KUALITAS KEPEMIMPINAN KRISTEN
Gereja
yang seharusnya menghasilkan pemimpin yang tinggi iman, tinggi ilmu, dan tinggi
pengabdian malah terkontaminasi dengan berbagai masalah kepemimpinan. Peneliti
Kristen George Barna melakukan studi selama 15 tahun tentang kehidupan gereja
secara global dan memberikan konklusi sebagai berikut: Gereja telah kehilangan
pengaruhnya karena absennya kepemimpinan yang efektif. Kalau pemimpin yang baik
di dunia jarang dijumpai, maka pemimpin yang sangat baik yang memenuhi standar
Allah dalam firmanNya lebih jarang lagi. Pendek kata, banyak masalah akut
dan kronis yang melumpuhkan organisasi bermuara atau memiliki korelasi yang
sangat erat dengan kepemimpinan.
Gereja
yang dipimpin oleh orang-orang yang kurang diperlengkapi dengan kompetensi
kepemimpinan yang solid. Beberapa dari mereka bahkan memiliki cacat karakter.
Integritas seringkali dikorbankan demi kelanggengan ambisi pemimpin. Pada saat
yang bersamaan dampak dari aksi kepemimpinan mereka menjalar seperti kanker
dari dalam organisasi, dan melumpuhkannya secara perlahan. Kita berada dalam
krisis kepemimpinan. Pemerhati kepemimpinan Profesor Warren Bennis bahwa
organisasi gagal karena over-managed dan under-led.
Meskipun kepemimpinan bukan solusi satu-satunya dari berbagai jenis masalah
organisasi, ia adalah sebuah critical success factor yang
membedakan organisasi yang sehat dan berhasil dengan organisasi yang sakit dan
gagal.
Seperti Nehemia yang telah mengetahui visi dan misinya,
begitu juga seorang pemimpin Gereja harus mengetahui visi dan misinya yang
jelas. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke muka
untuk 10 – 25 tahun yang akan datang. Antisipasi jauh ke depan sambil
membaca kesempatan dan tantangan dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan
kehidupan spiritual yang dimilikinya. Sekaligus berdiri dalam visi dan misi
Gereja di dunia ini, yakni memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa
murid Tuhan dengan penyertaan Allah. Ketergantungan kepada Allah sangat penting
bagi seorang pemimpin untuk mengemban tugas ini. Sebagaimana Nehemia dengan
doanya telah menunjukkan ketergantungannya kepada Allah. Pemimpin Gereja dan
doanya tidak dapat dipisahkan. Pemimpin harus turut serta dalam gerak maju
pembangunan, tanpa mengorbankan imannya, kesaksiannya, serta pelayanan sebagai
hamba Tuhan. Semuanya ini adalah satu sikap yang memperlihatkan solidaritas
kepada bangsa dan negara yang selalu berkaitan dengan kehidupan doa seorang
pemimpin Gereja, yaitu pelayanan doa yang mencakup seluruh aspek. Bagian inilah
yang disebutkan pengandalan kepada Tuhan secara total yang dimulai dari
pembangunan tubuh Gereja yang rohani.
Karakteristik Pemimpin
Sedikit sekali pemimpin menyadari empati dalam seni memimpin
adalah hal yang sama dengan kasih. Pentingnya kasih dalam kepemimpinan sudah
menjadi prasyarat seseorang untuk jadi pemimpin . Betapa kuatnya pernyataan
mengenai pentingnya kasih, baik dalam pengajaran Yesus maupun
penekanan-penekanan yang diajarkan Oleh Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya.
Kasih itu mencakup semua aspek kehidupan yang berorientasi kepada sikap baik
kepada sesama yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal ini harus
dimiliki oleh pemimpin Kristen yang mengetahui kebutuhan yang dipimpinnya.
Kasih itu meliputi antara lain: kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak
sombong, tidak pernah congkak, tidak egois, bersikap lembut, tidak menuntut
kemauannya sendiri, tidak mudah tersinggung, tidak menaruh dendam, kasih hampir
tidak memperhatikan kesalahan orang, tidak pernah senang memandang kelaliman,
bergembira bila kebenaran menang, setia, mempercayai orang lain, membela orang
lain, dan kasih tiada pernah berkesudahan. Semua kategori ini adalah hal
yang sama satu dengan yang lain, yang tidak bisa diabaikan oleh seorang
pemimpin.
Bersikap tegas, pemimpin yang besikap tegas akan terbukti
rajin/giat; efektif dan efisien serta berorientasi kepada sasaran kerja.
Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang pragmatis serta produktif, yang
menghasilkan buah (hasil) dalam kepemimpinannya. Pemimpin Kristen sekalipun
adalah pemimpin rohani, ia harus berorientasi kepada hasil atau sukses, dengan
menerapkan gaya wirausaha. Alasan utama bagi orientasi ini ialah bahwa Allah
pun menghendaki agar pemimpin Kristen itu berhasil dalam kepemimpinannya.
Kebenaran ini diteguhkan oleh analogi perumpamaan pada Matius 25:14-30, dimana
ketidaktaatan yang menandakan ketidakberhasilan dikecam oleh Tuhan Yesus dengan
tegas.
PENUTUP
Mengapa kita berada dalam krisis
kepemimpinan? Karena kita telah kehilangan kapasitas institusional dan
interpersonal yang mampu mentransformasi individu secara utuh untuk mencapai
efektifitas hidup sebagaimana yang Allah inginkan. Terlalu banyak kendala
struktural, intelektual, emosional, dan kultural yang memperlambat proses
transformasi tersebut hingga ke titik nol. Kapasitas institusional dan
interpersonal disini adalah kemampuan sebuah insitusi dan para individu yang
ada didalamnya untuk berupaya secara sadar dan masuk ke dalam proses mencetak
pemimpin. Kultur dan struktur yang ada dalam berbagai jenis organisasi
seringkali malah mematikan potensi kepemimpinan seseorang. Demikian juga proses
saling mempertajam dan memperlengkapi telah lama absen dalam relasi antara individu.
Seakan-akan ada vaksin anti-kepemimpinan yang telah disuntikkan ke dalam sistem
urat syarat organisasi dan individu. Krisis kepemimpinan adalah sebuah masalah
yang krusial. Namun ada masalah yang lebih krusial, dan sekaligus urgen, yaitu
masalah ignorance. Banyak orang yang ignorant akan
kebutuhan kepemimpinan diatas. Banyak orang cuek dan acuh tak acuh terhadap
krisis kepemimpinan. Tanpa adanya kesadaran publik.
Tantangan yang terbesar bagi para
pemerhati berbagai institusi yang disebut diatas adalah menciptakan kesadaran
publik sehingga kebutuhan kepemimpinan dirasakan dan dipahami signifikansi-nya.
Kita harus bangun dari tidur panjang ini. Kesadaran ini adalah sebuah langkah
pertama yang harus dicapai dalam perjalanan kepemimpinan yang memakan waktu
seumur hidup. Tanpa itu, perjalanan panjang tersebut tidak akan pernah dimulai.
Kepemimpinan Gereja tema yang sangat luas - dapat didekati dari segi pemahaman
Alkitab tentang berbagai bentuk kepemimpinan politis dan religius; dari teologi
sistematis, yaitu eklesiologi.
Apakah
dalam kepemimpinan gereja kita telah siap untuk saling mendukung dan
menguntungkan seperti kawanan burung tersebut? Bekerja keras untuk mereka yang
ikut di belakang? Menguatkan mereka yang ada di depan dengan penghargaan dan kritik
yang konstruktif? Atau kita lebih cenderung saling menjatuhkan, saling
mempersulit kemajuan dan kesuksesan? Kita cemburu kepada mereka yang lebih di
depan. Dan kita lebih cenderung mendefinisikan kepemimpinan secara statis,
jabatan "di atas" dan jabatan "di bawah", bukan secara
dinamis, mereka berjuang di depan dan mereka yang bekerja di belakang. Kita
harus belajar kembali dalam gereja bahwa kita hanya akan maju kalau kita semua
siap untuk bekerja sama dan saling mendukung dan memberi motivasi, dan untuk
memahami struktur pimpinan secara fungsional untuk kepentingan dan misi
bersama.
1.
Kepemimpinan
suatu gerakan seperti gereja adalah penting namun yang tidak kalah pentingnya
adalah peran serta yang aktiv dan bertanggung jawab dari anggota-anggota lainnya.
Disini yang dituntut adalah kerjasama yang baik dan kesadaran akan
tanggungjawab masing-masing. Sekali lagi: tujuan bukanlah untuk menjatuhkan
mereka yang berada di depan. Namun yang dituntut oleh mereka di depan adalah
kesediaan untuk membagi tanggung jawab dengan yang lain, membiarkan dan
menguatkan orang lain untuk memimpin dalam bidang merka masing-masing dan
memungkinkan suatu koordinasi yang harmonis. Tidaklah sehat kalau semua hanya
tergantung pada suatu orang, dan yang lain hanya merasa bertanggung jawab kalau
"disuruh". Kita harus belajar dalam gereja untuk tidak memegang
secara statis posisi kita masing-masing (yang penting tidak didahului orang
lain) dan lebih fleksibel dalam melihat dan menjawab panggilan dan fungsi kita
yang paling dibutuhkan dalam situasi tertentu. (termasuk kesedian untuk
meletakkan jabatan/suksesi)
2.
Ada
satu aspek lagi yang saya anggap relevan berhubungan dengan tema kita: Jika
dalam perjalanan yang cukup jauh ada burung yang lemah atau sakit, selalu ada
dua ekor burung lain yang akan mendampingi yang sakit ke bawah dan
melindunginya dan membantunya sampai ia sembuh atau mati. Lalu mereka akan
bersama-sama meneruskan perjalan mereka dengan menggabung dengan sekawanan
angsa yang lain, sehingga tidak pernah ada yang tertinggal atau ditinggalkan
begitu saja. Dalam gereja juga sangat
penting bahwa pemimpin-pemimpin tidak maju sendiri tanpa memperhatikan mereka
yang ikut dalam perjalanan kita. Memang ada pencobaan yang cukup besart untuk
meninggalkan saja mereka yang mengganggu perencanaan kita, mereka yang tidak
bisa ikut dengan kecepatan atau dengan tuntutan-tuntutan moralis dan prestasi
kita. Lebih gampang meninggalkan dan menghakimi saja orang yang keluar dari
"jalur" nilai dan kebiasaan kita, karena kelemahan manusiawi mereka.
Namun gereja harus mengembangkan kembali sikap kepemimpinan Yesus yang siap
untuk meninggalkan ke-99 domba untuk mencari satu yang hilang, berani untuk
berpihak pada mereka yang lemah atau bahkan diasingkan dari persekutuan mereka
(apakah karena kesalahan mereka sendiri atau kesalahan orang lain), dan
melakukan fungsi integratif. Siapa
tahu kapan saya sendiri menjadi lemah atau terancam jatuh? Sikap solidaritas
bukan dengan mereka yang kuat, melainkan dengan mereka yang lemah, menjadi
ukuran utama untuk kepemimpinan gereja yang relevan. Seorang pemimpin tidak
menunggu orang datang, tetapi mencari orang yang membutuhkannya.
Berangkat dari pengamatan burung ini
saya ingin, dalam bagian terakhir pengantar diskusi saya, untuk memperluas dan
menyimpulkan beberapa aspek tentang kepemimpinan gereja yang relevan secara
sistematis dalam 4 poin:
1.
Kepemimpinan
gereja antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia.
2.
Kepemimpinan
gereja antara menerima tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain.
3.
Kepemimpinan
gereja antara karisma dan kompetensi.
4.
Kepemimpinan
gereja antara konservasi dan transformasi.
I.
Kepemimpinan gereja antara pelayanan
terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia.
jelas:
tugas pimpinan gereja "bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani" dan menjadi gembala yang tidak "memerintah atas mereka yang
dipercayakan" kepadanya, melainkan yang "menjadi teladan" (bdk
Mat 20:25-28, Mrk 10:45; Yoh 13:5-15 dll), dan tidak menggunakan paksaan
melainkan kesukarelaan (bdk 1 Petr 5:2-4). Disini gereja harus menjadi teladan
untuk dunia tentang kepemimpinan yang sebenarnya, dan bukan sebaliknya
(menerapkan struktur-struktur kekuasaan dan penindasan duniawi dalam gereja).
Kepemimpinan dan administrasi adalah untuk melayani (ad + ministrare!)
Tentu saja pelayanan seorang
pemimpin gereja terutama dipahami sebagai pelayanan kepada Tuhan. Namun dimensi
vertikal ini tidak pernah terlepas dari dimensi horisontal, karena tidak ada
jalan lain untuk melayani Allah kecuali melalui melayani sesama manusia. Kita
selalu harus mengingatkan diri dan para pemimpin kita bahwa konsep pelayanan
ini memutarbalikkan struktur pikiran dan struktur hirarki masyarakat kita:
seorang pejabat baru menjadi pemimpin kalau ia merendahkan diri menjadi seorang
pelayan. Karena pelayanan seseorang pemimpin bukan hanya masalah antara dia dan
Allah, melainkan "masalah duniawi" (antarmanusia), pelayanannya harus
juga diukur dengan kriteria-kriteria duniawi. Jangan sampai kata
"melayani" hanya menjadi kata kosong untuk menyelubungi kekurangan
dalam melakukan kerja dan menggunakan kuasa kita secara bertanggungjawab (ada
yang sudah "alergi" dengan kata "pelayanan" dalam gereja).
II.
Kepemimpinan gereja antara menerima
tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain
Kuasa
yang diberikan Allah kepada jemaatNya dan pemimpin-pemimpinnya menjadi nyata
dalam kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Sering kita
berbicara seoloah-olah tidak ada kekuasaan dalam gereja (karena kita
bersaudara, semua sama di muka Allah, saling mengasihi dll.). Namun di mana ada
interaksi antarmanusia dan kehidupan yang diatur secara organisatoris, di situ
juga ada kekuasaan. Siapa yang menentukan penggunaan dana jemaat atau sinode,
siapa yang menempatkan pendeta, siapa yang punya posisi sosial yang lebih
didenggar dari pada orang lain, dia juga punya kekuasaan. Jadi pertanyaan
bukanlah apakah ada hal-hal duniawi seperti kekuasaan dalam gereja atau tidak,
melainkan bagaimana kekuasaan itu digunakan secara bertanggung jawab, secara
transparen, secara jujur dan secara partisipatoris. Termasuk disini bahwa dalam
gereja juga harus ada sistem kontrol kekuasaan secara teratur dan transparen.
Ada dua bahaya kekuasaan:
menyangkal/melarikan diri dari tanggung jawab kekuasaan itu dan tidak
menerimanya sebagai tantangan; atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan
sendiri atau kelompok tertentu. (Contoh: dosen dlm memberi nilai – konsekwensi
biografis untuk mahasiswa; dua pencobaan: meluluskan semua, lari dari tanggung
jawab kekuasaan, tetapi akhirnya sistem pendidikan hancur – menilai secara
subyektif: siapa yang dekat dengan saya, simpatis, dari suku atau gender
tertentu…). Paling sulit: menggunakan kekuasaan secara obyektif dan bertanggung
jawab.
Kalau
di satu sisi seorang pemimpin harus mampu untuk menerima kekuasaan yang
dipercayakan kepadanya secara bertanggung jawab, ia harus juga mampu untuk
membagi kekuasaan dan mendelegasikan tanggung jawab. Tidak ada juga gunannya
kalau seorang pemimpin memikul semua beban kekuasaan sendiri, mengorbankan
kesehatannya dan keluarganya, tetapi akhirnya semua tergantung pada dia dan
orang lain tidak dibutuhkan, tidak berdaya lagi dan hanya menjadi penonton.
Seorang pemimpin gereja tidak boleh menghindari orang lain maju hanya karena
merasa posisinya terancam, tetapi ia harus memotivasi dan memberdayakan orang
lain, menemukan kelebihan dan karunia mereka dan mengembangkannya. Kita harus
mampu untuk melibatkan orang lain dalam keputusan-keputusan dan dalam
realisasinya secara partisipatoris. Profesionalisme dalam kepemimpinan gereja
sangat penting, namun jangan sampai profesionalisme itu hanya terbatas pada
kelompok elite kecil, dan tanggung jawab dan imanat am orang percaya atau kaum
awam semakin diabaikan. (kelebihan gereja Indonesia dibanding gereja di Jerman:
orang masih merasa gereja=kita; namun masih lebih cenderung
"mensosialisasikan" dari pada "memberdayakan").
III.
Kepemimpinan gereja antara karisma
dan kompetensi
Setiap
orang diberi karunia atau karismata
oleh Roh Kudus, dan ini tidak boleh diabaikan melainkan seharusnya menentukan
pembagian tanggung jawab dalam kepemimpinan gereja. PB menyebut beberapa
karunia seperti mengajar, melayani, membuat ajaib atau menyembuhkan,
berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, bernubuat,
membedakan bermacam-macam roh dll. (bdk 1 Kor 12; 1 Tim 4:14), dan sudah
dikembangkan dalam PB bermacam-macam fungsi atau jabatan gerejawi seperti apostolat,
diakonat, presbiter, pastorat, episkopat dll, untuk memimpin gereja dalam
panggilan duniawi, dalam dimensi pelayanan (diakonia), kesaksian (marturia) dan
pengayuban (koinonia) termasuk kehidupan spiritual (leiturgia). Dalam tubuh
Kristus tidak ada fungsi dan karunia yang lebih tinggi atau lebih penting dari
pada yang lain, sehingga kepemimpinan gereja adalah fungsi untuk memberdayakan,
mengkoordinasi dan mengorganisir karunia-karunia yang ada dengan baik sehingga
tubuh ini dapat melakukan misinya di dunia ini secara optimal. Jangan dilupakan
bawah kepala gereja tidaklah lain dari pada Kristus sendiri.
Namun tidak cukup jika seorang
pemimpin gereja hanya percaya kepada karunia yang diberikannya. Ia juga
bertanggung jawab untuk mengembangkannya, untuk memperbaiki kekurangannya dan
meningkatkan kompetensinya sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang
dihadapinya. Sering kita merasa kalau kita sudah mencapai pososi tertentu tidak
perlu lagi kita belajar. Sebaliknya, semakin tinggi posisi kita dan
semakin besar tanggung jawab kita, semakin banyak kita harus belajar. Misalnya
sering diabaikan bahwa seorang pendeta yang memimpin jemaat atau sebuah
struktur gereja bersama dengan orang lain tidak hanya membutuhkan dasar
teologis yang cukup kuat, tetapi juga misalnya kepandaian menajemen atau
pengelolaan. Disini juga masih terletak salah satu kekurangan dalam pendidikan
teologi. Dari kompetensi yang seharusnya lebih dikembangkan saya ingin
menekankan kompetensi sosial atau kompetensi komunikasi, termasuk kompetensi
untuk menangani konflik secara konstruktif. Ia harus mampu untuk menjadi
moderator atau mediator dalam konflik, dari pada hanya menghindari atau
menekankan konflik, atau bahkan menyebabkan konflik dan melibatkan emosi
pribadi. Ia berada dalam posisi yang paling berpengaruh untuk mendukung atau
menghindari perkembangan suatu kultur kritik dan konflik yang konstruktif dalam
gereja. Semua ini adalah kompetensi-kompetensi yang dapat dilatih, dan dalam
dunia modern dan semakin rumit tidaklah cukup kalau seorang pemimpin sudah puas
dengan karunianya dan pengalamannya.
IV.
Kepemimpinan gereja antara
konservasi dan transformasi.
Dalam poin terakhir ini kita melihat
kepemimpinan gereja dalam ketegangan yang konstruktif antara upaya untuk
menjamin kontinuitas dan tradisi gereja di satu sisi, dan menjadi motor
perubahan dan transformasi sosial di sisi lain.
Disini seorang pemimpin menjadi
"konservatif" dalam arti yg sebenarnya: mempertahankan dan menjamin
nilai, tradisi dan aturan gereja yang menjadi identitas persekutuan. Disini
sering dituntut bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan yang baik (atau
bahkan sempurna) dalam menaati nilai-nilai perseketuannya. Dan ini tidak hanya
berlaku jika konformitas dituntut oleh nilai-nilai etika Kristen, namun juga
jika dituntut oleh kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat yang harus
diperhatikan (mis: di kota tidak apa-apa pendeta ke bioskop atau pendeta
perempuan memakai jeans, dan tidak ada larangan dari etika Kristen; namun di
desa hal tersebut bisa melanggar nilai-nilai masyarakat) – Paulus: demi mereka
yang "lemah", tidak menjadi batu sandungan dan hambatan untuk
pemberitaan firman.
Di sisi lain, seorang pemimpin
gereja selalu harus sadar bahwa formalisme aturan, kelembagaan yang statis dan
sikap yang eksklusif adalah lawan gereja sebagai gerakan misi Allah dan
dinamika Roh Kudus. Injil Yesus Kristus selalu menantang kita untuk menerobos
dan mentransformasikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan kita sesuai dengan
inti perintah kasih terhadap Allah dan sesama manusia. Disini kepemimpinan
gereja harus selalu siap untuk membaca tanda-tanda zaman, memiliki "sense
of krisis" dari pada hanya sibuk dengan masalah-masalah intern gereja.
Kepemimpinan gereja harus mendengar, mengangkat dan menyuarakan suara-suara
kenabian dalam gereja sehingga gereja dapat menjadi motor untuk perubahan atau
transformasi masyarakat, dan sekaligus berani untuk ditransformasikan atau
mengalami perubahan sesuai dengan konteks di mana kita berat.
Kerohanian Pemimpin
Kerohanian yang telah teruji
merupakan syarat mutlak seorang pemimpin yang sudah harus ia miliki. Ukuran
yang paling penting bukan terletak pada apa yang dikerjakan, tetapi pada
hubungannya dengan Allah. Kerohanian yang mantap memungkinkan untuk memiliki
kepekaan rohani di hadapan Allah, sehingga prinsip dasar kepemimpinan yang
digunakan juga bertumpu pada Allah. Melayani adalah satu panggilan Allah dan
harus senantiasa mengkonsultasikan kepada Allah sebagai wujud nyata yang
terlihat setiap waktu dari seorang pemimpin.
Seperti Nehemia yang telah mengetahui visi dan misinya,
begitu juga seorang pemimpin Gereja harus mengetahui visi dan misinya yang
jelas. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke muka
untuk 10 – 25 tahun yang akan datang. Antisipasi jauh ke depan sambil
membaca kesempatan dan tantangan dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan
kehidupan spiritual yang dimilikinya. Sekaligus berdiri dalam visi dan misi
Gereja di dunia ini, yakni memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa
murid Tuhan dengan penyertaan Allah. Ketergantungan kepada Allah sangat penting
bagi seorang pemimpin untuk mengemban tugas ini. Sebagaimana Nehemia dengan
doanya telah menunjukkan ketergantungannya kepada Allah. Pemimpin Gereja dan
doanya tidak dapat dipisahkan. Pemimpin harus turut serta dalam gerak maju
pembangunan, tanpa mengorbankan imannya, kesaksiannya, serta pelayanan sebagai
hamba Tuhan. Semuanya ini adalah satu sikap yang memperlihatkan solidaritas
kepada bangsa dan negara yang selalu berkaitan dengan kehidupan doa seorang
pemimpin Gereja, yaitu pelayanan doa yang mencakup seluruh aspek. Bagian inilah
yang disebutkan pengandalan kepada Tuhan secara total yang dimulai dari
pembangunan tubuh Gereja yang rohani.
Karakteristik Pemimpin
Seorang pemimpin Gereja masa
sekarang harus berani menghadapi tugas dan tantangan. Tugas utama membawa
Gereja bertumbuh secara kualitas dan kuantitas. Dan untuk tugas ini merupakan
perjalanan panjang dan penuh tantangan, tetapi dituntut keberanian yang radikal
dalam diri pemimpin. Kesanggupan dalam menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh
dan tekun akan berdampak langsung pada kewibawaannya terhadap orang-orang
yang dipimpinnya. Dalam menjalankannya harus dengan motivasi yang murni.
Kemurnian motivasi dalam menjalankan tugas adalah hal yang sangat sakral dalam
diri pemimpin. Tujuannya adalah demi kepentingan pekerjaan Tuhan yang selalu
bersifat terbuka.
Sedikit sekali pemimpin menyadari empati dalam seni memimpin
adalah hal yang sama dengan kasih. Pentingnya kasih dalam kepemimpinan sudah
menjadi prasyarat seseorang untuk jadi pemimpin . Betapa kuatnya pernyataan
mengenai pentingnya kasih, baik dalam pengajaran Yesus maupun
penekanan-penekanan yang diajarkan Oleh Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya.
Kasih itu mencakup semua aspek kehidupan yang berorientasi kepada sikap baik
kepada sesama yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal ini harus
dimiliki oleh pemimpin Kristen yang mengetahui kebutuhan yang dipimpinnya.
Kasih itu meliputi antara lain: kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak
sombong, tidak pernah congkak, tidak egois, bersikap lembut, tidak menuntut
kemauannya sendiri, tidak mudah tersinggung, tidak menaruh dendam, kasih hampir
tidak memperhatikan kesalahan orang, tidak pernah senang memandang kelaliman,
bergembira bila kebenaran menang, setia, mempercayai orang lain, membela orang
lain, dan kasih tiada pernah berkesudahan. Semua kategori ini adalah hal
yang sama satu dengan yang lain, yang tidak bisa diabaikan oleh seorang
pemimpin.
Bersikap tegas, pemimpin yang besikap tegas akan terbukti
rajin/giat; efektif dan efisien serta berorientasi kepada sasaran kerja.
Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang pragmatis serta produktif, yang
menghasilkan buah (hasil) dalam kepemimpinannya. Pemimpin Kristen sekalipun
adalah pemimpin rohani, ia harus berorientasi kepada hasil atau sukses, dengan
menerapkan gaya wirausaha. Alasan utama bagi orientasi ini ialah bahwa Allah
pun menghendaki agar pemimpin Kristen itu berhasil dalam kepemimpinannya.
Kebenaran ini diteguhkan oleh analogi perumpamaan pada Matius 25:14-30, dimana
ketidaktaatan yang menandakan ketidakberhasilan dikecam oleh Tuhan Yesus dengan
tegas.
PENUTUP
Prinsip-prinsip dasar kepemimpinan
Nehemia rupanya mampu menjawab kebutuhan dalam masa krisis kepemimpinan yang
sedang terjadi sekarang dalam Gereja. Berkaitan dengan situasi dan kondisi yang
hampir sama, maka pemimpin Kristen dapat langsung mengaplikasikannya dalam
strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan Gereja. Dalam lingkup pelayanan
rohani sangat erat berkaitan dengan Allah. Maka pemimpin harus memiliki
keimanan di dalam Allah sebagai sentral dalam menjalankan semua tanggungjawab
yang telah dibebankan kepadanya.
Ev. Matius Soboliem, M. Th.