Tampilkan postingan dengan label Antropologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Antropologi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Mei 2013

HIDUP MANUSIA DI DALAMSATU REALITAS CIPTAAN DENGAN WILAYAH MATERI DAN NON MATERI SEBAGAI SATU KEUTUHAN

-->
HIDUP MANUSIA DI DALAM SATU REALITAS CIPTAAN DENGAN WILAYAH MATERI DAN NON MATERI SEBAGAI SATU KEUTUHAN
Ev. Matius Sobolim, S. Th.
Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidupân Kejadian 2:7 )

            Manusia adalah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan diciptakan untuk berelasi dengan PenciptaNya. Menjadi manusia adalah menjadi manusia di dalam keutuhannya di dalam relasinya dengan Tuhan Allah. Bila kita melihat natur manusia maka Natur manusia bukan trikotomi ( terdiri dari tubuh, jiwa dan roh yang terpisah) dan juga bukan dikotomi ( terdiri dari tubuh dan jiwa/roh yang terpisah ). Mengapa dikotomi bukan pandangan yang benar mengenai natur manusia ? Sebab dikotomi melihat tubuh dan jiwa itu dibedakan dan bukan satu keutuhan. Dikotomi juga lebih menekankan keduaan sedangkan Alkitab menekankan natur manusia sebagai kesatuan tetapi bisa dipilah bagian fisik materi dan bagian jiwa non materi sebagai satu kesatuan dari 2 sisi mata koin ( duplex ). 

Pengertian Jiwa ( psyche ) di dalam bahasa Alkitab Yunani juga kadang merujuk kepada bagian jiwa non materi tetapi juga kadang melukiskan satu kesatuan antara yang non materi dan materi sebagai mahluk hidup. Ini memang komplek dan tidak mudah dimengerti. Namun di dalam pengertian budaya Ibrani kita dapat melihat satu kesatuan pandangan dunia yang holistik memandang natur manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Pandangan ibrani melihat realitas juga bukan 2 layer atau dualisme tetapi melihat realitas sebagai Ciptaan Kejatuhan  Penebusan. 

Ketika memandang manusia yang satu keutuhan tetapi bisa dibedakan antara materi dan non materi maka kita tidak boleh membuat menjadi 2 layer yang dualisme. Maksud dari 2 layer yang dualisme adalah memandangan jiwa ada di layer atas dan tubuh ada di layer bawah. Mengapa pandangan 2 layer bahwa tubuh dan jiwa atau roh dipisahkan adalah pandangan yang tidak biblikal ? Karena pandangan ini adalah berasal dari pandangan kafir mengenai tubuh dan jiwa dari gnostik dimana jiwa dipandang sebagai entitas yang lebih tinggi daripada tubuh dan tubuh sebagai penjara jiwa. Ketika manusia mati maka jiwa lepas dari penjara tubuh. Pandangan ini memandang bahwa materi itu sesuatu yang rendah dan jiwa lebih tinggi. Dan akibat dari pandangan ini mengakibatkan tubuh tidak dihargai dan moralitas menjadi kacau balau. Tubuh yang tidak berharga ini bisa disiksa untuk mendapatkan pengertian rohani ( asketis ) atau dipuaskan nafsunya untuk mengalami kesenangan juga ( hedonis ) dan kedua-dua ini adalah spiritualitas yang kafir.


Tetapi bagaimana kita memandang natur manusia yang satu keutuhan tetapi bisa dibedakan menjadi bagian materi dan non materi ? Bagaimana kita mengerti natur manusia yang duplex ini ( satu kesatuan dalam 2 sisi mata koin – tubuh dan jiwa / roh ) ? Untuk mengerti natur manusia ini kita bisa memakai analogi 2 natur Kristus. Kristus adalah  satu pribadi dengan dua natur yaitu natur Allah dan natur manusia. Natur ini tidak bercampur tetapi juga tidak bisa dipisahkan sepenuhnya. Kedua-duanya menjadi satu di dalam pribadi Kristus. Ini memang paradoks dan sulit dimengerti tetapi inilah pengertian Kristologi yang benar.
Mengapa pengertian duplex ( kesatuan tubuh dan jiwa / roh ) begitu penting ? Karena ini berkaitan dengan beberapa hal misalnya dengan spiritualitas dan juga dengan bagaimana menangani problema spiritualitas dan kejiwaan. Bila kita memakai framework dualisme yang mana jiwa lebih tinggi dari tubuh maka akan terjadi dua ketegangan dimana ada orang yang menekankan jiwa lebih penting dan mengakibatkan kekafiran seperti gnostik dimana tubuh dilecehkan. Namun bila mementingkan tubuh lebih penting daripada jiwa maka akan jatuh ke dalam hedonis atau juga humanisme materialisme. Ini bukan spiritualitas yang sejati. Lalu bagaimana spiritualitas yang sejati ? Spiritualitas yang sejati adalah keutuhan manusia di dalam relasinya dengan Tuhan Allah pencipta. Jadi di dalam spiritualitas yang sejati jelas ada relasi dengan Tuhan Allah pencipta dan juga ada di dalam perbedaan antara ciptaan dan Pencipta. Di dalam spiritualitas kafir tadi maka spiritualitas itu tidak ada di dalam relasi dengan Tuhan Allah namun memikirkan mana yang lebih penting antara tubuh dan jiwa. Ini adalah spiritualitas yang monisme di mana tidak ada wilayah Pencipta dan segala realitas yang ada hanya adalah di dalam wilayah level ciptaan saja tanpa Pencipta.  Kembali kepada spiritualitas orang percaya maka spiritualitas kekristenan adalah ada di dalam relasi dengan Allah Tritunggal : Bapa, Anak dan Roh Kudus dan ada di dalam kerangka Ciptaan – Kejatuhan – dan Penebusan di dalam Kristus Yesus. Spiritualitas ini adalah kehidupan yang berkait dengan sumber hidup yaitu Tuhan Allah. Ada perbedaan antara Ciptaan dan Pencipta tetapi ada relasi kehidupan.


Dengan melihat natur manusia secara duplex ini maka kita juga bisa mempunyai pandangan di dalam aplikasi pastoral kepada problema kejiwaan manusia. Di dalam dunia modern ini banyak jiwa yang mengalami masalah baik itu di dalam kecemasan ataupun depresi ataupun problema mental lainnya seperti : obsesif, adiktif, dll. Ketika kita mempunyai wawasan natur manusia sebagai duplex di dalam relasinya dengan Tuhan Allah maka kita mempunyai pandangan yang komprehensif. Kita melihat bahwa problema awal manusia adalah karena manusia sudah jatuh di dalam dosa dan melawan Tuhan Allah. Manusia sudah ada di dalam kondisi terpisah dengan sumber kehidupan karena itu keterpisahan ini menimbulkan masalah di dalam kejiwaan. Dosa ini kemudian mempengaruhi baik bagian materi maupun non materi ( duplex ). Maka ketika kita hendak menyelesaikan problema kejiwaan manusia ada beberapa wawasan yang perlu diingat yaitu :
  1. Manusia harus dikembalikan kepada relasi dengan Tuhan Allah
  2. Relasi dengan Tuhan Allah yang terganggu ini mengakibatkan masalah di dalam wilayah jiwa non materi dan tubuh di dalam kesatuannya.
  3. Karena jiwa/roh dan tubuh secara keutuhan ( duplex ) itu berelasi dengan Tuhan Allah melalui norma FirmanNya maka kita harus menyelesaikan masalah jiwa dan tubuh secara keutuhan dengan prinsip FirmanNya. Pikiran harus diperbaharui dan tubuh adalah bait Allah yang harus dikuduskan dan dijaga.
  4. Di dalam Tuhan Allah berelasi dengan manusia dengan natur duplexnya maka kita harus menyadari bahwa bagian jiwa non materi mempengaruhi bagian tubuh materi. Karena itu hidup jiwa pikiran yang tidak beres dihadapan Allah mengakibatkan problema di wilayah fisik. Ibarat problema di dalam jiwa non materi itu dihidupi di dalam tubuh kita secara keutuhan dengan jiwa non materi.
  5. Ketika menemukan masalah di dalam kejiwaan seseorang tentunya kita harus mulai mendiagnosa relasinya dengan Tuhan Allah dan bagaimana pandangan hidup dan kepercayaan dan imannya kepada Tuhan. Tetapi jangan melupakan juga bahwa manusia ada bagian materi yang harus diobati. Ini adalah satu kesatuan yang utuh. Jiwa dan tubuh itu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan tetapi bisa dibedakan.

Kiranya pandangan mengenai natur manusia dengan relasinya dengan Tuhan Allah ini bisa membuat kita mengerti hidup kita di dalam mengenal Tuhan dan diri kita.


MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI



MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI 

oleh Ev. Matius Sobolim, S. Th.  

Manusia dan proses Penyempurnaan
Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah  jadi,  sehingga  masih  harus  berjuang untuk    menyempurnakan    dirinya   (QS.    91:7-10).   Proses penyempurnaan  ini  amat  dimungkinkan  karena  pada   naturnya manusia  itu  fithri,  hanif  dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial  ini  masih  ditambah  lagi dengan  datangnya  Rasul  Tuhan  pembawa  kitab  suci   sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174). 

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat  postulat  yang  berbunyi: Man  'arafa  nafsahu  faqad  'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan  diri  adalah  tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki  ke  jenjang  yang  lebih  tinggi  dalam   rangka mengenal Tuhan. 

Persoalan  serius  yang  menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada  umumnya,  kini manusia  semakin  mendapatkan  kesulitan  untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya 

Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu  pengetahuan  dan berkembangnya   differensiasi  dalam  profesi  kehidupan   maka protret atau konsep tentang realitas manusia semakin  terpecah meniadi   kepingan-kepingan   kecil  sehingga  keutuhan   sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin ilmu   seperti   psikologi,  sosiologi,  biologi,   kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi  dan  lainnya  semuanya menjadikan  manusia  sebagai  obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing  memiliki  metode  dan  tujuan   yang    berbeda. Differensiasi   metodologis   setiap   ilmu,    meskipun  obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda  pula  mengenai  siapa  dan  apa  hakikat manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri  yang melekat  pada  dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang  melekat  pada  dirinya  dan  misteri  ini   telah mengundang  kegelisahan  intelektual  pare  ahli  pikir   untuk mencoba  berlomba  menjawabnya.  Semakin  seorang  ahli   pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki,  yang  berarti semakin  terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia. Krisis pengenalan  jati  diri  manusia  ini  secara   eksplisit dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya: 

Nietzsche  proclaims  the  will to power, Freud signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the  economic  instinct.  Each theory  becomes a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived  pattern.  Owing  to  this development  our  modern  theory  of man lost its intellectual center. We acquired instead a  complete  anarchy  of  thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21) 

Krisis  pengenalan  diri  sesungguhnya  tidak  hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga  di  kalangan Islam.   Terjadinya  ideologisasi  terhadap  ilmu-ilmu   agama, secara sadar atau tidak,  telah  menghantarkan  pada  persepsi yang  terpecah  dalam  melihat  manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak  langsung ilmu  ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek  yang  cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada  akhirnya akan  menuntut  imbalan  pahala  atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah,  bila  ilmu  fiqih  cenderung  mengenalkan   Tuhan sebagai  Maha  Hakim,  maka  ilmu  kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan  sebagai  Maha  Akal,  sementara  ilmu   tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih. 

Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia,  di  mana  manusia  itu lahir,  tumbuh  dan  berkembang  dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi,   bila  langkah  pertama  untuk  mengenal  Tuhan   adalah mengenal diri  sendiri  terlebih  dahulu  secara  benar,   maka langkah   pertama  yang  harus  kita  tempuh  ialah   bagaimana mengenal diri kita secara benar. 

Meskipun   Cassirer   secara   gamblang    menunjukkan   krisis pengenalan  diri,  secara  sederhana  kita bisa membedakan dua paradigma  pemahaman   terhadap   manusia,   yaitu    paradigma materialisme-atheistik    dan   spiritualisme-theistik.    Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa  semua  realitas  materi (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia  materi  ini  hakikatnya  berasal  dari  realitas    yang bersifat imateri (upward causation). 

Bagi  mereka  yang  berpandangan  atau  terbiasa dengan metode berpikir  empirisme-materialistik  akan  sulit  diajak    untuk menghayati  makna  penyempurnaan  kualitas  insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan  pare  sufi.  Kritik  terhadap aliran  materialisme  akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai  pada  berbagai  bidang  studi  keilmuan   Barat
kontemporer   dengan  dalih,  antara  lain,  faham  ini   telah mereduksi keagungan  manusia  yang  dinyatakan  Tuhan  sebagai moral and religious being. 

Ralph  Ross,  misalnya,  memberikan contoh yang amat sederhana tetapi gamblang betapa miskinnya penganut  materialisme  dalam memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.
Progressive  reductionism  works  as follows. An art object is only mass and light waves; an act of love only  chemiphysical, only  electrical  charges; therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. (Ralph  ross,  1962,  hal. 8). 

Pandangan  yang  begitu  dangkal  tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut  doktrin  al-Qur'an,  manusia adalah   wakil   Tuhan   di   muka    bumi  untuk  melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3).  Lebih  dari  itu  dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa  manusia  sengaja  diciptakan  Tuhan karena   dengan   penciptaan   itu   Tuhan   akan  melihat  dan menampakkan kebesaran diri-Nya. 

Kuntu kanzan makhfiyyan  fa  ahbabtu  an  u'rafa  fa   khalaqtu al-khalqa  fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas  apakah  riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits  tersebut,  namun  dengan  beberapa 

penafsiran  yang  berbeda.  Meski  demikian,  mereka cenderung sepakat  bahwa  manusia  adalah  microcosmos   yang    memiliki sifat-sifat   yang   menyerupai  Tuhan  dan  paling   potensial mendekati Tuhan  (Bandingkan  QS.  41:53).  Dalam  QS.   15:29, misalnya,  Allah  menyatakan  bahwa  dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi  yang  dalam  al-Qur'an  beristilah   "min ruhi."  Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut  dari  bawah  unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity. 

Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam  lingkup  dunia  materi  dan  dunia materi  selalu  menghadirkan  polaritas  atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks  inilah yang  dimaksud  bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah  berkeping-keping.  Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia,  dan  makin  jauh  pula  manusia  untuk   mampu mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the mistery of the material world  before knowing himself. 

Dalam   kaitan   definisi,  tradisi  tasawuf  belum   mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf  adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai  seseorang  bukanlah  terletak   pada   wujud    fisiknya melainkan  pada  kesucian  dan  kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin  dengan  Tuhan  yang  Maha  Suci.   Ajaran spiritualitas  seperti  ini  tidak  hanya  terdapat pada Islam melainkan pada agama  lain,  bahkan  dalam  tradisi  pemikiran filsafat  akan  mudah  pula  dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak  terlalu  salah  bila   ada   yang    berpendapat   bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah  kehidupan  mistik  bersifat  natural  dan   universal. Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan)  karena dalam  kontak  dan  kedekatan  antara  nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling  prima.  Kalangan sufi  yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan  merupakan  natur manusia   yang   paling   dalam,  yang   pertumbuhannya  sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan  hewani yang  melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"  bagi  kendaraan "jasad"  kita  ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya  sebagai  master.  Bila  hal   ini    terjadi   maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada  prestasi  akumulasi dan  konsumsi  materi.  Artinya,  jiwa  yang tadinya duduk dan memerintah   dari    atas    singgasana     "imateri"    dengan sifat-sifatnya  yang  mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci  dan Abstrak,  lalu  turunlah  tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf  adalah  membantu  seseorang bagaimana  caranya  seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia  merasa  damai  dan juga  kembali  ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27). 

Secara garis besar tahapan seorang mukmin  untuk  meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran  hati  dan  pikiran  kita  kepada  Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir   untuk   Tuhannya  (QS.  3:191).  Dari   dzikir  ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu,  secara  sadar meniru  sifat-sifat  Tuhan  sehingga  seorang  mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa  juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah." 

Maqam   ketiga   tahaqquq.   Yaitu,   suatu    kemampuan  untuk mengaktualisasikan kesadaran  dan  kapasitas  dirinya  sebagai seorang  mukmin  yang  dirinya  sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.  Maqam  tahaqquq  ini  sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi  yang  menyatakan  bahwa  bagi  seorang mukmin  yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya  dengan  Tuhan  maka  Tuhan  akan  melihat   kedekatan hamba-Nya.
Dalam  tradisi  tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang  disebut  gaib  atau  hati   dalam    pengertiannya   yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan  dan  anggotanya bagai  istana  dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja. 

Dalam sebuah hadits Qudsi  disebutkan  bahwa  meskipun  secara fisik  hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun  luasnya  hati  Insan  Kamil  (qalb  al-'arif)   melebihi luasnya  langit  dan  bumi  karena  ia  sanggup menerima 'arsy Tuhan,  sementara  bumi  langit  tidak  sanggup.  Menurut   Ibn 'Arabi,  kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan.  Taqallub-nya  hati sang  sufi,  kata  'Arabi,  adalah  seiring dengan tajalli-nya Tuhan.  Tajalli  berarti  penampakan  diri  Tuhan   ke    dalam makhluk-Nya   dalam  pengertian  metafisik.  Dan  dari   sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang  paling mampu  menangkap  lalu  memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam  konteks  inilah,  menurut  Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan  ungkapan  siapa  yang  mengetahui  jiwanya,  ia    akan mengetahui  Tuhannya  karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di  situ,  tetapi  Tuhan bukan  pengertian  huwiyah-Nya  atau  "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan  Tuhan  dalam  sifat-Nya  yang Dhahir, bukannya Yang Bathin. 

KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA 

Bila  upaya  penyucian  jiwa  merupakan  inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati  dan  menggapai  kasih  Tuhan, maka  tasawuf  bisa  dikatakan  sebagai  inti  keberagaman dan karenanya setiap  muslim  semestinya  berusaha  untuk  menjadi sufi. 

Pandangan  semacam  itu  tentu  saja  kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah  cukup tegas  isyarat  al-Qur'an  maupun Hadits yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim  adalah  mensucikan  jiwanya  sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?
Melalui   tahapan  ta'alluq,  takhalluq,  dan  tahaqquq,   maka seorang mukmin akan mencapai  derajat  khalifah  Allah  dengan kapasitasnya  yang  perkasa  tetapi  sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang  saleh  adalah sekaligus  juga  wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print  dan  proyek untuk  memakmurkan  bumi,  dan  bukankah  hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai  mandataris-Nya?  Jadi,  secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di  hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula. 

DAFTAR KEPUSTAKAAN 

Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York, 1980.
Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul 'Arabi, Lahore, 1938
Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.
Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977. 
Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan III, Princeton, 1982.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, 1973
Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, 1976.
Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.

KEJATUHAN MANUSIA – BAGIAN II

KEJATUHAN MANUSIA – BAGIAN II

Oleh

Matius Sobolim, S. Th.

 “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya,
Akibat pemeberontakan
lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kejadian 3:6-7).

Arthur W. Pink dengan tepat berkata bahwa Kejadian pasal tiga adalah salah satu perikop paling penting dari seluruh Firman Allah. Pink berkata,

            Ini adalah “benih alur cerita dari Alkitab” (“seed-plot of the Bible”). Di sini adalah fondasi yang di atasnya banyak doktrin utama dari iman kita dibangun. Di sini kita menelusuri kembali sumber dari banyak aliran sungai kebenaran illahi. Di sini mulainya drama agung yang ditetapkan di atas sejarah manusia… Di sini kita menemukan penjelasan Tuhan tentang kondisi umat [manusia] yang telah jatuh dan rusak hari ini. Di sini kita belajar tentang kelicikan musuh kita, yaitu Iblis… Di sini menandai tendensi alami manusia secara universal untuk menutupi moralnya yang memalukan dengan alat hasil pekerjaan tangannya sendiri (Arthur W. Pink, Gleanings in Genesis, Moody Press, 1981 edition, hal. 33).

            Dalam studi kita yang lalu tentang pasal yang agung ini kita telah melihat bagaimana Setan masuk ke Taman Eden, merasuki dan berbicara melalui mulut ular. Kita telah mendengar bagaimana Setan berbicara kepada perempuan itu, melempar keraguan tentang apa yang Allah pernah firmankan kepada Adam, memutar-balikkan dan mendistorsi Firman Allah yang telah diberikan, mengatakan kepada perempuan itu “Sekali-kali kamu tidak akan mati” jika kamu makan buah dari salah satu pohon terlarang itu, yaitu “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu.”

Harus diingat bahwa Setan adalah bapa dari segala pendusta. Kita membaca dalam Wahyu 12:4,

“Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi…” (Wahyu 12:4).

Arti dari ayat ini diberikan dengan jelas di beberapa ayat berikutnya, yaitu dalam Wahyu 12:9,

            “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya” (Wahyu 12:9).





Dr. Henry M. Morris berkata,

            Naga besar di sini identifik dengan ular yang ada di taman Eden (Kejadian 3:1)… dan seperti Iblis yang mencobai Yesus [di padang gurun] (Henry M. Morris, Ph.D., The Defender’s Study Bible, World Publishing, 1995, hal. 1448; tafsiran untuk Wahyu 12:9).

            Setan dilempar keluar dari Sorga oleh karena pemberontakannya melawan Allah, dan ingin mengambil tahta Allah (Yesaya 14:12-15; Yehezkiel 28:13-18). Setan dilempar keluar dari Sorga ke bumi, di mana ia menjadi

“…penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka” (Efesus 2:2).

 Namun kira-kira berapa jumlah malaikat yang mengikuti Setan dalam pemberontakannya melawan Allah? Wahyu 12:9 berkata,

“Ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya” (Wahyu 12:9).

Berapa banyak malaikat yang ikut memberontak bersama dengan Setan? Berapa banyak dari mereka yang “dilempar ke bumi bersama-sama dia”? Wahyu 12:4 berkata,

“Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi” (Wahyu 12:4).

Dr. Morris berkata,

‘Bintang-bintang di langit’ ini diidentifikasi sebagai para malaikat Setan dalam Wahyu 12:9 (Morris, ibid., hal. 1447).

Oleh sebab itu, kami percaya bahwa sepertiga dari jumlah malaikat di Sorga ikut memberontak melawan Setan yang menjadi pemimpin mereka dan kemudian mereka semua dilempar ke bumi, menjadi iblis-iblis yang seringkali dijumpai Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi.

Setan telah menyesatkan para malaikat ini. Tidak diragukan lagi ia telah menggunakan kobohongan yang sama yang ia gunakan untuk menipu Adam dan Hawa di Taman Eden, ketika ia berkata, “kamu akan menjadi seperti Allah” (Kejadian 3:5). Tidak diragukan lagi kebohongan itulah yang menghancurkan para malaikat yang ikut jatuh tersebut, “Bergabunglah bersama aku, dan kamu semua akan menjadi menjadi allah-allah.” Mereka percaya kepada kebohongan Setan ini, namun mereka tidak “menjadi seperti allah-allah.” Oh, tidak! Mereka menjadi para monster iblis yang jahat, menjelajah dunia dengan kemarahan, dengan penuh nafsu dan amukan!

Seperti itulah Setan telah menipu para malaikat, dengan mencobai mereka untuk berdosa melawan Allah, sehingga ia melakukannya kembali ketika ia menipu manusia. Ide yang sama yang telah menggoda para malaikat ini, yang telah menghancurkan mereka, adalah ide palsu yang sama yang ia gunakan untuk mencobai Adam dan Hawa di Taman Eden. Lihatlah Kejadian 3:4-5,

“Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kejadian 3:4-5).

Saya pikir Setan pasti menggunakan argumentasi yang sama, kebohongan yang sama, untuk membawa sepertiga dari para malaikat di Sorga jatuh dari posisinya di Sorga.

Dan sekarang ia membawa kebohongan itu, dan menipu orang tua kita yang pertama dengan mendistorsi Firman Allah. Dan, sama seperti para malaikat yang jatuh, orang tua kita yang pertama di Taman Eden juga percaya pada kebohongannya dan menjadi jatuh sama seperti para malaikat yang percaya kepada “bapa dari semua pendusta” ini, oleh sebab itu Tuhan Yesus Kristus menyebut Setan demikian ketika Ia berbicara kepada orang-orang Farisi,

“Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yohanes 8:44).

Dalam ayat itu Yesus menjelaskan kepada kita dua hal penting berhubungan dengan Setan: (1) Ia adalah pembunuh manusia sejak semula” dan (2)ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.”

Setan telah mendustai para malaikat ketika ia mencobai mereka untuk mengikuti dia. Setan telah mendustai Adam dan Hawa ketika ia mencobai mereka untuk makan buah dari salah satu pohon terlarang dalam Taman itu.

Setan adalah “pembunuh manusia sejak semua.” Melalui kebohongannya ia telah “membunuh” para malaikat yang mengikutinya, yaitu “malaikat-malaikatnya,” sehingga mereka dilempar keluar dari Sorga dan dibuang ke bumi, di mana mereka menanti penghukuman yang pasti di dalam api Neraka, “yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya” (Matius 25:41). “Ia adalah pembunuh manusia sejak semula,” karena ia bukan hanya “pembunuh” bagi sepertiga malaikat dari Sorga, namun ia juga telah membunuh seluruh umat manusia dengan dusta dan kebohongannya.

“Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran…” (Yohanes 8:44).

Setan telah membinasakan sepertiga malaikat ke dalam kejatuhan mereka. Dan Setan telah “membunuh” seluruh umat manusia dengan membawa mereka ke dalam dosa yang begitu besar yang mereka lakukan dengan menentang Allah yang hidup, dan mengikuti Setan kepada penghukuman pada saat jatuh ke dalam dosa, semunya dicatat dalam ayat ini.

Ketika Adam berdosa itu bukan bagi dirinya sendiri. Ia secara alami adalah kepala dari seluruh ras manusia. Sama seperti pemberontakan Setan yang langsung menyebabkan sepertiga malaikat di Sorga jatuh, demikian juga pemberontakan Adam dan kejatuhan Adam ke dalam dosa memiliki konsekuensi yang besar terhadap seluruh umat manusia. Seluruh umat manusia jatuh di dalam Adam yang secara alami adalah kepala mereka. Sebuah buku Puritan klasik untuk anak-anak dengan tepat mengatakan, “Di dalam kejatuhan Adam, kita semua telah jatuh ke dalam dosa.” Dengan mempercayai kebohongan Setan, dan makan buah dari pohon terlarang itu, membawa Adam kepada kematian bagi semua keturunannya – yaitu seluruh umat manusia. Seperti Rasul Paulus menulis demikian,

“Sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang …” (Roma 5:12).

Efek dari dosa Adam pada umat manusia tak terukur. Sebelum Kejatuhan, Allah dan manusia ada dalam persekutuan. Setelah Kejatuhan persekutuan itu berakhir. Mereka terpisah dari Allah. Setelah Kejatuhan mereka mencoba untuk menyembunyikan diri mereka sendiri dari Allah.

Sebelum Kejatuhan manusia adalah suci dan tanpa dosa. Adam dan Hawa tidak memiliki natur dosa. Setelah Kejatuhan mereka penuh dengan dosa dan menjadi malu. Rasul Paulus berkata,

“Dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang”
      (Roma 5:12).

Ayat itu tidak berkata “dosa-dosa” telah masuk ke dalam dunia. Itu dikatakan “dosa.” Adam tidak membawa dosa ke dalam dunia dengan memberikan serangkaian teladan yang buruk. Tindakan dari dosanya yang membawa perubahan di dalam naturnya. Hatinya menjari rusak atau bobrok.

Sebelum Kejatuhan manusia ke dalam dosa manusia dapat makan buah dari Pohon Kehidupan dan hidup selama-lamanya (Kejadian 2:9; 3:22). Setelah Kejatuhan kematian fisik menjadi bagian dari hukuman atas dosa Adam. Roma 5:12 mengatakan,

“Dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut…” (Roma 5:12).

Ini mengacu kepada baik kematian spiritual maupun fisikal. Setelah Adam jatuh ke dalam dosa, Allah berfirman,

“…sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:19).

Oleh sebab itu, secara fisikal ia akan mati sama seperti kematiannya secara spiritual sebagai akibat dari dosa Adam.

Sebagai akibat dari Kejatuhan itu, dosa menjadi universal di dalam seluruh umat manusia. Semua orang sekarang lahir dengan natur yang penuh dosa, yang diwariskan dari Adam, yang secara alami adalah kepala dari umat manusia.

“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Roma 5:12).

Natur dosa yang mendasar dari manusia yang telah jatuh dijelaskan di seluruh Alkitab.

“Karena tidak ada manusia yang tidak berdosa”
      (I Raja-raja 8:46).

“Sebab di antara yang hidup tidak seorangpun yang benar di hadapan-Mu” (Mazmur 143:2).

“Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa” (Pengkhotbah 7:20).

“Jadi jika kamu yang jahat” (Lukas 11:13).

“Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak” (Roma 3:10-12).

“Supaya tersumbat setiap mulut dan seluruh dunia jatuh ke bawah hukuman Allah.” (Roma 3:19).

“Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita”
      (I Yohanes 1:8).

Kami percaya bahwa dosa Adam telah diimputasikan kepada semua keturunannya, yaitu, kepada seluruh umat manusia. Karena kesatuan organik umat manusia, Allah memperhitungkan dosa Adam pada seluruh keturunannya. Oleh sebab itu, natur yang dimiliki oleh semua orang sekarang ini adalah natur yang sama rusak atau bobroknya dengan natur yang dimiliki oleh Adam setelah Kejatuhannya ke dalam dosa. Menurut Roma 5:12 kematian (baik secara rohani maupun fisik) telah menjalar kepada semua manusia, karena semua manusia telah berdosa di dalam Adam, kepala mereka secara alami.

Ini adalah apa yang kita maksudkan dengan “Kerusakan Total” (“Total Depravity”) umat manusia. Ini berarti bahwa manusia secara alami telah rusak, tidak memilik kasih yang benar untuk Allah. Ini berarti bahwa ia menyombongkan dirinya sendiri di hadapan Allah, bahwa ia mengasihi dirinya sendiri dari pada kepada sang Penciptanya. Kerusakan Total (Total Depravity) juga berarti bahwa setiap manusia dalam keadaan alaminya tidak menyukai Allah, suatu penolakkan atau kebencian kepada Dia, dan melawan Dia.

“Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah” (Roma 8:7).

“Keinginan daging” mengacu kepada “manusia yang belum diregenarikan,” belum lahir baru (The Geneva Bible, 1599, note on Romans 8:7).

Oleh sebab itu, Ketajuhan Adam, dalam Kejadian pasal tiga, memiliki efek langsung terhadap Anda. Entah Anda lahir di gereja ini atau tidak, Anda telah menerima natur yang membenci Allah di dalam Kristus, yang Anda warisi dari nenek moyang Anda yaitu Adam. Apa yang Anda pikirkan, pelajari dan lakukan tidak ada yang dapat membalikkan warisan kerusakan hati (inner corruption) Anda. Oleh sebab itu, keselamatan harus datang dari sumber yang “asing,” dari sumber yang secara sempurna berada di luar diri Anda sendiri. Dan sumber itu adalah Allah sendiri. Allah harus membangunkan Anda akan kerusakan hati Anda. Allah harus melayukan gagasan palsu Anda tentang keselamatan, dan menginsafkan Anda akan keadaan batiniah Anda yang telah rusak. Allah harus menarik Anda kepada Kristus, untuk penyucian dan menjadikan Anda ciptaan baru. Karena dosa Adam, tiada lain selain Kristus, “Adam yang terakhir,” yang dapat menyelamatkan diri Anda. Itu adalah keselamatan hanya oleh anugerah, hanya melalui Kristus. Itu adalah apa yang kami percaya dan khotbahkan. Maukah Anda datang kepada Kristus dan bertobat segera!. Khotbah ini dipeti dari Dr. Hymers setiap minggu di Internet di www.realconversion.com. Klik on “Manuskrip-Manuskrip Khotbah.”