengan fungsinya. Menurut Sutanto mengatakan bahwa ada empat
peran Sekolah Minggu yaitu, sebagai pusat pendidikan non formal, ujung tombak
pekabaran Injil, alat penjangkau, dan penyalur bakat. Sekolah Minggu adalah untuk mengubah sikap dan tingkah laku murid.
Perubahan terjadi secara bertahap dalam proses belajar memahami kebenaran
firman Tuhan. Ujung Tombak pekabaran Injil Murid-murid
Sekolah Minggu yang sudah diubah sikapnya dan siap menjadi pelayan Tuhan adalah
ujung tombak Pekabaran Injil (PI). Tujuan PI yaitu menjadikan semua bangsa
murid Tuhan Yesus. Alat
Penjangkau ujung tombak pekabaran Injil merupakan alat penjangkau setiap
individu yang sudah atau belum mengenal Yesus Alat penjangkau yang efektif
berupaya menciptakan kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan untuk
menarik target individu yang akan dijangkau. Sekolah minggu adalah penyalur bakat kepedulian gereja
terhadap masyarakat di sekitanya dapat ditunjukkan dengan berbagai kegiatan
untuk mengetaskan kemiskinan moral dan material. Yesus datang untuk memberkati
kehidupan manusia secara rohani dan jasmani. Sekolah Minggu, mewakili jemaat
gereja, mengemban tugas ini. Kehadiran Sekolah Minggu harus dirasakan berkatnya
oleh masyarakat sekitar yang mempunyai latar belakang dan kehidupan yang
beraneka ragam. Berkat-berkat Sekolah Minggu yang disalurkan kepada semua umat
manusia dapat berupa doa, daya, pemikiran dan dana.
8.
Evaluasi
tentang Kedudukan
Sekolah Minggu dalam Gereja Jemaat GIDI Agape Wamena
Kedudukannya di dalam pelayanannya gereja titak terpisahkan dari semua program pelayaanan
ASM. Gereja tidak boleh memandang rendah atau menyepelekan anak kecil. Sebaliknya
sudah sewajarnya bila gereja memberi perhatian pada pelaksanaan dan pertumbuhan
ASMS. Melalui ASM, gereja memiliki tanggung jawab yang besar, yaitu membimbing
dan mempersiapkan angkatan muda, generasi penerus di masa yang akan datang.
Sungguh suatu hal yang indah bila gereja dapat mengatakan kepada anak-anak,
“Marilah anak-anak, dengarkanlah aku, takut akan TUHAN akan kuajarkan
kepadamu!” (Mazmur
34:12). Amanat Agung Tuhan Yesus, “Pergilah ke seluruh dunia,
beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Markus
16:15)“ jadikanlah semua bangsa muridKu dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius
28:19-20) . Perintah Tuhan Yesus di atas ditujukan pada segenap
orang percaya (Gereja yang kudus dan am) untuk meraih dan membimbing orang
mengenal kebenaran, termasuk di dalamnya adalah untuk menjangkau dan membimbing
anak-anak. Semasa hidup di dunia, Tuhan Yesus dalam beberapa kesempatan
menunjukkan perhatian-Nya pada anak-anak. Di kala orang-orang dewasa
“menganggap sepele” kehadiran anak kecil, Tuhan Yesus justru meluangkan waktu
bersama dengan anak-anak (Markus
10:13-16). Bahkan, Tuhan Yesus sempat memberikan peringatan
yang cukup keras pada orang dewasa untuk memperhatikan pengajarannya pada anak
kecil. “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang
percaya kepadaKu, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” (Markus
9:42).
9. Rekrutmen
dan Evaluasi Pengapdian Guru
Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Untuk memenuhi ke-3 panggilan tsb tiap
GSM dibutuhkan kerendahan hati, kesederhanaan, dan kejujuran, dalam seperti
ada tertulis “Ia harus
makin besar, tetapi aku harus menjadi makin kecil” (Yoh 3:30). Surat
pertama Petrus secara gamblang menasihatkan: “Gembalakanlah kawanan domba Allah
yang ada padamu, jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan
kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan
pengabdian diri (1 Ptr 5:1-4). Dengan demikian panggilan
menjadi GSM itu adalah pengabdian. Pengabdian
itu adalah kebahagiaan. Kebahagiaannya,
karena setiap GSM diberi kesempatan mengemban tugas yang amat mulia. Di tangan
GSM itulah para Anak Sekolah Minggu (ASK), diberi kesempatan untuk
memperkenalkan Yesus Kristus di dalam hidupnya. ASM yang memiliki kepolosan,
kejujuran, belum banyak dicemari kebiasaan buruk itu amat ditentukan oleh GSM
untuk dapat menjadi anak-anak yang berguna. Seperti Amsal menyebutnya, “Sekali
mereka dibentuk dengan benar maka ketika menjadi dewasa mereka akan selalu
mengingat dan mereka tidak akan melenceng jauh dari kebenaran” (Amsal 22:6). Kebenaran Firman Tuhan itulah yang
harus ditanamkan di dalam diri, pribadi ASM. Sungguh suatu hal yang
memprihatinkan jika gereja lebih banyak menyerahkan pendidikan rohani anak-anak
jemaat kepada orang-orang yang seringkali belum berpengalaman dan tidak
dipersiapkan dengan bekal yang cukup.
Jadi panggilan untuk menjadi pelayan,
pada hakekatnya menjadi pergumulan sepanjang waktu Yesus dalam karya
singkat-Nya di dunia ini, Ia mewartakan kedatangan kerajaan Allah dan
memanggil semua orang yang mau mendengarkan dan menjadi murid-Nya untuk
mengikuti Dia dalam pelayanan. Panggilan tersebut menjadi pergumulan karena menjadi
bagian kehidupan; perhatian, pemikiran, ucapan, sikap dan tindakan. Pergumulan,
karena berhadapan dengan seluruh unsur kehidupan.
Pemberi
hidup dan ciptaan. Pergumulan, karena menghadirkan suasana yang tersendiri
dalam kehidupan orang yang dipanggil tersebut. Oleh karena itu, memahami
kehidupan seorang yang menerima panggilan Tuhan sama artinya memasuki suatu
kenyataan pergumulan hidup manusia yang tidak ada habis-habisnya. Panggilan menjadi pelayan, menurut
Alkitab ada sepanjang rentang waktu. Ia hadir bersamaan dengan pengenalan
manusia akan Tuhan. Karena ia memperkenalkan nama dan perintahNya, kasih,
penebusan, larangan, murka dan hukumanNya. Ia
adalah alat yang Tuhan pakai dalam rencana dan pemeliharaan Tuhan atas
ciptaannya. Dengan demikian dipahami sebagai pengabdian, tugas, tanggung jawab
dan ketaatan kepada Tuhan, yang sungguh agung, berharga, sakral, berat
sekaligus membahagiakan.
Dalam
Perjanjian Baru, istilah “dipanggil” (‘kletos’) dan “panggilan” (‘klesis’)
muncul 2 kali. Semuanya menyatakan panggilan Tuhan kepada umat-Nya untuk
sesuatu maksud yang rohani. Seluruh jemaat dipanggil (“the called-out ones”)
oleh Tuhan. Hal itu sesuai dengan dengan Confessie HKBP Pasal 9: “kita
percaya dan menyaksikan tiap-tiap orang Kristen terpanggil menjadi saksi
Kristus”. Artinya, semua warga jemaat terpanggil menjadi saksi Kristus. Sebagai
umat pilihan Allah terpanggil untuk memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar
dari Allah (I Petrus 2 : 9). Dalam Mat. 4: 18 – 22; Mrk. 1: 16 – 20; Luk. 5: 1 – 11, Yesus
memanggil Simon Petrus dan Andreas dari tempat bekerjanya di Danau
Galilea dengan ajakan “mari ikutlah Aku, dan kamu akan kujadikan penjala
manusia”. Ajakan inilah yang kita sebut panggilan. Yesus memanggil
muridNya berjalan dibelakangnya (deute opisoo mou) yang
terjemahannya: mari ikutlah Aku dari belakang atau mari berjalanlah
dibelakangKu (Ma.t
4:19-20). Yang dipanggil itu
tidak mendahului atau tidak pergi ke kiri dan kekanan Yesus, bahkan tidak
dikatakan berjalan sejajar tetapi selalu mengikut Yesus dari belakang
(ekolouthesan = mengikuti). Tuhan
Yesus memanggil murid-muridNya untuk berjalan dibelakang-Nya. Pengertianya
jangan diartikan sempit. Dalam pemikiran umat Israel di zaman PL mengikuti
seseorang atau berjalan di belakang mengandung arti mengiringi, menaati,
mencintai, menyerahkan diri, dan mengabdikan diri. Untuk berjalan dibelakangNya
Yesus tidak membebani kita, tetapi yang diinginkan Yesus merespons ajakanNya.
Ajakan Yesus itulah yang mesti kita jawab. Sebab sambil berjalan itu kita terus
mendengar dan melihat kepadaNya. Artinya mengikut Yesus berarti mendengar dan
melihat serta menjadi prioritas.
Seorang
pelayan atau murid, pasrah menyerahkan hidupnya kepada orang yang diikuti
dengan segala risikonya. Karena kemauannya mengikuti panggilan Yesus, secara
otomatis dia merubah hidupnya dengan kemauan Yesus yang diikutinya. Dia mau
meninggalkan segala jalan kehidupan semula dan mengikuti jalan Yesus. Meski
berat dan susah tetapi kita tidak akan ditinggalkanNya. Jadi mari ikutlah
Aku dari belakang telah mengubah hidup duabelas (oi dodeka) orang Galilea dan dikemudian hari ribuan juta orang
lainnya. Rahasia kesuksesan dari orang yang bersedia memenuhi panggilan
Yesus ini, tertulis dalam (Mrk. 9:35; 9:35-50), “Jika seseorang ingin menjadi yang
terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir.
10. Rekrutmen
dan Evaluasi tentang Tantangan melayani Anak Sekolah
Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Tidak
semua anak-anak anda adalah anak-anak yang ceria, yang polos dan yang haus
untuk belajar. Tidak jarang mereka datang dari lingkungan yang kurang mendapat
perhatian dan kasih sayang. Banyak diantara mereka adalah korban kejahatan
orang dewasa dan lingkungan sekitarnya. Bahkan di lingkungan yang kurang
beruntung anak-anak dijadikan pengemis, pekerja di bawah umur dan lain-lain. Kejahatan terhadap anak- anak pada
masa Alkitab pun ada. Dalam Keluaran
1:16, Firaun
memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki bangsa Israel yang lahir.
Kejahatan terhadap anak-anak dialami hampir oleh tiap bangsa, sebagai contoh
bangsa Samaria. Kejahatan terhadap anak-anak ini sangat bertentangan dengan
rencana Tuhan.
Di zaman Perjanjian Baru juga murit-murit Yesus melarang
anak-anak tidak diperbolehkan mengerumuni Tuhan Yesus. Hal ini terlihat dimana
murid Yesus mengusir anak-anak kecil, namun Yesus mengambil anak kecil mewakili
semua anak-anak didunia; dan Yesus mengatkan bahwa anak seperti inilalah yang
empunyai kerajaan Allah.
11. Evaluasi Kerohanian Anak sekolah minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Alkitab sangat memberi perhatian
kepada ASM ini. Dalam sejaranya, jaman Perjanjian Lama, maka sebenarnya Alkitab
telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada
masa itu pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7). Tujuan pendidikan tersebut anak di didik oleh orang tuanya
untuk mengenal Allah Yahweh. Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika
Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali
kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah
sinagoge di mana mereka dapat belajar tentang Firman Tuhan, termasuk diantara
mereka adalah anak-anak kecil. Orangtua wajib mengirimkan anak-anaknya yang
berusia di bawah 5 tahun ke sekolah di sinagoge. Di sana mereka dididik oleh
guru-guru yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah
maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan
guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka.
Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang
di Babilonia diijinkan pulang ke Israel, maka mereka meneruskan tradisi membuka
tempat ibadah (sinagoge) ini sampai masa Perjanjian Baru. Tuhan Yesus ketika
masih kecil, juga sama seperti anak-anak Yahudi yang lain, menerima pengajaran
Taurat di sinagoge. Dan pada usia 12 tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan
para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus
berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Tim 3:15) dan gereja mula-mula.
Namun, tempat untuk mendidik mereka perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di
sinagoge tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.
Rencana
Tuhan terhadap manusia meliputi rencana Tuhan terhadap anak-anak juga. Dalam Kej 1:28,
Tuhan memerintahkan manusia untuk berkembang dan bertambah banyak. Tuhan pula
yang telah membentuk manusia sejak dia menjadi bakal anak di dalam kandungan
ibunya dan Tuhan telah merancang kehidupan yang akan dilaluinya (Mazmur 139).
Tuhan juga ingin memulihkan bangsa Israel dengan membentuk generasi baru yang
bisa masuk ke tanah Kanaan (Bil 21:4-9).
Tuhan juga merencanakan membangun Yerusalam baru dimana penuh anak-anak
laki-laki dan perempuan bermain di jalanan (Zakaria 8:3).
Sejak
kejatuhan manusia dalam dosa, anak-anak yang lahir telah mewarisi dosa (Mazmur 51:7), dan anak-anak juga akan menghadap
tahta pengadilan Allah (Wahyu 20:15-16). Oleh karena ituanak-anak juga membutuhkan
keselamatan dari Tuhan Yesus (Matius 18:14). Melalui kuasa kelahiran baru Roh
Kudus, Tuhan memberikan rencana baru bagi manusia, termasuk anak-anak. Mereka
akan bertumbuh menjadi milik kepunyaan-Nya dan berkarya bagi kemuliaan-Nya (Rom 11:36). Anak-anak yang memiliki hati yang
lemah lembut, merupakan tanah yang baik dan ladang yang paling cocok untuk
ditanami kebenaran Alkitab. Alkitab pun mencatat bahwa anak-anak dapat percaya
kepada Tuhan, dapat menyesali dosanya dan dapat memperoleh keselamatan dari
Tuhan, bahkan orang dewasa patut meneladani sikap anak-anak ini (Markus 10:15).
12. Rekrutmen
dan Evaluasi Panggilan
Melayani Anak Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Tuhan ingin agar anak-anak ini
mengenal Pencipta mereka; bertemu dengan Dia dan diubahkan menjadi ciptaan
baru. Pelayanan ASM tidak semata-mata dibentuk untuk mendidik anak-anak menjadi
anak- anak yang manis yang mempunyai sikap baik budi. Itu bukan tujuan utama
Tuhan bagi anak-anak. Tujuan mengajar ASM ialah supaya mereka harus
berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Kita harus meyakini bahwa
apa yang telah dimulai olehNya, maka Ia juga yang akan menyempurnakan nya. Pendidikan melalui pelayanan ASM akan
menjadi dasar pertumbuhan rohani seorang anak untuk dapat mengenal kebenaran
Alkitab, menyembah Tuhan dan memuji Tuhan dan mengasihi pekerjaanNya. Apabila
mereka telah dimenangkan maka berarti generasi selanjutnya juga telah
dimenangkan, karena mereka adalah penerus dan pemimpin generasi yang akan
datang. Dan tidak bisa disangkal bahwa jika kita memenangkan anak-anak maka
kita tahu gereja memiliki masa depan.
Dari penjelasan di atas, peran
pembinaan kepada ASM itu sangat memegang peranan penting di dalam tubuh gereja
itu. Jikalau ASM berhasil, berarti gereja telah melatih dan mempersiapkan para
pemimpin gereja untuk masa yang akan datang. Memang “anak-anak kecil” yang
terlihat hadir di Sekolah Minggu, tapi “anak-anak kecil” itulah yang beberapa
tahun ke depan akan menjadi para pemimpin gereja. Kualitas para pemimpin gereja
di masa yang akan datang, sedikit banyak dapat dilihat dari bagaimana kualitas
Sekolah Minggu yang ada saat ini. Oleh
karena itu, penting dipikirkan bersama, bagaimana membuat ASM menjadi program
yang terintegrasi dengan gereja secara utuh. Bagaimana merangkai program
pembinaan anak secara berkesinambungan hingga kelak mereka remaja dan dewasa.
Melayani ASM merupakan suatu tugas dan tanggung jawab yang berat. Tapi sesuai
dengan janji-Nya, Tuhan Yesus akan senantiasa menyertai dan memberikan kekuatan
bagi setiap kita yang terpanggil melayani di Sekolah Minggu. “…. ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20).
Tanggung Jawab GSM hanya dapat
bertahan kalau pengajar-pengajarnya adalah orang-orang yang berkepribadian
kuat. Gereja dan Sekolah Minggu milik kita bersama. “Jadilah teladan bagi
orang-orang percaya,” (1Timotius 4:12). Sekolah Minggu diselenggarakan di
semua gereja di Indonesia, namun pengembangan pelayanannya
belum diusahakan secara maksimal. Mengingat pentingnya Sekolah Minggu
sebagai wadah persemaian, bukan hanya pengetahuan tentang iman Kristen,
melainkan juga nilai-nilai yang mendukung kehidupan, khususnya kasih terhadap
sesama, keadilan dan perdamaian, menyadari dampak kemajuan zaman dengan
diikuti derasnya pengaruh perkembangan teknologi informasi pada anak-anak saat
ini, menjadi pergumulan yang tidak mudah bagi sekolah minggu untuk mendapatkan
guru-guru yang memiliki hati dan motivasi yang kuat sehingga dapat mendidik
anak mengintegrasikan iman di dalam ilmu dan moral.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan
latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian dan kajian teoretis, maka
langkah penelitian pada bab ini adalah:
A.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana pelayanan
sekolah minggu telah dilaksanakan secara perkala dan bertanggung jawab selama
satu tahun 2016 dan sekaligus rekrutmen calon guru sekolah minggu di Gereja Injili Di indonesia (GIDI) Jemaat Agape
Wamena periode 2017 . Kemudian
secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi komponen tahap perencanaan
dan komponen tahap program membandingkan yang di rinci secara holistick sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
perencanaan program penyiapan sumber daya manusia dalam rekrutmen calon pengasuh sekolah minggu.
2. Mendeskripsikan
penerapan evaluasi
program tahunan dan rekrutmen
calon pengasuh sekolah minggu
3. Mendeskripsikan
proses pencapaian evaluasi program
tahunan dan rekrutmen calon pengasuh sekolah minggu meliputi aspek
administrasi, penyiapan sumber daya manusia, dan penganggkatan kepala pengasuh sekolah minggu.
4. Mendeskripsikan
pencapaian sasaran program rekrutmen
calon ketua
sekolah minggu meliputi efektivitas terhadap dampak kebijakan dan
strategi implementasi kebijakan.
5. Mendeskripsikan
perbandingan hasil dan tujuan dalam evaluasi
program pelayanan sekolah minggu dan rekrutmen calon ketua pengasuh
sekolah minggu meliputi evaluasi penugasan guru
sebagai kepala pengasuh sekolah minggu.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lingkungan Greja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena. Pelaksanaan penelitian ini didasarkan pada jadwal waktu
penelitian sebagai berikut:
1. Tahap persiapan penulisan proposal penellitian, Juni – Agustus,
2016)
2. Tahap pengumpulan data dan verifikasi data, September– Desember 2012016, dan tahap penulisan penelitian pada Januari
– Janwari- Maret, 2017.
Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di Lingkungan
Gereja Injili Di Indonesia GIDI Jemaat Agape mengandung beberapa alasan
strategis sebagai berikut:
1. Bahwa secara kontekstual lokasi penelitian yang dijadikan
acuan tempat penelitian ini sangat strategis, mengingat bahwa pelaksanaan
piloting rekrutmen calon Pengasuh sekolah minggu dari Klasis Bogo serta Gereja
setempat dan gereja terdekat dalam organisasi (GIDI).
2. Bahwa secara implementatif lokasi Gereja Injili Di
Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena yang dijadikan tempat untuk objek
penelitian, merupakan area wilayah dimana peneliti bertugas di bidang
kerohanian di Jemaat Agape, sehingga sangat tepat jika penelitian dilakukan di
lokasi ini maka akan mempermudah akomodasi dan perolehan data secara akurat
karena penelitian menguasai bidang yang akan dijadikan tempat penelitian.
3. Bahwa penelitian ini akan mengambil lokasi di tempat
tersebut, secara rill nantinya akan memberikan informasi hasil penelitian yang
sangat objektif dan sangat memberikan bantuan bagi kemajuan satuan pendidikan sekolah
minggu yang akan dijadikan objek penelitian tersebut. Serta secara maksimal
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dan difungsikan secara integral
dalam menentukan kebijakan rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu di
lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena.
C. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian
Dalam melakukan penelitian di
lakukan pendekatan, sebagaimana
dinyatakan Arikunto bahwa penelitian evaluasi program menggunakan pendekatan
diskriptif kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana program
tersebut dapat diimplementasikan, sejauhmana terlaksananya program,
ketercapaian tujuan program seperti yang ditetapkan, dan untuk mengetahui
kendala dalam implementasi program tersebut. Demikian pula halnya dengan
penelitian evaluasi kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah di lingkunagan
Dinas Pendidikan Kutai Kartanegara, bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah dapat di implentasikan, serta kendala
apa (jika ada) dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Untuk mendapatkan
informasi secara mendalam dan menyeluruh diperlukan pendekatan kualitatif,
pendekatan kualitatif ini dipilih karena dalam penelitian kualitatif
gejala-gejala, informasi-informasi diperoleh dari hasil wawancara dan
pengamatan selama berlangsungnya proses pelaksanaan kebijakan.Penelitian
kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kutai
Kartanegara ini, diperoleh dengan hasil yang lengkap berupa data-data yang
rinci dan mendalam, hasil data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat dicermati. Dalam penelitian kualitatif
kehadiran dan keterlibatan peneliti sangat diutamakan, karena pengumpulan data
harus dilakukan dalam situasi yang sesungguhnya, peneliti juga diharapkan dapat
menjaga hubungan yang baik dengan informan, sehingga dapat membantu kelancaran
dalam proses penelitian. Ciri
khas penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah; (1) memperlakukan
latar alamiah sebagai sumber data, dan peneliti sebagai instrumen utama, (2)
sifatnya deskriptif, yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar,
dan bukan angka, (3) lebih mementinkan proses daripada hasil, (4) cenderung
menganalisis data secar kualitatif dengan menekankan hasil naturalistik digabungkan dengan hasila induktif, dan (5) pemberian makna atas data merupakan
perhatian umum.[1]
2)
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian penelitian kuantitatif. Selanjutnya, untuk dapat menghasilkan teori
melalui tindak penelitian, penelitian kualitatif mengandalkan jenis analisis
yang disebut analisis komparatif yang dikenakan secara berlanjut
berkesinambungan terhadap kategori-kategori data yang terus berkembang (menjadi
makin banyak dan makin tajam) selama proses penelitian dilaksanakan. Linoln dan
Guba, merinci unsur-unsur desain dan tertib urutannya sebagai berikut:
a. Menentukan
fokus penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah
evaluasi kebijakan rekrutmen calon
kepala pengasuh sekolah minggu dalam menunjang kelancaran operasional organisasi bidang pendidikan sekolah minggu, dan
pengaturan manajemen organisasi pendidikan
sekolah minggu.
b. Menentukan kesesuaian paradigma dengan fokus
penelitian.
c. Menentukan kesesuaian paradigma dengan teori
subtantif.
d. Menentukan di mana dan dari siapa data akan diperoleh.
e. Menentukan
fase-fase penelitian.
f. Menggunakan
instrumen manusia.
g. Mengumpulkan
dan merekam data.
h. Melakukan
analisis data.
i. Merencanakan
logistik.
j. Membangun
keterpercayaan.
Sedangkan runtutan
kerja pokok penelitian secara naturalistik adalah:
a. Menyiapkan suatu lingkup masalah yang hendak diamati
secara fleksibel.
b. Menentukan
latar amatan.
c. Terjun ke lapangan mencari data dan mencatatnya secara
deskriptif dan reflektif.
d. Hasil pencatatan deskriptif dan reflektif digunakan
untuk mensintesakan data dalam kategori-kategori yang menonjol menggunakan
analisis komparatif.
e. Hasil pengkategorian akan memberikan pilihan terhadap
fokus amatan.
f. Terjun ke lapangan lagi berkenal fokus untuk mencari data
baru dengan maksud data baru digunakan untuk makin mempertajam, menggeser, atau
mengubah fokus dan untuk mempertajam amatannya sendiri berdasar fokus yang
sudah menjadi makin tajam.
g. Memutar kembali perbuatan kegiatan
h. secara berulang-ulang sehingga dicapai keadaan data jenuh
(tambahan data dari lapangan sudah tidak dapat lagi mempertajam analisis dan
memperkokoh kategori yang ada karena tambahan data tersebut sudah bersifat
pengulangan yang sama dan tetap).
i. Memilih sejumlah kategori yang menonjol atau kokoh (yang
memiliki data anggota yang cukup banyak) sebagai calon teori substansial yang
dihasilkan oleh penelitian yang dilaksanakan.
j. Merumuskan teori substansial dengan cara menarik
kesimpulan dari kategori-kategori yang terpilih.
k. Melakukan pengabsahan kesimpulan atau teori melalui
penilaian pihak responden dan atau melalui triangulasi.
3)
Desain
Model Penelitian Evaluasi
Model penelitian evaluasi yang digunakan
yaitu Model dem (Discrepancy Evaluation Model), model menurut Provus yang disebut
juga Model Kesenjangan. Hal ini berdasarkan bahwa dalam pelaksanaan rekrutmen calon kepala sekolah
perlu dilihat kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara hasil yang diharapkan
dengan yang terjadi di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan pelaksanaan rekrutmen. Pendekatan
ini memperkenalkan pelaksanaan evaluasi dengan langkah-langkah yang perlu
dilakukan menurut Provus,
meliputi:
a. Tahap Definisi (definition stage)
Dalam tahap definisi, fokus kegiatan
dilakukan untuk merumuskan tujuan, proses atau aktifitas, serta pengalokasian
sumber daya dan partisipan untuk melakukan aktivitas dan mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Menurut Provus, program
pendidikan merupakan sistem dinamis yang meliputi inputs (antecedent), proses, dan output juga outcomes. Standar atau harapan-harapan yang ingin dicapai
ditentukan untuk masing-masing komponen tersebut. Standar ini merupakan tujuan
program yang kemudian menjadi kriteria dalam kegiatan penelitian yang
dilakukan.
b. Tahap Instalasi (installation stage)
Selama tahap instalasi, rancangan program digunakan
sebagai standar untuk mempertimbangkan langkah-langkah operasional program.
c. Tahap Proses (process stage)
Pada tahap proses, evaluasi difokuskan upaya bagaimana
memperoleh data tentang kemajuan para peserta program, untuk menentukan apakah
perilakunya berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika ternyata
tidak, maka perlu dilakukan perubahan terhadap aktivitas-aktivitas yang
diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perilaku tersebut.
d. Tahap Produk (product stage)
Selama tahap produk, penilaian dilakukan untuk menentukan
apakah tujuan akhir program tercapai atau tidak. Provus membedakan antara
dampak terminal (immediate outcomes)
dan dampak jangka panjang (long
term-outsomes).
e.
Tahap
Membandingkan (comparison
stage),
Tahap membandingkan hasil yang
telah dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini evaluator
menuliskan semua penemuan kesenjangan untuk disajikan kepada para pengambil
keputusan, agar mereka (ia) dapat memutuskan kelanjutan dari program rekrutmen
calon kepala sekolah.
Apapun kesenjangan yang ditemukan melalui evaluasi,
pemecahan masalah dilakukan secara kooperatif antara evaluator dengan pengelola
kebijakan sebagai suatu masukan agar pelaksanaan rekrutmen calon kepala pengasuh
sekolah minggu berjalan dengan lebih baik. Masukan yang dilakukan antara lain
membicarakan tentang:
1) Mengapa ada kesenjangan
2) Upaya perbaikan apa yang mungkin dilakukan
3) Upaya mana yang paling baik dilakukan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengumpulkan
informasi dibuatlah model desain penelitian sebagai berikut:
D. Instrumen Penelitian
1.
Kisi-kisi Instrumen
Instrumen penelitian
didasarkan pada kisis-kisi instrumen yang dapat dilihat pada tabel 3.1. berikut
ini :
Tabel
3.1. Kisi-kisi Instrumen Penelitian
No
|
Tahap
Evaluasi
|
Aspek Yang Dievaluasi
|
Sumber Informasi
|
Jenis Instrumen
|
|
1.
|
Tahap
Definisi (definition
stage) atau
Perencanaan
|
1. Perencanaan
program rekrutmen calon Pengasuh
sekolah Minggu
2. Penyiapan
sumber daya manusia dalam implementasi kebijakan rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu
|
- Pendapat lisan : Ketua Pengasuh SM dan wakil
Pengasuh sekolah, Minggu
- Pendapat lewat tulisan: Ketua pengasuh dan
wakil ketua pengasuh sekolah, Minggu di gereja GIDI Agape
|
· Wawancara
· Angket
· Observa
· Dokumentasi
|
|
2
|
Tahap
Instalasi (installation
stage)
|
1. Program
implementasi kebijakan rekrutmen calon pengasuh sekolah
Minggu.
2. Program
penerapan sistim rekrutmen calon ketua sekolah minggu.
|
- Keadaan fisik terkait dengan perekrutan calon ketua
sekolah Minggu adanya syarat administrasi, penyiapan SDM,
pengangkatan, dampak implementasi, strategi dan sistem perekrutan
|
·
Observasi
· Dokumentasi
|
|
3
|
Tahap Proses
(process
stage)
|
1. Proses
seleksi administrasi calon ketua
pengasuh sekolah minggu.
2. Proses
penyiapan sumber daya manusia rekrutmen.
3. Proses
pengangkatan calon ketua pengasuh
sekolah minggu sebagai
kepalamengatusr jalanya
pelayanan sekolah mingu
|
Surat keputusan tentang perekrutan calon ketua sekolah minggu
Pengumuman tentang perekrutan
calon kepala pengasuh sekolah
Minggu, syarat administrasi, penyiapan SDM
Surat keputusan pengangkatan
kepala Pengasuh sekolah Minggu
|
· Dokumentasi
|
|
4
|
Tahap
Produk
(product stage)
|
1.
Pencapaian sasaran pelaksanaan rekrutmen
calon ketua
sekolah minggu dari
sisi efetivitas terhadap dampak
kebijakan.
2.
Pencapaian sasaran pelaksanaan
rekrutmen calon ketua
sekolah Minggu dari
sisi strategi implementasi kebijakan.
|
Implementasi kompetensi kepala
sekolah,
Adanya Strategi
|
· Wawancara
· Observasi
· Dokumentasi
|
|
5
|
Tahap
Program Membandingkan
(Programe comparison stage)
|
Perbandingan hasil dan tujuan evaluasi penugasan Pengasuh sebagai ketua sekolah Minggu
|
Pendapat lisan atau tertulis hasil
dan tujuan
Adanya Sistem rekrutmen calon ketua
sekolah Minggu
|
· Wawancara
· Angket
· Dokumentasi
|
|
2. Validasi Instrumen
Validasi teoretik (konstruk) dilakukan dengan pakar dan atau panel. Proses
penelaahan teoretis suatu konsep dimulai dari komponen evaluasi, aspek
yang dievaluasi, indikator sampai kepada penjabaran dan penulisan butir
instrumen, peneliti menjabarkan dan menelaah
instrumen, prosedur telaah dan hasil telaahnya secara kualitatif. Selanjutnya
peneliti menjelaskan prosedur telaah dan hasil uji validasi panel
secara kuantitatif. Validitas
instrumen dilakukan dengan
a. Memeperpanjang keikutsertaan peneliti dalam proses
pengumpulan data yang berupa hasil angket, pengamatan dan wawancara di lapangan
agar instrumen tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga hasil yang
diperoleh valid.
b. Melakukan observasi secara terus menerus agar fenomena
sosial yang terkadang tidak jelas terlihat atau sulit terungkap lewat wawancara
terlihat jelas.
c. Memilih berbagai sumber data yang sesuai agar diperoleh
variasi informasi seluas-luasnya atau selengkap-lengkapnya.
d. Melakukan diskusi dengan teman sejawat untuk memperoleh
berbagai saarana ataupun kritik dari mulai proses awal penelitian sampai
tersusunnya hasil penelitian yang didasarkan pada instrumen penelitian yang
digunakan.[2]
E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
1.
Data
dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini berupa catatan
lapangan, hasil pengamatan, catatan hasil observasi pendahuluan,
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh pejabat struktural dinas pendidikan, kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai
Kartanegara beserta arsip-arsip yang ada yang dapat mendukung data
penelitian yang akan dilakukan. Ditambah dengan pendapat-pendapat dari wakil kepala sekolah dan dokumen berupa dokumen
pribadi serta foto-foto. Adapun
sumber data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Sumber
Data Primer
Sumber data primer yang dimaksud dalam
penelitian ini didapatkan peneliti dari hasil angket, dan wawancara langsung yang telah
dilaksanakan terhadap responden yang dijadikan objek penelitian.
a.
1. Observasi
Dengan observasi atau pengamatan akan
dapat mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan,
perhatian, dan gambaran apa yang nanti harus dilakukan pada saat menghadapi
situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks. Selain itu dengan
pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh
subjek sehingga memungkinkan
peneliti menjadi sumber data; pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan
yang diketahui bersama, baik
dari pihaknya maupun dari pihak subjek[3]
b.
2. Wawancara
Perolehan data yang berikutnya adalah
dengan menggunakan metode wawancara. Dengan wawancara dapat diperoleh data
mengenai identitas objek
dengan jelas dan dapat mengetahui pendapat, pengalaman, perasaan dan harapan
mereka terhadap evaluasi kebijakan rekrutmen
calon kepala sekolah di Kabupaten Kutai Kartanegara. Jadi
data yang diperoleh adalah berupa kata-kata dan tindakan dari objek sumber data yang terekam melalui alat
perekam maupun hasil penulisan secara langsung oleh peneliti.
b.
Sumber
Data Sekunder
Berisi gambaran secara umum (deskripsi) tentang keadaan kepala sekolah yang menjadi objek penelitian, meliputi data syarat, data pengumuman, data rekapitulasi pendaftar
rekrutmen calon kepala sekolah faktor-faktor lainnya yang melingkupi
dan mempengaruhi secara internal dan eksternal terhadap rekrutmen calon kepala sekolah
yang bersangkutan. Prosedur
pengumpulan data kualitatif ini adalah menggunakan cara-cara yang lazim
digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu:
a. Wawancara
(Indepth Interview)
b. Pengamatan
(observasi).[4]
2.
Pedoman
Observasi
Sistem pengamatan yang digunakan peneliti adalah sistem
pengamatan terbuka. Yaitu peneliti diketahui oleh responden sehingga mereka
dengan sukarela memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengamati segala
hal yang mendukung dari hasil penelitian ini. Dalam pengumpulan data peneliti
memutuskan siapa responden atau sampel yang akan diwawancara atau diobservasi.
Observasi
yang digunakan adalah observasi tidak berstruktur. Yaitu observasi yang
dilakukan tanpa menggunakan petunjuk observasi. Dengan demikian peneliti harus
mampu secara pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu
obyek.[5]
Pertanyaan penelitian sudah dirumuskan terlebih dahulu meskipun hal ini bisa
berubah tergantung situasi yang dihadapi peneliti pada saat tersebut. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh Marxwel bahwa penyelesaian pertanyaan peneliti
tergantung tidak hanya pada pertanyaan penelitian yang peneliti kerjakan tetapi
juga situasi aktual
pada saat penelitian dan apa yang akan bekerja secara efektif dalam situasi
tersebut untuk memberikan data yang kita butuhkan.[6] Pengumpulan
data melalui observasi mengacu pada serangkaian pertanyaan yang mengarahkan
pada apa, siapa, di mana, mengapa, dan bagaimana. Dengan observasi diperoleh
data mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang ada. Selain
itu, observasi dapat menentukan kancah penelitian dan objek
penelitian dengan tepat. Dalam kaitan dengan penelitian ini observasi dilakukan
terhadap beberapa ketua pengasuh sekolah minggu hasil
piloting rekrutmen calon ketua sekolah minggu di
lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena. Observasi yang pertama dilakukan adalah untuk melihat
apakah kebijakan yang diterapkan oleh Departen Gereja Injili Di Indonesia Wilayah Bogo, Klasis Lembah Baliem
Jemaat Agape‘ tersebut menimbulkan
suatu dampak yang positif atau negatif secara umum. Selain
itu peneliti mulai mengobservasi ketua pengasuh
sekolah minggu tentang kompetensi ketua pengasuh sekolah Minggu, yang meliputi
manajerial, kepribadian, supervisi, Integritas, loyalitas dan sosial. Selain hal tersebut juga diamati segala sesuatu yang
kiranya berkaitan dengan evaluasi kebijakan rekrutmen calon ketua Pengasuh sekolah Minggu dan
jajaranya.
3.
Pedoman
Wawancara
Dalam pengumpulan
data melalui metode wawancara ini, peneliti melakukan wawancara; yang pertama
adalah wawancara dengan ketua
pengasuh sekolah Minggu piloting rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah Minggu,
wawancara
dengan para Majelis Jemaat dan wakil
ketua sekolah minggu mengenai rekrutmen ketua pengasuh sekolah minggu dan jajarannya,
wawancara dengan Gembala Jemaat Agape tentang rekrutmen calon ketua sekolah
Minggu.
a)
Jenis
Wawancara
Jenis wawancara yang digunakan adalah
tehnik yang tidak berstruktur yaitu wawancara dilakukan tanpa penyusunan daftar
baku sebelumnya, akan tetapi tetap mengacu pada fokus permasalahan penelitian.
Jenis wawancara ini bersifat fleksibel
dan memungkinkan peneliti mengikuti minat dan pemikiran responden. Pewawancara
dengan bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada responden dalam urutan
manapun bergantung pada jawaban. Hal ini dapat ditindaklanjuti, tetapi peneliti
juga mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian yang dimiliki dalam
pikirannya dan isu tertentu yang akan digali. Namun pengarahan dan pengendalian
wawancara oleh peneliti sifatnya minimal. Umumnya, ada perbedaan hasil
wawancara pada tiap responden, tetapi dari yang awal biasanya dapat dilihat
pola tersebut. Responden bebas menjawab, baik isi maupun panjang pendeknya
paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci.
Wawancara Semi Berstrukutur. Wawancara ini dimulai dari isu yang
dicakup dalam pedoman wawancara. Pedoman
wawancara menjamin bahwa peneliti mengumpulkan jenis data yang sama dari para
responden. Peneliti dapat
mengembangkan pertanyaan dan memutuskan sendiri mana isu yang dimunculkan. Pedoman wawancara
berfokus pada subjek area tertentu yang diteliti, tetapi dapat direvisi
setelah wawancara karena ide yang baru muncul belakangan.[7] Pengambilan data
dari wawancara tersebut dengan menggunakan kertas dan pena untuk
mencatat jawaban responden dibantu dengan penggunaan tape recorder agar tidak
ada jawaban responden yang terlewatkan.
b)
Teknik
Wawancara
Wawancara kualitatif formal
adalah percakapan yang tidak berstruktur dengan suatu tujuan yang biasanya
mengutamakan perekaman dan transkrip data verbatim
(kata per kata), dan penggunaan suatu pedoman wawancara daripada susunan
pertanyaan yang kaku. Wawancara dilaksanakan dengan tidak memaksakan agenda
atau kerangka kerja pada responden, justru tujuan wawancara ini untuk mengikuti
kemauan responden. Peggunaan format ini adalah untuk menangkap perspektif responden
sesuai dengan tujuan penelitian.[8]
c)
Lama
dan Pemilihan Waktu Wawancara
Lama dan waktu wawancara ditentukan oleh peneliti. Peneliti melakukan
kontrak waktu dengan responden, sehingga mereka dapat merencanakan kegiatannya
pada hari itu sesuai dengan jadwal
yang ditetapkan tanpa terganggu oleh wawancara, dan umumnya
responden menginginkan waktunya tidak lebih dari satu jam.[9]
Jadi peneliti menggunakan penilaian mereka sendiri, mengikuti keinginan
responden, dan menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan topik penelitiannya.
Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data belum semua diperoleh, wawancara
dapat dilakukan sekali lagi atau lebih.
d)
Prosedur
Wawancara
Prosedur
wawancara yang dilakukan peneliti mengikuti tahap berikut ini:
1) Mengidentifikasi
para responden berdasarkan prosedur sampling yang dipilih sebelumnya.
2) Menentukan
jenis wawancara yang akan dilakukan dan informasi bermanfaat apa yang relevan
dalam menjawab pertanyaan penelitian.
3) Mempersiapkan alat tulis dan alat perekam yang sesuai.
4) Pengecekan kondisi alat perekam, misalnya baterainya.
5) Menyusun protokol wawancara, panjangnya kurang lebih
empat sampai lima halaman dengan kira-kira lima pertanyaan terbuka dan tersedia
ruang yang cukup di antara pertanyaan untuk mencatat respon terhadap komentar
responden.
6) Menentukan tempat untuk melakukan wawancara. Jika mungkin
ruangan cukup terang, tidak ada distraksi dan nyaman bagi responden. Peneliti
dan responden duduk berhadapan dengan perekam berada di antaranya, sehingga
suara-suara keduanya dapat terekam baik.
7) Selama wawancara peneliti mencocokkan dengan pertanyaan,
melengkapi pertanyaan pada waktu tersebut (jika memungkinkan), menghargai
responden dan selalu bersikap sopan santun.[10]
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Evaluasi
Pada
bagian ini akan dideskripsikan
hasil penelitian evaluasi program
pelayanan sekolah minggu setahun dan merekrutmen
calon ketua pengasuh
sekolah minggu di Gereja Injili Di Indinesia (GIDI), merupakan dimana tempat
penyelenggaraan program pelayanan sekolah
minggu sesuai dengan ADART Jemaat Agape Wamena.
Kebijakan
rekrutmen calon ketua pengasuh
sekolah minggu telah
dilaksanakan sejak tahun 2004
sampai dengan 2016 sekarang, melalui program piloting angkatan 15 di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia sesuai dengan surat
keputusan ADART tentang
penetapan tim seleksi
rekrutmen calon ketua pengasu sekolah minggu di Jemaat Agape Wamena.
1)
Tahap
Definisi (definition stage)
Berdasarkan fokus masalah evaluasi program pelayanan tahunan sekolaminggu dan implementasi
kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah ditemukan hasil bahwa penangan pelayanan sekolah minggu dilimpahkan
kewenangan
yang besar kepada gereja setempat
dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan seolah minggu. Salah satu kewenangan tersebut
adalah dalam pembinaan karir pendidik sekolah mingu dan tenaga pendidik, termasuk rekrutmen ketua pengasuh sekolah minggu. Implementasi kewenangan tersebut selama ini menunjukkan
dua kecenderungan yaitu:
Subjek yang teramati ditemukan pengangkatan mereka
sebagai ketua pengasuh sekolah mingu terdapat dua macam cara pengangkatan;
pertama pengangkatan tidak prosedural, dikatakan tidak prosedural karena tidak
melalui proses rekrutmen seperti yang di ataur pada Peraturan yang tertuang dalam ADART Gereja Injili
Di Indonesia (GIDI).
2)
Tahap Instalasi (installaition stage)
Pada tahap ini adalah tahap standar rekrutmen calon
kepala pengasuh sekolah minggu, dalam Peraturan ADRT Gereja Injili Di Indonesia tentang
Penugasan Guru sekolah minggu sebagai
Kepala Pengasuh Sekolah minggu.
rekrutmen tenga pengar sesuai dengan kebutuhan jemaat,
agar pelayanan sekolah
minggu berjalan
sesuai dengan harapan gereja.
3) Aspek administrasi
Peraturan
Gereja Injili Di Indonesia (GIDI)
menegaskan bahwa seorang guru sekolah
minggu dapat
diusulkan menjadi calon kepala sekolah minggu akan diusulkan oleh Pendeta, dan anggota Majelis setempat, agar memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu antara lain: 1) memiliki
kualifikasi akademik paling rendah lulusan
Sarjana Lulusan (S. 1) atau diploma empat (D- IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan
tinggi, 2) tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, 3) pengalaman mengajar. Memiliki lisensi sertifikat pengasuh sekolah minggu,
tidak pemabuk, sudah bertobat dan lahir baru di dalam Yesus Kristus. Memiliki
pengetahuan Alkitab yang cukup memadai. Seorang pengasuh sekolah minggu yang
kreatif. memiliki kecakapan komunikasi, humoris, tidak pemara. Apabila
syarat-syarat administrasi tersebut dipenuhi maka selanjutnya calon kepala pengasuh sekolah minggu mengikuti seleksi bidang kerohanian berupa penilaian
kepemimpinan dan penguasaan kompetensi sebagai kepala pengasuh
sekolah minggu di gereja sebelum dia melayani sepenuhnya.
4) Aspek penyiapan sumber daya manusia
Setelah
lulus seleksi kecakapan kompetensi,
maka pihak penguji materi program sekolah minggu memberikan lisensi atau
sertifikat pengasuh dan kepalah guru sekolah minggu agar dapat melayani dengan
sepenuh hati di gereja. Kepalah Pengasuh Sekolah Minggu, diharus
memiliki kemampuan akdemisi dibidang Teologis, supaya menyiapkan materi atau
bahan-bahan pengajaran dalam pembangunan sumberdaya manusia dalam gereja bisa terarah secara baik dan
benar.
5) Aspek proses pengangkatan
Ada
sebuah proses perekrutan yang harus dilalui sebelum Pendeta atau
Gembala Jemaat yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan pengangkatan
seorang kepala pengasuh sekolah minggu. Bukan sekedar pelantikan dan pengangkatan,
proses pengangkatan didahului dengan penilaian tim akseptabilitas atau tim seleksi yang dibentuk Majelis Jemaat, didasarkan pada penilaian
tim aseptabilitas, objektifitas terhadap calon kepala pengasuh sekolah minggu yang dinilai layak menjadi kepala Pengasuh sekolah minggu atau tidak.
6) Aspek strategis implementasi
Jabatan
Kepala sekolah Minggu bukanlah
jabatan seumur hidup atau seumur penguasa daerah berkuasa yang mengangkat
kepala sekolah. Dalam Peraturan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) telah diatur tentang masa jabatan ketua pengasu sekolah minggu. Dinyatakan
bahwa ketua pengasuh sekolah minggu diberi 1 (satu) kali masa tugas selama 3 tahun. Apabilah ketua Pengasu sekolah minggu melaksanakan
program sekolah minggu dengan baik dan benar, sesuai kurikulum, maka masa kontrak
kerjanya diperpanjang. Dasar pertimbangan adalah penilaian kinerja
kepala pengasuh sekolah minggu yang dilaksanakan setiap tahun oleh Ketua Majelis, komulatif selama 3 tahun yang dijadikan staandar seorang kepala
sekolah minggu layak
untuk diangkat kembali ataau tidak.
7) Aspek sistem pelaksanaan evaluasi
Dalam
Peraturan Gereja Injili Di
Indonesia (GIDI) dijelaskan bahwa kepala pengasuh sekolah minggu yang masa tugasnya berakhir, tetap
melaksanakan tugas sebagai guru sekolah
minggu sesuai
dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran
atau bimbingan dan konseling sesuai dengan ketentuan. Berkenaan masa tugas ini,
faktor lain yang menentukan adanya penilaian kinerja
kepala pengasuh sekolah minggu dilaksanakan secara berkala setiap tahun
dan secara kumulatif setiap 3 tahun. Berdasarkan pertimbangan standar ini seorang
kepala pengasuh sekolah minggu yang masa tugasnya berakhir, tetap
melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan jenjang jabatannya dan
berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran, hal ini menjelaskan bahwa guru
dalam tugas tambahan sebagai kepala pengasuh
sekolah minggu adalah proses life cicle yang merupakan sistem implementasi rekrutmen kepala
sekolah.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.
Kesimpulan
Evaluasi Program tahunan harus dilaksanakan, karena hasil
evaluasi menentukan maju-mundurnya dan mati hidupnya suatu organisasi yang besar. Melalui
evaluasi dapat memunculkan suatu rahasi yang terpendam maupun terlahir muncul
di permukaan. Seorang pemimpin, dalam hal ini guru sekolah minggu akan sadar
apabilah evaluasi diadakan, evaluasi adalah vorum terbuka mengumumkan kiritik,
saran, dan mengkontribusikan program baru dan menyetujui program yang ada.
Dalam evaluasi memberikan suatu penjelasan mengenai kwalifikasi seorang guru
sekolah minggu, kompetensinya, kepribadianya, sosialnya, moralnya, dan imanya,
serta pengalaman lahir barunya. Semuanya sudah di evaluasi. dalam evaluasi
semua pihak terlibat untuk menentukan, arah menetabkan bahan pengajaran, membuang
yang tidak berkembang dan menetabkan yang berjalan dengan baik dan benar sesuai
kurikulum sekolah minggu.
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan evaluasi
program pelayanan sekolah minggu tahunan, dan pelaksanaan
rekrutmen calon kepala sekolah di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI)
dapat dilaksanakan, dengan menggunakan model
evaluasi kebijakan Discrepancy Evaluation
Modle (DEM) atau model kesenjangan.
B.
Rekomendasi
Berdasarkan
hasil pembahasan yang dituliskan pada bab-bab sebelumnya, maka dengan ini di
sampaikan rekomendasi untuk perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan kebijakan
implementasi rekrutmen calon kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan
Kutai Kartanegara sebagai berikut :
1. Perlu
segera dijalankan program sekolah
sesuai dengan aturan gereja mengingat dampak yang
ditimbulkan sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu kepala pengasuh sekolah minggu.
2. Meningkatkan
kompetensi kepala pengasuh sekolah minggu perlu segera dilakukan karena pendidikan dan pelatihan, agar kualitas
pendidikan kerohanian dapat meningkat.
3. Mendorong
kepada guru sekolah minggu dan
melibatkan para pemangku jabatan untuk meningkatkan dan mengembangkan sistem
rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu lebih terbuka dan transparan untuk
dapat menjadi pemimpin yang bijaksana.
4. Meningkatakan
komitmen menjadi guru sekolah minggu
kapan dan dimana saja dalam situasi apapun.
[1]
Rubbert C. Bogdan and Sari Knop Biklen, Qualitative Research for Education
(Boston:Allyn and Bacon, 1982),
hh.68-70
[2] Burhan Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2003), hh.
60-61.
[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2006) h. 175.
[4] Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode
Penelitian Survai (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1999), h. 177..
[5] Burhan
Bungin, Penelitian Kualitatif,
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2009), h. 116.
[6] Joseph A. Maxwell, Qualitative Research Design: An Interactive
Approach (London: Sage Publications, 1996), h. 74.
[7] Holloway, I & Wheeler, S. Qualitative Research for Nurses.
(London: Blackwell Science, 1996), h. 23.
[8] Robinson, J.P. “Phases of The Qualitative Research Interview With Institutionalized
Elderly Individuals,” Journal of
Gerontological Nursing; Nov 2000; 26, 11; Pro Quest Medical Library, 2000. h. 17.
[9] Corrine Glesne & Alan Peshkin, Becoming Qualitative Researchers, An
Introduction. (London: Sage Publiction,
1992), h.
73.
[10] J.W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches (London: Sage Publication, 2003), h. 197.