Tampilkan postingan dengan label Kudus dan Kekudusan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kudus dan Kekudusan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Februari 2019

KUDUS DAN KEKUDUSAN

       KUDUS PENGUDUSAN

      Ev. Matius Soboliem, M.Th

Kudus Pengudusan ;,Yunani: αγιασμος hagiasmos, Pengudusan. Artinya dipisahkan untuk pelayanan Allah. Makna dasar dari akar kata Ibrani gadesy antara lain: (i)'menyendirikan', (ii)'cemerlang'. Arti pertama mungkin menekankan kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi, status, nisbah, dalam mana kata itu diterjemahkan 'terpotong', 'dipisahkan', 'disendirikan untuk penggunaan khusus', 'diserahkan untuk', atau'disucikan', 'dianggap keramat atau suci lawan dari yg biasa, tercemar atau sekuler'. Arti kedua mungkin menekankan penggunaannya berkaitan dengan keadaan, atau proses, yg dalam PB mengarah ke pemikiran tentang perubahan batin yg terjadi berangsur-angsur, yg menghasilkan kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yg menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yg baik dan menurut kehendak Tuhan.

I. Dalam PL
Dua bentuk arti seperti diuraikan sesuai garis besar di atas barangkali secara umum dapat disebut yg keimaman dan yg kenabian. Tapi keduanya tidak bertentangan. Acuan utama keduanya ialah tertuju kepada Allah.
a. Tuhan dilukiskan suci dalam keagungan, lain dalam sifat kelainan-Nya, sangat jauh dari manusia, dosa dan dunia (bnd Kel 3:5; Yes 6:3 dab). Manusia dianjurkan untuk mengakui Tuhan semesta alam sebagai Yang Kudus (Yes 8:13). Dan Tuhan berfirman akan menguduskan diriNya sendiri dan akan dikuduskan di dalam atau oleh mereka. Artinya tuntutan kekuasaan-Nya yg berdaulat diakui (seperti Ia akan dipermuliakan, yaitu bahwa keagungan-Nya akan diakui lewat sikap dan hubungan umat-Nya dgn Dia). Sesuatu atau seseorang yg dikuduskan diakui sebagai yg disendirikan oleh Tuhan maupun manusia (mis sabat, Kej 2:3; mezbah, Kel 29:37; Kemah Pertemuan, Kel 29:44; jubah, Im 8:30; puasa, Yl 1:14; rumah, Im 27:14; padang, Im 27:17; umat, Kel 19:14; jemaat, Yl 2:16; imam, Kel 28:41). Ini tidak harus berarti menyangkut perubahan batin. Upacara ritual dari hukum Taurat membuka kemungkinan mengampuni pelanggaran, atas mana umat Tuhan, yg telah disendirikan oleh Tuhan agar menjadi milik-Nya saja untuk digunakan sebagai alat-Nya, bersalah.
b. Kendati hal-hal di atas terutama merupakan pengudusan lahiriah dan ritual saja, namun semua hal itu disertai kenyataan batiniah yg mendalam. Peringatan Tuhan, 'Hendaknya engkau kudus karena Aku kudus', menuntut tanggapan moral dan spiritual dari umat, suatu refleksi dari sifat-sifat moral-Nya mengenai kebenaran, kemurnian, kebencian terhadap kejahatan, minat yg penuh kasih terhadap kesejahteraan orang lain dalam ketaatan kepada kehendak-Nya; karena Yang Kudus dari Israel terlibat aktif demi kebaikan umat-Nya (Kel 19:4) yg telah dipisahkan dari yg jahat. Kekudusan-Nya adalah sekaligus transenden dan imanen (Ul 4:7; Mzm 73:28), dan umat juga harus memiliki ciri-ciri demikian. Para nabi sadar akan bahayanya pengudusan lahiriah saja, justru mereka mengingatkan umat agar selalu menghormati Tuhan; mereka bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menghinakan upacara-upacara'kudus'yg lahiriah yg tanpa kekudusan perbuatan (Yes 1:4-11; 8:13). Anak-anak Israel menghinakan kekudusan Tuhan dengan hidup tak suci di antara bangsa-bangsa. Mereka gagal menjalankan hukum kekudusan (Im 17-26) yg memadukan secara mengagumkan aspek-aspek moral dan ritual.

II. Dalam PB
        Dalam Injil-injil Sinoptik penggunaan kata kerja 'menguduskan' dapat bersifat seremonial atau ritual. Tuhan Yesus berbicara tentang Bait Allah yg menguduskan emas, dan mezbah yg menguduskan persembahan korban (Mat 23:17,19). Di sini arti utamanya ialah pengudusan; emas dan persembahan diserahkan, disendirikan, dan dianggap secara khusus suci dan berharga oleh hubungannya dengan Bait Allah dan mezbah yg sudah suci.
        Dalam pengertian yg sejajar, namun yg lebih tinggi dan lebih rohani karena menyangkut lingkungan kepribadian, Kristus menguduskan diriNya sendiri bagi karya pengorbanan-Nya, Sang Bapak menguduskan Dia, dan Ia meminta pengikut-Nya 'menguduskan' (memandang dgn hormat, yg suci memberi tempat yg unik terhadap) Sang Bapak (Yoh 17:19; 10:36; Mat 6:9). Perluasan lebih lanjut dari pemikiran ini muncul dalam hal Kristus menguduskan umat dengan darah-Nya sendiri (Ibr 13:12) dan mungkin dalam Yoh 17:17 mengenai Bapak menguduskan orang percaya melalui firman kebenaran.
Bertalian dengan Yoh 17:17 kata 'mungkin' sengaja digunakan, karena ide 'pengudusan' di sini meluaskan artinya ke arah perubahan moral dan spiritual.
         Surat Ibr menjembatani anti batiniah dan lahiriah dari pengudusan. Kristus oleh pengorbanan-Nya menguduskan saudara-saudaraNya tidak hanya dalam arti menyendirikan mereka, tapi juga dalam arti memperlengkapi mereka bagi ibadah dan pelayanan kepada Tuhan. Ia melakukan hal ini dengan mendamaikan dosa-dosa mereka (Ibr 2:17) dan menguduskan hati nurani mereka dari pekerjaan-pekerjaan maut (Ibr 9:13 dab). Pengudusan ini janganlah dimengerti terutama sebagai suatu proses, melainkan sebagai kenyataan yg digenapi, karena 'oleh satu korban Ia telah menyempurnakan untuk selamanya mereka yg dikuduskan' (Ibr 10:10,14).
         Namun nasihat agar tumbuh dalam pengudusan bukannya tidak ada (lih Ibr 12:14, dimana kekudusan lebih menunjuk kpd keadaan ketimbang status).
Kendati 'pengudusan' dalam Ibr agak dekat dengan 'pembenaran' dalam Rm dan Gal, namun beda penggunaan kata 'pengudusan' dalam ketiganya janganlah dibesar-besarkan.
        Paulus menggunakan 'pengudusan' dalam dua arti juga. Dalam beberapa hal ia mengartikannya status yg diberikan kepada orang percaya yg berada di dalam Kristus bagi pengudusan maupun pembenaran. Kata jabaran 'orang kudus' terutama mengacu kepada status mereka di dalam Kristus ('dikuduskan di dalam Kristus Yesus', 1 Kor 1:2; bnd 1 Ptr 1:2). Pengudusan yg diperoleh merupakan hak istimewa bagi suami istri dan anak-anak, jika salah seorang dari orangtua itu orang percaya; hal ini lagi-lagi merupakan pengudusan secara status (1 Kor 7:14).
Arti kedua dari pengudusan menurut Paulus, menyangkut ihwal perubahan moral dan spiritual orang percaya yg sudah dibenarkan, yg sudah dilahirkan kembali, dikaruniai hidup baru oleh Tuhan.  

          Kehendak Tuhan ialah pengudusan kita (1 Tes 4:3). Dan mengalami dikuduskan secara keseluruhan ialah menjadi serupa dengan citra Kristus, dan dengan demikian merasakan dalam pengalaman arti menjadi citra Allah. Kristus adalah isi dan norma hidup yg dikuduskan: hidup kebangkitan-Nya diciptakan kembali dalam diri orang percaya sementara ia bertumbuh di dalam anugerah dan mencerminkan kemuliaan Tuhannya.

        Dalam pengalaman yg terus-menerus perihal pembebasan dari hukum secara harfiah, jiwa manusia dibebaskan oleh Roh Kudus (2 Kor 3:17, 18). Roh Kudus adalah penggerak dalam pengudusan manusia, tapi Ia bekerja melalui firman kebenaran dan doa iman, dan melalui persekutuan orang percaya (Ef 5:26) sementara mereka menguji diri sendiri dalam terang kasih Roh dan kekudusan yg tidak boleh tidak harus ada (Ibr 12:14). Iman, yg dilahirkan oleh Roh, menggenggam sarana pengudusan itu.

         Sebagaimana pembenaran berarti pembebasan dari hukuman dosa, demikian pula pengudusan berarti pembebasan dari pencemaran, kekurangan dan kuasa dosa. Tapi dalamnya dan luasnya pembebasan dalam arti yg terakhir itu masih dipersoalkan. Doa permohonan supaya Tuhan menguduskan orang percaya sepenuhnya, sehingga jiwa, roh dan tubuh mereka terpelihara tanpa cacat sampai kedatangan Kristus, diikuti oleh pernyataan bahwa 'Ia yg memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya' (1 Tes 5:23, 24). Ini menimbulkan tiga pertanyaan penting.

a. Apakah Tuhan melakukan pengudusan menyeluruh seketika? Apakah pengudusan oleh iman berarti menerima pengudusan menyeluruh sebagai anugerah sama seperti pembenaran, sehingga orang percaya itu sekarang juga telah dibuat menjadi kudus, masuk untuk selama-lamanya ke dalam kekudusan yg nyata dan praktis adalah suatu keadaan? Beberapa orang mengemukakan bahwa dalam pengalaman krisis yg mengikuti pertobatan, kemanusiaan yg lama disalibkan sekali untuk selamanya, dan akar dosa dicabut atau prinsip dosa ditiadakan. Beberapa orang melangkah lebih jauh dan menekankan kebutuhan akan penerimaan dan perbuatan karunia-karunia Roh (terutama karunia lidah) sebagai bukti pekerjaan Roh itu. Yg lain memandang bahwa PB pasti menentang pandangan ini, dan bahwa adanya surat-surat rasul dengan pernyataan-pernyataan doktrin, alasan-alasan, himbauan dan nasihat, bertentangan dengan itu.

b. Apakah Tuhan melakukan pengudusan pada masa hidup orang percaya? Di kalangan mereka yg menekankan ciri krisis dari pengalaman pengudusan maupun mereka yg memandangnya lebih sebagai suatu proses, terdapat orang-orang yg menyatakan diri sudah mencapai derajat tinggi dari hidup yg dikuduskan itu. Dengan menggarisbawahi perintah seperti 'haruslah kamu sempurna' (Mat 5:48), dan tidak menafsirkan 'kesempurnaan' di sini dalam arti 'kedewasaan', maka mereka mengatakan bahwa kasih yg sempurna dapat dicapai dalam kehidupan kini di dunia ini.

        Tapi tuntutan-tuntutan yg tinggi dalam arti 'kesempurnaan tanpa dosa', biasanya mengecilkan baik bobot dosa maupun standar kehidupan moral yg dituntut. Dosa dirumuskan sebagai 'pelanggaran sukarela terhadap suatu hukum yg diketahui' (Wesley) ketimbang 'setiap kekurangan dalam penyesuaian dengan atau pelanggaran atas hukum Tuhan' (Westminster Shorter Catechism). Rumusan terakhir mencakup keadaan kita dan dosa-dosa akibat kelalaian maupun yg dilakukan terbuka dan sengaja. Pendapat lain, dengan menyetujui bahwa kekudusan yg tak terputuskan dan kesempurnaan tanpa cela itu tidaklah mungkin, menyatakan bahwa kendati demikian toh adalah mungkin mempunyai dengan sempurna motivasi yg sempurna, ialah kasih.

c. Apakah Tuhan akan melakukan pengudusan tanpa aktivitas orang percaya? Mereka yg mengecilkan bobot dosa dan standar kekudusan yg dituntut Tuhan, berada dalam bahaya memberi penekanan yg tidak tepat pada usaha manusia dalam pengudusan. Tapi ada ekstrim yg berlawanan juga, yaitu yg meletakkan keseluruhan tugas pengudusan melulu pada Tuhan. Tuhan diharapkan akan menghasilkan orang kudus dengan segera, atau mengisi seorang Kristen secara berangsur-angsur dengan anugerah atau Roh. Ini memerosotkan manusia menjadi hanya robot tanpa sikap moral, sehingga sebenarnya hanya melahirkan pengudusan tak bermoral, suatu gagasan yg kontradiktif. Mereka yg membela watak manusia menyangkal cara kerja Roh Kudus yg tidak berharkat pribadi sedemikian itu. Mereka juga hati-hati terhadap tuntutan bahwa Roh bekerja langsung melalui proses pikiran manusia secara tak disadari, ketimbang disadari.

      Orang percaya tidak tahu betapa susahnya perjuangan melawan dosa (Rm 7-8; Gal 5), tapi harus sadar bahwa pengudusan terjadi tidak hanya oleh usahanya sendiri melawan kecenderungan-kecenderungan jahat yg ada pada dirinya sendiri. Ada perkembangan dalam penggenapan moral, tapi ada juga sesuatu yg secara misterius melakukan pengudusan di dalam dirinya. Bahkan hal itu bukanlah kerjasama belaka, dalam mana Roh dan orang percaya masing-masing menyumbang sesuatu. Tindakan itu dapat disebut baik karya Roh maupun karya orang percaya dalam rahasia anugerah. Tuhan, Roh itu, bekerja melalui pengakuan yg setia akan hukum kebenaran dan tanggapan orang percaya dalam kasih. Dan semuanya menghasilkan kedewasaan spiritual yg terungkap dalam menerapkan hukum kasih terhadap sesama.

        Penggenapan pengudusan bagi orang percaya, yg oleh anugerah iman dalam karya Kristus, oleh Roh 'menguduskan diri sendiri' (1 Yoh 3:3), dinyatakan dengan jaminan kepastian: 'Kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diriNya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yg sebenarnya' (1 Yoh 3:2).

        Suatu proses menjadikan kudus atau suci dengan memisahkan. Dalam PL orang dan tempat dikuduskan, artinya dikhususkan untuk Tuhan melalui pemercikan dengan darah. Keadaan berdosa yang terus-menerus dari umat menuntut pengudusan ritual mereka untuk menjadi umat demi nama Allah.  Roh Tuhan akan memberi mereka hati yang baru (Yer. 31:33; Yeh. 11:19).Dalam PB Yesus dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (Yoh. 10:36), dan Anak ilu sendiri mempunyai  murid-murid yang dikuduskan atau dikhususkan (Yoh. 17:17-18) Tetapi,Paulus mengajarkan bahwa untuk misi yang diletakkan atas para murid yang diutus, mereka harus hidup dalam kekudusan (Rm. 6:19) sehingga menghasilkan buah-buah Roh (Gal. 5:22-25).

        Dalam pemikiran teologi kemudian pengudusan itu menunjuk pada suatu proses yang dimulai dengan  baptisan, yang berlanjut dalam kehidupan yang ditopang oleh sakramen dan akhirnya disempurnakan pada  penghakiman terakhir (Ef. 4:30).

BIBLIOGRAFI

W Marshall, The Gospel Mystery of Sanctification, 1692, edisi 1955;

 J Wesley, A Plain Account of Christian Perfection, edisi 1952; 

C Hodge, Systematic Theology 3, 1871-1873; 

J. C Ryle, Holiness, edisi 1952; 

B. B Warfield, Perfectionism, 2 jld, 1931; 

R. E. D Clarke, Conscious and Unconscious Sin, 1934; 

N. H Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944; 

D. M Lloyd-Jones, Christ our Sanctification, 1952; 

G. C Berkouwer, Faith and Sanctification, 1952; W. E Sangster, The Path to Perfection, 1957; 

J Murray, Definitive Sanctification, CTJ 2, 1967, hlm 5; K. F. W Prior, The Way of Holiness, 1967. GW/S


Sabtu 19 Februari 2019 Jam 8:08 WIB. Posting Melalui Hanpone Notte 5 Desa Tlekung Kangsiran Putuk. Kota Batu Jawa Timur.