TEGAKAN HARGA DIRI, MARTABAT SERTA IDENTATAS WARNAH HITAM DAN KRITING DI MATA TUHAN
Soboliemmatius Sinduk
Kehadiran Orang Papua didalam dunia bukan kebetulan, bukan sandiwara, bukan iseng, bukan Opini, bukan mimpi siang bolong, tetapi "fakta, atau kenyataan".
Orang Papua hadir didalam dunia ini, terkhusus di bumi cendrawsih karena kasih karunia Allah yang tidak terbatas, bukan inisiatif dari manusia yang terbatas.
Papua Ingin merdeka. Merdeka dalam arti luas, bukan arti sempit kalian mengerti. Arti luas disini, orang Papua Ingin hidup tanpa Genosida. Orang Papua ingin hidup tanpa Intimidasi. Orang Papua ingin hidup tanpa mendengar Rasisme. Orang Papua Ingin hidup sebagai mayoritas di negerinya dari pada mendengar seruan minoritas, bosan boss.
Kemerdekaan arti sempit selalu saja menujukan bahwa orang papua ingin mendirikan suatu negara, akhirnya dijuluki sebagai seporadis, separatis, dan pengacau dan lain sebagainya. Tetapi secara akademisi makna dari kemerdekaan itu sendiri adalah kebebasan, berpendapat, bebas berargumen, bebas berbangsa dan bernegara itu di jamin oleh UUD Bukan?
Jadi Kami rakjat papua ingin bebas dari kurungan jeruji besi, ingin meghirup udara bebas, kami ingin menerima sinar matahari, apabilah kerimpunan suatu penghalang di halaukan, dan ingin duduk dan berceritra dengan saudaraku sendiri seperti semulah.
Sekarang para reaksioner yang tidak mengerti ruang demokrasi membuat dan muncul suatu bermasalahan yang asli selama ini menimbun dalam hati, dengan sendirinya keluar dan bau busuk itu tercium oleh dunia.
Seorang diskriminator, rasialisator, dan Genosiator, melakukan berbagai macam cara, agar orang Papua menjadi objek wisata untuk membangun suatu projek raksasa didesain dengan nalar yang hyper grace, untuk memenuhi keinginannya.
Sekarang para politisi, Inteletual dan sendikiawan Jakarta telah kehilangan serta sirnah akal sehat. Hal ini berakibat pada ketidak tenangan para pemimpin, berkomunikasi tidak terarah pada inti pokok permasalahan, serta tidak berfokus pada tema yang di bahas hari ini.
Misalnya: Rasisme. penangan terhadap isyu rasisme yang panas, menjadikan alun-alun kota, sehingga para pemimipin berputar-putar di areah tersebuat. Seharusnya para sendikiawan baik Presiden yang terhormat, Kapolri yang tercinta, serta Menkopulkham yang tersayang, tidak tenang dan terlalu terburu buru membuat suatu konklusi yang salah tidak separalel dengan topik yang sedang diperpincabgkan/hangat.
Para pemimpin tidak menyelesaikan masalah rasisme dengan baik, maka kelihatannya rancu alias lari kemana mana. Pertama Isyu itu di larikaan pada KNPB, ULMWP, dan OPM. Saya kira rumusan ini keliru /sangat salah tidak berdasar pada topik dan pendahuluan. Akhirnya melakukan risers/kajian ilmiahnya kaku.
Para pemimpin merancang skenario berdsarkan hegemoni terhadap masyarakat papua sebagai sebuah bangsa melanesia. Sekarang atas nama hegemoni mengelurkan perintah secara tidak wajar untuk melakukan penangkapan terhadap aktifis kemanusian Veronika Koman, Beni Wenda, dan Tuan Buktar tabuni, serta seluruh demonstran di berbagai penjuru Nusantara alias seluruh Indonesia.
Sikap pemimpin sekarang ini terlihat aparteid serta rezinya rezim Orde Baru, padahal sekarang zaman reformasi.
Tanggal 15 Agustus adalah hari Jadinya Kesepakatan Nyew Akrimen antara Amerika dan Indonesia secara sepihak menyepakati tentang penguasaan hak ulayat masyarakat papua dengan cara tidak sama sekali melibatkan orang asli Papua (OAP).
Itulah sebabnya, dalam rana akademisi mahasiswa adalah agen perubahan (Change of agent). Atau aktor intelektual (intellectual actor). Dengan demikian mahasiswa papua memiliki kesadaran tinggi bawa dirinya hadir sebagai representasi masyarakat untuk menuntut keadilan kepada pemerintah Amerika bahwa kesepakatan secara sepihak tanpa melibatkan OAP adalah cacat - cat hukum.
Namun, ormas berkedok pembela merah putih melakukan pemalangan dan bereaksi secara berlebihan tanpa mengerti konsep kebenaran, serta keadilan. Apakah reaksi tersebut suatu kecerdasan intlektual? Pemerintah harus melakukan edugasi terhadap masyarakat atau ormas yang buta huruf itu secara baik, dan benar. Apabilah para reaksioner itu dilakukanya dari kalangan terdidik, maka perlu dipertanyakan, atau bisa dikatakan bodoh, atau lebih lagi bodok.
Seharusnya semu bentuk tema yang berkaitan dengan kehidupan manusia kulit hitam dari awal sampai akhir, harus dilihat, disentuh, ditanya, dan dirancang secara holistick, agar terurai sesuai kebutuhan kehidupan baik dibidang hukum, sosial, politik, dan ekonomi.
Namun, selalu saja pemerinta Indonesia menekan dan mempersempit ruang demokrasi secara berlebihan, Kelakuan klonial itu sudah tercium bau busuk yang menguap sampai menyengatkan jantung orang papua serta tercium oleh dunia Internasional.
Tidak mungkin orang normal, terkurung dalam bak sampa apabilah bau busuk sedang menyengat sampai pada jantung sanobari. Orang papua sedang terkubur dalam sistim imprealis, klonialis, dan meliteris. Tujuan hegemoni secara masif, terstruktur, serta tersistim sudah ketahuan. Beni kerakusan, beni kloni, beni imperial, serta militerian terlihat secara jelas.
Sekarang waktunya mengungkapkan kebenaran aslih. Beni kebenaran bertumbuh dimana- mana. Kebenaran menuntutmu, keadilan ditegakan, kasih diterapkan dalam hidup orang papua.
Ini waktunya untuk memuntahkan kebenaran hakiki yang selama ini tidak pernah didengar, tidak pernah melihat, tidak pernah dicernah, tidak pernah disentuh, hanya numpang lewat saja. Kebenaran adalah sebuah rasionalitas yang selalu di baregi dengan hikmat, segingga dengan sendirinya ia berseru, di jalan-jalan, di rumah-rumah, di kantor -kantor, serta di tempat umum bukan? Jelas itu suatu kenyataan, yang tidak bisa di bendung oleh akal manusia yang terbatas, yang gelap, yabg suram itu sendiri.
Oleh karena itu, saya sebagai hamba Tuhan melarang keras terhadap pemerintah pusat serta daerah melakukan pendekatan persuasif yang menggunakan alasan-alasan implisit terhadap anak anak papua dimanapun.
Gereja sebagai representasi umat Allah, tetapi cara menempatinya yang salah. Gereja boleh mengobati dengan doa dan pendekatan kontektual kepada anak anak papua sangat baik adanya, tetapi jangan didorong oleh motifasi lain yang bersifat interpersonal.
Cukup tanah kami di kerut, diekploitasi, hutan dan lahan kami dibajak, atas nama NKRI, tetapi secara masif kami sendiri terlantar dan miskin nomer 1 (satu) di dunia. Padahal kami kaya, alam kami melimpahkan segalah macam yang kami tidak sebutkan satu bersatu.
Baru muncul lagi rancangan baru yakni: Gereja terlibat dalam meredam serta menangani polemik rasisme hruzontal terhadap anak anak papua. Sangat benar dan jenius, tapi saya kira rasisme, diskriminasi serta intimidasi ada juga didalam gereja kan? Tidak percaya silakan opservasi kapan dan dimana saja di semua Gereja.
Saya memiliki pengalaman brilian dalam menilai penempatan umat kristen di berbagai denominasi di Indonesia. Pertama di papua Gerja di papua ramput lurus tidak duduk bersama dan berdampingan dengan rambut keritibg. Kedua kelompok rambut keriting sendiri, luruspun sendiri itu fakta. Ketiga cara duduk berdampingan dengan orang kulit hitam dan sawomatang sangat tidak mungkin, hanya 0% saja. Keempat selama ini saya ada dimana saja di pulau jawa dan bahwa orang Kristen tidak ada sama sekali? Sekarang baru adanya Kristen itu ketahuan, tapi sayangnya terlambat untuk membina anak papua dengan berbagai macam cara sampai uangpun dibiayai tanpa buat sesuatu. Leptop mahal di tawarkan, uang sekolah di biayai, hp merek apapun pilih sesuai kemauan. Kabupaten dimekarkan, Istana presiden dibangun di Papua, Waaaa luar biasa looo? Melalui gereja dan pemimpin papua yang mengatas namakan bertemu presiden secara sepuhan.
Stop orang papua yang datang ke presiden pemalas, berpabggu tangan tidak mandiri, tidak perna pekerja dengan tangan sendiri, lalu hidupnya memintah-mintah melulu secara instan tanpa proses. Wajarkah kita hidup dalam ketergantungan sama orang lain? Maukah otonomi terus diperpabjang sampai orang papua bodoh? Kami sadar, maka jangan di bodohi kami dengan berbagai tawaran yang takterhelakan sampai arus manja semakin kencang.
Free West Papua