Tampilkan postingan dengan label Kepemimpinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kepemimpinan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Januari 2022

KONSEP KEPEMIMPINAN

 


KONSEP KEPEMIMPINAN


A.    Definisi Kepemimpinan

Konsep Kepemimpinan adalah suatu proses mengarahkan dan mempengarui kegiatan yang berhubungan dengan tugas. Seorang yang mempunyai kecakapan pribadi dengan atau tanpa pengangkatan resmi, dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpin untuk mengarahkan upaya bersama dalam pencapaian tujuan. Menurut Nawawi Kepemimpinan merupakan suatu proses interaksi antara seorang pemimpin dengan sekelompok orang yang menyebabkan seseorang atau atau kelompok berbuat  yang sesuai dengan kehendak pemimpin. Secara garis besar sistematika modul ini pada awalnya akan memberi gambaran konseptual tentang kepemimpinan dengan mengambil rujukan dari beberapa literatur terpilih yang berkaitan dengan kepemimpinan. Konsep tentang kepemimpinan tampaknya lebih pada konsep pengalaman dan konsep kepemimpinan dapat di golongkan antara lain:

 

1.      Kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok

Keunggulan seseorang atau beberapa individu dalam mengontrol proses dari gejala-gejala sosial. Melihat kepemimpinan sebagai sentralisasi usaha dalam diri seseorang sebagai cerminan kekuasaan dari keseluruhan. Kecenderungan pemikiran dari definisi-definisi di atas sangat berpengaruh di dalam mengarahkan perhatian terhadap pentingnya stuktur kelompok.

 

2.      Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya

Pemimpin adalah seorang individu yang memiliki sifat dan karakter yang diinginkan oleh rakyatnya. Teori kepribadian cenderung memandang kepemimpinan sebagai akibat pengaruh satu arah. Mengingat bahwa pimpinan mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan para pengikutnya, maka biasanya ahli teori pribadi lupa menyinggung karakteristik timbal balik ataureciprocal dan interaksi dari atau dalam situasi kepemimpinan.

 

3.      Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku 

Tingkah laku kepemimpinan sebagai tingkah laku yang akan menghasilkan tindakan orang lain searah dengan keinginannya dan tingkah laku seorang individu dapat mengarahkan aktivitas kelompok.

 

4.      Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi

Kepemimpinan adalah pengelolaan manusia melalui persuasi dan inspirasi daripada melalui pemaksaaan langsung. Hal ini melibatkan penerapan pengetahuan mengenai faktor manusia dalam memecahkan masalah yang konkrit.

 

5.      Kepemimpinan sebagai alat mencapai tujuan

Proses menciptakan situasi sehingga para anggota kelompok, termasuk pemimpin dapat mencapai tujuan bersama dengan hasil maksimal dalam waktu dan kerja yang singkat.[1]

 

B.     Teori Lahirnya Seorang Kepemimpinan

Untuk menghasilkan kepemimpinan yang demokratis dimulai dari proses pemilihannya yang harus demokratis pula dimana seluruh warga masyarakat berpatisipasi di dalamnya. Maka munculah teori-teori kepemimpinan:

 

Ø  Teori Genetis

Seorang pemimpin yang memiliki bakat kepemimpinan sejak lahir sehingga dia memang telah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.

 

Ø  Teori Sosial

Seorang yang dapat menjadi pemimpin bila kepadanya diberikan pengalaman dan pendidikan yang memadai.

 

Ø  Teori Ekologis

Seorang yang bisa menjadi pemimpin baik dia telah memiliki bakat kepemimpinan sejak lahir kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman tentang kepemimpinan. Menurut Tannebaum dan Warren H. Schmidt teori kepemimpinan adalah Mereka menggambarkan gaya kepemimpinan kontinum dengan dua titik ekstrim yaitu fokus pada atasan dan bawahan.

 

C.     Tipe-Tipe Kepemimpinan

Tipe kepemimpinan dalam suatu organisasi atau kelompok digolongkan menjadi 5:

1)      Tipe Otoraktis

Seorang pemimpin yang otoraktis memiliki ciri-ciri:

v  Mengangap organisasi sebagai milik pribadi

v  Mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi

v  Mengangap bawahan sebagai alat semata-mata

v  Tidak mau menerima kritik saran dan pendapat

v  Dalam tindakan sering mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur pemaksaan. 

2)      Tipe Militeritis

Pemimpin dari tipe ini tidak selalu harus dari organisasimiliter. Tetapi seseorang yang mempunyai ciri-ciri:

v  Dalam menggerakan bawahan lebih sering menggunakan   sistem perintah.

v  Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dengan bawahan

v  Sukar menerima kritik dari bawahan

v  Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan

 

3)      Tipe Paternalitis

Seorang pemimpin ini berciri-ciri:

v  Bersikap terlalu melindungi

v  Sering bersikap maha tahu

 

4)      Tipe Kharismatis

Seorang pemimpin yang mempunyai daya tarik yang amat besar oleh karena itu pada umumnya ia memiliki pengikut dalam jumlah besar, meskipun para pengikut tersebut sering tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pimpinan tersebut.

 

5)      Tipe Demokratis

v  Selalu berusaha menyelaraskan kepentingan organisasi dari pada tujuan pribadi

v  Senang menerima saran, pendapat, bahkan kritik dari bawahanya

v  Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses dari dirinya sendiri

v  Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai seorang pemimpin

Siapakah Pemimpin yang Ideal?

Menurut George R.Terry ada ciri pemimpin ideal:

1.      Mempunyai kekuatan mental dan fisik.

2.      Mempunyai emosi yang stabil, tidak cepat marah dan percaya pada diri sendiri.

3.      Mempunyai kecakapan berkomunikasi.

4.      Mempunyai sosial skill.

5.      Mempunyai pengetahuan yang luas.

D.    Sifat Kepemimpinan

*     Mempelajari daya kepemimpinan dari adanya ciri-ciri kualifikasi, dan keterampilan seseorang yang diperkukan bagi keberhasilan seorang pemimpin

*     Kesehatan yang memadai, kekuatan pribadi, dan ketahanan fisik

*     Memahami tugas pokok, komitmen pribadi terhadap kegiatan

*     Memiliki perhatiankepada orang lain, ramah-tamah

*     Intelejensi

*     Integritas

*     Sikap persuasif

*     Kritis

*     Kesetiaan

6.      Macam Gaya Kepemimpinan Menurut Rensis Likert

*     Gaya 1: Pemimpin tidak memberikan perhatian dan kepercayaan pada bawahan tanpa kompromi, dan keputusan diambil oleh atasan.

*     Gaya 2: Pemimpin mencoba merendahkan diri, imbalan, sanksi digunakan seimbang tetapi sangat terbatas bawahan di minta pertimbangan. 

*     Gaya 3: Meletakan dasar hubungan, imbalan, dan sanksi  digunakan seimbang dan sangat terbatas bawahan diminta pertimbangan

*     Gaya 4: Memberikan kepercayaan penuh dengan menanggung resiko kesalahan bawahan.

7.               Gaya dasar kepemimpinan menurut Paul Hersey dan Kennenth H.B.

*     Telling/Direktif

 Pemimpin memberikan perintah khusus

*     Selling

Pemimpin masih banyak melakukan pengarahan

*     Participating

Pemimpin dan bawahan sama-sama membuat keputusan

*     Delegating

Pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaannya pada bawahan

DAFTAR  PUSTAKA

Gordon,Thomas. 1996, Rajawali, Jakarta

Mar”at. 1983, Ghalia, Indonesia

Siagian, Sondang P. 1988, PT. Bina Aksara, Jakarta

Sutarto. 1995, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta.

 



[1 dilihat dari saifudin, dan saya pakai untuk bahan presentasi 

KRISIS DAN IRONI KEPEMIMPINAN

 

KRISIS DAN IRONI KEPEMIMPINAN

 

Krisis Kepemimpinan Global

       


Kepemimpinan tidak identik dengan posisi. Kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi otoritas. Kendati posisi otorits yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tetapi sekedar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Melainkan kepemimpinan adalah sebuah fungsi. Atau dapat dikatakan, kepamimpinan adalah suatu proses mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang untuk mencapai satu tujuan dalam kehidupan pribadi atau profesional mereka, anda sedang menjalankan peran/fungsi sebagai pemimpin.


        Walaupun secara formal ada banyak pemimpin yang kita miliki yaitu mereka yang menduduki posisi kepemimpinan dalam pemerintahan, bisnis, universitas dan gereja. Namun realita yang nampak sangat mengecewakan. Antara lain. pejabat pemerintah diberbagai tingkat haus kuasa dan terus ingin berkuasa sedangkan orientasi melayani masyarakat semakin sirna. Mengenai kenyataan pemerintah yang haus kuasa dan lalai melayani masyarakat, ”Krisis ini berpangkal dalam krisis etika. Etika mengajarkan apa yang seharusnya; apa yang sebaliknya. Misalnya pemimpin mengatakan mereka adalah abdi negara, abdi masyarakat, namun yang muncul adalah haus kuasa dari pada pengabdian. Banyak pemimpin menindas bawahan daripada mengayominya. Banyak pemimpin memeras rakyat ketibang melayaninya.” Dalam dunia bisnis ada banyak skandal korporat yang terkait dengan para pemimpin, ada banyak tindakan tidak etis yang terjadi dengan para pegawai dan pelanggan.


        Yang paling tragis lagi adalah gereja, kelompok yang sering dianggap – setengah ilahi - setengah manusia, juga mengalami yang namanya krisis kepemimpinan. Gereja telah kehilangan pengaruhnya karena absennya kepemimpinan yang efektif. Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami krisis kepemimpinan global. Adapun penyebab krisis kepamimpinan ini adalah karena pemimpin yang tidak kapabel secara moral dan teknis, pemimpin tidak diperlengkapi dengan kompetensi kepemimpinan yang mapan, pemimpin cacat dalam karakter dan integritas pribadi, adanya vaksin anti kepemimpinan yang berakibat pada tidak adanya usaha untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang baru, serta masalah ignorance = ketidakpedulian terhadap situasi bahwa kita tidak ada pemimpin.

 

Memimpin Di Tengah Dua Pilihan Adopsi Atau Aborsi

Ada dua fenomena tragis yang mestinya mendpat perhatian khusus dari setiap pemerhati dan praktis kepemimpinan Kristen yaitu dunia bisnis yang dipersepsi sebagi sekular dan kotor, berusaha mengadopsi prinsip dan pola kepemimpinan biblikal. Sedangkan gereja (Umat Allah, tubuh Kristus, baik sebagai institusi maupun yang berkarya diberbagai bidang), malah bertindak mengaborsi prinsip dan pola kepemimpinan yang biblikal. Adapun area-area yang mengalami proses adopsi dan aborsi adalah:

 

VISI

        Visi adalah konsep biblikal. Visi merupakan suatu gambaran tentang masa depan. Visi adalah suatu gambaran yang jelas dalam jiwa kita mengenai masa depan yang dikehendaki, yang ditanamkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya dan didasarkan pada pemahaman yang akurat tentang Allah, diri sendiri dan situasi yang ada. Oleh karena visi diberikan oleh Allah maka Alkitab merupakan dasar dan sekaligus dokumen tertua yang memuat dan mengajarkan tentang visi secara eksplisit. Alkitab mengatakan ,”Jika tidak ada wahyu (Visi), menjadi liarlah rakyat.” (Ams 29 :18). Yesus dalam pelayanan-Nya pun selalu mempunyai visi yang jelas. Alkitab menjelaskan bahwa sebelum Yesus terangkat ke sorga, Yesus kembali menegaskan Visi-Nya kepada para murid (Mat 28:19-20).
Namun dalam perjalanan perkembangan gereja yang merupakan komunitas umat Allah dan sekaligus menyatakan bahwa Alkitab sebagai dasar ajaran gereja, tetapi kenyataannya gereja sendiri yang tidak mempraktekkan apa yang diungkapkan oleh Alkitab. Gereja mengaborsi konsep Alkitab tentang visi yang adalah gambaran masa depan gereja. Hal ini mengakibatkan roda perjalanan gereja pun menjadi terhambat bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga sekuler.

Akuntabilitas

        Seluruh konsep kepamimpinan Kristen bertumpu pada satu azas yaitu hanya ada satu pemimpin yang sejati yaitu Tuhan Allah sendiri. Pemimpin yang lain adalah pemimpin-pemimpin dalam huruf kecil, yang bersifat relatif dan sekaligus subordinatif terhadap pemimpin yang sejati yaitu Tuhan Allah. Dengan demikian akuntabilitas merupakan suatu keharusan bagi setiap pemimpin. Apalagi seorang pemimpin Kristen.

Akuntabilitas menjaga pemimpin agar tetap memiliki pengaruh yang tajam (Ams 27:17). Jadi Semakin besar kepercayaan dan tanggungjawab yang diberikan kepada seorang pemimpin, semakin besar akuntabilitas yang ia miliki dihadapan Allah dan umat-Nya (Luk 12:48). Tanggungjawab terakhir para pelaku ekonomi dan bisnis, bahkan para pemimpin-pemimpin Kristen bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Bertanggung jawab kepada Allah berarti: bertanggungjawab atas kesejahteraan penuh setiap dan seluruh ciptaan-Nya (termasuk disini para pekerja, para pelanggan, para jemaat, bahkan seluruh masyarakat dan lingkungan hidup).

Akuntabilitas adalah hal yang sangat krusial dan telah lama lenyap dari dalam diri pemimpin Kristen. Baik di dalam gereja maupun diluar gereja, orang tidak lagi mengutamakan akuntabilitas. Bahkan akuntabilitas itu sendiri di aborsi oleh umat Kristen sendiri, sehingga moral hidup pemimpin Kristen tidak lagi mencerminkan kemuliaan kristus melainkan kehidupan duniawi yang semakin bobrok di hadapan Allah.

Pemberdayaan:

Pemberdayaan dalam istilah menajemen disebut “Empowerment”, jelas-jelas merupakan konsep biblikal. Dalam Efesus 4:12, dijelaskan bahwa Allah memberikan berbagai karunia kepada orang percaya dengan tujuan untuk memberdayakan tubuh Kristus. Rasul Paulus dalam pelayanannya sangat memperhatikan ide pemberdayaan yaitu untuk membawa manusia (jemaat) semakin sempurna dalam Kristus (Kol 1:28). Jemaat seharusnya dibina, diperlengkapi, diberi kepercayaan, kesempatan, akses dan fasilitas untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Atau dengan lain kata agar jemaat bisa menjadi pemimpin-pemimpin yang baru. Jauh sebelum manajer modern, Yesus sibuk mempersiapkan orang-orang bagi masa depan. Dia tidak bermaksud untuk memilih seorang pangeran bermahkota, tetapi untuk menciptakan suatu generasi terus menerus. Ketika tiba waktu-Nya untuk meninggalkan para murid-Nya, Dia tidak melakukan program dadakan tentang pengembangan kepemimpinan – kurikulum telah diajarkan selama tiga tahun dalam ruang kelas kehidupan.
Namun sayang, pemberdayaan yang merupakan pola kepemimpinan biblikal juga diaborsi oleh pemimpin-pemimpin Kristen. Pemimpin merasa dirinya yang mendapat panggilan Tuhan untuk menjadi pemimpin, sehingga kepentingan dan panggilannya untuk memberdayakan atau menciptakan pemimpin baru tidak dipedulikan mereka.

 

Kepemmpinan Yang Melayani (Servant Leadership)

Yesus mengajarkan Servant Leadership dengan sangat jelas: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Markus 10:45. Selanjutnya Yesus berkata dalam Mat 20: 25-28,…tidaklah demikian diantara kamu, barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa ingin menjadi terkemukan diantara kamu, handaklah ia menjadi hambamu…Artinya kepemimpinan Yesus adalah kepamimpinan yang melayani. Dan Yesus menginginkan setiap pengikut-Nya juga melayani. Esensi pemimpin Kristen tidak terletak pada jabatan, pangkat, gelar melainkan pada tindakan melayani. Bagi para pengikut Yesus kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukan pilihan. Itu adalah mandat bukan perintah. Kepemimpinan yang melayani harus menjadi statemen hidup dari mereka yang tinggal dalam Kristus, cara kita memperlakukan satu sama lain, dan cara kita memperlihatkan cinta Kristus kepada seluruh dunia.” Namun filosofi kepemimpinan yang biblikal ini diaborsi oleh para pemimpin Kristen. Pemimpin Kristen mencampakan prinsip kepemimpinan yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan dan modelkan. Sedangkan diluar sana, dunia bisnis, dunia sekular mulai perlahan-lahan menerapkan (mengadopsi) prinsip kepemimpinan yang melayani dalam lingkungan mereka.

Masalah kepemimpinan sudah sangat banyak dipelajari, diteliti, didiskusikan, diseminarkan dan ditulis, termasuk di dalam kekristenan. Bahkan kekristenan termasuk yang pertama berbicara tentang kepemimpinan. Namun kita terus-menerus menghadapi masalah kepemimpinan: di tingkat nasional, di tingkat lebih kecil termasuk di gereja dan di keluarga – sebagai unit sosial terkecil. Di mana-mana kita mengalami krisis kepemimpinan. Sesuatu telah menjadi salah sehingga krisis ini terjadi. Dari mana kesalahan ini bermula? Bisa dipastikan ini bermula dari konsep yang salah tentang kepemimpinan. Dalam dunia modern (atau sekarang memasuki post-modern), di dunia korporasi dan organisasi masa kini, kata leadership memiliki konotasi kekuasaan, otoritas, hormat, prestis, dan keunggulan pribadi (sang pemimpin).

        Sadar atau tidak sadar, inilah yang menjadi daya tarik luar biasa seseorang dalam mengejar posisi pemimpin, karena menjanjikan kekuasaan yang besar. Dan inilah yang mereka kerjakan ketika berada di posisi itu. Termasuk di banyak organisasi yang berlabel Kristen, bahkan di organisasi gereja. Jelas ini bukan nada Alkitab ketika berbicara tentang kepemimpinan. Kita perlu kembali kepada konsep yang benar tentang kepemimpinan. Sebagai orang percaya kita tahu konsep yang benar tentang kepemimpinan yang sejati adalah berasal dari Alkitab. Kemudian dikembangkan oleh manusia, baik manusia percaya maupun yang tidak percaya. Nah, apa kata Alkitab tentang kepemimpinan? Alkitab tidak mendefinisikan kepemimpinan namun banyak berbicara tentang kepemimpinan.

        Dalam Matius 20: 25 – 28, Yesus mengatakan pemimpin dunia bersifat otoriter, menjalan kekuasaannya dengan keras. Namun di antara orang percaya, mereka yang menginginkan menjadi pemimpin harus menjadi ’pelayan’. Yesus sendiri, Sang Raja di atas segala raja, dan Tuhan di atas segala tuhan, datang untuk melayani bukan untuk dilayani, hingga titik darah terakhir. Penjelasan ini Yesus berikan ketika dua orang murid-Nya minta posisi tinggi dalam kerajaan-Nya nanti.

        Kepemimpinan kristiani adalah melayani, daripada mendominasi. Yesus sendiri menegaskan bahwa Dia datang untuk melayani. Ketika Dia memimpin para murid, itu adalah bagian dari pelayanan-Nya. Sang pemimpin yang demikian memberikan dorongan kepada anggota timnya dan inspirasi arah yang akan dicapai kelompok. Dia menghormati pribadi-pribadi, daripada mengeksploitasi kepribadian orang lain. Dari Yesus kita tidak sekadar mendapatkan pengajaran-pengajaran tentang kepemimpinan yang melayani tapi Dia sendiri menjadi model kepemimpinan itu. Dia menunjukkan kepada para murid-Nya bagaimana memimpin dengan memberikan contoh bagaimana Dia melayani dengan tulus. Dia menuntut tidak kurang kepada mereka yang akan mengerjakan misi-Nya di bumi pada jaman sekarang. Jika kita berpegang erat pada standar-standar Kristus dalam pelayanan yang tulus, kita akan menyaksikan perubahan-perubahan yang hebat dalam struktur-struktur organisasi kita sendiri dan dalam hubungan-hubungan kita dengan orang lain. D’Souza lebih lanjut menyimpulkan citra Alkitab tentang kepemimpinan dengan 3S, yaitu servant (pelayan), shepperd (gembala) dan steward (penatalayan). Masing-masing memiliki sejumlah atribut sendiri. Pemimpin sebagai pelayan memberikan layanan, dukungan dan empower bagi mereka yang ia pimpin.

        Sedangkan sebagai gembala, seorang pemimpin berciri memperhatikan dombanya, yaitu anggota tim yang ia pimpin. Ketika satu dari 100 dombanya hilang, ia meninggalkan yang 99 yang oke, untuk mencari yang satu untuk membawa dia kembali. Seorang gembala juga memberikan dorongan dan pimpinan atau arahan kepada anak buahnya. Seorang pemimpin dalam Alkitab juga digambarkan sebagai seorang penatalayan, yaitu seorang profesional yang bertanggung jawab atas sejumlah sumber daya milik orang lain yang harus dia kelola dan kembangkan. Karena itu dia haruslah orang yang bisa dipercaya, bertanggung jawab dan akuntabel.

        Dunia sekuler sendiri sudah melihat keunggulan leadership yang melayani (servant leadership) yang berasal dari Alkitab. Dengan kepemimpinan yang demikian mereka mencoba merevolusikan struktur organisasi yang tadinya bersifat komando dan kontrol dengan sang pemimpin di puncak struktur menjadi oraganisasi dengan model service and support. Dalam struktur ini, sang pemimpin ada di posisi dasar organisasi dan melalui komunikasi dua arah memberikan visi organisasi kepada jajaran manajemen. Pada tingkat ini, manajemen berfungsi memberikan dukungan kepada para front liners. Front liner berkomunikasi dua arah melayani pelanggan. Seandainya para pemimpin dibentuk dengan dasar karakter kepemimpinan kristiani ini dan organisasi-organisasi diformat dengan jiwa pelayanan yang tulus, kita tidak akan kekurangan pemimpin yang efektif, dan organisasi akan berkiprah secara maksimal dalam usaha-usaha kesejahteraan umat manusia.


Ev. Matius Soboliem, M. Th. 

KUALITAS KEPEMIMPINAN KRISTEN

 

 KUALITAS KEPEMIMPINAN KRISTEN   


       


Gereja yang seharusnya menghasilkan pemimpin yang tinggi iman, tinggi ilmu, dan tinggi pengabdian malah terkontaminasi dengan berbagai masalah kepemimpinan. Peneliti Kristen George Barna melakukan studi selama 15 tahun tentang kehidupan gereja secara global dan memberikan konklusi sebagai berikut: Gereja telah kehilangan pengaruhnya karena absennya kepemimpinan yang efektif. Kalau pemimpin yang baik di dunia jarang dijumpai, maka pemimpin yang sangat baik yang memenuhi standar Allah dalam firmanNya lebih jarang lagi. Pendek kata, banyak masalah akut dan kronis yang melumpuhkan organisasi bermuara atau memiliki korelasi yang sangat erat dengan kepemimpinan. 
        Gereja yang dipimpin oleh orang-orang yang kurang diperlengkapi dengan kompetensi kepemimpinan yang solid. Beberapa dari mereka bahkan memiliki cacat karakter. Integritas seringkali dikorbankan demi kelanggengan ambisi pemimpin. Pada saat yang bersamaan dampak dari aksi kepemimpinan mereka menjalar seperti kanker dari dalam organisasi, dan melumpuhkannya secara perlahan. Kita berada dalam krisis kepemimpinan. Pemerhati kepemimpinan Profesor Warren Bennis bahwa organisasi gagal karena over-managed dan under-led. Meskipun kepemimpinan bukan solusi satu-satunya dari berbagai jenis masalah organisasi, ia adalah sebuah critical success factor yang membedakan organisasi yang sehat dan berhasil dengan organisasi yang sakit dan gagal.


    Seperti Nehemia yang telah mengetahui visi dan misinya, begitu juga seorang pemimpin Gereja harus mengetahui visi dan misinya yang jelas. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke muka untuk 10 – 25 tahun yang akan datang.  Antisipasi jauh ke depan sambil membaca kesempatan dan tantangan dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan kehidupan spiritual yang dimilikinya. Sekaligus berdiri dalam visi dan misi Gereja di dunia ini, yakni memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid Tuhan dengan penyertaan Allah. Ketergantungan kepada Allah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengemban tugas ini. Sebagaimana Nehemia dengan doanya telah menunjukkan ketergantungannya kepada Allah. Pemimpin Gereja dan doanya tidak dapat dipisahkan. Pemimpin harus turut serta dalam gerak maju pembangunan, tanpa mengorbankan imannya, kesaksiannya, serta pelayanan sebagai hamba Tuhan.  Semuanya ini adalah satu sikap yang memperlihatkan solidaritas kepada bangsa dan negara yang selalu berkaitan dengan kehidupan doa seorang pemimpin Gereja, yaitu pelayanan doa yang mencakup seluruh aspek. Bagian inilah yang disebutkan pengandalan kepada Tuhan secara total yang dimulai dari pembangunan tubuh Gereja yang rohani.


Karakteristik Pemimpin

    Sedikit sekali pemimpin menyadari empati dalam seni memimpin adalah hal yang sama dengan kasih. Pentingnya kasih dalam kepemimpinan sudah menjadi prasyarat seseorang untuk jadi pemimpin . Betapa kuatnya pernyataan mengenai pentingnya kasih, baik dalam pengajaran Yesus maupun penekanan-penekanan yang diajarkan Oleh Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya. Kasih itu mencakup semua aspek kehidupan yang berorientasi kepada sikap baik kepada sesama yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal ini harus dimiliki oleh pemimpin Kristen yang mengetahui kebutuhan yang dipimpinnya. Kasih itu meliputi antara lain: kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, tidak pernah congkak, tidak egois, bersikap lembut, tidak menuntut kemauannya sendiri, tidak mudah tersinggung, tidak menaruh dendam, kasih hampir tidak memperhatikan kesalahan orang, tidak pernah senang memandang kelaliman, bergembira bila kebenaran menang, setia, mempercayai orang lain, membela orang lain, dan kasih tiada pernah berkesudahan.  Semua kategori ini adalah hal yang sama satu dengan yang lain, yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pemimpin.


    Bersikap tegas, pemimpin yang besikap tegas akan terbukti rajin/giat; efektif dan efisien serta berorientasi kepada sasaran kerja.  Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang pragmatis serta produktif, yang menghasilkan buah (hasil) dalam kepemimpinannya. Pemimpin Kristen sekalipun adalah pemimpin rohani, ia harus berorientasi kepada hasil atau sukses, dengan menerapkan gaya wirausaha. Alasan utama bagi orientasi ini ialah bahwa Allah pun menghendaki agar pemimpin Kristen itu berhasil dalam kepemimpinannya. Kebenaran ini diteguhkan oleh analogi perumpamaan pada Matius 25:14-30, dimana ketidaktaatan yang menandakan ketidakberhasilan dikecam oleh Tuhan Yesus dengan tegas.
       
PENUTUP

Mengapa kita berada dalam krisis kepemimpinan? Karena kita telah kehilangan kapasitas institusional dan interpersonal yang mampu mentransformasi individu secara utuh untuk mencapai efektifitas hidup sebagaimana yang Allah inginkan. Terlalu banyak kendala struktural, intelektual, emosional, dan kultural yang memperlambat proses transformasi tersebut hingga ke titik nol. Kapasitas institusional dan interpersonal disini adalah kemampuan sebuah insitusi dan para individu yang ada didalamnya untuk berupaya secara sadar dan masuk ke dalam proses mencetak pemimpin. Kultur dan struktur yang ada dalam berbagai jenis organisasi seringkali malah mematikan potensi kepemimpinan seseorang. Demikian juga proses saling mempertajam dan memperlengkapi telah lama absen dalam relasi antara individu. Seakan-akan ada vaksin anti-kepemimpinan yang telah disuntikkan ke dalam sistem urat syarat organisasi dan individu. Krisis kepemimpinan adalah sebuah masalah yang krusial. Namun ada masalah yang lebih krusial, dan sekaligus urgen, yaitu masalah ignorance. Banyak orang yang ignorant akan kebutuhan kepemimpinan diatas. Banyak orang cuek dan acuh tak acuh terhadap krisis kepemimpinan. Tanpa adanya kesadaran publik.

Tantangan yang terbesar bagi para pemerhati berbagai institusi yang disebut diatas adalah menciptakan kesadaran publik sehingga kebutuhan kepemimpinan dirasakan dan dipahami signifikansi-nya. Kita harus bangun dari tidur panjang ini. Kesadaran ini adalah sebuah langkah pertama yang harus dicapai dalam perjalanan kepemimpinan yang memakan waktu seumur hidup. Tanpa itu, perjalanan panjang tersebut tidak akan pernah dimulai. Kepemimpinan Gereja tema yang sangat luas - dapat didekati dari segi pemahaman Alkitab tentang berbagai bentuk kepemimpinan politis dan religius; dari teologi sistematis, yaitu eklesiologi.

Apakah dalam kepemimpinan gereja kita telah siap untuk saling mendukung dan menguntungkan seperti kawanan burung tersebut? Bekerja keras untuk mereka yang ikut di belakang? Menguatkan mereka yang ada di depan dengan penghargaan dan kritik yang konstruktif? Atau kita lebih cenderung saling menjatuhkan, saling mempersulit kemajuan dan kesuksesan? Kita cemburu kepada mereka yang lebih di depan. Dan kita lebih cenderung mendefinisikan kepemimpinan secara statis, jabatan "di atas" dan jabatan "di bawah", bukan secara dinamis, mereka berjuang di depan dan mereka yang bekerja di belakang. Kita harus belajar kembali dalam gereja bahwa kita hanya akan maju kalau kita semua siap untuk bekerja sama dan saling mendukung dan memberi motivasi, dan untuk memahami struktur pimpinan secara fungsional untuk kepentingan dan misi bersama.

1. Kepemimpinan suatu gerakan seperti gereja adalah penting namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta yang aktiv dan bertanggung jawab dari anggota-anggota lainnya. Disini yang dituntut adalah kerjasama yang baik dan kesadaran akan tanggungjawab masing-masing. Sekali lagi: tujuan bukanlah untuk menjatuhkan mereka yang berada di depan. Namun yang dituntut oleh mereka di depan adalah kesediaan untuk membagi tanggung jawab dengan yang lain, membiarkan dan menguatkan orang lain untuk memimpin dalam bidang merka masing-masing dan memungkinkan suatu koordinasi yang harmonis. Tidaklah sehat kalau semua hanya tergantung pada suatu orang, dan yang lain hanya merasa bertanggung jawab kalau "disuruh". Kita harus belajar dalam gereja untuk tidak memegang secara statis posisi kita masing-masing (yang penting tidak didahului orang lain) dan lebih fleksibel dalam melihat dan menjawab panggilan dan fungsi kita yang paling dibutuhkan dalam situasi tertentu. (termasuk kesedian untuk meletakkan jabatan/suksesi)

2. Ada satu aspek lagi yang saya anggap relevan berhubungan dengan tema kita: Jika dalam perjalanan yang cukup jauh ada burung yang lemah atau sakit, selalu ada dua ekor burung lain yang akan mendampingi yang sakit ke bawah dan melindunginya dan membantunya sampai ia sembuh atau mati. Lalu mereka akan bersama-sama meneruskan perjalan mereka dengan menggabung dengan sekawanan angsa yang lain, sehingga tidak pernah ada yang tertinggal atau ditinggalkan begitu saja. Dalam gereja juga sangat penting bahwa pemimpin-pemimpin tidak maju sendiri tanpa memperhatikan mereka yang ikut dalam perjalanan kita. Memang ada pencobaan yang cukup besart untuk meninggalkan saja mereka yang mengganggu perencanaan kita, mereka yang tidak bisa ikut dengan kecepatan atau dengan tuntutan-tuntutan moralis dan prestasi kita. Lebih gampang meninggalkan dan menghakimi saja orang yang keluar dari "jalur" nilai dan kebiasaan kita, karena kelemahan manusiawi mereka. Namun gereja harus mengembangkan kembali sikap kepemimpinan Yesus yang siap untuk meninggalkan ke-99 domba untuk mencari satu yang hilang, berani untuk berpihak pada mereka yang lemah atau bahkan diasingkan dari persekutuan mereka (apakah karena kesalahan mereka sendiri atau kesalahan orang lain), dan melakukan fungsi integratif.  Siapa tahu kapan saya sendiri menjadi lemah atau terancam jatuh? Sikap solidaritas bukan dengan mereka yang kuat, melainkan dengan mereka yang lemah, menjadi ukuran utama untuk kepemimpinan gereja yang relevan. Seorang pemimpin tidak menunggu orang datang, tetapi mencari orang yang membutuhkannya.

Berangkat dari pengamatan burung ini saya ingin, dalam bagian terakhir pengantar diskusi saya, untuk memperluas dan menyimpulkan beberapa aspek tentang kepemimpinan gereja yang relevan secara sistematis dalam 4 poin:

1. Kepemimpinan gereja antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia.

2. Kepemimpinan gereja antara menerima tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain.

3. Kepemimpinan gereja antara karisma dan kompetensi.   

4. Kepemimpinan gereja antara konservasi dan transformasi.

 

   I.        Kepemimpinan gereja antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia.

        jelas: tugas pimpinan gereja "bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" dan menjadi gembala yang tidak "memerintah atas mereka yang dipercayakan" kepadanya, melainkan yang "menjadi teladan" (bdk Mat 20:25-28, Mrk 10:45; Yoh 13:5-15 dll), dan tidak menggunakan paksaan melainkan kesukarelaan (bdk 1 Petr 5:2-4). Disini gereja harus menjadi teladan untuk dunia tentang kepemimpinan yang sebenarnya, dan bukan sebaliknya (menerapkan struktur-struktur kekuasaan dan penindasan duniawi dalam gereja). Kepemimpinan dan administrasi adalah untuk melayani (ad + ministrare!)

Tentu saja pelayanan seorang pemimpin gereja terutama dipahami sebagai pelayanan kepada Tuhan. Namun dimensi vertikal ini tidak pernah terlepas dari dimensi horisontal, karena tidak ada jalan lain untuk melayani Allah kecuali melalui melayani sesama manusia. Kita selalu harus mengingatkan diri dan para pemimpin kita bahwa konsep pelayanan ini memutarbalikkan struktur pikiran dan struktur hirarki masyarakat kita: seorang pejabat baru menjadi pemimpin kalau ia merendahkan diri menjadi seorang pelayan. Karena pelayanan seseorang pemimpin bukan hanya masalah antara dia dan Allah, melainkan "masalah duniawi" (antarmanusia), pelayanannya harus juga diukur dengan kriteria-kriteria duniawi. Jangan sampai kata "melayani" hanya menjadi kata kosong untuk menyelubungi kekurangan dalam melakukan kerja dan menggunakan kuasa kita secara bertanggungjawab (ada yang sudah "alergi" dengan kata "pelayanan" dalam gereja).

II.        Kepemimpinan gereja antara menerima tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain

        Kuasa yang diberikan Allah kepada jemaatNya dan pemimpin-pemimpinnya menjadi nyata dalam kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Sering kita berbicara seoloah-olah tidak ada kekuasaan dalam gereja (karena kita bersaudara, semua sama di muka Allah, saling mengasihi dll.). Namun di mana ada interaksi antarmanusia dan kehidupan yang diatur secara organisatoris, di situ juga ada kekuasaan. Siapa yang menentukan penggunaan dana jemaat atau sinode, siapa yang menempatkan pendeta, siapa yang punya posisi sosial yang lebih didenggar dari pada orang lain, dia juga punya kekuasaan. Jadi pertanyaan bukanlah apakah ada hal-hal duniawi seperti kekuasaan dalam gereja atau tidak, melainkan bagaimana kekuasaan itu digunakan secara bertanggung jawab, secara transparen, secara jujur dan secara partisipatoris. Termasuk disini bahwa dalam gereja juga harus ada sistem kontrol kekuasaan secara teratur dan transparen.

Ada dua bahaya kekuasaan: menyangkal/melarikan diri dari tanggung jawab kekuasaan itu dan tidak menerimanya sebagai tantangan; atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri atau kelompok tertentu. (Contoh: dosen dlm memberi nilai – konsekwensi biografis untuk mahasiswa; dua pencobaan: meluluskan semua, lari dari tanggung jawab kekuasaan, tetapi akhirnya sistem pendidikan hancur – menilai secara subyektif: siapa yang dekat dengan saya, simpatis, dari suku atau gender tertentu…). Paling sulit: menggunakan kekuasaan secara obyektif dan bertanggung jawab.

        Kalau di satu sisi seorang pemimpin harus mampu untuk menerima kekuasaan yang dipercayakan kepadanya secara bertanggung jawab, ia harus juga mampu untuk membagi kekuasaan dan mendelegasikan tanggung jawab. Tidak ada juga gunannya kalau seorang pemimpin memikul semua beban kekuasaan sendiri, mengorbankan kesehatannya dan keluarganya, tetapi akhirnya semua tergantung pada dia dan orang lain tidak dibutuhkan, tidak berdaya lagi dan hanya menjadi penonton. Seorang pemimpin gereja tidak boleh menghindari orang lain maju hanya karena merasa posisinya terancam, tetapi ia harus memotivasi dan memberdayakan orang lain, menemukan kelebihan dan karunia mereka dan mengembangkannya. Kita harus mampu untuk melibatkan orang lain dalam keputusan-keputusan dan dalam realisasinya secara partisipatoris. Profesionalisme dalam kepemimpinan gereja sangat penting, namun jangan sampai profesionalisme itu hanya terbatas pada kelompok elite kecil, dan tanggung jawab dan imanat am orang percaya atau kaum awam semakin diabaikan. (kelebihan gereja Indonesia dibanding gereja di Jerman: orang masih merasa gereja=kita; namun masih lebih cenderung "mensosialisasikan" dari pada "memberdayakan").

 III.        Kepemimpinan gereja antara karisma dan kompetensi

        Setiap orang diberi karunia atau karismata oleh Roh Kudus, dan ini tidak boleh diabaikan melainkan seharusnya menentukan pembagian tanggung jawab dalam kepemimpinan gereja. PB menyebut beberapa karunia seperti mengajar,  melayani, membuat ajaib atau menyembuhkan, berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, bernubuat, membedakan bermacam-macam roh dll. (bdk 1 Kor 12; 1 Tim 4:14), dan sudah dikembangkan dalam PB bermacam-macam fungsi atau jabatan gerejawi seperti apostolat, diakonat, presbiter, pastorat, episkopat dll, untuk memimpin gereja dalam panggilan duniawi, dalam dimensi pelayanan (diakonia), kesaksian (marturia) dan pengayuban (koinonia) termasuk kehidupan spiritual (leiturgia). Dalam tubuh Kristus tidak ada fungsi dan karunia yang lebih tinggi atau lebih penting dari pada yang lain, sehingga kepemimpinan gereja adalah fungsi untuk memberdayakan, mengkoordinasi dan mengorganisir karunia-karunia yang ada dengan baik sehingga tubuh ini dapat melakukan misinya di dunia ini secara optimal. Jangan dilupakan bawah kepala gereja tidaklah lain dari pada Kristus sendiri.

Namun tidak cukup jika seorang pemimpin gereja hanya percaya kepada karunia yang diberikannya. Ia juga bertanggung jawab untuk mengembangkannya, untuk memperbaiki kekurangannya dan meningkatkan kompetensinya sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang dihadapinya. Sering kita merasa kalau kita sudah mencapai pososi tertentu tidak perlu lagi kita belajar. Sebaliknya, semakin tinggi posisi kita dan  semakin besar tanggung jawab kita, semakin banyak kita harus belajar. Misalnya sering diabaikan bahwa seorang pendeta yang memimpin jemaat atau sebuah struktur gereja bersama dengan orang lain tidak hanya membutuhkan dasar teologis yang cukup kuat, tetapi juga misalnya kepandaian menajemen atau pengelolaan. Disini juga masih terletak salah satu kekurangan dalam pendidikan teologi. Dari kompetensi yang seharusnya lebih dikembangkan saya ingin menekankan kompetensi sosial atau kompetensi komunikasi, termasuk kompetensi untuk menangani konflik secara konstruktif. Ia harus mampu untuk menjadi moderator atau mediator dalam konflik, dari pada hanya menghindari atau menekankan konflik, atau bahkan menyebabkan konflik dan melibatkan emosi pribadi. Ia berada dalam posisi yang paling berpengaruh untuk mendukung atau menghindari perkembangan suatu kultur kritik dan konflik yang konstruktif dalam gereja. Semua ini adalah kompetensi-kompetensi yang dapat dilatih, dan dalam dunia modern dan semakin rumit tidaklah cukup kalau seorang pemimpin sudah puas dengan karunianya dan pengalamannya.

IV.        Kepemimpinan gereja antara konservasi dan transformasi.

Dalam poin terakhir ini kita melihat kepemimpinan gereja dalam ketegangan yang konstruktif antara upaya untuk menjamin kontinuitas dan tradisi gereja di satu sisi, dan menjadi motor perubahan dan transformasi sosial di sisi lain.

Disini seorang pemimpin menjadi "konservatif" dalam arti yg sebenarnya: mempertahankan dan menjamin nilai, tradisi dan aturan gereja yang menjadi identitas persekutuan. Disini sering dituntut bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan yang baik (atau bahkan sempurna) dalam menaati nilai-nilai perseketuannya. Dan ini tidak hanya berlaku jika konformitas dituntut oleh nilai-nilai etika Kristen, namun juga jika dituntut oleh kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat yang harus diperhatikan (mis: di kota tidak apa-apa pendeta ke bioskop atau pendeta perempuan memakai jeans, dan tidak ada larangan dari etika Kristen; namun di desa hal tersebut bisa melanggar nilai-nilai masyarakat) – Paulus: demi mereka yang "lemah", tidak menjadi batu sandungan dan hambatan untuk pemberitaan firman.

Di sisi lain, seorang pemimpin gereja selalu harus sadar bahwa formalisme aturan, kelembagaan yang statis dan sikap yang eksklusif adalah lawan gereja sebagai gerakan misi Allah dan dinamika Roh Kudus. Injil Yesus Kristus selalu menantang kita untuk menerobos dan mentransformasikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan kita sesuai dengan inti perintah kasih terhadap Allah dan sesama manusia. Disini kepemimpinan gereja harus selalu siap untuk membaca tanda-tanda zaman, memiliki "sense of krisis" dari pada hanya sibuk dengan masalah-masalah intern gereja. Kepemimpinan gereja harus mendengar, mengangkat dan menyuarakan suara-suara kenabian dalam gereja sehingga gereja dapat menjadi motor untuk perubahan atau transformasi masyarakat, dan sekaligus berani untuk ditransformasikan atau mengalami perubahan sesuai dengan konteks di mana kita berat.

Kerohanian Pemimpin

Kerohanian yang telah teruji merupakan syarat mutlak seorang pemimpin yang sudah harus ia miliki. Ukuran yang paling penting bukan terletak pada apa yang dikerjakan, tetapi pada hubungannya dengan Allah. Kerohanian yang mantap memungkinkan untuk memiliki kepekaan rohani di hadapan Allah, sehingga prinsip dasar kepemimpinan yang digunakan juga bertumpu pada Allah. Melayani adalah satu panggilan Allah dan harus senantiasa mengkonsultasikan kepada Allah sebagai wujud nyata yang terlihat setiap waktu dari seorang pemimpin.


    Seperti Nehemia yang telah mengetahui visi dan misinya, begitu juga seorang pemimpin Gereja harus mengetahui visi dan misinya yang jelas. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke muka untuk 10 – 25 tahun yang akan datang.  Antisipasi jauh ke depan sambil membaca kesempatan dan tantangan dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan kehidupan spiritual yang dimilikinya. Sekaligus berdiri dalam visi dan misi Gereja di dunia ini, yakni memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid Tuhan dengan penyertaan Allah. Ketergantungan kepada Allah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengemban tugas ini. Sebagaimana Nehemia dengan doanya telah menunjukkan ketergantungannya kepada Allah. Pemimpin Gereja dan doanya tidak dapat dipisahkan. Pemimpin harus turut serta dalam gerak maju pembangunan, tanpa mengorbankan imannya, kesaksiannya, serta pelayanan sebagai hamba Tuhan.  Semuanya ini adalah satu sikap yang memperlihatkan solidaritas kepada bangsa dan negara yang selalu berkaitan dengan kehidupan doa seorang pemimpin Gereja, yaitu pelayanan doa yang mencakup seluruh aspek. Bagian inilah yang disebutkan pengandalan kepada Tuhan secara total yang dimulai dari pembangunan tubuh Gereja yang rohani.

Karakteristik Pemimpin

Seorang pemimpin Gereja masa sekarang harus berani menghadapi tugas dan tantangan. Tugas utama membawa Gereja bertumbuh secara kualitas dan kuantitas. Dan untuk tugas ini merupakan perjalanan panjang dan penuh tantangan, tetapi dituntut keberanian yang radikal dalam diri pemimpin. Kesanggupan dalam menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh dan tekun  akan berdampak langsung pada kewibawaannya terhadap orang-orang yang dipimpinnya.  Dalam menjalankannya harus dengan motivasi yang murni. Kemurnian motivasi dalam menjalankan tugas adalah hal yang sangat sakral dalam diri pemimpin. Tujuannya adalah demi kepentingan pekerjaan Tuhan yang selalu bersifat terbuka.


    Sedikit sekali pemimpin menyadari empati dalam seni memimpin adalah hal yang sama dengan kasih. Pentingnya kasih dalam kepemimpinan sudah menjadi prasyarat seseorang untuk jadi pemimpin . Betapa kuatnya pernyataan mengenai pentingnya kasih, baik dalam pengajaran Yesus maupun penekanan-penekanan yang diajarkan Oleh Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya. Kasih itu mencakup semua aspek kehidupan yang berorientasi kepada sikap baik kepada sesama yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal ini harus dimiliki oleh pemimpin Kristen yang mengetahui kebutuhan yang dipimpinnya. Kasih itu meliputi antara lain: kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, tidak pernah congkak, tidak egois, bersikap lembut, tidak menuntut kemauannya sendiri, tidak mudah tersinggung, tidak menaruh dendam, kasih hampir tidak memperhatikan kesalahan orang, tidak pernah senang memandang kelaliman, bergembira bila kebenaran menang, setia, mempercayai orang lain, membela orang lain, dan kasih tiada pernah berkesudahan.  Semua kategori ini adalah hal yang sama satu dengan yang lain, yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pemimpin.

    Bersikap tegas, pemimpin yang besikap tegas akan terbukti rajin/giat; efektif dan efisien serta berorientasi kepada sasaran kerja.  Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang pragmatis serta produktif, yang menghasilkan buah (hasil) dalam kepemimpinannya. Pemimpin Kristen sekalipun adalah pemimpin rohani, ia harus berorientasi kepada hasil atau sukses, dengan menerapkan gaya wirausaha. Alasan utama bagi orientasi ini ialah bahwa Allah pun menghendaki agar pemimpin Kristen itu berhasil dalam kepemimpinannya. Kebenaran ini diteguhkan oleh analogi perumpamaan pada Matius 25:14-30, dimana ketidaktaatan yang menandakan ketidakberhasilan dikecam oleh Tuhan Yesus dengan tegas.
       

PENUTUP 

Prinsip-prinsip dasar kepemimpinan Nehemia rupanya mampu menjawab kebutuhan dalam masa krisis kepemimpinan yang sedang terjadi sekarang dalam Gereja. Berkaitan dengan situasi dan kondisi yang hampir sama, maka pemimpin Kristen dapat langsung mengaplikasikannya dalam strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan Gereja. Dalam lingkup pelayanan rohani sangat erat berkaitan dengan Allah. Maka pemimpin harus memiliki keimanan di dalam Allah sebagai sentral dalam menjalankan semua tanggungjawab yang telah dibebankan kepadanya.    

Ev. Matius Soboliem, M. Th.