WAWASAN KRISTEN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI
|
Ev. Matius
Soboliem, S. Th. |
"Hati-hatilah, supaya jangan ada yang
menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran
turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus." (Kolose 2:8)
"Janganlah kamu menjadi serupa dengan
dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna."
(Roma 12:2)
Pengertian yang sebenarnya dari worldview
adalah kerangka berpikir, persepsi, perspektif manusia, interpretasi manusia
untuk melihat kehidupan ini, apakah hanya terbatas di kosmos ini saja atau
yang ada di luar kosmos? Apakah hanya terbatas pada kehidupan kebendaan saja
ataukah juga meluas pada kehidupan sesudah kematian? Untuk lebih mudahnya
istilah worldview dapat diterjemahkan sebagai kerangka berpikir.
Karakteristik kerangka berpikir manusia modern tidak
lepas dari kerangka berpikir tertentu, demikian pula dengan setiap orang yang
terlibat dibidang theologi. Kalau kita berbicara tentang theologi yang
bertanggung-jawab itu seperti apa? Dapat kita mulai dari ciri-ciri kerangka
berpikir manusia modern. Adapun ciri-cirinya dapat diringkas dalam
point-point berikut ini :
1. Penekanan yang radikal
pada konsep imanensi
Di dalam theologi ada istilah
transendensi, Allah itu adalah Allah yang transenden, yang melampaui atau
jauh melampaui kehidupan manusia. Theologi yang benar seharusnya menekankan
pada Allah yang transenden dan Allah yang imanen (artinya, Allah yang berdiam
dihati manusia yang dekat dengan hati manusia).
Di dalam Alkitab, Allah tidak
dapat disamakan dengan apapun, jika kita hanya menekankan Allah pada satu
sisi transenden atau imanen saja, maka theologi yang demikian itu pincang
atau radikal.
Kecenderungan theologi yang ada sekarang ini, adalah
mengasimilasikan Allah atau menyamakan Allah sama dengan manusia, atau bahkan
sama dengan alam ini, misalnya kalau kita suka berpikir saya suka begini,
Tuhan pasti juga suka begini, maka kita telah mengasimilasikan Tuhan seperti
dengan manusia dan alam ini. Apakah Tuhan seperti itu?
Bahayanya orang yang menekankan
secara radikal konsep tentang imanensi, akan menyebabkan ruang berpikirnya
sempit sekali. Di dalam agama tertentu Tuhan disamakan dengan alam ini, kalau
ada bencana alam, maka dikaitkan dengan Tuhan yang marah. Jelas, cara
berpikir yang demikian ini keliru sama sekali. Misalnya, konsep tentang
mujizat tidak mudah diterima oleh orang yang hanya berpikiran sempit dan
terbatas pada alam ini saja, sebab mujizat bukan sesuatu yang bisa dijelaskan
dengan hukum alam, tetapi melampaui alam ini. Bagaimana kita bisa menjelaskan
Tuhan Yesus berjalan di atas air bila kerangka berpikir kita terbatas pada
konsep radikal imanensi seperti ini? Air berubah menjadi anggur. Tidak bisa
dijelaskan dengan proses berpikir radikal imanensi. Apalagi konsep tentang
wahyu, penebusan, dll.
Sangat berbahaya bila kita
terjebak dalam konsep radikal imanensi. Kita akan kehilangan konsep
transendensi. Kita dapat percaya Tuhan itu ada walaupun belum pernah
melihatNya, kita percaya surga itu ada walaupun belum pernah melihat
(sebagaimana ditulis dalam Alkitab), ini menunjuk pada adanya konsep
transendensi. Sebaliknya penekanan yang terlalu radikal pada konsep
transendensi (seperi theologi Barthian) juga berbahaya. Sebab, secara jelas
Alkitab mengungkapkan adanya konsep transendensi pada sisi yang satu dan
imanensi pada sisi lainnya.
2. Berpijak terlalu kuat
pada satu sisi subyektifitas
Di dunia Barat, orang yang belajar
theologi mau tidak mau harus membahas filsafat eksistensialisme, salah satu
ciri dari filsafat ini adalah manusia berupaya semaksimal mungkin untuk
menjadi pembuat, pemikir bagi dirinya sendiri, untuk segala sesuatu yang ada
di dunia ini dan juga untuk dunia pemikiran. Manusia berusaha dari dirinya
sendiri, menjadi pembuat, penetap, penafsir dari segala sesuatu dan juga
pemikiran. Di dalam eksistensialisme, manusia tidak mau menjadi penonton,
pengamat saja. Manusia ingin menjadi pembuat atau penetap dari satu konsep
dan pemikiran.
Sebenarnya eksistensialisme ini
punya sisi yang baik, yaitu manusia berusaha lebih concern terhadap kehidupan
di dunia ini, terhadap manusia sendiri. Namun, eksistensialisme punya sisi
negatif, karena manusia bisa menjadi penetap segala sesuatu, untuk urusan
manusia dan punya potensi atau kapasitas untuk menetapkan eksistensinya
sendiri, manusia bisa menjadi pencipta, pemutus segala sesuatu, eksistensi
manusia ditentukan oleh diri sendiri. Kalau pemikiran ini terus berlanjut, manusia
sepertinya hanya melihat pada dirinya sendiri dalam menyelesaikan segala
sesuatu.
Liberalisme juga punya tujuan
baik, yaitu menjembatani theologi dan agama supaya sesuai dengan jaman yang
ada pada waktu itu, yaitu jaman pencerahan, tetapi libreralisme telah
mengorbankan butir-butir yang esensial dari iman Kristen.
Adanya masalah-masalah yang
dihadapi oleh masyarakat pada masa kini, dapatkah Gereja hanya berdiam diri
tanpa berurusan dengan problema-problema kemanusiaan itu? Saya kira tidak
bisa. Gereja harus punya kaitan dengan masalah-masalah yang ada.
Kalau kita melihat pada manusia
modern sekarang ini sudah lebih cenderung melihat dirinya sendiri, untuk
menetapkan segala sesuatu. Ini akan mengakibatkan, manusia kehilangan sisi
obyektifitas.
Dimaksud dengan Firman Allah yang
obyektif, di dalam Alkitab adalah terbuka untuk diteliti, untuk diselidiki.
Kalau kita berdiri pada sisi subyektifitas dari iman kita, maka kita pincang
di dalam kepercayaan kita. Syukur kita punya Firman Tuhan yang objektif, yang
terbuka untuk kita selidiki, makin kita menyelidiki, makin kita tahu Firman
Allah.
Aneh sekali bila makin membaca
Firman Tuhan tapi makin tidak tahu kehendak Tuhan. Disetiap camp-camp
remaja/pemuda yang sering kita temui, selalu ada pertanyaan tentang kehendak
Tuhan (terutama dalam karier, pekerjaan, teman hidup). Sebenarnya kalau kita
makin membaca Firman Allah yang objektif, yang terbuka untuk diselidiki, yang
dapat dimengerti oleh alam pikiran kita, yang sederhana, tetapi juga
mendalam, maka kita semakin banyak menemukan jawaban mengenai kehendak Allah,
karena Firman Allah banyak menyediakan jawaban tentang kehendak Allah.
Masalahnya, banyak orang Kristen yang mau praktis, tetapi tidak mau belajar
Firman Tuhan dengan baik. Ini sangat berbahaya.
Firman Allah adalah Firman Allah
yang proposisional, maksudnya Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada
para penulis Alkitab dengan komunikasi yang jelas, rasional. Ada nubuat yang
tidak jelas, tetapi dapat dimengerti kemudian. Komunikasi yang Tuhan berikan
adalah rasional, bukannya irasional, sangat mengherankan justru sekarang
banyak orang yang mencari fenomena-fenomena irasional (seperti tumbang dalam
roh, tertawa dalam roh, dan sejenisnya). Selain itu perkataan-perkataan
yang diberikan Tuhan dalam Alkitab adalah perkataan yang meaningfull
(mempunyai arti), intelligible (dapat dimengerti). Walau Alkitab
dibaca oleh orang yang paling sederhana, tetapi artinya tetap dapat
dimengerti.
Seseorang semakin lari dari
Alkitab, maka dia semakin berpegang pada sisi subjektif. Semakin dia
berpegang pada sisi subjektif, maka dia makin terjebak dalam segala fenomena
yang tidak jelas pegangannya. Jika, kita mengenal Firman Allah dengan benar,
maka kita tidak akan mudah terseret di dalam rupa-rupa angin pengajaran yang
menyesatkan.
3. Makin nyata
kecenderungan untuk lari kepada prinsip naturalisme
Sebenarnya ini hampir sama dengan
yang no 1, tetapi naturalisme lebih menekankan pada alam, hanya alam ini saja
tempat kita hidup, berpikir, dan mencari pengalaman hidup untuk di sini dan
sekarang. Sebenarnya pemikiran yang demikian tidak salah, tetapi jika kita
hanya menempatkan diri di sini dan sekarang saja, hanya terbatas pada nature
ini saja, alam ini saja, maka kita terjebak kepada suatu hal yang berbahaya,
yaitu seolah-olah akhir kehidupan dari manusia hanya di alam ini saja.
Jika kita bertanya pada orang yang
memiliki kecenderungan hedonistis, apakah arti hidup ini? Mereka akan
mengatakan, hidup ini hanya materi saja, kesenangan saja. Dunia melihat ke arah
ini, maka tidak heran kalau theologi yang menawarkan kecenderungan semacam
ini laku keras. Gereja-gereja yang menawarkan hal-hal semacam ini secara
kuantitas akan berkembang cepat. Kalau kita hanya menekankan hidup di sini
saja, maka sebagai akibatnya manusia akan kehilangan relevansi dan konteks.
Mari kita coba pikirkan, apa
sebenarnya yang paling menyenangkan bagi kita? Alam ini atau kenikmatan dunia
ini? Untuk apa kita berada di sini? Apakah kaitannya keberadaan kita di sini
dengan kehidupan kita, dan kita punya jiwa, tetapi kapan jiwa kita
mendapatkan kebahagiaan yang sejati? Apa kaitan atau konteks kita dengan
hidup sesudah kematian? Bagi orang yang hanya menikmati kenikmatan dunia ini
saja, maka semakin sulit untuk menerima adanya kenyataan kematian, kesulitan,
penyakit, dll.
Demikian juga dengan orang Kristen yang hidup hanya mengandalkan dunia
ini saja, berbahaya. Berapa banyak kita mengisi kebutuhan roh kita? Di tengah
keadaan yang tidak menentu apa yang dapat kita andalkan? Kalau kita hanya
mengandalkan apa yang ada di dunia ini saja, juga berbahaya.
Orang yang semakin dekat dengan
Tuhan akan semakin mengerti, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Jadi
kita jangan merusak kehidupan kita. Seberapa banyak orang Kristen telah
mengisi kebutuhan rohnya? Jika kita hanya mengandalkan kehidupan ini saja,
itu sungguh berbahaya. Sebab, semua materi yang kita miliki tidak dapat
memuaskan kita.
4. Mengakomodasikan serta
merelatifkan semua doktrin
Ada orang-orang yang mengatakan
doktrin-doktrin Kristen yang unik bisa menemukan padanannya dalam agama-agama
lain. Di dalam perkembangan theologi sekarang ini, banyak orang yang berusaha
untuk ‘menyesuaikan’ dengan cara menafsir-ulangkan theologi-theologi Kristen.
Apabila kita tidak hati-hati terhadap hal ini, maka semakin hari kita akan
makin mudah menerima pluralisme.
Pluralisme dapat digambarkan,
yaitu orang merasa pada agama-agama lain juga memberitakan
kebenaran-kebenaran, maka kita jangan suka mengganggu agama lain, karena
semuanya sama saja. Tidak dapat kita pungkiri bahwa alam kita pluralistis,
tetapi agama lain juga tidak malu untuk mengungkapkan eksklusivisme agama
masing-masing dan kenapa orang Kristen harus mengalah, harus mengorbankan
kebenarannya di dalam mendekati orang lain? Tuhan Yesus mendekati orang apa
saja dan kita dipanggil bukan untuk menaklukkan orang lain, kita dipanggil
bukan untuk menaklukkan orang lain, tetapi untuk memberitakan, menyaksikan
nama Tuhan Yesus, bukan untuk mengalah, tetapi untuk memberitakan Firman Tuhan.
Orang Kristen yang semakin dekat
dengan pluralisme akan semakin malas menginjili orang lain. Justru, orang
Kristen mengalami pengujian, mengalami pertumbuhan, di tengah-tengah
penganiayaan. Tuhan menguji iman orang Kristen pada masa penganiayaan. Orang
Kristen justru makin dihambat makin merambat. Gereja semakin mengalami
kesulitan, maka iman Kristen semakin dimurnikan.
5. Mensintesiskan lingkup
yang sakral dan yang sekular
Ada orang yang berusaha unruk
menggabungkan antara dunia ini (sekuler) dan yang tidak kelihatan (sakral)
dengan akibat tidak ada lagi perbedaan. Dalam theologi yang benar, sampai
kapanpun kita harus tetap melihat adanya perbedaan antara pencipta dan
ciptaan, antara yang supranatural dan yang natural, yang tak terbatas dengan yang
terbatas.
Kita tidak dapat menurunkan Surga
ke dalam dunia ini dan tidak dapat menggabungkan konsep keselamatan yang
Tuhan ajarkan dengan konsep kita tentang keselamatan. Manusia berusaha terus
untuk menggabungkan itu, sehingga yang sakral yang harus mengalah, dan
akhirnya jatuh pada radikal imanensi. Akibatnya manusia benar-benar menjadi
otonom, berdiri sendiri lepas dari yang lain, dia tidak perlu Tuhan. Manusia
mau berusaha menjadi seperti Allah.
Perlu diperhatikan oleh kita,
yaitu di dalam kita bertheologi, kita tidak pernah bisa menjadi seperti
Allah. Mengerti tentang Allah pun kita tidak bisa tuntas atau
komprehensif, karena kita sangat terbatas. Kita yang tahu sedikit tentang
theologi seharusnya makin rendah hati. Makin kita belajar seharusnya kita
tahu kalau kita sangat terbatas.
Sebagai kesimpulan, untuk
menbangun suatu theologi yang benar, yang konsisten haruslah :
1. Menyeimbangkan konsep
transendensi dan konsep imanensi.
2. Menguatkan pijakan
pada sisi objektifitas dalam bertheologi agar sisi subjektifitas kita dapat
terkendali. Semakin kita mengenal Firman Allah, maka kita akan lebih
mengenal Allah, kita semakin mengenal Allah, berarti kita lebih mengenal diri
sendiri. Semakin kita tidak mengenal diri sesungguhnya menunjukkan bahwa kita
tidak mengenal Allah.
3. Berpegang pada
prinsip theologi yang supranatural dan natural secara Alkitabiah, sehingga
kita dapat menghadirkan theologi yang relevan dan kontekstual.
4. Mengupayakan secara
maksimal PI dan misi yang holistik (menyeluruh), harus juga menyentuh
kehidupan manusia. Tidak hanya memberitakan kabar baik saja tapi juga
harus memperhatikan kebutuhan manusia. Pekabaran Injil (PI) dan misi harus
tetap berpijak pada iman yang ortodoks dan eksklusif.
5. Seimbang dalam
menekankan prinsip otonomi dan interelasi dalam kehidupan iman. Kita
boleh mengatakan ciptaan Tuhan yang unik, tapi kita juga tetap bergantung
pada Pencipta, dan ada kaitannya dengan orang lain.
Hal-hal ini harus benar-benar
didalami, mengingat kita hidup di Indonesia, bukan hanya menghadapi terpaan
modernisasi dan globalisasi, tetapi juga kesulitan-kesulitan akan kita alami.
Jikalau kita punya theologia yang benar, seharusnya terbukti dalam
kehidupan yang kuat. Walaupun kita mengalami kesulitan yang besar,
kalau kita punya iman yang benar akan semakin menguatkan semangat kita di
dalam mengabarkan kebenaran Firman Tuhan.
Sumber :
Artikel ini ditranskrip dari
khotbah beliau pada seminar awal semester Sekolah Theologia Reformed Injili
Surabaya (STRIS) ke XXV
Disarikan dari :
http://www.grii-andhika.org
Profil Pdt. Dr. Daniel Lucas Lukito :
Pdt. Daniel Lucas
Lukito, Th.D. adalah Rektor dan
Dosen bidang Theologia Sistematika dan Kontemporer di Seminari Alkitab Asia
Tenggara (SAAT) Malang. Beliau adalah lulusan Seminari Alkitab Asia Tenggara
(SAAT) Malang yang meneruskan studi Master of Theology di Calvin
Theological Seminary, USA. Pendidikan theologia terakhir diraihnya di South
East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), Filipina dengan gelar Doctor
of Theology (Th.D.).
Send
instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com
|