ANALISIS ONTOLOGIS MENGENAI PEMIKIRAN THEOLOGIS:
Suatu Studi Perbandingan Antara Theologi Antroposentris dan Theosentris
Suatu Studi Perbandingan Antara Theologi Antroposentris dan Theosentris
Oleh
Matius Soboliem, S. Th.
PENDAHULUAN
Bertentangan dengan persepsi pada umumnya yang percaya bahwa kebanyakan pendeta tidak tertarik dengan theologi, maka paper ini akan membuktikan hal yang sebaliknya. Baru-baru ini, penulis mendapatkan kesempatan untuk memberikan
Sobolimmatius@gmail.com |
1. Sebagian
besar theolog lebih tertarik dengan keahlian berbicara yang tinggi dan memukau
tanpa memperdulikan pemahaman orang lain. Mereka lebih mementingkan gengsi dan
harga diri mereka dari pada hal-hal yang sifatnya praktis serta akademis lebih
dari pada praktis. Selain dari pada gelar, karya tulis, dan seminar-seminar
yang mereka lakukan, mereka tidak memberikan kontribusi yang baik dan praktis
bagi gereja, juga tidak memiliki pelayanan yang berbuah di gereja dan juga di
dalam komunitas kekristenan. Lebih lagi, sebagian besar dari presentasi mereka
tidak memberikan apa-apa selain daripada perdebatan yang tidak penting, yang
mengganggu pemikiran dan iman jemaat. Karena semangat perdebatan tersebut,
mereka sering kali membuat perpecahan dan konflik di dalam gereja.
2. Sebagian
besar dari pemikiran theologis adalah tidak praktis, sulit untuk dimengerti
atau dipahami. Bahkan banyak theolog yang justru berusaha untuk memperumit
kebenaran yang sebenarnya sederhana, sehingga membuat Injil yang sederhana
menjadi tidak berbuah sama sekali.
Kedua hal tersebut merupakan alasan-alasan mengapa para pendeta tidak menyukai theologi. Masalahnya sederhana, bukan terletak pada diri para pendeta yang tidak tertarik dengan theologi atau pelajaran theologis, melainkan pada pengajar theologi yang telah mengajarkan theologi dan pemikiran theologi dengan metodologi yang sama sekali tidak praktis. Karena hal inilah maka para pendeta tersebut kurang memiliki persiapan yang mendalam untuk bertheologi, dan menganggap bahwa usaha untuk bertheologi tidak menghasilkan banyak buah dalam pelayanan melainkan hanya membuang banyak biaya dan usaha, oleh sebab itu mereka merasa enggan untuk melibatkan diri dalam pendidikan theologi.
Faktanya, apabila seseorang yang berkecimpung dalam pemikiran theologi atau pendidikan theologi dapat mengejahwantahkan dan mengakomodasi theologi dengan menggunakan bahasa yang sederhana untuk menyampaikan pemikiran theologi, maka penulis percaya bahwa para pendeta tersebut akan mendengarkan dengan serius dan dengan segenap hati mereka untuk dapat melibatkan diri dalam pemikiran theologi dan pendidikan theologi dengan serius. Dengan demikian, para praktisi yang telah sangat berpengalaman tersebut dapat meningkatkan pelayanan mereka untuk suatu pelayanan yang lebih baik dan lebih besar untuk kemuliaan Tuhan dan membawa berkat yang besar bagi jemaat.
Berdasarkan komitmen dan keyakinan di atas maka paper ini ditulis sebagai usaha untuk menganalisa pemikiran dasar theologi dengan maksud untuk menyediakan sebuah fondasi dan kerangka kerja bagi para praktisi dan pendeta untuk mengkaji ulang prinsip-prinsip yang beroperasi dalam pelayanan mereka.
ANALISIS PROPOSISIONAL
Paper ini akan berusaha menganalisis secara ontologis untuk mengkategorikan pemikiran-pemikiran theologi yang dewasa ini berkembang dalam kekristenan. Istilah analisis-ontologis membutuhkan penjelasan tersendiri. Istilah ontologis yang dipakai penulis dalam paper ini sebenarnya memiliki arti hal-hal yang mendasar, sederhana dan yang merupakan fondasi dari pemikiran, orientasi serta pemahaman seseorang akan iman dan praktiknya. Tujuan penulis adalah menggunakan metode semacam itu untuk membuat perbandingan kategorial akan metode berpikir, orientasi dan garis pemikiran seseorang yang secara sengaja atau pun tidak sengaja dilakukan untuk memahami theologi, iman, dan praktiknya.[1]
PELAJARAN UNTUK DIPELAJARI
Mengkategorikan pemikiran-pemikiran theologi tidaklah mudah. Di sebagian besar kasus kita mengetahui bahwa banyak sekolah pemikiran theologi, beberapa diantaranya baik dan banyak juga yang kurang baik. Secara tradisional, sejak zaman para rasul para theolog membagi pemikiran theologi ke dalam dua kategori, yaitu: Alexandrian dan Antiochian. Untuk memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik, Gusto Gonzales, seorang sejarahwan theologi yang terkenal, mencoba merevisi pembagian sekolah-sekolah theologi dari dua kategori menjadi tiga kategori yaitu: Alexandrian (Origen and Clement.), Carthegian (Tertulian), Antiochian (Ireneaus), yang disebut dengan Theologi A, Theologi B, dan Theologi C.1 Menurut Gonzales, Theologi A mewakili golongan Aleksandria yang pemikirannya mengadopsi dasar filosofi sebagai fondasi theologi mereka; sedangkan Theologi B mewakili kelompok Karthago (Secara tradisional disebut Antiokhian) menggunakan dasar retorika dan hukum, dan Theologi C (sebuah pendekatan baru yang diperkenalkan oleh Gonzales) lebih menekankan kepada masalah-masalah pastoral sebagai dasar dari theologinya. Menurut penulis, Gonzales berhasil menyediakan suatu kerangka kerja yang lebih lengkap untuk penggolongan pemikiran theologi, dan karena itu ia menyediakan sebuah argumentasi akademik dan historis yang sangat kuat bagi kasusnya. Meskipun demikian, karena pendekatannya terlalu menekankan akademik dan anti tradisional, maka pendekatan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang mengesankan dan kurang direspon oleh kaum akademis, juga tidak menimbulkan perdebatan yang panas, dan kurang lebih lima tahun pendekatan ini hilang begitu saja.
Karena alasan itulah, paper ini tidak berusaha untuk membuat kategori lainnya demi menyusun sebuah pemikiran theologi yang khusus, akan tetapi paper ini ditulis untuk menyediakan sebuah pendekatan analisa metodologi terhadap orientasi dari pemikiran-pemikiran theologi secara umum di dalam analisa ontologis, dengan tujuan untuk melihat hal-hal yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu, penulis berusaha untuk menghindari masalah-masalah kontroversial dengan membuat suatu kerangka kerja bagi pembaca agar pembaca memiliki sebuah ruang yang luas untuk melakukan refleksi untuk mengisi kekosongan dari pemikiran theologi mereka sendiri.
Paper ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ditujukan kepada pembaca umum dengan tujuan untuk menyediakan sebuah kerangka pemikiran dasar yang sederhana untuk mengkategorikan pemikiran dasar theologi; sedangkan bagian kedua ditujukan untuk para pendeta dan mahasiswa theologi yang melakukan analisa secara mendalam dan komprehensif akan metode serta orientasi theologi mereka. Dengan menyediakan sebuah kerangka pemikiran dan struktur yang dapat diaplikasikan, penulis berharap mereka akan memiliki sistem iman dan kepercayaan yang berguna bagi pelayanan mereka. Penulis juga berusaha menyediakan beberapa ilustrasi pada bagian terakhir.
Kedua hal tersebut merupakan alasan-alasan mengapa para pendeta tidak menyukai theologi. Masalahnya sederhana, bukan terletak pada diri para pendeta yang tidak tertarik dengan theologi atau pelajaran theologis, melainkan pada pengajar theologi yang telah mengajarkan theologi dan pemikiran theologi dengan metodologi yang sama sekali tidak praktis. Karena hal inilah maka para pendeta tersebut kurang memiliki persiapan yang mendalam untuk bertheologi, dan menganggap bahwa usaha untuk bertheologi tidak menghasilkan banyak buah dalam pelayanan melainkan hanya membuang banyak biaya dan usaha, oleh sebab itu mereka merasa enggan untuk melibatkan diri dalam pendidikan theologi.
Faktanya, apabila seseorang yang berkecimpung dalam pemikiran theologi atau pendidikan theologi dapat mengejahwantahkan dan mengakomodasi theologi dengan menggunakan bahasa yang sederhana untuk menyampaikan pemikiran theologi, maka penulis percaya bahwa para pendeta tersebut akan mendengarkan dengan serius dan dengan segenap hati mereka untuk dapat melibatkan diri dalam pemikiran theologi dan pendidikan theologi dengan serius. Dengan demikian, para praktisi yang telah sangat berpengalaman tersebut dapat meningkatkan pelayanan mereka untuk suatu pelayanan yang lebih baik dan lebih besar untuk kemuliaan Tuhan dan membawa berkat yang besar bagi jemaat.
Berdasarkan komitmen dan keyakinan di atas maka paper ini ditulis sebagai usaha untuk menganalisa pemikiran dasar theologi dengan maksud untuk menyediakan sebuah fondasi dan kerangka kerja bagi para praktisi dan pendeta untuk mengkaji ulang prinsip-prinsip yang beroperasi dalam pelayanan mereka.
ANALISIS PROPOSISIONAL
Paper ini akan berusaha menganalisis secara ontologis untuk mengkategorikan pemikiran-pemikiran theologi yang dewasa ini berkembang dalam kekristenan. Istilah analisis-ontologis membutuhkan penjelasan tersendiri. Istilah ontologis yang dipakai penulis dalam paper ini sebenarnya memiliki arti hal-hal yang mendasar, sederhana dan yang merupakan fondasi dari pemikiran, orientasi serta pemahaman seseorang akan iman dan praktiknya. Tujuan penulis adalah menggunakan metode semacam itu untuk membuat perbandingan kategorial akan metode berpikir, orientasi dan garis pemikiran seseorang yang secara sengaja atau pun tidak sengaja dilakukan untuk memahami theologi, iman, dan praktiknya.[1]
PELAJARAN UNTUK DIPELAJARI
Mengkategorikan pemikiran-pemikiran theologi tidaklah mudah. Di sebagian besar kasus kita mengetahui bahwa banyak sekolah pemikiran theologi, beberapa diantaranya baik dan banyak juga yang kurang baik. Secara tradisional, sejak zaman para rasul para theolog membagi pemikiran theologi ke dalam dua kategori, yaitu: Alexandrian dan Antiochian. Untuk memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik, Gusto Gonzales, seorang sejarahwan theologi yang terkenal, mencoba merevisi pembagian sekolah-sekolah theologi dari dua kategori menjadi tiga kategori yaitu: Alexandrian (Origen and Clement.), Carthegian (Tertulian), Antiochian (Ireneaus), yang disebut dengan Theologi A, Theologi B, dan Theologi C.1 Menurut Gonzales, Theologi A mewakili golongan Aleksandria yang pemikirannya mengadopsi dasar filosofi sebagai fondasi theologi mereka; sedangkan Theologi B mewakili kelompok Karthago (Secara tradisional disebut Antiokhian) menggunakan dasar retorika dan hukum, dan Theologi C (sebuah pendekatan baru yang diperkenalkan oleh Gonzales) lebih menekankan kepada masalah-masalah pastoral sebagai dasar dari theologinya. Menurut penulis, Gonzales berhasil menyediakan suatu kerangka kerja yang lebih lengkap untuk penggolongan pemikiran theologi, dan karena itu ia menyediakan sebuah argumentasi akademik dan historis yang sangat kuat bagi kasusnya. Meskipun demikian, karena pendekatannya terlalu menekankan akademik dan anti tradisional, maka pendekatan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang mengesankan dan kurang direspon oleh kaum akademis, juga tidak menimbulkan perdebatan yang panas, dan kurang lebih lima tahun pendekatan ini hilang begitu saja.
Karena alasan itulah, paper ini tidak berusaha untuk membuat kategori lainnya demi menyusun sebuah pemikiran theologi yang khusus, akan tetapi paper ini ditulis untuk menyediakan sebuah pendekatan analisa metodologi terhadap orientasi dari pemikiran-pemikiran theologi secara umum di dalam analisa ontologis, dengan tujuan untuk melihat hal-hal yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu, penulis berusaha untuk menghindari masalah-masalah kontroversial dengan membuat suatu kerangka kerja bagi pembaca agar pembaca memiliki sebuah ruang yang luas untuk melakukan refleksi untuk mengisi kekosongan dari pemikiran theologi mereka sendiri.
Paper ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ditujukan kepada pembaca umum dengan tujuan untuk menyediakan sebuah kerangka pemikiran dasar yang sederhana untuk mengkategorikan pemikiran dasar theologi; sedangkan bagian kedua ditujukan untuk para pendeta dan mahasiswa theologi yang melakukan analisa secara mendalam dan komprehensif akan metode serta orientasi theologi mereka. Dengan menyediakan sebuah kerangka pemikiran dan struktur yang dapat diaplikasikan, penulis berharap mereka akan memiliki sistem iman dan kepercayaan yang berguna bagi pelayanan mereka. Penulis juga berusaha menyediakan beberapa ilustrasi pada bagian terakhir.
ANALISIS-ONTOLOGIS YANG SEDERHANA
AKAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN THEOLOGIS
Dua Kategori Theologi Berdasarkan analisa ontologis yang sederhana akan pemikiran theologi, kita akan menemukan bahwa ada dua kategori theologi, yaitu: orientasi theosentris dan orientasi antroposentris. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa orientasi theosentris berpusatkan pada Tuhan dan orientasinya adalah: “dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah,” seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 11:36. Sebaliknya, orientasi Antroposentris memusatkan pemikirannya kepada manusia dan mengadopsi orientasi: “dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia.”
Faktanya sederhana, ada dua rute orientasi, karena pemikiran theologi tidak pernah terlepas dari dua mata kapak, Allah dan manusia. Setiap orientasi selanjutnya dapat di bagi ke dalam dua bagian: 1) orientasi theosentris terdiri dari: i) genuine theocentric (theosentris murni), ii) dan quasi theocentric (seakan-akan theosentris), 2) sedangkan orientasi antroposentris dapat dibagi menjadi: i) pure anthropocentric (antroposentris murni) dan ii) quasi anthropocentric (seakan-akan antroposentris) atau pseudo theocentric.
Yang dimaksud dengan genuine theocentric adalah sebuah komitmen iman yang teguh terhadap orientasi theologi yang percaya bahwa semuanya berasal dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan. Sedangkan orientasi quasi theocentric, sekalipun memiliki sebuah kepercayaan yang teguh bahwa “segala sesuatu berasal dari Tuhan” akan tetapi disengaja atau pun tidak memasukkan unsur-unsur kepentingan manusia dalam proses pemikirannya sehingga membuat sifat dari teosentrisnya menjadi tidak murni.
Orientasi ini tampak seperti
theosentris, tetapi sebenarnya jauh dari orientasi theosentris yang sebenarnya,
oleh sebab itulah penulis menyebutnya sebagai quasi theocentric theology.
Hampir sama, pure anthropocentric artinya adalah sebuah komitmen iman yang
teguh terhadap orientasi theologi, yang percaya bahwa semuanya berasal dari
manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Sedangkan quasi anthropocentric,
sekalipun percaya bahwa “segala sesuatu berasal dari manusia” namun memerlukan
Tuhan dalam proses pemikirannya, sehingga orientasi ini merupakan
antroposentris yang tidak murni. Orientasi ini memiliki sifat yang bisa
membuatnya menjadi theosentris, akan tetapi masih jauh dari theosentris yang
murni, oleh sebab itu orientasi ini lebih tepat disebut sebagai “theosentris
semu.” Faktanya, analisa detail masih mungkin apabila kita ingin melihat
bagaimana setiap orientasi ini beroperasi dalam konteks theologi. Analisa
berikut ini akan membantu kita untuk mengupas dua orientasi yang telah
dipaparkan di atas serta bagaimana mereka beroperasi.
Kerangka Singkat Orientasi-orientasi dari Pemikiran Theologis
Kategori 1: Orientasi Theosentris
A. Genuine Theocentric Orientation
Dari Allah, oleh Allah, untuk Allah
B. Quasi-Theocentric Orientation:
i) Dari Allah, oleh Allah, untuk Allah
ii) Dari Allah, oleh manusia, untuk manusia
iii) Dari Allah, oleh manusia, untuk Allah
Kategori 2: Orientasi Antroposentris
A. Pure Anthropocentric Orientation
Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia
B. Quasi Anthropocentric atau Pseudo Theocentric Orientation:
i) Dari manusia, oleh Allah, untuk manusia
ii) Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah
iii) Dari manusia, oleh manusia, untuk Allah
Pada dasarnya, selain orientasi genuine theocentric semua orientasi lainnya baik sengaja atau pun tidak telah memasukkan unsur manusiawi dalam proposisi dan pengulasan theologi mereka. Oleh sebab itu, semua orientasi lainnya harus dikategorikan sebagai “quasi theocentric” atau “pseudo theocentric orientations.” Mereka telah memasukkan beberapa pemikiran theologis yang tidak murni dalam komitmen serta orientasi theologi mereka, dengan mengabaikan keabsolutan Tuhan serta tuntutan-Nya. Dengan menggunakan kerangka pemikiran yang demikian untuk mempresentasikan pemikiran theologi dewasa ini, kita harus mengakui hanya ada sedikit sekali genuine theocentric theology. Apa yang kita miliki sekarang ini sebagian besar adalah pure anthropocentric, pseudo theocentric, dan quasi theocentric. Ini adalah sebuah fakta yang harus membuat kita para pendeta dan orang percaya merasa prihatin!
MENGEMBANGKAN DAN MENGUMPULKAN KEMBALI ORIENTASI THEOSENTRIS DALAM PEMIKIRAN THEOLOGI
Kerangka Singkat Orientasi-orientasi dari Pemikiran Theologis
Kategori 1: Orientasi Theosentris
A. Genuine Theocentric Orientation
Dari Allah, oleh Allah, untuk Allah
B. Quasi-Theocentric Orientation:
i) Dari Allah, oleh Allah, untuk Allah
ii) Dari Allah, oleh manusia, untuk manusia
iii) Dari Allah, oleh manusia, untuk Allah
Kategori 2: Orientasi Antroposentris
A. Pure Anthropocentric Orientation
Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia
B. Quasi Anthropocentric atau Pseudo Theocentric Orientation:
i) Dari manusia, oleh Allah, untuk manusia
ii) Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah
iii) Dari manusia, oleh manusia, untuk Allah
Pada dasarnya, selain orientasi genuine theocentric semua orientasi lainnya baik sengaja atau pun tidak telah memasukkan unsur manusiawi dalam proposisi dan pengulasan theologi mereka. Oleh sebab itu, semua orientasi lainnya harus dikategorikan sebagai “quasi theocentric” atau “pseudo theocentric orientations.” Mereka telah memasukkan beberapa pemikiran theologis yang tidak murni dalam komitmen serta orientasi theologi mereka, dengan mengabaikan keabsolutan Tuhan serta tuntutan-Nya. Dengan menggunakan kerangka pemikiran yang demikian untuk mempresentasikan pemikiran theologi dewasa ini, kita harus mengakui hanya ada sedikit sekali genuine theocentric theology. Apa yang kita miliki sekarang ini sebagian besar adalah pure anthropocentric, pseudo theocentric, dan quasi theocentric. Ini adalah sebuah fakta yang harus membuat kita para pendeta dan orang percaya merasa prihatin!
MENGEMBANGKAN DAN MENGUMPULKAN KEMBALI ORIENTASI THEOSENTRIS DALAM PEMIKIRAN THEOLOGI
Klarifikasi atas Orientasi Theosentris
Kita harus mencatat bahwa ada perbedaan antara theologi dan divinity.2 Theologi didasarkan pada wahyu Allah, yang merupakan buah dari refleksi dan pembacaan umat Tuhan akan wahyu Allah. Tidak diragukan lagi, semua theologi pasti melibatkan aktivitas manusia, demikian juga theologi theosentris. Bahkan bisa dikatakan bahwa theosentrisitas harus melibatkan faktor-faktor serta pemikiran manusia dalam pengulasan theologinya. Dengan kata lain, orientasi theosentris adalah inklusifitas dari antroposentrisitas, dan theosentrisitas melibatkan faktor manusia. Ini adalah keajaiban dari anugerah Tuhan yang murah. Sebaliknya antroposentris kemungkinan adalah inklusifitas dari theosentris. Mengacu kepada fakta akan keterbatasan dan keberdosaan manusia, kapanpun manusia bertidak, akan selalu mengambil sentralitas dari pemikirannya serta mengesampingkan sentralitas dari Allah.
Inilah alasan, mengapa theosentrisitas adalah sangat penting, hanya ada satu cara, satu orientasi, dan satu pemikiran yang benar: Dari Tuhan, melalui/oleh Tuhan, untuk/bagi Tuhan. Inilah satu-satunya theocentric theology yang benar. Untuk lebih jelasnya kita menyebutnya sebagai “Genuine Theocentric Theology.”
Theologi Antroposentris dan Kaitannya
Di dalam pembahasan tentang anthropocentric theology di bagian pertama, sudah dijelaskan bahwa orientasi antroposentris adalah sistem kepercayaan dalam pemikiran manusia yang memiliki kerangka pemikiran: Dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Seperti telah kita bahas sebelumnya, bahwa karena Tuhan adalah Sang Pencipta, maka antroposentisitas adalah mungkin diterapkan dalam konteks theosentrisitas, dan bukan sebaliknya. Dengan pemahaman yang demikian, maka orientasi antroposentris dapat dipahami dalam tujuh pendekatan. Untuk lebih memudahkan, penulis akan memaparkan analisa ini dalam kerangka pemikiran berikut ini:
1. Dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk manusia.
2. Dari Tuhan, oleh manusia, untuk manusia
3. Dari Tuhan, oleh manusia, untuk Tuhan
4. Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia
5. Dari manusia, oleh Tuhan, untuk manusia
6. Dari manusia, oleh Tuhan, untuk Tuhan
7. Dari manusia, oleh manusia, untuk Tuhan
Dari 7 pendekatan di atas, hanya poin 4, yang merupakan antroposentris murni, yang lainnya bisa dipahami dalam dua cara yaitu: pemikiran antroposentris yang memiliki orientasi antroposentris, atau pemikiran theosentris yang memiliki orientasi antroposentris. Kedua pendekatan di atas disebut “theocentric humanism” dan “humanistic theology,” atau “anthropo-theocentric thought orientation.” Dari luar semuanya terlihat sama, tetapi secara ontologis mereka hampir identik. Keduanya membawa nama Tuhan, akan tetapi menggunakan nama Tuhan dengan sia-sia, akhirnya diakhiri dengan manusia sebagai perhatian utama mereka. Untuk masalah ini akan dibahas secara lengkap berikut ini.
1. Theocentric Humanism
Semua theocentric humanism memiliki kesamaan karena diawali dengan Tuhan, akan tetapi dalam proses pemikiran dan metodologi, mereka selalu memasukkan faktor manusia dalam operasi mereka. Pendekatan pertama yang telah disebutkan di atas yaitu: Dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk manusia; pendekatan kedua; Dari Tuhan, oleh manusia, untuk manusia, dan pendekatan ketiga, dari Tuhan, oleh manusia, untuk Tuhan, ketiga-tiganya salah memahami dan salah menggunakan theosentrisitas. Oleh sebab itu kita harus menyebut mereka sebagai “quasi theocentric theology.” Sekalipun mereka semua dimulai dengan Allah dan menjadikan Allah sebagai fondasi pemikiran mereka, akan tetapi, baik dalam arah dan cara kerja mereka, mereka selalu mementingkan manusia dan sentralitas manusia. Akibatnya, mereka semua berakhir dengan bentuk lain dari orientasi theosentris yang menggunakan metode manusia untuk menyelesaikan karya Allah atau membuat Allah sebagai alat untuk mencapai kemuliaan manusia.
2. Humanistic Theology
Apa yang dimaksud dengan humanistic theology adalah pemikiran theologis yang selalu dimulai dengan humanitas, akan tetapi dalam metodologi dan proses pemikiran theologi mereka berusaha untuk melibatkan Allah dan faktor-faktor ilahi, sehingga seakan-akan terlihat seperti theosentris. Sedangkan orientasi yang diekspresikan dalam pendekatan ke lima sebagai “Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah, pendekatan ke enam:
Dari manusia, oleh Allah, untuk
manusia, dan pendekatan ke tujuh: Dari manusia, oleh manusia, untuk Allah.
Semua pendekatan tersebut pada dasarnya dimulai dengan antroposentris. Semua
pendekatan tersebut menggunakan manusia sebagai fondasi pemikiran mereka,
sekalipun mereka kemungkinan bergantung dan percaya kepada Allah, akan tetapi
mereka menjadikan manusia sebagai perhatian utama mereka. Semua pemikiran
tersebut harus dikategorikan pseudo theocentric theology3 karena semuanya tidak
mengesampingkan natur keberdosaan manusia dalam usaha bertheologi mereka.
Sehingga, semua pendekatan tersebut
mengandung tindakan manusia yang salah dan berdosa. Mereka berpikir bahwa selama
manusia memiliki kehendak dan kegigihan yang cukup, maka Allah tidak dapat
menggagalkan usaha manusia. Bahkan tanpa anugerah Allah sekalipun, segala
sesuatu tetap dapat diselesaikan, karena manusia menghendakinya. Sekalipun
Allah yang memutuskan, manusialah yang harus berencana dan berusaha. Allah
tidak akan mengabaikan kerinduan dan kegigihan hati manusia. Apabila kita
melakukan tugas kita, Allah pasti mendengarkan, Dia pasti akan memberi ganjaran
bagi mereka yang mencari Dia. Mereka semua salah memahami kehendak Allah dan
salah menafsirkan Firman Tuhan sehingga mereka disebut “pseudo theocentric
theology.”4
UJIAN DAN ILUSTRASI ANTHPOSENTRIC THEOLOGY
Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan kita adalah Penguji hati dan pikiran kita. Yesus suatu waktu mengatakan: Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu! (Mat. 6:22-23). Melihat konteks dari ayat ini, kita dapat mengatakan bahwa kalimat ini ditujukan bagi mereka yang sangat mengenal Hukum. Mereka adalah orang-orang yang “telah mendengar apa yang dikatakan... “Akan tetapi Yesus berkata, “Tetapi Aku berfirman kepadamu...” melihat konteks yang ada kita dapat mengatakan bahwa Yesus hanya menekankan dengan jelas apa yang telah diabaikan! Mereka perlu menguji kembali pemikiran dan orientasi mereka. Sebenarnya artikel ini tidak memberikan sesuatu yang baru, akan tetapi hanya berusaha untuk memunculkan apa yang sebenarnya telah ada dalam pikiran sebagian besar pedeta dan orang percaya supaya kita semua dapat melakukan refleksi dan instropeksi yang mendalam. Penulis berharap agar ilustrasi di bawah ini dapat menerangi kita agar kita dapat melakukan tugas kita untuk memperjelas sentralitas dari pemikiran theologi kita.
UJIAN DAN ILUSTRASI ANTHPOSENTRIC THEOLOGY
Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan kita adalah Penguji hati dan pikiran kita. Yesus suatu waktu mengatakan: Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu! (Mat. 6:22-23). Melihat konteks dari ayat ini, kita dapat mengatakan bahwa kalimat ini ditujukan bagi mereka yang sangat mengenal Hukum. Mereka adalah orang-orang yang “telah mendengar apa yang dikatakan... “Akan tetapi Yesus berkata, “Tetapi Aku berfirman kepadamu...” melihat konteks yang ada kita dapat mengatakan bahwa Yesus hanya menekankan dengan jelas apa yang telah diabaikan! Mereka perlu menguji kembali pemikiran dan orientasi mereka. Sebenarnya artikel ini tidak memberikan sesuatu yang baru, akan tetapi hanya berusaha untuk memunculkan apa yang sebenarnya telah ada dalam pikiran sebagian besar pedeta dan orang percaya supaya kita semua dapat melakukan refleksi dan instropeksi yang mendalam. Penulis berharap agar ilustrasi di bawah ini dapat menerangi kita agar kita dapat melakukan tugas kita untuk memperjelas sentralitas dari pemikiran theologi kita.
1. Penjelasan
Ilustrasi 1: “Dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk Manusia” (bentuk operasi Pseudo
Theocentric Theology)
Ketika sebuah khotbah mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan oleh Tuhan, akan tetapi dengan atau tanpa sengaja mengakui bahwa Tuhan dan pekerjaan-Nya dilakukan untuk kepentingan dan kemuliaan manusia, maka khotbah semacam itu yang mengklaim ketergantungannya kepada Tuhan, sebenarnya telah memanfaatkan Tuhan untuk kemuliaan Tuhan. Inilah yang diekspresikan dalam doa Yabez (1Taw. 4:10). Banyak orang Kristen tanpa sengaja jatuh ke dalam praktik semacam ini dan tersesat dalam kesalahan yang fatal. Hal inilah yang terjadi dalam “Theologi” Kemakmuran yang dipraktikkan oleh pengikut ajaran-ajaran Karismatik.
Kita harus ingat apa yang selalu Tuhan katakan bahwa Dia tidak akan membiarkan seorang pun merampas kemuliaan-Nya. Biarlah kita semua belajar dari Pemazmur yang mengatakan: Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu! (Mzm. 115:1).
Ketika sebuah khotbah mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan oleh Tuhan, akan tetapi dengan atau tanpa sengaja mengakui bahwa Tuhan dan pekerjaan-Nya dilakukan untuk kepentingan dan kemuliaan manusia, maka khotbah semacam itu yang mengklaim ketergantungannya kepada Tuhan, sebenarnya telah memanfaatkan Tuhan untuk kemuliaan Tuhan. Inilah yang diekspresikan dalam doa Yabez (1Taw. 4:10). Banyak orang Kristen tanpa sengaja jatuh ke dalam praktik semacam ini dan tersesat dalam kesalahan yang fatal. Hal inilah yang terjadi dalam “Theologi” Kemakmuran yang dipraktikkan oleh pengikut ajaran-ajaran Karismatik.
Kita harus ingat apa yang selalu Tuhan katakan bahwa Dia tidak akan membiarkan seorang pun merampas kemuliaan-Nya. Biarlah kita semua belajar dari Pemazmur yang mengatakan: Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu! (Mzm. 115:1).
2. Penjelasan Ilustrasi 2 dan 3: “Dari Allah,
oleh manusia, untuk manusia” dan “dari Allah, oleh manusia, untuk Allah”
Kedua pemikiran ini mengambil Tuhan sebagai fondasi pemikiran mereka, akan tetapi semuanya tergantung kepada pekerjaan manusia untuk menggenapkan tujuannya yang ditujuan baik itu untuk Allah maupun manusia.
Apabila sebuah khotbah mengakui keabsolutan anugerah, karya, dan kuasa Ilahi, akan tetapi dengan atau tanpa sengaja berbicara tentang ketergantungannya kepada sinergisme antara pekerjaan manusia untuk memberikan kemuliaan baik itu bagi Allah maupun manusia, maka pendekatan seperti ini adalah bentuk yang lain lagi dari antroposentrisme yang mengatakan bahwa tanpa manusia, Tuhan tidak dapat melakukan apa pun juga. Sekalipun Allah adalah maha kuasa, akan tetapi tanpa kerja sama dari manusia semuanya akan menjadi sia-sia.
Sangat sering penulis mendengar orang Kristen berkata: Untung saya percaya, kalau tidak bagaimana mungkin saya bisa selamat! Untung saya berdoa, dan berdoa dengan tekun, apabila tidak, bagaimana saya dapat melakukan semuanya? Untunglah saya menyerahkan hidup saya, apabila tidak, bagaimana mungkin gereja ini bisa memiliki seorang pendeta yang baik? Perkataan-perkataan semacam itu mengandung pesan betapa pentingnya keterlibatan manusia dalam pekerjaan Tuhan dan keselamatan. Sangat antroposentris dalam pendekatan mereka! Pendekatan semacam ini sama sekali gagal dalam memahami theosentrisitas! Mereka mencoba memulai dengan iman dalam anugerah, akan tetapi berusaha menyelesaikannya dengan daging dan pekerjaan manusia! Menjadikan manusia sebagai yang paling penting (Gal. 3:3).
Kedua pemikiran ini mengambil Tuhan sebagai fondasi pemikiran mereka, akan tetapi semuanya tergantung kepada pekerjaan manusia untuk menggenapkan tujuannya yang ditujuan baik itu untuk Allah maupun manusia.
Apabila sebuah khotbah mengakui keabsolutan anugerah, karya, dan kuasa Ilahi, akan tetapi dengan atau tanpa sengaja berbicara tentang ketergantungannya kepada sinergisme antara pekerjaan manusia untuk memberikan kemuliaan baik itu bagi Allah maupun manusia, maka pendekatan seperti ini adalah bentuk yang lain lagi dari antroposentrisme yang mengatakan bahwa tanpa manusia, Tuhan tidak dapat melakukan apa pun juga. Sekalipun Allah adalah maha kuasa, akan tetapi tanpa kerja sama dari manusia semuanya akan menjadi sia-sia.
Sangat sering penulis mendengar orang Kristen berkata: Untung saya percaya, kalau tidak bagaimana mungkin saya bisa selamat! Untung saya berdoa, dan berdoa dengan tekun, apabila tidak, bagaimana saya dapat melakukan semuanya? Untunglah saya menyerahkan hidup saya, apabila tidak, bagaimana mungkin gereja ini bisa memiliki seorang pendeta yang baik? Perkataan-perkataan semacam itu mengandung pesan betapa pentingnya keterlibatan manusia dalam pekerjaan Tuhan dan keselamatan. Sangat antroposentris dalam pendekatan mereka! Pendekatan semacam ini sama sekali gagal dalam memahami theosentrisitas! Mereka mencoba memulai dengan iman dalam anugerah, akan tetapi berusaha menyelesaikannya dengan daging dan pekerjaan manusia! Menjadikan manusia sebagai yang paling penting (Gal. 3:3).
3. Pejelasan
Ilustrasi 4: “Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia” (anthropocentric
theology yang murni)
Pendekatan ini merupakan kasus dari orientasi antroposentris yang murni dimana semuanya berasal dari manusia, oleh manusia, dan untukmanusia. Tidak diragukan lagi ini adalah orientasi yang dilakukan oleh kaum Modernisme, Liberalisme dan orang tidak percaya yang menekankan manusia sebagai sumber dari segala sesuatu, yang awal (the alpha) dan yang akhir (the telos) dari segala sesuatu.
Nebukadnesar dalam kitab Daniel sangat cocok dengan ilustrasi ini. Ketika dia mendapatkan wahyu dari Allah dia sangat terkesan dengan nasehat yang diberikan oleh Daniel. Akan tetapi, dia menjadi lupa diri dan mengatakan: “Bukankah itu Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?” (Dan. 4:30). Akhirnya dia dihalau dari antara manusia dan makan rumput seperti lembu (Dan. 4:33). Bagi mereka yang mengadopsi theologi antroposentris murni, Tuhan berfirman: Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. (Gal. 6:7). Theologi Antroposentris yang murni menurut Paulus adalah “Injil yang lain”.
Pendekatan ini merupakan kasus dari orientasi antroposentris yang murni dimana semuanya berasal dari manusia, oleh manusia, dan untukmanusia. Tidak diragukan lagi ini adalah orientasi yang dilakukan oleh kaum Modernisme, Liberalisme dan orang tidak percaya yang menekankan manusia sebagai sumber dari segala sesuatu, yang awal (the alpha) dan yang akhir (the telos) dari segala sesuatu.
Nebukadnesar dalam kitab Daniel sangat cocok dengan ilustrasi ini. Ketika dia mendapatkan wahyu dari Allah dia sangat terkesan dengan nasehat yang diberikan oleh Daniel. Akan tetapi, dia menjadi lupa diri dan mengatakan: “Bukankah itu Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?” (Dan. 4:30). Akhirnya dia dihalau dari antara manusia dan makan rumput seperti lembu (Dan. 4:33). Bagi mereka yang mengadopsi theologi antroposentris murni, Tuhan berfirman: Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. (Gal. 6:7). Theologi Antroposentris yang murni menurut Paulus adalah “Injil yang lain”.
4.
Penjelasan Ilustrasi 5: “Dari manusia, oleh Allah,
untuk manusia”
Secara umum, semua agama percaya akan keberadaan Tuhan. Pada kenyataannya, tidak ada satu agama pun yang menolak keberadaan Tuhan. Secara sosiologis, tujuan dari agama adalah untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dari semua pandangan, budaya, sosiologis, ekonomi dan politik, agama hanyalah sebuah alat. Apabila para pendeta tidak berhati-hati, sudah pasti mereka akan jatuh ke dalam lubang keagamaan yang seperti ini dalam pelayanan mereka dengan menjadikan manusia sebagai dasar iman dan praktik pelayanannya, mempercayai Tuhan untuk mencapai keuntungan manusia. Semua praktik keagamaan, upacara-upacara, ibadah, doa, penyembahan dan persembahan hanyalah sekadar sebuah metode atau alat. Di dalam konteks yang semacam itu, Tuhan hanyalah sebuah simbol, jembatan, dan alat. Operasi yang semacam ini sengaja atau pun tidak membuat orang percaya menyangkali iman mereka akan keabsolutan Tuhan dan mengadopsi sinergisme dan sinkretisme dalam pekerjaan Injil. Inilah sebabnya kita sering menetapkan pikiran kita, menentukan arah dan mengambil jalan kita kita sendiri kemudian berdoa dengan tekun, berpuasa untuk meminta dan memaksa Tuhan agar memenuhi keinginan dan tuntutan kita supaya kita mendapatkan berkat dan kemuliaan. Apakah hal semacam ini dapat disebut sebagai antroposentris? Apabila operasi semacam itu ingin disebut dengan theosentris, maka paling tidak itu adalah sebuah bentuk dari pseudo theocentric.
Secara umum, semua agama percaya akan keberadaan Tuhan. Pada kenyataannya, tidak ada satu agama pun yang menolak keberadaan Tuhan. Secara sosiologis, tujuan dari agama adalah untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dari semua pandangan, budaya, sosiologis, ekonomi dan politik, agama hanyalah sebuah alat. Apabila para pendeta tidak berhati-hati, sudah pasti mereka akan jatuh ke dalam lubang keagamaan yang seperti ini dalam pelayanan mereka dengan menjadikan manusia sebagai dasar iman dan praktik pelayanannya, mempercayai Tuhan untuk mencapai keuntungan manusia. Semua praktik keagamaan, upacara-upacara, ibadah, doa, penyembahan dan persembahan hanyalah sekadar sebuah metode atau alat. Di dalam konteks yang semacam itu, Tuhan hanyalah sebuah simbol, jembatan, dan alat. Operasi yang semacam ini sengaja atau pun tidak membuat orang percaya menyangkali iman mereka akan keabsolutan Tuhan dan mengadopsi sinergisme dan sinkretisme dalam pekerjaan Injil. Inilah sebabnya kita sering menetapkan pikiran kita, menentukan arah dan mengambil jalan kita kita sendiri kemudian berdoa dengan tekun, berpuasa untuk meminta dan memaksa Tuhan agar memenuhi keinginan dan tuntutan kita supaya kita mendapatkan berkat dan kemuliaan. Apakah hal semacam ini dapat disebut sebagai antroposentris? Apabila operasi semacam itu ingin disebut dengan theosentris, maka paling tidak itu adalah sebuah bentuk dari pseudo theocentric.
Penjelasan
Ilustrasi 6: “Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah”
Ini merupakan bentuk dari pseudo theocentric theology yang paling sulit untuk dimengerti. Pendekatan ini tampaknya sudah salah dari awalnya. Menajdikan manusia sebagai fondasi dari pemikiran theologisnya, berusaha bergantung kepada Tuhan dan dilakukan untuk kemuliaan Tuhan. Faktanya, orientasi ini merupakan bentuk lain dari orientasi yang sebelumnya. Pada dasarnya orientasi ini menunjukkan ketidakmungkinannya, karena pemikiran theologis selalu diakhiri dengan apa yang dimulainya. Sebuah orientasi yang dimulai dengan manusia tidak dapat diakhiri dengan Allah.
Ini merupakan bentuk dari pseudo theocentric theology yang paling sulit untuk dimengerti. Pendekatan ini tampaknya sudah salah dari awalnya. Menajdikan manusia sebagai fondasi dari pemikiran theologisnya, berusaha bergantung kepada Tuhan dan dilakukan untuk kemuliaan Tuhan. Faktanya, orientasi ini merupakan bentuk lain dari orientasi yang sebelumnya. Pada dasarnya orientasi ini menunjukkan ketidakmungkinannya, karena pemikiran theologis selalu diakhiri dengan apa yang dimulainya. Sebuah orientasi yang dimulai dengan manusia tidak dapat diakhiri dengan Allah.
Dalam orientasi ini, Allah hanya
merupakan simbol manusia. Itulah sebabnya orientasi ini dikategorikan sebagai “pseudo
theocentric religion.” Ilustrasi untuk orientasi ini adalah Ananias dan
Safira. Mereka melayani Allah karena keinginan mereka sendiri. Mereka juga
mengakui apa yang merkea dapatkan dari Allah dan berusaha memuliakan Allah
dengan persembahan mereka. Meskipun demikian, Allah yang memeriksa hati dan
pikiran mengetahui bahwa dalam realitanya mereka menjadikan diri mereka sendiri
sebagai tujuan akhir dari ibadah mereka dan mendapatkan hukuman kerna perbuatan
mereka. Dalam analisa finalnya, orientasi ini adalah identik dengan orientasi
kelima.
5.
Penjelasan Ilustrasi 7: “Dari manusia, oleh manusia,
untuk Allah”
Ini merupakan orientasi yang paling sulit, theologi yang paling pseudo theocentric. Dimulai dengan manusia, percaya akan kemampuan manusia, akan tetapi ditujukan untuk kemuliaan Tuhan. Dari luar kelihatan sangat berusaha untuk theosentris, akan tetapi apabila dianalisa secara mendalam, kita akan melihat ketidakmungkinan dalam orientasi ini. Agama Kain adalah contoh dari praktik yang semacam ini. Dia datang kepada Allah, tidak merasa berdosa karena perbuatannya, dia memberikan persembahannya dan berasumsi bahwa Tuhan menerima persembahannya. Ketika dia mendapati bahwa persembahannya ditolak oleh Allah, dia menjadi marah dan membunuh adiknya. Bagi dia, agama adalah urusannya sendiri.
Ini merupakan orientasi yang paling sulit, theologi yang paling pseudo theocentric. Dimulai dengan manusia, percaya akan kemampuan manusia, akan tetapi ditujukan untuk kemuliaan Tuhan. Dari luar kelihatan sangat berusaha untuk theosentris, akan tetapi apabila dianalisa secara mendalam, kita akan melihat ketidakmungkinan dalam orientasi ini. Agama Kain adalah contoh dari praktik yang semacam ini. Dia datang kepada Allah, tidak merasa berdosa karena perbuatannya, dia memberikan persembahannya dan berasumsi bahwa Tuhan menerima persembahannya. Ketika dia mendapati bahwa persembahannya ditolak oleh Allah, dia menjadi marah dan membunuh adiknya. Bagi dia, agama adalah urusannya sendiri.
Dia yang
aktif, dia merasa memiliki hak untuk memaksa Allah menerima persembahannya,
karena dia berusaha untuk memuliakan Allah. Demikian juga dengan kedua anak
Harun, yang masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya
serta menaruh ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka mempersembahkan ke
hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka.
Faktanya sederhana: Tidak seorang pun dapat menyenangkan Allah tanpa anugrah
Allah. Allah tidak dapat menerima api asing dan persembahan yang tidak kudus!
(Im. 10:1)
Pada kenyataannya, ketika seseorang mengakui pekerjaan dan kemuliaan Tuhan, akan tetapi memulainya dengan manusia dan bergantung kepada usaha-usaha manusia, maka yang menjadi perhatian utamanya tidak lain hanyalah manusia dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, semuanya berasal dari manusia dan oleh manusia. Ini merupakan contoh yang sangat tepat akan kesalahan tafsir akan wahyu Allah dan keselamatan. Secara theologis, Tuhan, Sang Pencipta tidak membutuhkan ciptaan-Nya untuk membawa kemuliaan bagi diri-Nya sendiri. Menciptakan adalah tindakan Allah yang bebas. Ketika seseorang berusaha memasukkan pandangan pantheistik ke dalam pemahaman theologinya, maka aktivitas keagamaan menjadi tidak lebih dari sekadar usaha untuk memercikkan percikan ilahi di dalam manusia. Ini merupakan peneguhan akan divinitas manusia, menganggap manusia sebagai bagian dari Allah, dan bahkan Allah itu sendiri. Aktivitas keagamaan menjadi tidak lebih dari sekadar usaha untuk mebebaskan jiwa yang tertekan dari materi, kedagingan dan nafsu, untuk menaikkan jiwa manusia. Ini merupakan duplikasi dari mistisisme, materialisasi dari gnostisisme dalam praktik kontemplasi. Sebuah pengertiann yang sama sekali salah akan theologi theosentris, karena mereka memperlakukan spiritualitas yang sejati sebagai praktik spiritualitas dan lebih lanjut mengambil spiritualitas sebagai kehidupan spiritual, sebuah kegagalan umum dari theologi kontemporer.
AFIRMASI ORIENTASI REFORMED: KESIMPULAN
Tujuan penulis adalah untuk memaparkan kerangka pemahaman pemikiran theologi dalam kategori analitis. Dimulai dengan pernyataan yang jelas akan pembagian dari pemikiran theologi yang didasarkan pada asumsi ontologis dan proposisi, baik itu theosentris maupun antroposentris. Dengan menyediakan sebuah kerangka pemikiran yang tepat untuk merefleksikan dan mengevaluasi dengan benar metodologi, orientasi dan pemikiran theologi seseorang yang erat kaitannya dengan fondasi bertheologi dan pelayanan pastoral.
Faktanya, theologi theosentris yang benar harus merefleksikan lima prinsip paradigma reformasi dari abad ke 16 yaitu, sola scriptura, sola gracia, sola fide, solus Christus, and soli Deo gloria. Di atas fondasi theosentris yang kuat itulah theologi dipaparkan, yang sudah pasti mengandung humanitas tetapi bukan humanisme, usaha manusia tetapi bukan sentralitas manusia, yang selalu menekankan keabsolutan Tuhan dan anugerahnya yang berdaulat. Inilah pembacaan yang tepat akan doksologi Paulus yang theosentris yang berbunyi:
O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Rm. 11:33-36).
Pada kenyataannya, ketika seseorang mengakui pekerjaan dan kemuliaan Tuhan, akan tetapi memulainya dengan manusia dan bergantung kepada usaha-usaha manusia, maka yang menjadi perhatian utamanya tidak lain hanyalah manusia dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, semuanya berasal dari manusia dan oleh manusia. Ini merupakan contoh yang sangat tepat akan kesalahan tafsir akan wahyu Allah dan keselamatan. Secara theologis, Tuhan, Sang Pencipta tidak membutuhkan ciptaan-Nya untuk membawa kemuliaan bagi diri-Nya sendiri. Menciptakan adalah tindakan Allah yang bebas. Ketika seseorang berusaha memasukkan pandangan pantheistik ke dalam pemahaman theologinya, maka aktivitas keagamaan menjadi tidak lebih dari sekadar usaha untuk memercikkan percikan ilahi di dalam manusia. Ini merupakan peneguhan akan divinitas manusia, menganggap manusia sebagai bagian dari Allah, dan bahkan Allah itu sendiri. Aktivitas keagamaan menjadi tidak lebih dari sekadar usaha untuk mebebaskan jiwa yang tertekan dari materi, kedagingan dan nafsu, untuk menaikkan jiwa manusia. Ini merupakan duplikasi dari mistisisme, materialisasi dari gnostisisme dalam praktik kontemplasi. Sebuah pengertiann yang sama sekali salah akan theologi theosentris, karena mereka memperlakukan spiritualitas yang sejati sebagai praktik spiritualitas dan lebih lanjut mengambil spiritualitas sebagai kehidupan spiritual, sebuah kegagalan umum dari theologi kontemporer.
AFIRMASI ORIENTASI REFORMED: KESIMPULAN
Tujuan penulis adalah untuk memaparkan kerangka pemahaman pemikiran theologi dalam kategori analitis. Dimulai dengan pernyataan yang jelas akan pembagian dari pemikiran theologi yang didasarkan pada asumsi ontologis dan proposisi, baik itu theosentris maupun antroposentris. Dengan menyediakan sebuah kerangka pemikiran yang tepat untuk merefleksikan dan mengevaluasi dengan benar metodologi, orientasi dan pemikiran theologi seseorang yang erat kaitannya dengan fondasi bertheologi dan pelayanan pastoral.
Faktanya, theologi theosentris yang benar harus merefleksikan lima prinsip paradigma reformasi dari abad ke 16 yaitu, sola scriptura, sola gracia, sola fide, solus Christus, and soli Deo gloria. Di atas fondasi theosentris yang kuat itulah theologi dipaparkan, yang sudah pasti mengandung humanitas tetapi bukan humanisme, usaha manusia tetapi bukan sentralitas manusia, yang selalu menekankan keabsolutan Tuhan dan anugerahnya yang berdaulat. Inilah pembacaan yang tepat akan doksologi Paulus yang theosentris yang berbunyi:
O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Rm. 11:33-36).
1. Sebagian
besar orang menganggap theologi dan divinitas adalah sama. Sebanrnya berbeda.
Theologi adalah dimulai dengan Tuhan, sebuah tindakan iman yang dihasilkan dari
panggilan Tuhan yang mulia kepada manusia di dalam intelektualnya dengan tujuan
untuk mempelajari dan merefleksikan Firman dan karya Tuhan dalam sejarah
manusia. Theologi merupakan respons yang setia dari manusia terhadap wahyu
Allah. Sebaliknya, divinitas adalah tidakan manusia yang berusaha untuk
menemukan Tuhan berdasarkan akan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tuhan
tanpa wahyu Tuhan. Divinitas merupakan hasil dari beroperasinya keagamaan
manusia.
2. Kenyataannya,
orientasi ini harus dikategorikan sebagai Quasi Anthropocentric Theology karena
bersifat antroposentris di fondasinya, akan tetapi tidak seterusnya demikian.
Agar tetap konsisten, penulis menggunakan istilah Pseudo Theocentric
Orientation untuk menggambarkan pemikiran semacam ini.
3. Penulis
tidak membedakan antara pemahaman yang innocent dengan kesalahtafsiran yang
disengaja akan Firman Tuhan. Kapanpun seseorang mulai dengan Tuhan, kemudian
memasukkan usaha manusia dalam proses orientasi pemikirannya, itu adalah
kesalahan dalam memahami firman Tuhan. Oleh sebab itu hal ini dikategorikan
sebagai Quasi Theocentric.
Sekalipun
demikian, ketika seseorang mulai dengan manusia, kemudian disengaja atau pun
tidak memasukkan Tuhan dalam pemikiran theologinya, adalah juga kesalahan dalam
menafsirkan firman Tuhan. Tindakan semacam itu mengambil metodologi dari
orientasi Pseudo Theocentric. Keduanya berbeda dalam memulainya. Perbedaan ini
dibuat berdasarkan setiap metodologi, arah dan orientasi pemikiran dalam sebuah
pembahasan yang sederhana.