Tampilkan postingan dengan label Allah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Allah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Juli 2019

ALLAH SEMESTA LANGIT DIALAH YANG MEMBUAT KAMI BERHASIL

ALLAH SEMESTA LANGIT DIALAH YANG MEMBUAT KAMI BERHASIL ( NEHEMIA 2:20b).

           NEHEMIA 

Ev. Matius Sobolim, M. Th

A. Latar Belakang
Nehemia artinya Yahwe Kenyamanan. Ia berada dalam pembangunan, selama kurun waktu -+ 70 tahun. Ia bekerja dalam pemerintahan sebagai juru minuman Raja. Suatu hari ia lemah dan wajah tidak berseri karena dia mendengar bahwa kehidupan orang Yahudi yang tinggal di Yerusalem dan kondisi Yerusalem yang hancur karena akibat ketidak setiaan Israel kepada Yahwe.

B. Garis Besar Khotbah:
     Melalui Bacaan Nats ini
     kita melihat ada 3
     bagian  tugas penting
     dalam menyelesaikan
     pembangunan tembok
     Yerusalem.
I. Allah senantiasa
    melaksanakan bagian
    -Nya.
    a. Allah sebagai pencipta
    b. Allah sebagai
        pelindung/ pengayom
    c. Allah sebagai sebagai
        hakim
    d. Allah sebagai militer
    e. Allah sebagai pemilik
        umat

II. Umat-nya senantiasa
    melaksanakan bagian
    mereka dengan iman
    yang teguh.
    a. Umat Allah Bekerja
        dengan segenap hati
       (Neh. 4:6)
    b. Umat Allah waspada
        sementara
        Mereka melaksanakan
        pekerjaan itu (Neh. 4:9)
    c. Umat Allah
        menunjukkan
        keberanian, ketetapan
        hati dan iman ketika
        berhadapan dengan
        perlawanan musuhnya
       (Neh. 4:14).

III. Nehemia melaksanakan
     bagianya dengan teguh
     a. Nehemia adalah tokoh
         nasional
     b. Nehemia adalah tokoh
         yang Cerdas ilmuwan
         Yahudi
     c.Nehemia adalah juru
        minuman raja
    d. Nehemia adalah
         pemimpin yang
         berintegritas, Kredibel,
         dan kababel:
         + lntegritas:
            - Kejujuran
            - Kesetiaan
            - Keadilan
         + Kredibilitas:
            - Mempertahankan
              nilai- nilai Agama,
              hukum, sosial
              politik, ekonomi.
          + Kapasitas:
              - Kemampuan
                berpikir
             - mampu menyusun
               strategis militer
          + Integrasinya:
              - Menghargai
                Teolog Yahudi
               - Menghargai
                 ilmuwan Yahudi
               - Menghargai
                 seluruh
                 masyarakat
C. Aplikasi:
1. Dalam pekerjaan kita
    sekalian Allah campur
    tangan sehingga kita
    berhasil.

2. Allah memihak kita
    dalam segala persoalan,
    maka tidak ada orang
    melawan kita (Rom. 8:)

3. Jadikan Allah sebagai
    sumber Segalanya

4. Menuruti perintah-
    perintahnya...

5. Nehemia berhasil
    membangun tembok
    untuk keamanan
    Yerusalem.

6. Kita membangun tembok
    keliling dengan
    doa,firman, Allah.

7. Kemenangan demi
    kemenangan yang kita
    dapatkan adalah semata
    -mata dari Tuhan saja.
   

Kamis, 24 April 2014

Bagaimana Allah membagikan karunia-karunia Roh?

Bagaimana Allah membagikan karunia-karunia Roh? Apakah Allah akan memberi karunia Roh yang saya minta?

Roma 12:3-8 dan 1 Korintus 12 amat jelas bahwa setiap orang Kristen diberi karunia Roh sesuai dengan kehendak Tuhan. Karunia-karunia Roh diberikan dengan tujuan untuk membangun tubuh Kristus (1 Korintus 12:7; 14:12). Saat yang tepat ketika karunia ini diberikan tidak secara khusus disebutkan. Kebanyakan orang beranggapan bahwa karunia Roh diberikan pada saat kelahiran rohani (saat keselamatan). Namun demikian, ada beberapa ayat yang mungkin mengindikasikan bahwa Allah juga memberi karunia Roh pada waktu yang lebih belakangan. Baik 1 Timotius 4:14 dan 2 Timotius 1:6 merujuk pada “karunia” yang Timotius terima “oleh nubuat” pada saat dia ditahbiskan Kemungkinan ini mengindikasikan bahwa salah seorang penatua pada penahbisan Timotius berbicara di bawah kuasa Allah mengenai karunia rohani yang akan diberikan kepada Timotius untuk memampukan dia untuk pelayanan di kemudian hari.


Dalam 1 Korintus 12:28-31 and 1 Korintus 14:12-13 kita juga diberitahu bahwa Allahlah (dan bukannya kita) yang memilih karunia. Ayat-ayat ini juga mengindikasikan bahwa bukan semua orang akan memiliki karunia tertentu. Paulus memberitahukan orang-orang percaya di Korintus bahwa kalau mereka menginginkan karunia rohani, mereka harus menyingkirkan ketakjuban mereka dengan karunia-karunia yang “spektakular” atau “yang dapat dipamerkan”, dan mencari karunia-karunia yang membangun, seperti bernubuat (menyampaikan Firman Tuhan untuk membangun orang lain). Mengapa Paulus memberitahu mereka untuk mencari karunia-karunia “terbaik” kalau mereka sudah mendapatkan segala yang mereka bisa dapatkan, dan tidak ada lagi kesempatan untuk mendapatkan karunia-karunia yang “terbaik” ini? Ini akan membawa kita untuk percaya bahwa sama seperti Salomo meminta hikmat dari Allah untuk menjadi pemimpin yang baik dari umat Allah, maka Allah juga akan memberi kita karunia-karunia yang kita butuhkan untuk kebaikan gereja.

            Setelah mengatakan ini masih perlu ditekankan bahwa karunia-karunia ini dibagikan menurut pilihan Allah, bukan diri kita. Kalau setiap orang Korintus menginginkan karunia tertentu, seperti misalnya bernubuat, Allah tidak akan memberi setiap orang karunia itu hanya karena mereka betul-betul menginginkannya. Mengapa? Di mana jadinya orang-orang lain yang dibutuhkan untuk melayani dalam peranan lain dalam tubuh Kristus?



Ada satu hal yang amat jelas, perintah Allah adalah pemberian kemampuan dari Allah. Kalau Allah memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu (misalnya bersaksi, mengasihi yang tidak dapat dikasihi, menjadikan semua bangsa murid Tuhan, dll) Dia akan memampukan kita melakukan itu. Sebagian orang mungkin tidak punya “karunia” untuk menginjili seperti orang lain misalnya, namun Allah memerintahkan semua orang Kristen untuk bersaksi dan memuridkan (Matius 28:18-20; Kisah 1:8). Kita semua dipanggil untuk menginjili, baik kita memiliki karunia penginjilan atau tidak. Orang Kristen yang punya ketekadan yang mau terus berusaha setelah mempelajari Firman Allah dan mengembangkan kemampuannya untuk mengajar, akan menjadi guru yang lebih baik dari orang yang memiliki karunia untuk mengajar tapi mengabaikan karunia tsb.



Sebagai kesimpulan, apakah karunia rohani diberikan kepada kita saat kita menerima Kristus, atau kita mendapatkannya melalui hidup bersama Allah? Jawabannya adalah kedua-duanya. Biasanya karunia rohani diberikan pada saat diselamatkan, namun juga dapat diperoleh melalui pertumbuhan rohani. Apakah keingingan hati Anda dapat diperjuangkan dan dikembangkan menjadi karunia rohani? Dapatkah Anda mengejar karunia rohani tertentu? 1 Korintus 12:31 nampaknya mengindikasikan bahwa adalah mungkin untuk “dengan sungguh-sungguh menginginkan karunia yang terbaik.” Anda boleh minta dari Allah karunia rohani tertentu dan dengan giat mengejarnya dengan berusaha berkembang dalam bidang itu. Pada saat yang sama, kalau itu bukan kehendak Allah, Anda tidak akan mendapatkannya sekeras apapun Anda mengejarnya. Allah maha bijak dan tahu karunia apa yang paling bagus bagi Anda dalam kerajaanNya.



Seberapapun hebatnya Anda dalam karunia yang Anda miliki, kita semua dipanggil untuk mengembangkan bidang-bidang yang dicantumkan dalam daftar karunia rohani … menunjukkan keramahan, kemurahan, melayani satu dengan yang lain, mengabarkan Injil, dll. Saat kita berusaha melayani Dia karena kasih, demi untuk membangun orang lain bagi kemuliaanNya, Dia akan memuliakan namaNya, menumbuhkan gerejaNya dan memberi kita pahala (1 Korintus 3:5-8, 12:31-14:1). Allah berjanji bahwa ketika kita menjadikan Dia sebagai kesenangan kita, Dia akan mengabulkan keinginan hati kita (Mazmur 37:4-5). Termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan kita untuk melayani Dia dengan cara yang dapat memberi kita makna dan kepuasan.





Kamis, 17 April 2014

Siapa yang menciptakan Allah? Dari mana datangnya Allah?

Siapa yang menciptakan Allah? Dari mana datangnya Allah?

Bertrand Russell, seorang ateis, menulis dalam bukunya ”Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen” bahwa kalau benar bahwa segala sesuatu perlu penyebab, maka Allah juga perlu ada penyebab. Dari sini dia menyimpulkan bahwa jika Allah perlu ada penyebab, maka Allah bukan Allah (dan jikalau Allah bukan Allah, maka berarti tidak ada Allah). Pada dasarnya ini hanyalah suatu bentuk yang sedikit lebih tinggi dari pertanyaan anak-anak, ”Siapa yang membuat Allah?” Bahkan anak kecilpun tahu bahwa apa yang ada tidak berasal dari yang tidak ada, jadi jikalau Allah adalah ”sesuatu” maka pasti ada yang menyebabkan Allah, begitu bukan?

            Pertanyaan ini menjebak karena di dalamnya terselip asumsi yang salah bahwa Allah pasti berasal dari sesuatu dan kemudian bertanya dari mana datangnya Allah. jawabannya adalah bahwa pertanyaan seperti itu sama sekali tidak masuk akal. Pertanyaan seperti itu sama dengan mempertanyakan, ”Bagaimana bau warna biru?” Biru bukan termasuk sesuatu yang punya bau, sehingga dengan demikian pertanyaan itu sendiri mengandung kesalahan. Demikian pula, Allah tidak termasuk dalam kategori sesuatu yang diciptakan atau yang memiliki asal usul. Allah tidak memiliki penyebab dan tidak diciptakan – Allah berada begitu saja.

            Bagaimana kita mengetahui hal ini? Kita tahu bahwa dari tidak ada, tidak ada yang menjadi ada. Jadi kalau suatu saat, segala sesuatu betul-betul tidak ada, maka tidak ada sesuatu apapun yang akan menjadi ada. Tapi ternyata ada sesuatu yang berada. Karena tidak mungkin sama sekali tidak ada apa-apa, maka ada sesuatu yang harus selalu ada. Sesuatu yang selalu ada itu adalah yang kita sebut Allah.[1]




Pernahkah orang melihat Allah?

Pernahkah orang melihat Allah?
Alkitab mengatakan bahwa tidak seorangpun pernah melihat Allah (Yohanes 1:18) kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dalam Keluaran 33:20, Allah menyatakan, "Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup." (Keluaran 33:20) Ayat-ayat Alkitab ini sepertinya bertentangan dengan bagian Alkitab lainnya di mana bermacam-macam orang “melihat” Allah. Misalnya, Keluaran 33:19-23 menggambarkan Musa berbicara kepada Allah “muka dengan muka.” Bagaimana mungkin Musa berbicara dengan Allah “muka dengan muka” kalau tidak seorangpun dapat melihat wajah Allah dan tetap hidup? Dalam contoh ini, kalimat “muka dengan muka” adalah kalimat figuratif yang mengindikasikan bahwa mereka berada dalam persekutuan yang amat dekat. Allah dan Musa berbicara satu kepada yang lain “sepertinya” mereka itu dua orang manusia yang bercakap-cakap secara akrab.

            Dalam Kejadian 32:30 Yakub melihat Allah menampakkan diri sebagai seorang malaikat – Dia tidak betul-betul melihat Allah. Orangtua Simson ketakutan ketika mereka menyadari bahwa mereka telah melihat Allah (Hakim-Hakim 13:22), namun mereka hanya melihat Dia dalam penampakannya sebagai seorang malaikat. Yesus adalah Allah dalam wujud manusia (Yohanes 1:1, 14) sehingga ketika orang-orang melihat Dia, mereka melihat Allah. Jadi, ya, Allah dapat “dilihat” dan banyak orang telah “melihat” Allah. Pada saat yang sama, tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam segala kemuliaanNya. Dalam kondisi kita sebagai manusia yang jatuh, jika Allah benar-benar menyatakan diri kepada kita secara penuh, kita akan habis binasa. Karena itu Allah menutup diriNya dan menampakkan diri dalam rupa yang dapat kita “lihat.” Namun demikian, ini tidak sama dengan melihat Allah dalam segala kemuliaan dan kekudusanNya. Orang-orang mendapat penglihatan tentang Allah, gambar Allah, dan penampakan diri Allah – namun tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam kesempurnaanNya (Kejadian 33:20).[1]



Matius Sobolim, S. Th




                [1] Baca lebih lanjut:http://www.gotquestions.org/Indonesia/melihat-Allah.html#ixzz2YWS83mXJ

Mengapa Tuhan mengijinkan hal-hal yang tidak baik terjadi pada orang baik?

Mengapa Tuhan mengijinkan hal-hal yang tidak baik terjadi pada orang baik?

Mengapa hal-hal tidak baik terjadi pada orang baik? Ini adalah salah satu pertanyaan yang sulit dijawab. Allah adalah kekal, tak terbatas, maha tahu, maha hadir, maha kuasa, dll. Bagaimana mungkin kita manusia (yang tidak kekal, terbatas, tidak maha tahu, tidak maha kuasa atau tidak maha hadir) dapat mencoba memahami jalan-jalan Tuhan secara sepenuhnya? Kitab Ayub membicarakan soal ini. Tuhan mengijinkan Iblis melakukan apa saja terhadap Ayub, asal jangan membunuh dia. Bagaimana reaksi Ayub? ”Lihatlah, walaupun Ia hendak membunuh aku, aku hendak berharap kepadaNya (Ayub 13:15 – terjemahan dari NIV) "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Ayub tidak memahami mengapa Tuhan mengijinkan semua yang terjadi, namun dia tahu bahwa Tuhan itu baik dan karena itu dia tetap percaya kepadaNya. Pada akhirnya itu seharusnya juga menjadi sikap kita. Allah itu baik, adil, pengasih dan pemurah. Sering kali kita tidak bisa mengerti hal-hal yang terjadi. Namun demikian, daripada meragukan kebaikan Tuhan, kita seharusnya percaya kepadaNya. ”Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

            Barangkali pertanyaan yang lebih baik adalah, “Mengapa hal-hal yang baik terjadi pada orang jahat?” Tuhan itu suci (Yesaya 6:3; Wahyu 4:8). Umat manusia berdosa adanya (Roma 3:23; 6:23). Anda mau tahu bagaimana Tuhan memandang manusia? “Seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu." (Roma 3:10-18). Setiap manusia di bumi ini pantas untuk dilempar ke dalam neraka pada saat ini juga. Setiap detik yang kita hidupi itu adalah karena anugrah Tuhan. Bahkan kesengsaraan yang paling mengerikan yang kita alami dalam dunia ini masih ringan dibanding dengan apa yang kita pantas dapatkan, neraka lautan api untuk selama-lamanya.

            ”Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Tanpa menghiraukan kejahatan dan pribadidosa dari orang-orang dalam dunia ini, Allah tetap mengasihi kita. KasihNya cukup untuk membuat Dia mati untuk menanggung hukuman dosa-dosa kita (Roma 6:23). Yang kita perlu lakukan hanyalah percaya kepada Yesus Kristus (Yohanes 3:16; Roma 10:9) supaya memperoleh pengampunan dan janji rumah surgawi (Roma 8:1). Apa yang kita pantas dapat adalah neraka. Apa yang kita diberikan adalah hidup kekal di surga asal kita bersedia untuk percaya. Dikatakan bahwa dunia ini adalah satu-satunya neraka yang dialami oleh orang-orang percaya dan dunia ini adalah satu-satunya surga yang akan dinikmati oleh orang-orang yang tidak percaya. Lain kali waktu kita bertanya, ”Mengapa Tuhan mengijinkan hal-hal yang tidak baik terjadi pada orang baik?” mungkin kita lebih baik bertanya, ”Mengapa Tuhan mengijinkan hal-hal yang baik terjadi pada orang jahat?”


Mengapa dalam Perjanjian Lama Allah begitu berbeda dengan dalam Perjanjian Baru?

Mengapa dalam Perjanjian Lama Allah begitu berbeda dengan dalam Perjanjian Baru?

Saya percaya bahwa pada pertanyaan ini didasarkan pada salah pengertian yang mendasar mengenai apa yang Perjanjian Lama dan Baru ungkapkan mengenai pribadi Allah. Cara lain untuk mengekspresikan pemikiran yang sama adalah waktu orang mengatakan, ”Allah Perjanjian Lama adalah Allah yang murka sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang mengasihi.” Fakta bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah secara progressif melalui peristiwa-peristiwa sejarah dan cara Allah berhubungan dengan manusia sepanjang sejarah memungkinkan terjadinya salah pengertian terhadap Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun ketika orang membaca baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru langsung jelas bahwa Allah tidak berbeda dan bahwa murka dan kasih Allah diungkapkan dalam kedua Perjanjian.

            Contohnya, dalam Perjanjian Lama Allah dikatakan sebagai ”penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6; Bilangan 34:6; Ulangan 4:31; Nehemia 9:17; Mazmur 86:5; 15; 108:4; 145:8; Yoel 2:13), dan di dalam Perjanjian Baru kasih setia dan kemurahan Allah dinyatakan dengan lebih jelas dalam pernyataan, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Dalam Perjanjian Lama kita juga menemukan bahwa Allah memperlakukan Israel dengan cara yang sama seperti seorang ayah yang pengasih terhadap anak-anaknya. Saat mereka secara sengaja berdosa kepadaNya dan menyembah berhala, Tuhan akan menghukum mereka, namun setiap kali mereka bertobat dari penyembahan berhala, Tuhan menolong dan membebaskan mereka. Allah juga bersikap demikian terhadap orang-orang Kristen dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Ibrani 12:6 memberitahu kita, ”Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak" (Ibrani 12:6).

            Demikian pula dalam Perjanjian Lama kita melihat penghakiman dan murka Tuhan dicurahkan atas orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat. Dalam Perjanjian Baru kita melihat bahwa ”Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” (Roma 1:18). Bahkan sekalipun kita hanya membaca Perjanjian Baru secara sekilas, kita akan melihat dengan jelas bahwa Yesus berbicara lebih banyak mengenai neraka daripada mengenai surga. Jadi jelas bahwa dalam Perjanjian Lama Allah tidak berbeda dengan dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan naturnya, Allah tidak dapat berubah dan walaupun dalam ayat-ayat Alkitab tertentu aspek tertentu dari natur Allah lebih ditekankan dari aspek-aspek lainnya, Allah sendiri tidak pernah berubah.

            Ketika seseorang betul-betul membaca dan mempelajari Alkitab, nyata dengan jelas bahwa dalam Perjanjian Lama dan Baru Allah tidak berbeda. Dan sekalipun Alkitab terdiri dari 66 kitab yang bebeda, ditulis di tiga benua, dalam tiga bahasa, dalam kurun waktu sekitar 1500 tahun, oleh lebih dari 40 penulis (dari berbagai latar belakang), Alkitab tetap merupakan satu kesatuan dari awal sampai akhir tanpa kontradiksi. Dalam Alkitab kita menemukan bagaimana Allah dengan kasih, kemurahan dan keadilan memperlakukan orang-orang berdosa dalam berbagai situasi. Alkitab benar-benar adalah surat cinta Allah pada umat manusia. Kasih Allah kepada ciptaanNya, khususnya umat manusia, nyata dalam Alkitab. Dalam Alkitab kita menemukan Allah dengan kasih dan murah hati menarik manusia ke dalam hubungan yang khusus dengan diriNya, bukan karena manusia pantas mendapatkannya, namun karena Allah itu penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setiaNya. Namun kita juga melihat Allah yang suci dan benar, Allah yang adalah Hakim bagi semua yang tidak taat kepada FirmanNya dan menolak menyembah Dia dan memilih menyembah allah yang mereka ciptakan sendiri, menyembah berhala dan illah-illah lain dan bukan menyembah Allah yang esa dan sejati (Roma 1).

            Karena karakter Allah yang adil dan suci, semua dosa, baik dari masa lalu, sekarang dan masa depan harus dihakimi. Namun demikian Allah dalam kasihNya yang tidak terbatas telah menyediakan pembayaran bagi dosa dan jalan pendamaian supaya orang berdosa dapat bebas dari murkaNya. Kita melihat kebenaran yang indah ini dalam ayat-ayat seperti 1 Yohanes 4:10 ”Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:10). Dalam Perjanjian Lama Allah menyediakan sistim korban persembahan di mana dosa dapat ditebus; namun sistim ini hanya sementara dan untuk mengantisipasi kedatangan Yesus Kristus yang akan mati di salib untuk benar-benar menggantikan dan menebus dosa-dosa kita. Juruselamat yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama diungkapkan dengan lebih jelas dalam Perjanjian Baru dan puncak pernyataan kasih Allah, yaitu pengutusan Anaknya Yesus Kristus diungkapkan dengan segala kemuliaan. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru diberikan ”menuntun engkau kepada keselamatan” (2 Timotius 3:15) dan ketika kita mempelajarinya dengan teliti, nyata dengan jelas bahwa Allah dalam Perjanjian Baru tidak berbeda dengan Allah dalam Perjanjian Lama.[1]






                [1] Baca lebih lanjut:http://www.gotquestions.org/Indonesia/Allah-berbeda.html#ixzz2YWOlIihC

Mengapa Allah mengijinkan bencana alam, misalnya gempa bumi, angin topan, dan tsunami?

Mengapa Allah mengijinkan bencana alam, misalnya gempa bumi, angin topan, dan tsunami?
Mengapa Allah mengijinkan gempa, angin tornado, topan, tsunami, taifun, longsor, dan bencana alam-bencana alam lainnya? Tragedi tsunami yang menimpa Asia pada akhir tahun 2004, topan Katrina pada tahun 2005 di bagian Tenggara Amerika Serikat, dan pada tahun 2006 longsor di Filipina membuat banyak orang mempertanyakan kebaikan Allah. Memang menyusahkan ketika bencana alam disebut sebagai “tindakan Allah/acts of God” padahal Allah tidak “dipuji” pada saat untuk bertahun-tahun, atau berabad-abad cuaca bagus. Allah menciptakan seluruh alam semesta dan hukum-hukum alam (Kejadian 1:1). Kebanyakan bencana alam adalah akibat dari hukum-hukum alam ini. Topan, taifun and tornado adalah akibat dari bertumbuknya pola cuaca yang berbeda. Gempa bumi adalah akibat dari bergesernya lempengan bumi. Tsunami diakibatkan oleh gempa bumi di bawah permukaan laut.

            Alkitab menyatakan bahwa Yesus Kristus menyatukan seluruh alam semesta (Kolose 1:16-17). Dapatkah Allah mencegah bencana alam? Sudah tentu! Apakah kadang-kadang Allah mempengaruhi cuaca? Ya, lihat Ulangan 11:17 dan Yakobus 5:17. Apakah kadang-kadang Allah menggunakan bencana alam sebagai hukuman atas dosa? Ya, lihat Bilangan 16:30-34. Kitab Wahyu menggambarkan banyak peristiwa yang jelas-jelas dapat digambarkan sebagai bencana alam (Wahyu 6, 8 dan 16). Apakah setiap bencana alam merupakan hukuman Allah. Sama sekali tidak!

            Sama halnya dengan Allah mengijinkan orang jahat melakukan kejahatan, Allah mengijinkan bumi memperlihatkan konsekwensi dari dosa terhadap ciptaan. Roma 8:19-21 memberitahukan kita, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Kejatuhan umat manusia dalam dosa berdampak pada segala sesuatu, termasuk alam semesta yang kita huni. Segala yang ada dalam ciptaan ini takluk kepada “kesia-siaan” dan “kebinasaaan.” Dosa adalah penyebab utama dari bencana alam-bencana alam sama seperti dosa mengakibatkan kematian, penyakit dan penderitaan.

            Jadi kita kembali ke awal. Kita dapat memahami bagaimana bencana alam terjadi. Yang tidak dapat kita pahami adalah mengapa Allah mengijinkan itu terjadi. Mengapa Allah mengijinkan tsunami membinasakan lebih dari 225.000 orang di Asia? Mengapa Allah mengijinkan topan Katrina menghancurkan rumah dari ratusan ribu orang? Apa yang kita tahu adalah … Allah itu baik! Ada banyak mujizat yang ajaib dalam berbagai bencana alam yang mencegah hilangnya lebih banyak nyawa. Bencana alam mengakibatkan jutaan orang mengevaluasi kembali prioritas hidup mereka, Ratusan juta dikirimkan untuk membantu orang-orang yang menderita. Pelayanan-pelayanan Kristen memiliki kesempatan untuk membantu, melayani, memberikan konsultasi, berdoa – dan memimpin oran kepada iman keselamatan di dalam Kristus! Allah mampu dan Allah menghasilkan hasil yang baik dari tragedi-tragedi yang menyedihkan (Roma 8:28).



Dapatkah monoteisme dibuktikan?

Dapatkah monoteisme dibuktikan?
          Definisi monoteisme – Monoteisme berasal dari kata “mono” (tunggal) dan “teisme” (kerpercayaan pada Allah). Khususnya monoteisme adalah kepercayaan pada satu Allah yang sejati yang adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan juga Hakim dari segala makhluk. Monoteisme berbeda dari henoteisme yang adalah kepercayaan pada bermacam allah dengan satu allah yang lebih utama dari semua allah yang lain. Monoteisme juga bertolak belakang dengan politeisme yang adalah kepercayaan pada adanya banyak allah.

            Ada banyak argumen yang mendukung monoteisme, termasuk di dalamnya pewahyuan khusus (Alkitab), pewahyuan alam (filosofi), dan juga antropologi sejarah. Berikut ini semuanya akan diuraikan secara amat singkat walaupun penjelasan ini tidak boleh dianggap sebagai penjelasan yang menyeluruh.

            Argumen Biblika untuk monoteisme – Ulangan 4:35, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” Ulangan 6:4, “ Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Maleakhi 2:10a, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?” 1 Korintus 8:6, “ namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” 1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yakobus 2:19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”

            Jelas bahwa bagi banyak orang tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa hanya ada satu Allah karena Alkitab mengatakan demikian. Ini adalah karena tanpa Allah tidak ada cara untuk membuktikan bahwa Alkitab benar-benar adalah FirmanNya! Namun demikian, orang bisa saja mengatakan bahwa karena Alkitab memiliki bukti supranatural yang paling dapat diandalkan yang menguatkan apa yang diajarkan, ini dapat menjadi dasar yang meneguhkan monoteisme. Argumen yang serupa adalah kepercayaan dan pengajaran Yesus Kristus yang membuktikan bahwa Dia adalah Alah (atau paling sedikit Dia diperkenankan Allah) melalui kelahiranNya yang merupakan mujizat, kehidupanNya, dan mujizat kebangkitanNya. Allah tidak dapat berdusta atau ditipu; karena itu apa yang dpercayai dan diajarkan Yesus adalah benar adanya. Karena itu, monoteisme, sebagaimana yang dipercayai dan diajarkan Yesus, adalah benar adanya. Argumen ini mungkin tidak akan berkesan dalam bagi mereka yang tidak mengenal bukti supranatural Alkitab dan Kristus, namun ini merupakan suatu permulaan yang baik bagi mereka yang memahaminya.

            Argumen historis untuk monoteisme – Argumen yang berdasarkan popularitas sangat perlu dicurigai, namun adalah menarik melihat betapa monoteisme mempengaruhi agama-agama dunia. Teori yang terkenal mengenai perkembangan agama secara evolusi berasal dari pandangan mengenai realita secara umum, dan anggapan mengenai antropologi evolutionis yang memandang kebudayaan-kebudayaan “primitif” sebagai wakil dari tahapan awal perkembangan agama. Namun ada beberapa masalah dengan teori evolusi semacam ini:
1.      Perkembangan yang dilukiskan tidak pernah diamati – bahkan kenyataannya kelihatannya tidak ada peningkatan ke arah monoteisme dari kebudayaan manapun – yang terjadi malah kebalikannya.
2.      Metode antropologi mendefinisikan “primitif” dengan menyamakannya dengan perkembangan tehnologi, namun ini bukanlah kriteria yang memuaskan karena dalam suatu budaya terdapat begitu banyak komponen.
3.      Tahapan-tahapan yang dimaksud sering hilang atau dilangkahi.
4.      Akhrnya, kebanyakan budaya politeistik memperlihatkan sisa-sisa monoteisme dari tahap awal perkembangan mereka. Apa yang kita temukan adalah Allah yang monoteistik ini merupakan suatu pribadi, maskulin, tinggal di langit, memiliki pengetahuan dan kuasa yang luar biasa, menciptakan dunia, sumber dari moralitas yang harus kita taati, namun kita langgar dan sebagai akibatnya kita terbuang, namun jalan pendamaian sudah disediakan. Bisa dikata semua agama mengandung variasi dari Allah semacam ini pada dulunya sebelum kemudian “merosot” pada kacaunya politeisme, animisme dan sihir – bukan sebaliknya (Islam adalah kasus yang amat jarang, di mana Islam berbalik 360 derajat kembali kepada kepercayaan monoteistik). Namun sekalipun dengan pergerakan seperti ini, politeisme sering kali merupakan monoteistik atau henoteistik fungsional. Jarang ada agama politeistik yang tidak memiliki salah satu dari dewa dewi sebagai allah yang berkuasa di atas allah-allah lainnya, di mana allah-allah lainnya ini bertindak hanya sebagai pengantara.

            Argumen filosofis/teologis untuk Monoteisme – Ada banyak argumen filosofis mengenai ketidakmungkinan untuk adanya lebih dari satu Allah. Banyak dari argumen ini bergantung pada posisi metafisik seseorang dalam soal natur dari realita. Dalam artikel yang begitu pendek ini adalah tidak mungkin untuk menjabarkan semua pandangan dasar metafisik ini dan kemudian memperlihatkan pandangan mereka mengenai monoteisme, tapi percayalah bahwa ada dasar-dasar filosofis dan teologis dari kebenaran-kebenaran ini yang sudah beribu tahun lamanya (dan kebanyakan tidak perlu dijelaskan lagi). Secara singkat, berikut ini adalah tiga argumen yang seseorang dapat pilih untuk diteliti (mulai dari yang kurang sulit):
1)     Kalau ada lebih dari satu Allah, maka alam semesta akan kacau karena ada bermacam pencipta dan penguasa, tapi kenyataannya alam semesta tidak kacau; karena itu hanya ada satu Allah.
2)     Karena Allah adalah makhluk yang sempurna, maka tidak mungkin ada Allah yang kedua karena keduanya pasti akan ada perbedaan, dan untuk berbeda dari yang sempurna berarti kurang sempurna dan bukan Allah.
3)     Karena Allah ada secara tidak terbatas, maka Allah tidak bisa terbagi-bagi (karena bagian tidak dapat dijumlahkan untuk menjadi tidak terbatas). Kalau keberadaan Allah bukan hanya merupakan bagian dari diriNya (sebagaimana lazimnya bagi segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada), maka Allah haruslah memiliki memiliki keberadaan yang tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin ada dua makhluk yang tidak terbatas karena yang satu haruslah berbeda dari yang lainnya, dan berbeda dari keberadaan yang tidak terbatas berarti tidak ada sama sekali.

            Orang mungkin bisa berargumen bahwa banyak argumen ini tidak menyingkirkan “allah-allah” tingkat yang lebih rendah, dan itu bisa saja diterima. Walaupun kita tahu bahwa ini tidaklah benar secara Alkitabiah, secara teori sama sekali tidak ada salahnya. Dengan kata lain, Allah bisa saja mencipta “allah-allah” tingkat lebih rendah, namun kenyataannya Dia tidak melakukan hal itu. Kalau Dia melakukannya, bukan saja “allah-allah” ini merupakan makhluk ciptaan yang terbatas, mungkin sangat mirip dengan para malaikat (bdk. Mazmur 82). Hal ini tidak akan merusak monoteisme yang tidak pernah mengatakan bahwa tidak ada makhluk rohani lainnya – hanya saja tidak ada Allah lainnya.[1]


                    Matius Sobolim, S. Th 

          Definisi monoteisme – Monoteisme berasal dari kata “mono” (tunggal) dan “teisme” (kerpercayaan pada Allah). Khususnya monoteisme adalah kepercayaan pada satu Allah yang sejati yang adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan juga Hakim dari segala makhluk. Monoteisme berbeda dari henoteisme yang adalah kepercayaan pada bermacam allah dengan satu allah yang lebih utama dari semua allah yang lain. Monoteisme juga bertolak belakang dengan politeisme yang adalah kepercayaan pada adanya banyak allah.


            Ada banyak argumen yang mendukung monoteisme, termasuk di dalamnya pewahyuan khusus (Alkitab), pewahyuan alam (filosofi), dan juga antropologi sejarah. Berikut ini semuanya akan diuraikan secara amat singkat walaupun penjelasan ini tidak boleh dianggap sebagai penjelasan yang menyeluruh.



            Argumen Biblika untuk monoteisme – Ulangan 4:35, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” Ulangan 6:4, “ Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Maleakhi 2:10a, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?” 1 Korintus 8:6, “ namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” 1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yakobus 2:19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”



            Jelas bahwa bagi banyak orang tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa hanya ada satu Allah karena Alkitab mengatakan demikian. Ini adalah karena tanpa Allah tidak ada cara untuk membuktikan bahwa Alkitab benar-benar adalah FirmanNya! Namun demikian, orang bisa saja mengatakan bahwa karena Alkitab memiliki bukti supranatural yang paling dapat diandalkan yang menguatkan apa yang diajarkan, ini dapat menjadi dasar yang meneguhkan monoteisme. Argumen yang serupa adalah kepercayaan dan pengajaran Yesus Kristus yang membuktikan bahwa Dia adalah Alah (atau paling sedikit Dia diperkenankan Allah) melalui kelahiranNya yang merupakan mujizat, kehidupanNya, dan mujizat kebangkitanNya. Allah tidak dapat berdusta atau ditipu; karena itu apa yang dpercayai dan diajarkan Yesus adalah benar adanya. Karena itu, monoteisme, sebagaimana yang dipercayai dan diajarkan Yesus, adalah benar adanya. Argumen ini mungkin tidak akan berkesan dalam bagi mereka yang tidak mengenal bukti supranatural Alkitab dan Kristus, namun ini merupakan suatu permulaan yang baik bagi mereka yang memahaminya.



            Argumen historis untuk monoteisme – Argumen yang berdasarkan popularitas sangat perlu dicurigai, namun adalah menarik melihat betapa monoteisme mempengaruhi agama-agama dunia. Teori yang terkenal mengenai perkembangan agama secara evolusi berasal dari pandangan mengenai realita secara umum, dan anggapan mengenai antropologi evolutionis yang memandang kebudayaan-kebudayaan “primitif” sebagai wakil dari tahapan awal perkembangan agama. Namun ada beberapa masalah dengan teori evolusi semacam ini:

1.      Perkembangan yang dilukiskan tidak pernah diamati – bahkan kenyataannya kelihatannya tidak ada peningkatan ke arah monoteisme dari kebudayaan manapun – yang terjadi malah kebalikannya.

2.      Metode antropologi mendefinisikan “primitif” dengan menyamakannya dengan perkembangan tehnologi, namun ini bukanlah kriteria yang memuaskan karena dalam suatu budaya terdapat begitu banyak komponen.

3.      Tahapan-tahapan yang dimaksud sering hilang atau dilangkahi.
4.      Akhrnya, kebanyakan budaya politeistik memperlihatkan sisa-sisa monoteisme dari tahap awal perkembangan mereka. Apa yang kita temukan adalah Allah yang monoteistik ini merupakan suatu pribadi, maskulin, tinggal di langit, memiliki pengetahuan dan kuasa yang luar biasa, menciptakan dunia, sumber dari moralitas yang harus kita taati, namun kita langgar dan sebagai akibatnya kita terbuang, namun jalan pendamaian sudah disediakan. Bisa dikata semua agama mengandung variasi dari Allah semacam ini pada dulunya sebelum kemudian “merosot” pada kacaunya politeisme, animisme dan sihir – bukan sebaliknya (Islam adalah kasus yang amat jarang, di mana Islam berbalik 360 derajat kembali kepada kepercayaan monoteistik). Namun sekalipun dengan pergerakan seperti ini, politeisme sering kali merupakan monoteistik atau henoteistik fungsional. Jarang ada agama politeistik yang tidak memiliki salah satu dari dewa dewi sebagai allah yang berkuasa di atas allah-allah lainnya, di mana allah-allah lainnya ini bertindak hanya sebagai pengantara.



            Argumen filosofis/teologis untuk Monoteisme – Ada banyak argumen filosofis mengenai ketidakmungkinan untuk adanya lebih dari satu Allah. Banyak dari argumen ini bergantung pada posisi metafisik seseorang dalam soal natur dari realita. Dalam artikel yang begitu pendek ini adalah tidak mungkin untuk menjabarkan semua pandangan dasar metafisik ini dan kemudian memperlihatkan pandangan mereka mengenai monoteisme, tapi percayalah bahwa ada dasar-dasar filosofis dan teologis dari kebenaran-kebenaran ini yang sudah beribu tahun lamanya (dan kebanyakan tidak perlu dijelaskan lagi). Secara singkat, berikut ini adalah tiga argumen yang seseorang dapat pilih untuk diteliti (mulai dari yang kurang sulit):

1)     Kalau ada lebih dari satu Allah, maka alam semesta akan kacau karena ada bermacam pencipta dan penguasa, tapi kenyataannya alam semesta tidak kacau; karena itu hanya ada satu Allah.
2)     Karena Allah adalah makhluk yang sempurna, maka tidak mungkin ada Allah yang kedua karena keduanya pasti akan ada perbedaan, dan untuk berbeda dari yang sempurna berarti kurang sempurna dan bukan Allah.
3)     Karena Allah ada secara tidak terbatas, maka Allah tidak bisa terbagi-bagi (karena bagian tidak dapat dijumlahkan untuk menjadi tidak terbatas). Kalau keberadaan Allah bukan hanya merupakan bagian dari diriNya (sebagaimana lazimnya bagi segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada), maka Allah haruslah memiliki memiliki keberadaan yang tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin ada dua makhluk yang tidak terbatas karena yang satu haruslah berbeda dari yang lainnya, dan berbeda dari keberadaan yang tidak terbatas berarti tidak ada sama sekali.



            Orang mungkin bisa berargumen bahwa banyak argumen ini tidak menyingkirkan “allah-allah” tingkat yang lebih rendah, dan itu bisa saja diterima. Walaupun kita tahu bahwa ini tidaklah benar secara Alkitabiah, secara teori sama sekali tidak ada salahnya. Dengan kata lain, Allah bisa saja mencipta “allah-allah” tingkat lebih rendah, namun kenyataannya Dia tidak melakukan hal itu. Kalau Dia melakukannya, bukan saja “allah-allah” ini merupakan makhluk ciptaan yang terbatas, mungkin sangat mirip dengan para malaikat (bdk. Mazmur 82). Hal ini tidak akan merusak monoteisme yang tidak pernah mengatakan bahwa tidak ada makhluk rohani lainnya – hanya saja tidak ada Allah lainnya.[1]



Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Pada mulanya bisa saja kelihatan sepertinya jika Allah menciptakan segala sesuatu, berarti kejahatan juga diciptakan oleh Allah. Namun demikian, di sini ada asumsi yang perlu dijernihkan. Kejahatan bukanlah sebuah ”benda” – seperti batu atau listrik. Anda tidak dapat memiliki satu kaleng kejahatan! Sebaliknya, kejahatan adalah sesuatu yang terjadi, seperti berlari. Kejahatan tidak berada secara sendirinya, kejahatan adalah tidak adanya hal-hal yang baik. Misalnya, lubang itu riil, tapi hanya ada dalam sesuatu yang lain. Kita bisa katakan tidak adanya tanah sebagai sebuah lubang, tapi lubang tidak bisa dipisahkan dari tanah. Jadi waktu Allah menciptakan, semuanya itu baik. Salah satu hal baik yang diciptakan Tuhan adalah bahwa mahkluk ciptaanNya memiliki kebebasan untuk memilih yang baik. Agar mereka benar-benar memiliki pilihan, Allah harus mengijinkan sesuatu yang berbeda dengan yang baik supaya bisa ada pilihan. Karena itu Allah mengijinkan para malaikat dan manusia untuk memilih yang baik atau yang tidak baik (jahat). Ketika hubungan yang tidak baik terjadi di antara dua hal, kita sebut itu kejahatan, namun tidak berarti itu adalah ”sesuatu” yang diciptakan oleh Tuhan.

            Mungkin ilustrasi berikut dapat menolong menjelaskan. Misalnya saya bertanya kepada orang, ”Apakah dingin itu ada?” – kemungkinan besar mereka akan menjawab ya. Namun sebenarnya ini salah. Dingin itu tidak ada. Yang dinamakan dingin adalah tidak adanya panas. Demikian, tidak ada kegelapan. Kegelapan adalah saat tidak adanya terang. Demikian pula kejahatan adalah tidak adanya kebaikan, atau yang lebih tepat, kejahatan adalah tidak adanya Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan, namun Dia mengijinkan hilangnya kebaikan.

            Perhatikan Ayub dalam Ayub 1-2. Iblis ingin menghancurkan Ayub, dan Tuhan mengijinkan Iblis berbuat apa saja, kecuali membunuh Ayub. Tuhan mengijinkan ini untuk membuktikan kepada Iblis bahwa Ayub adalah orang benar karena dia mencintai Tuhan, bukan karena Tuhan telah memberkati dia dengan berlimpah. Tuhan berdaulat dan mengontrol segala sesuatu yang terjadi. Iblis tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mendapatkan “ijin” dari Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan, namun Dia mengijinkan kejahatan. Jikalau Tuhan tidak mengijinkan kejahatan, manusia dan malaikat melayani Tuhan sebagai keharusan dan bukan karena pilihan. Tuhan tidak menghendaki “robot” yang melakukan apa saja yang Dia inginkan karena ”diprogram” dengan cara demikian. Tuhan membuka kemungkinan untuk kejahatan supaya kita dapat memiliki kehendak bebas dan memilih apakah kita mau melayani Dia atau tidak.

            Pada akhirnya, pertanyaan seperti ini tidak ada jawaban yang betul-betul dapat kita mengerti. Kita, sebagai manusia yang terbatas tidak pernah dapat secara penuh memahami Tuhan yang tidak terbatas (Roma 11:33-34). Kadang-kdang kita berpikir kita dapat memahami mengapa Tuhan melakukan sesuatu hanya untuk kemudia mendapatkan bahwa maksud Tuhan sama sekali berbeda dengan apa yang sebelumnya kita pikirkan. Tuhan melihat segala sesuatu dari perspektif kekekalan. Kita melihat segalanya dari perspektif duniawi. Mengapa Tuhan menempatkan manusia di bumi ini walaupun Dia tahu bahwa Adam dan Hawa akan berdosa dan sebagai akibatnya membawa kejahatan, kematian dan penderitaan pada umat manusia? Mengapa Tuhan tidak saja menciptakan kita dan membiarkan kita di Surga di mana kita menjadi sempurna dan bebas dari penderitaan? Jawaban yang paling baik yang dapat saya berikan adalah: Tuhan tidak menghendaki sebuah ras robot yang tidak punya kehendak bebas. Tuhan mengijinkan kemungkinan terjadinya kejahatan supaya kita bisa betul-betul memilih mau menyembah Tuhan atau tidak. Jika tidak pernah menderita dan mengalami yang jahat, dapatkah kita betul-betul mengetahui betapa indahnya surga? Tuhan tidak menciptakan kejahatan, Dia mengijinkannya. Jikalau Tuhan tidak mengijinkan kejahatan, kita akan menyembah Dia secara terpaksa dan bukan karena kita memilih dengan kemauan sendiri. 
                                                                                                   SobolimMatiusOnggombi


Apakah Tuhan masih berbicara kepada kita pada zaman sekarang?

Apakah Tuhan masih berbicara kepada kita pada zaman sekarang?

            Alkitab mencatat bahwa Allah berulang kali berbicara dengan cara yang dapat didengar kepada bermacam-macam orang (Keluaran 3:14; Yosua 1:1; Hakim-Hakim 6:18; 1 Samuel 3:11; 2 Samuel 2:1; Ayub 40:1; Yesaya 7:3; Yeremia 1:7; Kisah Rasul 8:26; 9:15 – ini hanya beberapa contoh saja). Pada zaman ini, tidak ada alasan Alkitabiah mengapa Tuhan tidak bisa atau tidak mau berbicara kepada seseorang dengan cara yang dapat didengar. Dari ratusan kali Allah berbicara sebagaimana dicatat dalam Alkitab, kita perlu mengingat bahwa itu terjadi dalam kurun waktu 4000 tahun sejarah manusia. Allah berbicara secara kedengaran adalah kekecualian, bukan kebiasaan. Bahkan saat Alkitab mengatakan Tuhan berbicara, tidaklah jelas apakah itu adalah dengan suara yang kedengaran, dalam hati atau kesan yang muncul dalam pikiran.

            Allah masih tetap berbicara kepada orang-orang pada zaman sekarang ini. Pertama-tama, Allah berbicara kepada kita melalui FirmanNya (2 Timotius 3:16-17). Yesaya 55:11 memberitahu kita, ”Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yesaya 55:11). Alkitab mencatat kata-kata Tuhan kepada kita dalam segala hal yang kita perlu ketahui untuk diselamatkan dan untuk menghidupi kehidupan Kristiani kita. 2 Petrus 1:3-4 mengatakan, ”Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia” (2 Petrus 1:3-4).

            Kedua, Allah berbicara melalui kesan, kejadian dan pikiran. Allah menolong kita untuk membedakan yang benar dari yang salah melalui hati nurani kita (1 Timotius 1:5; 1 Petrus 3:16). Allah sementara bekerja menyamakan pikiran kita dengan pikiranNya (Roma 12:2). Allah mengijinkan kejadian-kejadian dalam hidup kita untuk mengarahkan kita, mengubah kita dan menolong kita bertumbuh secara rohani (Yakobus 1:2-5; Ibrani 12:5-11). 1 Petrus 1:6-7 mengingatkan kita, ”Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu--yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api--sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1 Petrus 1:6-7).

            Akhirnya, ya, Tuhan kadang-kadang berbicara secara kedengaran kepada orang. Namun sangat diragukan bahwa hal ini terjadi sesering yang diakui oleh sebagian orang. Sekali lagi, bahkan di dalam Alkitab, Allah berbicara dengan bersuara sebagai suatu kekecualian, bukan kebiasaan. Jika ada orang yang mengakui bahwa Tuhan telah berbicara kepadanya, bandingkan dengan apa yang Alkitab katakan. Jikalau Allah berbicara saat ini, kata-katanya akan sesuai dengan yang apa yang telah dikatakanNya dalam Alkitab. Allah tidak berkontradiksi dengan diriNya sendiri. 2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Timotius 3:16-17). 



Matius Sobolim, S. Th

Apakah Tuhan betul-betul ada? Bagaimana saya tahu bahwa Tuhan itu betul-betul ada?

Apakah Tuhan betul-betul ada? Bagaimana saya tahu bahwa Tuhan itu betul-betul ada?
            Kita tahu bahwa Tuhan betul-betul ada karena Dia telah menyatakan diriNya kepada kita dengan tiga cara: dalam penciptaan, melalui firmanNya dan dalam diri AnakNya, Yesus Kristus.

            Bukti paling dasar dari keberadaan Tuhan adalah apa yang telah Dia ciptakan. “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka [orang-orang yang tidak percaya] tidak dapat berdalih” (Roma 1:20). “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (Mazmur 19:2).

            Kalau saya menemukan sebuah jam tangan di tengah lapangan, saya tidak akan menganggap bahwa jam tangan tsb “muncul” begitu saja, atau memang sudah ada dengan sendirinya. Berdasarkan desain dari jam tangan tsb saya mengasumsikan bahwa ada orang yang mendesain jam tangan itu. Namun saya melihat ada desain dan ketepatan yang lebih agung dalam dunia sekitar kita. Cara kita menghitung waktu bukan berdasarkan pada jam tangan, namun berdasarkan karya agung Tuhan, perputaran bumi (dan kandungan radioaktif dari atom Cesium-133). Alam semesta menyatakan desain yang luar biasa, dan semua ini memperlihatkan adanya sang Desainer Agung.

            Jikalau saya menemukan berita yang disandikan, saya akan mencari seorang pemecah sandi untuk memecahkan kode berita itu. Asumsi saya adalah bahwa pasti ada seorang pengirim berita, seseorang cerdas yang menciptakan kode itu. Bagaimana kompleksnya “kode” DNA dalam setiap sel tubuh kita? Bukankah kompleksitas dan tujuan dari DNA menyatakan adanya Penulis kode yang berakal budi?

            Bukan saja Tuhan telah menciptakan dunia yang begitu kompleks dan teratur, Dia juga telah menanamkan rasa kekekalan dalam diri setiap insan (Pengkhotbah 3:11). Umat manusia memiliki naluri yang tajam bahwa hidup ini bukan hanya yang kelihatan saat ini saja; bahwa ada suatu keberadaan yang melampaui apa yang ada di bumi ini. Naluri kekekalan kita menyatakan diri dalam paling sedikit dua hal: hukum dan penyembahan.

            Setiap peradaban dalam sejarah memiliki aturan-aturan hukum tertentu yang secara mengejutkan memiliki kesamaan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Contohnya kasih dihargai di mana-mana, sementara kebohongan dicela secara universal. Ini adalah moralitas umum, suatu pengertian global mengenai benar dan salah, yang menunjuk pada Dia, Pribadi yang Bermoral Tertinggi, yang memberikan perasaan benar dan salah seperti itu kepada kita.

Demikian pula orang-orang di seluruh dunia, tanpa memandang budaya, selalu memiliki sistim penyembahan. Obyek penyembahan itu sendiri mungkin berbeda, namun perasaan adanya “kuasa yang lebih tinggi” adalah merupakan bagian yang tak dapat disangkal dalam diri manusia. Kecenderungan kita untuk menyembah adalah sesuai dengan fakta bahwa Tuhan menciptakan kita “dalam gambarNya” (Kejadian 1:27).

            Tuhan juga telah mengungkapkan diriNya kepada kita melalui FirmanNya, Alkitab. Dalam Alkitab, keberadaan Allah dipelakukan sebagai fakta yang sudah jelas (Kejadian 1:1; Keluaran 3:14). Ketika Benjamin Franklin menuliskan Autobiography-nya, dia tidak menghabiskan waktu untuk membuktikan bahwa dia ada. Demikian pula Tuhan tidak menghabiskan waktu untuk membuktikan keberadaanNya dalam kitab yang ditulisNya. pribadiAlkitab yang mampu mengubah hidup, integritasnya, dan mujizat penulisannya seharusnya cukup untuk membuat kita menaruh perhatian pada Alkitab.

            Cara ketiga Tuhan menyatakan dirinya adalah melalui anakNya, Yesus Kristus (Yohanes 14:6-11). Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah… Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, (Yohanes 1:1, 14). Di dalam Yesus Kristus, berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan” (Kolose 2:9).

            Dalam kehidupan Yesus yang luarbiasa, Dia memelihara seluruh hukum Perjanjian Lama dengan sempurna dan menggenapkan nubuat-nubuat mengenai Mesias (Matius 5:17). Dia melakukan begitu banyak karya yang menyatakan belas kasihannya, Dia mengerjakan mujizat-mujizat di depan umum yang mengesahkan berita yang disampaikannya dan membuktikan keillahianNya (Yohanes 21:24-25). Kemudian, tiga hari setelah penyalibanNya, Dia bangkit dari orang mati, sebuah fakta yang diteguhkan oleh ratusan saksi-saksi mata (1 Korintus 15:6). Catatan sejarah dipenuhi dengan “bukti” mengenai siapakah Yesus itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Perkara ini tidak terjadi di tempat yang terpencil” (Kisah 26:26).

Kita sadar bahwa selalu ada orang yang sulit percaya, orang-orang yang punya ide sendiri mengenai Tuhan dan menafsirkan bukti-bukti dengan semaunya. Dan akan ada pula sebagian orang yang bukti sebanyak apapun tidak akan dapat meyakinkan mereka (Mazmur 14:1). Pada akhirnya semuanya adalah iman (Ibrani 11:6).


Oleh: Matius Sobolim, S.Th

Apakah salah mempertanyakan Allah?

Apakah salah mempertanyakan Allah?
          Yang menjadi soal bukanlah apakah pantas bagi kita untuk mempertanyakan Allah, tapi dengan sikap apa – dan dengan alasan apa – kita mempertanyakan Dia. Pada dirinya sendiri bertanya kepada Allah tidaklah salah. Nabi Habakuk bertanya kepada Allah mengenai waktu dan cara pelaksanaan rencana Allah. Bukannya ditegur, Habakuk justru dijawab dengan sabar, dan sang nabi mengakhiri kitabnya dengan nyanyian pujian kepada Tuhan. Banyak pertanyaan diajukan kepada Allah dalam kitab Mazmur (Mazmur 10, 44, 74, 77). Semua ini adalah jeritan dari mereka yang teraniaya, yang sangat mengharapkan campur tangan dan keselamatan dari Allah. Sekalipun Allah tidak selalu menjawab pertanyaan kita dengan cara yang kita ingini, dari bagian-bagian Alkitab ini kita menyimpulkan bahwa pertanyaan yang tulus dari hati yang sungguh-sungguh diterima baik oleh Allah.

            Pertanyaan-pertanyaan yang tidak tulus, atau pertanyaan-pertanyaan dari hati yang munafik adalah merupakan soal yang berbeda. “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” (Ibrani 11:6) Setelah Raja Saul tidak menaati Allah, pertanyaan-pertanyaannya tidak dijawab (1 Samuel 28:6). Adalah berbeda sekedar ingin tahu mengapa Allah mengizinkan peristiwa-peristiwa tertentu dan secara langsung mempertanyakan kebaikan Allah. Meragukan adalah berbeda dari menanyakan kedaulatan Allah dan menyerang karakter Allah. Dengan kata lain, pertanyaan yang jujur bukanlah dosa, tapi hati yang pahit, tidak percaya atau memberontak, itu adalah dosa. Allah tidak takut dengan pertanyaan-pertanyaan. Allah mengundang kita untuk menikmati persekutuan yang dekat dengan Dia. Ketika kita “bertanya kepada Allah” itu harus dari hati yang rendah dan pikiran yang terbuka. Kita dapat bertanya kepada Allah, tapi jangan berharap untuk mendapat jawaban kecuali kalau kita betul-betul tertarik pada jawabanNya. Allah mengetahui hati kita, dan mengetahui apakah kita dengan sungguh-sungguh mencari Dia untuk menerangi kita. Sikap hati kita adalah yang menentukan apakah benar atau salah untuk bertanya kepada Allah.



Oleh: Matius Sobolim, S.Th 

Apakah atribut-atribut Allah? Bagaimanakah Allah itu?

Apakah atribut-atribut Allah? Bagaimanakah Allah itu?
          Kabar baik bagi kita, dalam kita berusaha menjawab pertanyaan ini, adalah bahwa banyak yang dapat kita ketahui mengenai Allah! Anda yang membaca penjelasan ini mungkin akan lebih jelas kalau Anda membaca seluruh penjelasan ini lebih dahulu dan kemudian mengulangi mempelajari bagian-bagian Alkitab yang disebutkan supaya mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Referensi-referensi Alkitab mutlak diperlukan karena tanpa otoritas Alkitab apa yang dikatakan di sini tidak lebih dari sekedar opini manusia yang sering salah mengerti Tuhan (Ayub 42:7). Kita tidak pernah dapat mengatakan dengan cukup betapa pentingnya bagi kita untuk mencoba mengerti siapa Tuhan itu! Kegagalan kita mengerti siapa Tuhan akan menyebabkan kita membentuk, mengikuti dan menyembah illah yang salah yang berlawanan dengan kehendakNya (Keluaran 20:3-5).

            Kita hanya dapat mengetahui apa yang Allah sendiri ungkapkan. Salah satu dari atribut atau qualitas Allah adalah “terang”, yang artinya hanya Dia sendiri yang dapat mengungkapkan informasi mengenai diriNya (Yesaya 60:19; Yakobus 1:17). Fakta bahwa Allah telah mengungkapkan pengetahuan mengenai diriNya sendiri tidak boleh diabaikan begitu saja, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku. (Ibrani 4:1). Ciptaan, Alkitab dan Sang Firman yang telah menjadi daging (Yesus Kristus) akan menolong kita untuk mengenal bagaimanakah Tuhan itu.

            Mari kita mulai dengan memahami bahwa Tuhan Allah adalah Pencipta kita dan kita adalah bagian dari ciptaanNya (Kejadian 1:1; Mazmur 24:1). Tuhan berfirman bahwa manusia diciptakan menurut gambarNya. Manusia melampaui segala ciptaan dan diberikan kuasa atas ciptaan lainnya (Kejadian 1:26-28). Ciptaan telah dikotori oleh “kejatuhan” namun tetap memberikan gambaran mengenai karya Tuhan (Kejadian 3:17-18; Roma 1:19-20). Dengan mempertimbangkan luasnya ciptaan Tuhan, kompleksitasnya, keindahan dan keteraturannya, kita dapat membayangkan keluarbiasaan Tuhan.

Beberapa nama Tuhan berikut ini dapat menolong kita dalam usaha kita mengerti seperti apakah Tuhan itu.

Elohim  – Yang kuat, illahi (Kejadian 1:1)
Adonai  – Tuhan, mengindikasikan hubungan antara Majikan dan hamba (Keluaran 4:10, 13)
El Elyon      – Yang Mahatinggi, Yang paling perkasa (Yesaya 14:20)
El Roi          – Yang kuat Yang melihat (Kejadian 16:13)
El Shaddai  – Allah yang Mahakuasa (Kejadian 17:1)
El Olam      – Allah yang kekal (Yesaya 40:28)
Yahweh     – TUHAN yang “adalah Aku”, artinya Allah yang berada dengan sendirinya dalam kekekalan (Keluaran 3:13,14)

            Mari kita melanjutkan mempelajari atribut-attibut lainnya dari Allah. Allah itu kekal, berarti Dia tidak berawal dan keberadaanNya tidak akan pernah berakhir. Dia kekal, tak terbatas (Ulangan 33:27; Mazmur 90:2; 1 Timotius 1:17). Allah itu tidak berubah, dan ini berarti Allah dapat dipercaya dan diandalkan (Maleakhi 3:6; Bilangan 23:19; Mazmur 102:26, 27). Allah tak terbandingkan, artinya tidak ada satupun yang seperti Dia dalam karya atau keberadaan; Dia tak ada taranya dan sempurna adanya (2 Samuel 7:22; Mazmur 86:8; Yesaya 40:25; Matius 5:48). Allah itu melampaui segala pengertian, artinya Dia tidak dapat diselami dan tidak dapat dipahami secara sempurna (Yesaya 40:28; Mazmur 145:3; Roma 11:33,34).

            Allah itu adil, artinya Dia tidak membeda-bedakan seorang dengan yang lain (Ulangan 32:4; Mazmur 18:31). Allah Mahakuasa, artinya Dia berkuasa atas segalanya, Dia dapat melakukan apa saja yang dikehendakiNya, namun apa yang dilakukanNya senantiasa sesuai dengan karakterNya (Wahyu 19:6; Yeremia 32:17, 27). Allah Mahahadir, artinya Dia senantiasa hadir dan Dia hadir di mana-mana, namun tidak berarti segalanya adalah Tuhan (Mazmur 139:7-13; Yeremia 23:23). Allah Mahatahu, artinya Dia mengetahui masa dulu, sekarang dan akan datang, bahkan segala yang kita pikirkan. Karena Dia mengetahui segala sesuatu, keadilannya selalu ditegakkan (Mazmur 139:1-5; Amsal 5:21).

            Allah itu Esa, artinya bukan saja tidak ada Allah lain, tapi juga berarti hanya Dia yang dapat memenuhi kebutuhan hati kita yang paling dalam, dan hanya Dia satu-satunya yang layak untuk kita sembah dan puja (Ulangan 6:4). Tuhan itu benar adanya, artinya Dia tidak bisa dan tidak akan membiarkan kesalahan. Karena kebenaran dan keadilanNya maka Yesus harus menanggung hukuman Tuhan karena dosa-dosa kita sehingga dosa-dosa kita dapat diampuni (Keluaran 9:27; Matius 27:45-46; Roma 3:21-26).

            Allah berdaulat, artinya Dia adalah Pemegang kekuasaan tertinggi. Semua ciptaanNya, sadar atau tidak sadar, tidak dapat merusak rencana-rencanaNya (Mazmur 93:1; 95:3; Yeremia 23:20). Allah itu Roh, artinya Dia tidak kelihatan (Yohanes 1:18, 4:24). Allah adalah Allah Tritunggal, artinya tiga tapi satu, sama secara substansi, setara dalam kuasa dan kemuliaan. Perhatikan bahwa dalam Matius 28:19, dalam bahasa Inggris, “nama” adalah dalam bentuk tunggal sekalipun dipakai untuk tiga pribadi berbeda-“Bapa, Anak, Roh Kudus” (Matius 28:19; Markus 1:9-11). Allah adalah kebenaran, artinya Dia tidak pernah bertentangan dengan diriNya sendiri, dan tidak dapat melakukan yang tidak benar dan tidak berbohong (Mazmur 117:2; 1 Samuel 15:29).

            Allah suci, artinya Dia tidak dapat bercampur dengan segala kerusakan moral dan menentang segala yang berdosa. Allah melihat kejahatan dan marah karenanya. Sering kali Alkitab menyebutkan api bersama-sama dengan kesucian. Allah dilukiskan sebagai api yang menghanguskan (Yesaya 6:3; Habakuk 1:13; Keluaran 3:2,4,5; Ibrani 12:29). Allah itu penuh anugrah – hal ini termasuk kebaikan, kemurahan, belas kasihan dan kasih – semua kata ini menggambarkan arti dari kebaikan Tuhan. Kalau bukan karena anugrah Tuhan, segala atribut Tuhan akan membuat kita terpisah daripadaNya. Kita bersyukur bahwa bukan demikian halnya karena Dia ingin mengenal setiap kita secara pribadi (Keluaran 22:27; Mazmur 31:20; 1 Petrus1:3; Yohanes 3:16; 17:3).

Ini adalah suatu usaha yang sederhana untuk menjawab sebuah pertanyaan besar. Kiranya Anda terus bersemangat untuk lebih mengenal Dia (Yeremia 29:13).




Oleh: Matius Sobolim, S. Th