Rabu, 15 Agustus 2018

EVALUASI PROGRAM SEKOLAH MINGGU TAHUNAN GEREJA INJILI DI INDONESIA GIDI WAMENA

EVALUASI PRAGRAM SEKOLAH MINGGU TAHUNAN SECARA HOLISTICK SEKALIGUS REKRUTMEN CALON GURU SEKOLAH MINGGU GEREJA INJILI DI INDONESIA (GIDI) JEMAAT AGAPE WAMENA
TAHUN AJARAN, 2016/2017
Matius Sobolim
NIM: 16.047
DiserahkanKepada:
Prof. Dr. Joni Bungai, M.Pd
Sebagai Bagian Dari Tugas Mata Kuliah
Evaluasi Program Pendidikan



INSTITUT INJIL INDONESIA
PROGRAM DOKTORAL
BATU, FEBRUARI 2018


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Evaluasi Program Sekolah Minggu harus dan perluh dilaksanakan untuk mengukur dan menilai. Mengukur lebih bersifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif. Namun secara umum orang hanya mengidentifikasikan kegiatan evaluasi sama dengan menilai, karena aktivitas mengukur sudah termasuk didalamnya. Dan tidak mungkin melakukan penilaian tanpa didahului oleh kegiatan pengukuran (Ari Kunto, 1989). Didalam pelayanan Sekolah minggu, evaluasi adalah kegiatan penilaian terhadap kinerja dan unjuk kerja dari proses dan hasil pelaksanaan kegiatan pelayanan Sekolah Minggu di gereja selama setahun. Evaluasi ini dilakukan terutama untuk mengetahui sejauh mana tujuan program pelayanan sekolah minggu sudah tercapai atau belum. Standar penilaian adalah indikator-indikator keberhasilan yang telah direncanakan sebelumnya dan pengungkapan masalah kinerja program pelayanan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kinerja program pelayanan sekolah minggu.
Sedangkan dalam konteks manajemen pendidikan sekolah minggu, di gereja sangatlah penting, karena mengkaji tentang mutu keberhasilannya akan ditentukan oleh berbagai faktor, baik sistem maupun prosesnya. Ini menandakan bahwa dalam mengelola pelayanan sekolah minggu merupakan garapan yang kompleks, sehingga perlu penanganan menyeluruh, melibatkan berbagai pihak dan harus dilaksanakan. Permasalahan yang sering muncul di dalam proses adalah masih rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) pengelolah organisasi pendidikan sekolah minggu. Jika dalam lingkup keorganisasian adalah masih rendahnya mutu guru dan ketua pengasuh sekolah minggu, organisasi gereja jeli merekrut tenaga pendidik yang berkompeten dan handal, dimulai dari ketua pengasuh sekolah minggu sampai dengan jajaranya. Sebab, ketua sekolah minggu  merupakan tenaga pendidikan yang paling strategis untuk menggerakkan garda terdepan dalam sistem pendidikan didalam gereja. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilaksanakan, agar kesenjangan kualifikasi dan kompetensi Kepala Pengasuh Sekolah Minggu antar denominasi di gereja-gereja di sekitar dapat pekerja sama.
Sistem dalam perekrutan tidak menggunakan prosedur yang diatur dalam Peraturan ADART Sinode Gereja Injili Di Indonesia GIDI tersebut, masalah ini merupakan faktor penyebab kualitas sumber daya manusia  kepala Pengasuh sekolah minggu rendah. Seleksi yang digunakan tidak berdasarkan kompetensi yang dimiliki calon kepala Pengasuh Sekolah Minggu seperti yang diatur dalam Peraturan ADART  Pendidikan Sekolah Minggu tentang standar perekrutan kepala Pengasuh sekolah Minggu dan Peraturan tentang penugasan guru sebagai Ketua Pengasuh Sekolah Minggu, kenyataan di lapangan ketua sekolah minggu yang diangkat berdasarkan atas kematangan, seleksi kwalifikasi sekedar prasyarat yang tidak menggugurkan calon ketua pengasuh sekolah minggu apabila tidak dipenuhi.
Calon kepala Pengasuh Sekolah Minggu yang akan diangkat tidak mengikuti prosedur seleksi dan tahap pendidikan dan pelatihan, pendidikan dan pelatihan Masih ditemukan calon kepala sekolah yang tidak melalui proses perekrutan, sehingga banyak ditemukan Kepala Pengasuh Sekolah Minggu yang tidak mengetahui peraturan gereja setempat, tentang standar kepala pengasuh sekolah minggu, baik dari segi penguasaan isi Peraturan gereja tentang Pendidikan Sekolah Minggu itu sendiri maupun implementasinya.
Mencermati tentang mutu ketua pengasuhsekolah minggu, berdasarkan penelitian dan laporan jemaat, bahwa menurunnya mutu pendidikan sekolah minggu  di gereja disebabkan masih rendahnya tingkat profesionalisme kepala pengasuh sekolah minggu  sebagai manajer pendidikan kerohanian anak di tingkat lapangan. Rendahnya profesionalisme diantaranya karena masih lemahnya di dalam cara pengangkatan kepala pengasuh sekolah minggu.
Dari pemahaman rekrutmen di atas, dan gambaran sebelum dilakukan aktivitas rekrutmen, setidaknya akan muncul beberapa pertanyaan seperti; siapa yang akan melakukan perekrutan, berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan, dari mana calon pelamar pengasuh sekolah minggu akan direkrut, persyaratan dan kualifikasi macam apa yang harus dipenuhi calon pelamar kepalah pengasuh sekolah minggu dan kapan waktu melaksanakan program evaluasi dan rekrutmen kepala pengasuh sekolah minggu. Dengan demikian maka dalam perekrutan diperlukan suatu konsep perencanaan yang matang. Untuk menetapkan persyaratan calon Ketua Pengasuh Sekolah Minggu, maka perlu memperhatikan berbagai aspek yaitu tingkat pendidikan, tingkat Kematangan kerohanian, kecerdasan, tingkat, tingkat pengalaman kelahiran baru, tingkat keahlian khusus dalam bidang kerohanian, tingkat karakteristik personal dan kualitas latar belakang para kandidat (1 Timotius 3:3; Titus 1:7). Kebijakan dalam melakukan rekrutmen calon-calon kepala pengasuh sekolah minggu maupun penempatan calon kepala pengasuh sekolah minggu seperti yang terungkap diatas adalah salah satu fenomena yang berdampak pada munculnya kesenjangan diantara kalangan guru- guru sekolah minggu akibat dari kebijakan yang tidak berpihak pada ketentuan yang berlaku seperti adanya anggapan para guru, bahwa siapa yang dekat dengan penguasa gereja, walaupun tidak memenuhi yang dipersyaratkan calon kepala pengasuh sekolah minggu dalam ketentuan bisa saja di angkat tanpa melawati prosedur tersebut, dan ini akan berdampak pula pada pola kebijakan rekrutmen calon pengasuh sekolah minggu yang diamanatkan dalam peraturan gereja tentang Penugasan Guru Sekolah Minggu sebagai Kepalah mengelolah program dan mengatur jalanya program kerohanian sekolah minggu berjanggah pendek, menegah dan janggah panjang. Dengan demikian, sangat dipentingkan dalam pengimlementasian kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengangkatan maupun evaluasi program pelayanan sekolah minggu penunjukan seorang calon ketua pengasuh sekolah minggu mulai dari penyiapan, rekrutmen, ferifikasi data calon, test, pendidikan dan latihan, dan pengujian untuk penempatan yang berkaitan dengan kondisi sekolah yang akan ditempati bagi calon kepala sekolah yang sudah memiliki sertifikat calon kepala pengasuh sekolah, minggu dari seluruh rangkaian pelaksanaan rekrutmen diharapkan dapat meminimalisir berbagai anggapan yang muncul dikemudian hari tentang sistim rekrutmen yang selama ini berlangsung dalam gereja.

B.   Fokus Penelitian
         Mengingat luasnya cakupan mengenai evaluasi program dan perekrutan calon kepala sekolah minggu, berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti perlu menetapkan fokus permasalahan yang berkaitan dengan komponen-komponen apa yang akan peneliti evaluasi, penelitian ini difokuskan pada Evaluasi program tahunan secara holistick dan Implementasi Kebijakan Rekrutmen Calon Ketua Pengasuh  Sekolah Minggu di Lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) dengan sub fokus sebagai berikut:
1)    Agar Mengevaluasi program kerja sekolan minggu yang telah dan sudah dilaksanakan selama satu tahun secara holistick.
2)    Agar Perencanaan program penyiapan sumber daya manusia dalam rekrutmen calon kepala Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena.
3)    Agar Penerapan program sekolah minggu dan rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena.
4)    Agar Proses pencapaian pelayanan sekolah minggu dan  rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu meliputi aspek administrasi, penyiapan sumber daya manusia, dan penganggkatan Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena.
5)    Pencapaian sasaran program mpelayanan sekolah minggu dan rekrutmen calon kepala sekolah minggu meliputi  efektivitas terhadap dampak dan strategi implementasi kebijakan.
6)    Perbandingan hasil dan tujuan dalam program rekrutmen calon kepala pengasu sekolah minggu meliputi evaluasi penugasan guru sebagai Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena.
C.   Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, fokus dan sub fokus penelitian di atas, maka rumusan masalah dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1)    Bagaimana Mengevaluasi program kerja sekolah minggu yang telah dan sudah dilaksanakan selama satu tahun secara holistick ?
2)    Bagaimana perencanaan program penyiapan sumber daya manusia dalam rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
3)    Bagaimana penerapan program dan rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
4)    Bagaimana proses pencapaian program dan rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu meliputi aspek administrasi, penyiapan sumber daya manusia, dan penganggkatan Pengasuh sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
5)    Bagaimana pencapaian sasaran program dan rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu meliputi  efektivitas terhadap dampak kebijakan dan strategi implementasi kebijakan di Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
6)    Bagaimana perbandingan hasil dan tujuan dalam program sekolah minggu dan rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu meliputi evaluasi penugasan guru sebagai Pengasuh Sekolah Minggu Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena?
D.   Kegunaan  Penelitian
         Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis dalam upaya pembinaan dan peningkatan profesionalitas  kepala pengasuh sekolah minggu, dan  juga dapat digunakan sebagai bahan pengembangan sumber daya manusia khususnya di bidang pendidikan sekolah minggu. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang pendidikan kerohanian, dan dapat dijadikan salah satu acuan bagi penelitian lanjutan terutama yang berkonsentrasi pada masalah yang berkaitan dengan rekrutmen ketua pengasuh sekolah minggu.
            Pada tataran praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1)    Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena dalam upaya peningkatan kinerja ketua pengasuh sekolah minggu, sistem rekrutmen calon ketua pengsuh sekolah minggu menggunakan peraturan gereja yang tertuang dalam ADART tentang penugasan sebagai Ketua Pengasuh Sekolah Minggu.
2)    Bagi ketua pengasuh  sekolah minggu atau calon ketua pengasuh sekolah minggu di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), kiranya penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sehingga berjalan secara optimal dan pada akhirnya dapat menjadi motivasi ke arah peningkatan kwalitas dan kwantitas pendidikan, sebagai usaha meningkatkan kompetensi ketia pengasuh sekolah minggu.
3)    Bagi para peneliti, hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan bahan acuan dan pertimbangan serta petunjuk untuk menetapkan sasaran penelitian pada masa yang akan datang dengan tidak meninggalkan norma kebenaran.

BAB II
KAJIAN TEORETIK
1.    Definisi Sekolah Minggu
Sekolah Minggu adalah sekolah yang diadakan pada hari minggu” . Hal ini juga sependapat dengan Lautfer dan Dyck (1998:3) menyatakaan bahwa ”Sekolah Minggu” adalah anak dikumpulkan dan diajar firman Tuhan pada hari minggu. Elsie Rives menyatakan bahwa Sekolah Minggu adalah organisasi gereja yang diatur untuk menjangkau dan mengajar orang tentang pesan Alkitab dan membimbing mereka untuk mengikuti dan melakukan pekerjaan yang diperintahkan Allah. Dari pendapat di atas dapat ditarik benang merahnya, bahwa sekolah minggu adalah kegiatan keorganisasian gereja yang dilaksanakan pada hari minggu untuk mengajar dan membimbing tentang pesan Alkitab untuk mendapatkan pengharapan keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus.

2.    Evaluasi Kurikulum Pendidikan Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Kurikulum Sekolah Minggu Kurikulum dapat diibaratkan sebagai menu makanan yang disusun oleh seorang ibu rumah tangga yang baik. Jika makanan yang disajikan selalu sama, tentu akan membosankan seisi rumah. Demikian halnya dengan kurikulum di Sekolah Minggu, karena secara rohani anakpun membutuhkan makanan yang bergizi dan bervariasi, sesuai dengan tingkat umur dan pola pikir yang telah mereka capai. Melaluinya ”nafsu makan” dipelihara dan mereka dapat bertumbuh secara rohani Kurikulum dikemas untuk memenuhi kebutuhan murid sesuai kelompok usia atau umur anak.
Lebih lanjut menurut Wyckoff dalam Leo Sutanato menyatakan bahwa ”Kurikulum adalah alat komunikasi yang direncanakan dengan sangat hati-hati, yang digunakan oleh gereja dalam bidang pengajarannya agar iman dan hidup Kristen dapat dikenal, diterima, dan hidup”. SK Mendiknas No. 232/U/2000 Ps.1 butir 6 menyatakan bahwa ”Kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaiannya dan penilaiannya yang digunakan perguruan tinggi.” Dengan kedua pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk mengkomunikasikan rencana pengaturan kegiatan belajar mengajar yang harus dimiliki, dipahami, dan dilakukan oleh para pengelola dan pelaksanaan Sekolah Minggu.

3.    Rekrutmen dan Evaluasi Kompetensi dan Provesionalisme Guru Sekolah Minggu (GSM) Jemaat GIDI Agape Wamena
Kompetensi tentang Guru Sekolah Minggu Rianto, M.M., M.Pd.K Mengatakan bahwa, Sekolah minggu berhasil adalah kunci sukses sebuah gereja yang maju dan bertumbuh. Pertumbuhan gereja bisa dibaca dari perkembangan sekolah minggu. Sekolah minggu tidak terlepas dari guru. Pertanyaan adalah apakah guru sekolah minggu sudah berkompetensi? Inilah yang perlu dibahas bagian ini. Pengertian Sekolah Minggu Sekolah minggu merupakan kegiatan gereja untuk menjangkau dan membawa setiap orang kepada Tuhan Yesus Kristus serta mengajarkan Alkitab untuk mengubah kehidupan mereka menjadi murid Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat. Harapan utama adalah memperoleh keselamatan. Keselamatan yang dapat diperoleh dengan mengimani atau mempercayai Tuhan Yesus Kristus diajarkan melalui Sekolah Minggu.
George R. Knight mencermati filosofi pendidikan sebagai berikut: “Filosofi pendidikan adalah menghasilkan guru-guru, kepala sekolah minggu, konselor dan ahli kurikulum masa depan yang akan langsung berhadapan dengan banyak pertanyaan yang mendasari arti dan tujuan pendidikan. Jadi tugas utama dari filosofi pendidikan adalah menolong para pendidik agar benar-benar berpikir tentang pendidikan yang menyeluruh dan proses kehidupan supaya mereka dapat berada di dalam posisi yang lebih baik untuk mengembangkan program yang konsisten dan komprehensif yang akan membantu murid-murid mencapai target yang memuaskan.”
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari pernyataan di atas dapat digaris bawahi beberapa hal yang terkait dengan pendidikan yaitu: (a) Pendidikan sekolah minggu dilaksanakan dengan mengutamakan perencanaan yang matang dan bertujuan sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan pada pencapaian tujuan. (b) Pendidikan sekolah minggu tidak boleh mengesampingkan proses belajar dan tidak semata-mata berusaha untuk mencapai hasil belajar. Dengan demikian antara hasil dan proses belajar harus berjalan secara seimbang. (b) Suasana belajar dan pembelajaran diarahkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya, berarti proses pendidikan harus berorientasi kepada siswa (student active learning). (c) Akhir dari proses pendidikan guru sekolah minggu adalah membuat kemampuan anak untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan dalam kamus Umum Bahasa Indonesia ”Kompetensi ”artinya : ”kewenangan, kekuasaan untuk menentukan, memutuskan sesuatu hal . Kompetensi itu mencakup dasar keahlian dan ciri-ciri umum penunjang. Keahlian mencakup dasar pengetahuan bagi profesi, kecakapan tehnis pokok dalam profesi, dan kemampuan memecahkan macam-macam masalah dalam profesi. Dapat dikatakan bahwa kompetensi ini langsung berhubungan dengan ”wawasan” dan ”karya” profesional . Nana Sudjana mengartikan kompetensi sebagai suatu kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi . Mengutip pendapatnya Kunandar mengartikan kompetensi sebagai: Pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Sanjaya (2006:18-19) menyatakan bahwa Kompetensi guru meliputi:
1.    Kompetensi Pribadi Kompetensi Pribadi adalah kemampuan dalam pribadi guru diantaranya: (a) Kemampuan yang berhubungan Tuhan atau Beriman (b) Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar sesama manusia (c) Kemampuan untuk beperilaku sesuai dengan norma, aturan dan system nilai yang berlaku di masyarakat; (d) Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai guru misalnya sopan santun, dan tata karma (e) Bersifat demokrasi dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik.
2.    Kompetensi Profesional Kompetensi Profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting, sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Kompetensi ini diantaranya: (a) Kemampuan untuk menguasai landasan pendidikan; (b) Pemahaman dibidang psikologi pendidikan;  (c) Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran; (d) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (e) Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (f) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (g) Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (h) Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang dan; (i) Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
3.    Kompetensi Sosial dan Masyaraka.t. Kompetensi Sosial dan masyarakat adalah kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai makhluk sosial dan anggota masyarakat meliputi: (a) Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat; (b) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi tiap lembaga kemasyarakat dan; (c) Kemampuan untuk menjalin kerja sama, baik secara individu maupun kelompok.
Suparno menjelaskan bahwa kata kompetensi biasanya diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau sebagai memiliki ketrampilan dan kecakapan yang disyaratkan. Dalam pengertian luas di atas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang diajukan untuk mencapai kompetensi adalah untuk mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan sebagaimana disyaratkan . Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cakap (mengetahui) . Cakap disini adalah Cakap kepribadiannya, cakap pedagogiknya dan cakap secara profesional. Konsep cakap kepribadiannya dengan indikatornya bertindak sesuai dengan norma sosial; bertindak dewasa ; arif dan bijaksana; berakhlak mulia dan menjadi teladan. Konsep cakap pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Dan Konsep cakap profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum dan metodologi keilmuan . Menurut Palan (2007:8) dalam Yamin dan Maisah, mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dasar seseorang yang memiliki hubungan kausal dengan kriteria referensi efektivitas atau keunggulan dalam pekerjaan atau situasi tertentu. Karakter dasar diartikan sebagai kepribadian seseorang yang cukup dalam dan berlangsung lama, yaitu motif, karakteristik pribadi, konsep diri, dan nilai-nilai seseorang. Kriteria referensi berarti kompetensi dapat diukur berdasarkan kriteria atau standar tertentu. Hubungan kausal, bahwa keberadaan kompetensi memprediksi atau menyebabkan kinerja unggul. Kinerja unggul berarti tingkat pencapaian dalam situasi kerja. Sedangkan kinerja efektif adalah batas minimal level hasil kerja yang dapat diterima.
Farida Sarimaya (2008:17-22) menjelaskan keempat jenis kompetensi guru sebagai berikut; 1) Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik; 2) Kompetensi Pedagogik. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; 3) Kompetensi Profesional. Kompetensi provesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah; 4) Kompetensi Sosial. Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Masing-masing indikator kompetensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1)    Indikator Kompetensi Spiritual Lidya Yulianti menjelaskan bahwa kompetensi spiritual adalah Kemampuan pendidik yang berkaitan dengan hal-hal yang berasal atau bersumber dari Tuhan, yang menjadi bagian hidup dari manusia sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar dengan roh atau jiwa, pikiran dan hati nurani Sub indikator dalam Kompetensi Spiritual melipiuti: a. Lahir Baru, sudah diselamatkan Pendidikan di Sekolah Minggu bukan hanya menyampaikan pengetahuan Alkitab, namun juga mementingkan pembinaan hidup. Seorang yang tidak memiliki hidup Kristus, tentu tak sanggup membina hidup, apalagi mempengaruhi hidup orang lain. Sebab itu pengalaman lahir baru/diselamatkan adalah syarat utama bagi seorang guru sekolah minggu . Pengertian tentang Lahir Baru menurut Alkitab diuraikan sebagai berikut : Seseorang yang sudah benar-benar lahir baru, yang diberikan sebagai "kasih karunia" (anugerah) dari Tuhan tidak dapat menahan kuasa kasih karunia Tuhan untuk menyelamatkannya. Dan Tuhan akan menyelamatkan semua orang-orang pilihan yang ingin Ia selamatkan, dan tidak satu orangpun yang dapat menghalangi rencana Tuhan. Yesus berkata di Yohanes 10:27-29: "Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa." Allah yang kita sembah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, dan Ia adalah "pengarang dan penyelesai" dari iman kita jika itu adalah iman yang diberikan sebagai kasih karunia dari Tuhan. Alkitab berkata di Ibrani 12:2a (versi BIS) "Hendaklah pandangan kita tertuju kepada Yesus, sebab Dialah yang membangkitkan iman kita dan memeliharanya dari permulaan sampai akhir". Karena itu dijamin kalau kita sudah betul-betul diselamatkan kita tidak dapat kehilangan keselamatan tersebut (Roma 8:35-39). Nah, sekarang kapan kita bisa mengetahui kalau kita sudah betul-betul diselamatkan? Alkitab berkata misalnya di Roma 8:16 "Roh Allah akan bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah." Dan di 1 Yohanes 2:3-6 berkata: "Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” . b. Bertumbuh Seorang Kristen yang suam-suam kuku dan tidak mempunyai kerinduan untuk maju dalam hidup rohaninya, tak mungkin memiliki gairah untuk memperhatikan kehidupan rohani orang lain. Sebab itu hanyalah orang Kristen yang memiliki kerinduan untuk bertumbuh dalam Kristus layak menjadi guru Sekolah
2)    Minggu. Menurut Dr Billy Graham dalam Ruth dan Ani (1998:39) menyatakan bahwa untuk membawa seorang sampai mengenal Tuhan Yesus sebagai juruselamat pribadi, dibutuhkan usaha sebanyak 5%. Tetapi untuk membimbing orang yang telah menerima Tuhan Yesus dalam pertumbuhan rohani,dibutuhkan 95% usaha. Paulus membicarakan pertumbuhan yang bertobat, dan firman Tuhan itu berlangsung baik dalam hidup orang dewasa maupun anak:”kamu telah menerima Kristus Yesus Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia. Hendaklah kamu di dalam iman yang telah diajarkan kepadamu dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur Kolose 2:6-7. Bertumbuh meliputi berdoa (berdoa dalam segala keadaan; mengakui dosa; mengucap syukur; mendoakan orang lain; persekutuan doa), membaca Alkitab (waktu teduh), aktif dalam persekutuan-persekutuan orang-orang percaya dan bersaksi . Bahwa proses bertumbuh menjadi dewasa tidak ada yang otomatis, namun perlu komitmen. Dan komitmen itu harus dengan sengaja dilakukan dan dipraktekkan. Jangan berpikir jika setiap minggu datang ke gereja kemudian dengan tertib memberikan persembahan itu sudah cukup sebagai modal untuk bertumbuh. Mengapa? Karena hidup orang percaya bukan hanya mendengar tetapi ia juga harus taat dan mempraktekkan apa yang sudah didengar. Tidak jarang menemukan orang-orang yang sudah mengerti pengetahuan Alkitab, namun tetap hidupnya berantakan. Gossip tetap saja berlangsung, omong kotor tetap diucapkan, dendam tetap ada di dalam hatinya dan tidak ada pengampunan. Semua ini dapat terjadi karena tidak adanya komitmen di dalam dirinya untuk bertumbuh.
3)    Dr John Chamber, seorang misionaris yang pernah melayani di Indonesia dan saat ini melayani mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat pernah mengucapkan satu kalimat begini “Orang Kristen tidak diminta Tuhan menjadi salesman, tetapi ia diminta menjadi free sample” Di dalam teori ekonomi, yang dimaksud dengan free sample sudah pasti produk yang mutunya paling baik, sebab kalau yang free sample mutunya jelek, maka produknya tidak ada yang bakal beli. Sayang sekali, ada banyak free sample yang pada mulanya baik, namun kalau sudah menuju ke produknya, hasilnya sudah jelek. Tidak jarang menemukan para pedagang yang menjual Mangga atau Salak, yang memberikan contoh Mangga dan Salaknya untuk dimakan rasanya manis, namun jika kita sudah membeli sekarung, maka rasanya asem semua. Kekristenan juga demikian, pada saat permulaan kita mengenal seseorang yang di persekutuan atau gereja, maka orangnya baik sekali, dan kelihatan sangat rohani dan suci. Namun makin lama bergaul, keluarlah belangnya.
4)    Jadi dengan tegas bahwa tidak ada gunanya segudang teori, entah itu Seminar, Conference, bahkan Sekolah Alkitab yang pernah ikuti kalau di dalam diri ini tidak ada komitmen untuk bertumbuh maka akan menjadi sama seperti orang luar, dan orang Kristen Bonsai, kepalanya boleh besar penuh dengan segudang ilmu, namun hatinya kecil dan kerdil. Perlu adanya Pembaharuan hidup yang nyata Berhubung manusia sudah berdosa, maka akar manusia lama tetap saja lengket dalam hidup ini. Apalagi menyangkut kepentingan pribadi, maka orang percaya kadang bisa lupa diri, itu sebabnya saudara dalam Kristus pun rela dikorbankan. Nah hal-hal semacam begini yang menjadi batu sandungan bagi orang luar untuk masuk ke dalam gereja. Bahwa terlalu sering orang percaya sendiri menjadi penghalang utama bagi baru untuk menjadi percaya, bukan orang luar. Mengapa? Karena si orang percaya tersebut tidak ada pembaharuan dalam dirinya. Alkitab mungkin sudah berulang kali dibacanya, bahkan ada puluhan ayat yang sudah dihafal secara luar kepala. Ia juga memiliki Alkitab lebih dari satu, mulai dari meja kamar, meja kerja, meja tamu, mobil, bahkan kantong saku semua berisi Alkitab. Namun semua ini tidak menjamin kerohaniannya bertambah dewasa, karena ia tidak pernah membiarkan dirinya diperbaharui oleh firman Tuhan itu. Tatkala semuanya berjalan lancar, maka puji Tuhan; namun jika kesulitan menimpa, Tuhan pun dilupakan. Orang percaya yang dewasa, kekristenan harus didemonstrasikan atau diwujudnyatakan. Orang luar tidak perduli dengan keaktifan di gereja, persekutuan bahkan melayani, namun yang paling penting adalah karakter dan integritas yang nyata.
5)    Perlu mengalami secara pribadi, Rick Warren, pendeta senior gereja Saddleback mengatakan, “adalah suatu kekeliruan jika orang-orang berpikir bahwa kerohanian seseorang akan bertumbuh melalui studi Alkitab”. Pada saat pertama saya membaca tulisannya, saya merasa kaget juga. Namun setelah berpikir ulang saya sadar, bahwa sesungguhnya studi Alkitab tidak menjamin bahwa rohani seseorang bertumbuh. Terlalu banyak ditemukan mereka yang makin belajar Alkitab, lalu pulang ke gereja menjadi para pengkritik, bahkan ada satu dua yang mencoba-coba mengadakan reformasi di gereja. Jika seseorang hendak bertumbuh rohaninya, maka selain Alkitab yang dibacanya, maka ia juga perlu mengalami Tuhan secara nyata, dan untuk mengalami Tuhan secara nyata maka perlu waktu, tidak dapat secara instant. Mengalami kesulitan bahkan penderitaan dan tekanan, supaya benar-benar merasakan dan mengalami kasih Tuhan yang nyata itu. Tatkala Musa berumur empat puluh tahun, ia berpikir bahwa ia sudah terlatih dan memilki segalanya dari istana, sehingga dengan tekad bulat ia berusaha membebaskan bangsanya yang sedang disiksa oleh salah seorang prajurit Mesir. Namun apa lacur? Perbuatannya terbongkar, sehingga ia terpaksa harus melarikan diri dalam pengasingan, dan di sana ia mengalami kasih Tuhan. Pada saat umur seratus dua puluh tahun dia kembali diutus Tuhan untuk menghadapi Firaun untuk membebaskan orang Israel, namun pada saat itu Musa mengaku bahwa dirinya tidak ada apa-apanya. Mengapa? Orang yang sudah mengalami kasih Tuhan, walaupun ia penuh dengan segudang ilmu dan keahlian, ia tetap saja merasa rendah di hadapan Tuhan. Studi Alkitab tidak cukup, pengalaman menyembah Tuhan, pengalaman persekutuan satu dengan yang lain dan juga pengalaman penginjilan. Dengan demikian bukan hanya dibangun dan diisi secara otak, tetapi juga hati, sehingga benar-benar menjadi orang Kristen yang dewasa secara rohani.
6)    Loyalitas Terhadap Gereja, seorang guru sekolah minggu bukan hanya membawa orang datang ke sekolah minggu, tapi lebih dari itu, ia harus dapat membawa orang datang ke hadirat Allah, menjadi salah satu anggota keluarga Allah. Ia juga harus seorang anggota gereja yang loyal atau setia, yang sanggup memimpin murid untuk menjadi satu bagian dalam gereja, mengikuti ibadah di gereja dan kebaktian-kebaktian lain. Pengertian loyalitas adalah sebagai berikut: (a) Loyalitas (loyality) adalah karakter kepribadian seseorang, yang berarti setia. (b) Konkordansi Alkitab mencatat kata lain selain kesetiaan adalah kata "Setia" dan "Setiawan". Setia (loyal) lebih berkenaan dengan sifat seseorang, sementara Setiawan menunjuk pada orangnya.
7.    The International Standard Bible Encyclopedia menjelaskan konsep kesetiaan/loyalitas - menurut akar kata hesed (bahasa Ibrani) atau pistos (bahasa Yunani) yang berarti mencakup dua aspek: (a) Mempercayai (trust) (b) Dipercayai (faithfullness) sehingga seorang dengan yang lain dapat berhubungan dengan sangat baik. Jadi, sudahkah Gereja menjadi tempat bagi orang untuk trust and faithfullness? Dalam bahasa Inggris, karakter loyal, diterjemahkan dengan: a) kindness (kebaikan) b) mercy (murah hati) c) goodness (kebaikan) d) loyal friendship (kesetia-kawanan) e) faith (iman) f) befriended (berteman dengan baik) g) faithfully (terpercaya). 5) Beberapa bagian Alkitab yang mencatat karakter Loyal dalam berbagai dimensi: a) Kej.21:23 - kesetiaan berupa persahabatan yang tidak curang. b) Kej.24:49 - kesetiaan sebagai suatu komunikasi yang terbuka/terus terang/transparan. c) Kej.47:29 - kesetiaan berupa janji yang akan ditepati. d) 1 Sam.20:14-15 - kesetiaan adalah kasih setia Tuhan dalam persaudaraan. e) 2 Sam.2:5-6 - kesetiaan sebagai kebaikan. f) 2 Sam.3:8 - kesetiaan sebagai pengabdian dan pembelaan. g) 1 Raj.2:7 - kesetiaan sebagai keberanian menanggung resiko karena kebenaran. h) 1 Taw.19:2 - kesetiaan ditunjukkan dengan persahabatan. i) Mzm.18:26 - kesetiaan terkait dengan keadilan Allah. j) Ams.3:3 - kesetiaan merupakan sikap hati yang dihargai Allah dan manusia. k) Ams.14:22 - kesetiaan adalah hadiah yang diperoleh karena kebaikan. l) 3 Yoh.5 - kesetiaan adalah tindakan iman kepada orang asing. Sudahkah karakteristik Loyal tersebut terasa dan dialami betul dalam Gereja? 6) Tujuh catatan penting mengenai Loyalitas: a) Faedah: lahirnya persahabatan yang teruji dalam waktu, dan semangat pembaharuan yang baik. b) Konsekuensi buruk: tidak ditemukan. c) Janji Allah yang terkandung: penghargaan Allah. d) Peringatan Allah bagi orang Kristen: Allah dapat berlaku tidak setia, jika orang Kristen tidak setia. e) Perintah Tuhan: berlaku setia. f) Penulis Alkitab yang sering mengulas: Paulus. g) Kategori Karakter: digolongkan sebagai Buah Roh Kudus (Gal.5:22). 7) Loyalitas dapat disimpulkan sebagai cerminan sifat Allah, dalam keadilan-Nya, sehingga setiap orang Kristen harus bertindak loyal, karena Allah adalah loyal (1Kor.1:9; 2Tim.2:13), dan itulah yang disebut sebagai Buah Roh Kudus (Gal.5:22). 8) Paulus adalah tokoh teladan dalam Alkitab. a) Loyalitas-nya kepada Kristus, tampak dalam penderitaannya (2 Kor.6:4-10; 11:23-29). b) Loyalitas-nya kepada Kristus menguasai hati dan pikirannya, sehingga seluruh hidupnya berprinsip pada kesetiaan (Flp.1:21). c) Loyalitas membantu hidupnya, terbukti ia tidak kuatir akan hidupnya (1 Kor.9:12). d) Dengan hasil pertumbuhan gereja yang sehat . d. Kesadaran Terhadap Panggilan Allah Guru memahami bahwa pelayanan pendidikan di sekolah minggu adalah panggilan yang khusus dari Allah, maka seharusnya guru dapat setia dan bertanggung jawab kepada Allah, sehingga dalam kesulitan yang bagaimanapun, guru dapat tetap teguh dalam iman, sabar dan setia sampai pada akhirnya . Jika seorang guru kehilangan panggilannya, maka salah satu hal berikut ini mungkin dapat terjadi : 1) Tidak mau lagi menjadi guru karena kehilangan panggilan itu; 2) Guru mungkin masih melayani, namun hanya merasa ingin menjadi guru bantu, merasa mangajar itu bukan panggilannya, bukan tanggung jawabnya, Pelayanan kurang berkualitas;3) Guru mungkin aktif melayani, merasa hanya sekedar sebagai aktivis sekolah minggu/komisi anak. Ketidaksadaran akan sebagai guru ini membuat menjadi aktivis yang banyak bermasalah karena tidak mengerti panggilan seorang guru. Yang jelas, bukan guru yang patut diteladani sikap hidupnya. Orang semacam ini sering menjadi pembuat masalah di antara para guru . 2. Indikator Kompetensi Pedagogik Menurut Lidya Yulianti, kompetensi pedagogik adalah, “Kemampuan mengelola pembelajaran yang mendidik, dialogis, dan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik” . Sub indikator kompetensi pedagogik meliputi sebagai berikut: a. Mengenal Anak Didik Tidak semua orang suka mendekati anak-anak atau remaja dan pula tidak semua orang suka bergaul dengan pemuda. Seorang guru Sekolah Minggu harus mengetahui dan mengenal anak didiknya karena untuk kelancaran dan keefektifan proses belajar mengajar di Sekolah Minggu. Menurut Lie mengatakan bahwa “... mana mungkin memahami keadaan dan kebutuhan anak, kalau namanya saja tidak kenal? “ pastilah sangat miskin hasil, atau kurang berhasil. Diibaratkan orang yang membuat sebuah bangunan, tetapi tidak tahu untuk apa bangunan itu, siapa yang akan menggunakannya, dan bagaimana fondasi bangunan itu? Meskipun rumah itu berhasil dibangun, tetapi pasti tidak bisa digunakan secara maksimal karena desain awalnya sudah tidak terarah pada kebutuhan . b. Mengetahui Teknik Mengajar Seorang guru Sekolah Minggu yang berhasil haruslah mengisi diri dengan pengetahuan Alkitab, memahami ciri-ciri khas dari tingkah laku, maupun perkembangan jiwa muridnya, menguasai teori mengajar yang dasar,juga memahami adminitrasi dan organisasi Sekolah Minggu. Sebab itu, guru perlu mengikuti latihan-latihan tertentu, barulah dapat mengajar dengan efektif . 3. Indikator Kompetensi Sosial Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik yang merupakan bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama guru atau pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, maupun masyarakat sekitar. Sub indikator kompetensi sosial adalah kesaksian hidupnya. Bila guru sendiri tidak memiliki kesaksian hidup yang baik, maka bagaimana mungkin dapat memberikan pengaruh yang baik kepada muridnya?. Pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, demikian juga kesaksian hidup yang baik.
4.    Rekrutmen dan Evaluasi Tugas Guru Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Tugas-Tugas Guru Sekolah Minggu terjun dalam pelayanan pendidikan gerejawi suatu jabatan rohani yang kudus karena merupakan panggilan dari Allah. Oleh karena itu ia harus menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Allah. Adapun tugas-tugas guru sekolah minggu menurut Setiawani secara Alkitabiah adalah sebagai berikut: a. Mengajar (teaching) 1 Timotius 2:7 Yang disebut ”mengajar” adalah suatu proses belajar mengajar (Teaching-Learning Process). Di dalam proses mengajar dan belajar guru harus dapat mewujudkan suatu perubahan dalam diri murid, misalnya perubahan dalam pengetahuan, sikap maupun tingkah laku. b. Menggembalakan (Shepherding) Yehezkiel 34: 2-6; Yohanes 10 : 11-18. Seorang gembala yang baik harus mempunyai hati yang rela berkorban, meskipun menghadapi kesulitan juga tidak akan meninggalkan dan membiarkan domba-dombanya; ia harus mengenal setiap dombanya, juga bersedia membawa domba yang berada di luar untuk masuk ke kandangnya; ia pun wajib untuk menyediakan dan mencukupi segala kebutuhan dombanya, termasuk kebutuhan intelektual, emosi, mental dan rohani. c. Kebapaan (Fathering) I Korintus 4 : 15 Seorang guru bukan hanya dapat menggurui, tapi juga harus memiliki hati seorang bapa. d. Memberikan Teladan (Modeling) I Korintus 11:1 ;Filipi 3: 17 ; I Tesalonika 1:5-6; II Timotius 4: 11-13) Seorang guru akan mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap muridnya karena murid mudah sekali meniru tutur kata dan tingkah laku gurunya. Oleh karena itu, seorang guru perlu selalu memperhatikan diri sendiri apakah ia sudah menjadi teladan yang baik bagi muridnya. e. Menginjili (Evangelizing) I Timotius 2:7 Sasaran yang terutama dari seorang guru Sekolah Minggu adalah mengajar muridnya untuk menerima injil . Kompetensi Guru 1. Pengertian Kompetensi Guru Kompetensi ialah perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
            Guru Sekolah Minggu (GMS) adalah pendidik yang memberikan perhatian bagi pembentukan dan pengembangan kepribadian peserta didik dalam arti seutuhnya untuk menuju kedewasaan. Menurut Pullias dan Young dalam Sidjabat menyatakan bahwa guru adalah segala-galanya, artinya, murid amat berharap banyak atas peran dan fungsi yang dilakukan oleh gurunya. Lebih lanjut Pullias dan Young (1968) menyatakan bahwa : Seorang guru sekolah minggu adalah pembimbing, pendidik, pembaru, teladan hidup, pencari gagasan baru, penasihat (konselor), pencipta, pemegang otoritas, pengilham cita-cita, penutur cerita dan sebagai penilai. Pendidikan yang semakin baik akan mempengaruhi cara berpikir seseorang dan akan dapat menganalisis berbagai persoalan yang ada disekitarnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin luas cakupan berfikirnya dan akan semakin tajam di dalam menganalisis berbagai persoalan yang menjadi perhatiannya, dengan demikian akan membentuk motif dirinya. Seseorang yang memutuskan diri untuk menjadi guru antara lain disebabkan karena dia memahami potensi diri dan kecintaanya kepada profesi yang akan ditekuninya. Tanpa kesadaran dan kualifikasi pendidikan tertentu seseorang yang mengambil keputusan menjadi guru akan mengalami banyak persoalan, apalagi dengan adanya motivasi bersedia menjadi guru daripada tidak ada pekerjaan.
            Perkataan “guru” meliputi semua orang di gereja bertanggung jawab dalam pendidikan para murid” . Menurut Ngalim menyatakan bahwa guru adalah semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang . Dari beberapa pengertian guru tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa guru adalah pendidik yang memberikan ilmu atau kepandaian serta membentuk kepribadian yang seutuhnya. Sedangkan guru sekolah minggu menurut Setiawani menyatakan bahwa: Guru Sekolah Minggu terjun dalam pelayanan pendidikan gerejawi, suatu jabatan rohani yang kudus karena merupakan panggilan dari Allah, maka guru sekolah minggu harus menyelesaikan tugas yang sudah dipercayakan Allah dengan setia.
            Dasar Alkitab Guru Di dalam Alkitab Perjanjian Lama, Kejadian 1 dan 2 memberi bukti bahwa Allah membimbing dan mengajar manusia pertama Adam dan Hawa. Walaupun manusia pertama mengalami kegagalan dan tidak tunduk pada otoritas Allah, tetapi Allah tetap setia untuk menjadi pengajar dan mendidik . Dan di Perjanjian Baru khususnya Injil Yohanes 3:2 mengatakan, ”Yesus lebih daripada seorang guru, namun Ia dikenal sebagai ”Guru yang datang dari Allah”. Pengajaran-Nya selalu bertujuan untuk memperkenalkan Allah, sifat dan Karya-Nya kepada manusia dan menegaskan bahwa setiap pengajaran guru harus kembali kepada pengajaran Kitab Suci. Rasul Paulus menyebutkankan, dalam kehidupannya sebagai pengajar, seorang guru sanggup mewujudkan perubahan atas diri orang lain : yang tadinya tidak percaya menjadi percaya; juga perubahan pada pengetahuan: yang tadinya tidak memahami kebenaran berubah menjadi memahami kebenaran. Hakekat Guru Sekolah Minggu Pendidikan Agama Kristen menurut Sidjabat mengatakan sebagai berikut:
a.    Guru Sebagai Pemberita Injil. Seperti hakikatnya sebagai orang Kristen, maka guru PAK menerima mandat spiritual untuk memberitakan Injil kepada dunia (Matius 28:19-20). Menurut Henk Wenema menyatakan: “Perintah Yesus Kristus ini sedang dilaksanakan Seluruh umat Tuhan dipanggil untuk meneruskan kewajiban mengabarkan Injil sampai tuntas mencapai seluruh “kosmos’. Memberitakan Injil adalah kewajiban gereja sampai kepada kedatangan Kristus yang kedua kali. Marilah kita memberitakan Injil kepada segala makhluk!” Di lingkungan profesinya, maka yang menjadi sasaran utama pemberitaan Injil guru PAK adalah peserta didik khususnya yang beragama Kristen. Masih terbatasnya pengenalan, pemahaman, dan pengalaman tentang keagamaannya, maka peserta didik yang masih muda perlu untuk mendengar berita Injil secara lebih luas dan terus menerus. Peran guru PAK di sini adalah menyampaikan pengajaran (didache) tentang berita-berita (kerygma) dengan pendekatan pribadi dan atau kelompok.
b.    Guru Sebagai Imam. Istilah Imam sangat menonjol dalam Perjanjian Lama. Imam biasa diartikan sebagai: “Jurubicara umat Israel kepada Allah, dan jurubiacara Allah kepada umat-Nya.” Dalam Perjanjian Baru istilah ini juga muncul walaupun tidak sesering dalam Perjanjian Lama. Makna imam dalam Perjanjian Baru tidak sama dengan Perjanjian Lama. Menurut Perjanjian Baru bahwa setiap orang yang sudah percaya kepada Kristus dapat menjadi imam bagi dirinya sendiri. Ia dapat berbicara secara langsung kepada Allah di dalam doa dan pujian. Ia juga dapat menerima penyataan Allah secara langsung melalui iman kepada-Nya. Sebagaimana hakikatnya tugas imam adalah untuk melayani, maka dalam peran ini guru PAK juga melayani peserta didik guna menyampaikan berkat Tuhan. Sidjabat menambahkan bahwa guru PAK tidak mengharapkan muridnya mengalami malapetaka, sebaliknya selalu berharap penuh untuk memperoleh intervensi Allah. Dengan demikian, pengajaran yang disampaikannya merupakan pesan-pesan yang berisikan berkat dan anugerah Allah Tritunggal kepada peserta didik.
c.    Guru Sebagai Gembala. Dalam Ensiklopedia Alkitab Praktis, istilah gembala diartikan sebagai penilik jemaat (Tit 1:7), pemimpin sidang (Flp 1:1 TKB), atau pendeta, yang seharusnya memelihara para anggotanya secara lembut, sama seperti seorang gembala memperhatikan tiap dombanya (Kis 20:28; Ef :11) . Abineno menyoroti tentang motif gembala dalam perspektif Alkitab yaitu ekspresi dari pengajaran atau pemeliharaan Allah yang penuh dengan kasih dan penghiburan . Dalam perannya sebagai gembala di sekolah, guru PAK mempunyai tanggung jawab untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan peserta didik untuk hidup sesuai imannya. Guru PAK hendaknya mengaktualisasikan perannya ini dengan sikap yang lembut dan penuh kasih tetapi juga tegas.
d.    Guru Sebagai Konselor. Di sekolah guru PAK terkadang berhadapan dengan peserta didik yang mempunyai masalah baik yang berhubungan dengan proses pembelajaran maupun masalah-masalah yang berlatar belakang tentang keluarganya. Dalam hal ini guru PAK tentu tidak boleh tinggal diam. Ia wajib memberikan penguatan kepada peserta didik untuk dapat menghadapi dan menemukan jalan keluar atas masalah yang dialaminya. Bentuk perhatian konkrit yang dapat ditunjukkannya adalah dengan bersedia mendengar keluhan peserta didik dan memotivasinya dengan sikap yang simpatik. Abineno manyarankan agar sebagai seorang konselor, hendaklah ia seorang yang praktis, seorang yang mengasihi penderita yang ia tolong dan (di samping itu) terutama seorang yang cukup mempunyai pengetahuan tentang kehidupan. Ditambahkannya lagi, bahwa seorang konselor dalam ikhtiar-ikhtiar dan nasihat-nasihatnya harus mempunyai sifat yang jelas dan konkrit. Ikhtiar-ikhtiar dan nasihat-nasihat itu harus dapat digunakan dalam praktik.
e.    Guru Sebagai Teolog. Sidjabat memberikan alasannya tentang peran teolog yang disandangkan kepada guru PAK: Guru PAK dapat kita anggap sebagai teolog, dalam arti praktisnya, karena ketika ia mengajar, keyakinan dan pemikiran teologisnyalah yang dikomunikasikan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teologi berbicara tentang pribadi Allah Tritunggal dan karya-Nya serta nilai-nilai hidup iman Kristen . Pengajaran yang disampaikan guru PAK bersumber dari Alkitab. Ia menggali, menafsir, dan menceritakan pesan-pesan yang ada dalam Alkitab kepada peserta didik untuk menjadi pengetahuan dan petunjuk praktis dalam hidupnya sehari-hari.

5.    Rekrutmen dan Evaluasi Kwalifikasi menjadi guru sekolah minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
                Melihat berbagai persoalan dengan sumber daya seorang guru sekolah minggu di Gereja Injili Di Indonesia, maka Pemerintah Gerejawi melalui Peraturan dengan diadakannya standarisasi pendidik dan tenaga kependidikan menunjukkan bahwa seorang guru sekolah minggu harus memiliki standar kompetensi tertentu seperti yang dituangkan dalam peraturan gereja. “Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan”. Agar Standar Kompetensi Pendidikan sekolah minggu tersebut dapat tercapai maka dibutuhkan standar pendidik dan tenaga pengajar yang memadai. Mulyasa tentang beberapa persyaratan seorang guru sekolah minggu sesuai dengan standar pendidikan anak dalam program gereja antara lain: (a) Seorang pendidik harus memiliki kualifikasi guru sekolah minggu dalam hal ini firman Allah dan kompetensi sebagai agen penyampai berita firman Allah, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan keselamatan. (b) Yang dimaksud dengan kualifikasi guru sekolah minggu adalah Firman Allah adalah tingkat pendidikan yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang harus dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga gereja. (c) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan sekolah minggu meliputi: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, sosial, dan kompetensi moral, spiritual secara proposional. (d) Seseorang yang hanya memiliki keahlian khusus yang diakui namun tidak memiliki ijazah atau setifikat dapat diangkat menjadi seorang pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. (e) Pendidik pada Guru Sekolah minggu harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum SMA maksimum sarjana. Oleh karena itu, seorang guru sekolah minggu harus mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan fungsi dan tugas guru. Dengan kualitas guru sebagai pendidik akan memberikan andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di geraja. Jadi Guru Sekolah Minggu sangat berperan penting dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal karena minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan pengasuh atau guru. Dalam rangka untuk membantu peserta didik mengembangkan potensinya secara optimal, maka seorang guru sekolah minggu harus mampu memposisikan diri sebagai: (a) Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didik. (b) Teman, tempat mengadu,dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik. (c) Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan, dan bakatnya. (d) Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya. (e) Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab. (f) Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilahturahmi) dengan orang lain secara wajar. (g) Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkunngannya. (h) Mengembangkan kreativitas. (i) Menjadi pembantu ketika diperlukan.
Lebih lanjut ada beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru adalah sebagai berikut: (a) Seorang GSM jangan sampai terjebak pada rutinitas belaka, namun selalu mengembangkan dan memberdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya. (b) Seorang GSM hendaknya mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan peserta didik. (c) Dominasi GSM dalam pembelajaran harus dikurangi agar peserta didik lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar. (d) Seorang GSM kiranya mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi. (d) Seorang GSM kiranya mencintai pekerjaannya sebagai suatu profesi yang menyenangkan. (e) Seorang GSM kiranya dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi sehingga tidak tertinggal. (f) Seorang GSM dapat menjadi teladan dan mempunyai integritas yang tinggi. (g) Seorang GSM kiranya mempunyai visi kedepan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan. Sidjabat mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang seharusnya dikembangkan oleh GSM agar dapat berperan aktif sebagai motivator bagi anak didiknya bukan untuk mementingkan diri sendiri, yaitu: (h) Meningkatkan kemampuan yang dapat menampilkan penguasaan bahan atau pengetahuan. Oleh karena itu seorang GSM banyak dituntut untuk selalu belajar yang terkait di bidangnya. (i) Menunjukkan sikap memahami secara mendalam terhadap perasaan dan pengalaman peserta didik. Sikap empati akan memberikan “kesempatan kedua” kepada anak didik untuk berubah. (j) Menunjukkan semangat mencintai pelajaran rohani yang digelutinya, karena dengan demikian akan memberikan semangat belajar kepada peserta didik. (k) Memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih “kabur” atau kurang jelas, dengan bahasa dan sikap yang dapat dimengerti. (l) Pengetahuan yang hidup mengenai pokok yang diajarkannya itu. (m) Kecakapan untuk menimbulkan minat, bahkan menggembirakan hati orang lain dengan pokok itu. (n) Kerelaan untuk dilupakan sendiri, asal hasil pengajarannya tetap tertanam saja dalam hidup orang didikannya, dan  (o) Semangat pengorbanan diri, sebagai sebutir benih yang rela mati, supaya dapat melahirkan hidup baru berlipat-lipat ganda.
             Kompetensi Guru Sekolah Minggu Mengacu pada pendapat Setiawani (2005) yang mengatakan bahwa syarat guru sekolah minggu adalah . Seorang yang telah lahir Baru/diselamatkan. Seorang Kristen yang bertumbuh. Seorang Kristen yang setia terhadap Gereja. Seorang yang memahami bahwa pelayanan pendidikan adalah panggilan Allah. Seorang yang suka pada objek yang dididiknya; 6) Seorang yang baik dalam kesaksian hidupnya. Seorang yang telah menerima latihan dasar sebagai guru. Seorang yang melayani dengan bersandar pada kuasa Roh Kudus . Dari syarat guru sekolah minggu tersebut di atas dapat dikatagorikan dalam jenis indikator kompetensi guru Sekolah Minggu sebagai berikut: Indikator Kompetensi Spritual yang meliputi sub indikator : (a). Lahir Baru/diselamatkan; (b). Bertumbuh(berdoa, membaca Alkitab dan tekun beribadah); (c). Loyalitas terhadap Gereja; d.Kesadaran terhadap panggilan Allah. 2) Indikator Kompetensi Pedagogik meliputi sub indikator; a. Mengenal anak didik dan (b). Mengetahui teknik mengajar.

7.    Rekrutmen dan Evaluasi tentang Fungsi dan Peran Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
     Fungsi dan Peran Sekolah Minggu merupakan dua aspek yang saling berkaitan. Peran tersebut tidak dapat terwujud bila fungsinya tidak dapat dilaksanakan. Pengelolaan dan guru sebagai pelakasan harus memahami dan mengupayakan agar Sekolah Minggu dapat berjalan sesuai dengan perannya dan bermanfaat sesuai dengan fungsinya. Menurut Sutanto mengatakan bahwa ada empat peran Sekolah Minggu yaitu, sebagai pusat pendidikan non formal, ujung tombak pekabaran Injil, alat penjangkau, dan penyalur bakat. Sekolah Minggu adalah untuk mengubah sikap dan tingkah laku murid. Perubahan terjadi secara bertahap dalam proses belajar memahami kebenaran firman Tuhan. Ujung Tombak pekabaran Injil Murid-murid Sekolah Minggu yang sudah diubah sikapnya dan siap menjadi pelayan Tuhan adalah ujung tombak Pekabaran Injil (PI). Tujuan PI yaitu menjadikan semua bangsa murid Tuhan Yesus. Alat Penjangkau ujung tombak pekabaran Injil merupakan alat penjangkau setiap individu yang sudah atau belum mengenal Yesus Alat penjangkau yang efektif berupaya menciptakan kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan untuk menarik target individu yang akan dijangkau. Sekolah minggu adalah penyalur bakat kepedulian gereja terhadap masyarakat di sekitanya dapat ditunjukkan dengan berbagai kegiatan untuk mengetaskan kemiskinan moral dan material. Yesus datang untuk memberkati kehidupan manusia secara rohani dan jasmani. Sekolah Minggu, mewakili jemaat gereja, mengemban tugas ini. Kehadiran Sekolah Minggu harus dirasakan berkatnya oleh masyarakat sekitar yang mempunyai latar belakang dan kehidupan yang beraneka ragam. Berkat-berkat Sekolah Minggu yang disalurkan kepada semua umat manusia dapat berupa doa, daya, pemikiran dan dana.  
8.    Evaluasi tentang Kedudukan Sekolah Minggu dalam Gereja Jemaat GIDI Agape Wamena
Kedudukannya di dalam pelayanannya gereja titak terpisahkan dari semua program pelayaanan ASM. Gereja tidak boleh memandang rendah atau menyepelekan anak kecil. Sebaliknya sudah sewajarnya bila gereja memberi perhatian pada pelaksanaan dan pertumbuhan ASMS. Melalui ASM, gereja memiliki tanggung jawab yang besar, yaitu membimbing dan mempersiapkan angkatan muda, generasi penerus di masa yang akan datang. Sungguh suatu hal yang indah bila gereja dapat mengatakan kepada anak-anak, “Marilah anak-anak, dengarkanlah aku, takut akan TUHAN akan kuajarkan kepadamu!” (Mazmur 34:12). Amanat Agung Tuhan Yesus, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Markus 16:15)“ jadikanlah semua bangsa muridKu dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20) . Perintah Tuhan Yesus di atas ditujukan pada segenap orang percaya (Gereja yang kudus dan am) untuk meraih dan membimbing orang mengenal kebenaran, termasuk di dalamnya adalah untuk menjangkau dan membimbing anak-anak. Semasa hidup di dunia, Tuhan Yesus dalam beberapa kesempatan menunjukkan perhatian-Nya pada anak-anak. Di kala orang-orang dewasa “menganggap sepele” kehadiran anak kecil, Tuhan Yesus justru meluangkan waktu bersama dengan anak-anak (Markus 10:13-16).  Bahkan, Tuhan Yesus sempat memberikan peringatan yang cukup keras pada orang dewasa untuk memperhatikan pengajarannya pada anak kecil. “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepadaKu, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” (Markus 9:42).

9.    Rekrutmen dan Evaluasi Pengapdian Guru Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
      Untuk memenuhi ke-3 panggilan tsb tiap GSM dibutuhkan kerendahan hati, kesederhanaan, dan kejujuran, dalam seperti ada tertulis “Ia harus makin besar, tetapi aku harus menjadi makin kecil” (Yoh 3:30).  Surat pertama Petrus secara gamblang menasihatkan: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri (1 Ptr 5:1-4). Dengan demikian panggilan menjadi GSM itu adalah pengabdian. Pengabdian itu adalah kebahagiaan. Kebahagiaannya, karena setiap GSM diberi kesempatan mengemban tugas yang amat mulia. Di tangan GSM itulah para Anak Sekolah Minggu (ASK), diberi kesempatan untuk  memperkenalkan Yesus Kristus di dalam hidupnya. ASM yang memiliki kepolosan, kejujuran, belum banyak dicemari kebiasaan buruk itu amat ditentukan oleh GSM untuk dapat menjadi anak-anak yang berguna. Seperti Amsal menyebutnya, “Sekali mereka dibentuk dengan benar maka ketika menjadi dewasa mereka akan selalu mengingat dan mereka tidak akan melenceng jauh dari kebenaran” (Amsal 22:6). Kebenaran Firman Tuhan itulah yang harus ditanamkan di dalam diri, pribadi ASM. Sungguh suatu hal yang memprihatinkan jika gereja lebih banyak menyerahkan pendidikan rohani anak-anak jemaat kepada orang-orang yang seringkali belum berpengalaman dan tidak dipersiapkan dengan bekal yang cukup.
      Jadi panggilan untuk menjadi pelayan, pada hakekatnya menjadi pergumulan sepanjang waktu Yesus dalam karya singkat-Nya di dunia ini,  Ia mewartakan kedatangan kerajaan Allah dan memanggil semua orang yang mau mendengarkan dan menjadi murid-Nya untuk mengikuti Dia dalam pelayanan. Panggilan tersebut menjadi pergumulan karena menjadi bagian kehidupan; perhatian, pemikiran, ucapan, sikap dan tindakan. Pergumulan, karena berhadapan dengan seluruh unsur kehidupan.
Pemberi hidup dan ciptaan. Pergumulan, karena menghadirkan suasana yang tersendiri dalam kehidupan orang yang dipanggil tersebut. Oleh karena itu, memahami kehidupan seorang yang menerima panggilan Tuhan sama artinya memasuki suatu kenyataan pergumulan hidup manusia yang tidak ada habis-habisnya. Panggilan menjadi pelayan, menurut Alkitab ada sepanjang rentang waktu. Ia hadir bersamaan dengan pengenalan manusia akan Tuhan. Karena ia memperkenalkan nama dan perintahNya, kasih, penebusan, larangan, murka dan hukumanNya. Ia adalah alat yang Tuhan pakai dalam rencana dan pemeliharaan Tuhan atas ciptaannya. Dengan demikian dipahami sebagai pengabdian, tugas, tanggung jawab dan ketaatan kepada Tuhan, yang sungguh agung, berharga, sakral, berat sekaligus membahagiakan.
Dalam Perjanjian Baru, istilah “dipanggil” (‘kletos’) dan “panggilan” (‘klesis’) muncul 2 kali. Semuanya menyatakan panggilan Tuhan kepada umat-Nya untuk sesuatu maksud yang rohani. Seluruh jemaat dipanggil (“the called-out ones”) oleh Tuhan.  Hal itu sesuai dengan dengan Confessie HKBP Pasal 9: “kita percaya dan menyaksikan tiap-tiap orang Kristen terpanggil menjadi saksi Kristus”. Artinya, semua warga jemaat terpanggil menjadi saksi Kristus. Sebagai umat pilihan Allah terpanggil untuk memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Allah   (I Petrus 2 : 9). Dalam Mat. 4: 18 – 22; Mrk. 1: 16 – 20; Luk. 5: 1 – 11, Yesus memanggil  Simon Petrus dan Andreas dari tempat bekerjanya di Danau Galilea dengan ajakan “mari ikutlah Aku, dan kamu akan kujadikan penjala manusia”.  Ajakan inilah yang kita sebut panggilan. Yesus memanggil muridNya berjalan dibelakangnya  (deute opisoo mou) yang  terjemahannya:  mari ikutlah Aku dari belakang atau mari berjalanlah dibelakangKu (Ma.t 4:19-20). Yang dipanggil itu tidak mendahului atau tidak pergi ke kiri dan kekanan Yesus, bahkan tidak dikatakan berjalan sejajar tetapi selalu mengikut Yesus dari belakang (ekolouthesan = mengikuti). Tuhan Yesus memanggil murid-muridNya untuk berjalan dibelakang-Nya. Pengertianya jangan diartikan sempit. Dalam pemikiran umat Israel di zaman PL mengikuti seseorang atau berjalan di belakang mengandung arti mengiringi, menaati, mencintai, menyerahkan diri, dan mengabdikan diri. Untuk berjalan dibelakangNya Yesus tidak membebani kita, tetapi yang diinginkan Yesus merespons ajakanNya. Ajakan Yesus itulah yang mesti kita jawab. Sebab sambil berjalan itu kita terus mendengar dan melihat kepadaNya. Artinya mengikut Yesus berarti mendengar dan melihat serta menjadi prioritas.
Seorang pelayan atau murid, pasrah menyerahkan hidupnya kepada orang yang diikuti dengan segala risikonya. Karena kemauannya mengikuti panggilan Yesus, secara otomatis dia merubah hidupnya dengan kemauan Yesus yang diikutinya. Dia mau meninggalkan segala jalan kehidupan semula dan mengikuti jalan Yesus. Meski berat dan susah tetapi  kita tidak akan ditinggalkanNya. Jadi mari ikutlah Aku dari belakang telah mengubah hidup duabelas (oi dodeka) orang Galilea dan dikemudian hari ribuan juta orang lainnya.  Rahasia kesuksesan dari orang yang bersedia memenuhi panggilan Yesus ini, tertulis dalam (Mrk. 9:35; 9:35-50), “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir.

10. Rekrutmen dan Evaluasi tentang Tantangan melayani Anak Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
Tidak semua anak-anak anda adalah anak-anak yang ceria, yang polos dan yang haus untuk belajar. Tidak jarang mereka datang dari lingkungan yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Banyak diantara mereka adalah korban kejahatan orang dewasa dan lingkungan sekitarnya. Bahkan di lingkungan yang kurang beruntung anak-anak dijadikan pengemis, pekerja di bawah umur dan lain-lain. Kejahatan terhadap anak- anak pada masa Alkitab pun ada. Dalam Keluaran 1:16, Firaun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki bangsa Israel yang lahir. Kejahatan terhadap anak-anak dialami hampir oleh tiap bangsa, sebagai contoh bangsa Samaria. Kejahatan terhadap anak-anak ini sangat bertentangan dengan rencana Tuhan.
Di zaman Perjanjian Baru juga murit-murit Yesus melarang anak-anak tidak diperbolehkan mengerumuni Tuhan Yesus. Hal ini terlihat dimana murid Yesus mengusir anak-anak kecil, namun Yesus mengambil anak kecil mewakili semua anak-anak didunia; dan Yesus mengatkan bahwa anak seperti inilalah yang empunyai kerajaan Allah.

11. Evaluasi Kerohanian Anak  sekolah minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
      Alkitab sangat memberi perhatian kepada ASM ini. Dalam sejaranya, jaman Perjanjian Lama, maka sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7). Tujuan pendidikan  tersebut  anak di didik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah Yahweh. Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge di mana mereka dapat belajar tentang Firman Tuhan, termasuk diantara mereka adalah anak-anak kecil. Orangtua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah 5 tahun ke sekolah di sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
      Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diijinkan pulang ke Israel, maka mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah (sinagoge) ini sampai masa Perjanjian Baru. Tuhan Yesus ketika masih kecil, juga sama seperti anak-anak Yahudi yang lain, menerima pengajaran Taurat di sinagoge. Dan pada usia 12 tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Tim 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik mereka perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di sinagoge tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.
Rencana Tuhan terhadap manusia meliputi rencana Tuhan terhadap anak-anak juga. Dalam Kej 1:28, Tuhan memerintahkan manusia untuk berkembang dan bertambah banyak. Tuhan pula yang telah membentuk manusia sejak dia menjadi bakal anak di dalam kandungan ibunya dan Tuhan telah merancang kehidupan yang akan dilaluinya (Mazmur 139). Tuhan juga ingin memulihkan bangsa Israel dengan membentuk generasi baru yang bisa masuk ke tanah Kanaan (Bil 21:4-9). Tuhan juga merencanakan membangun Yerusalam baru dimana penuh anak-anak laki-laki dan perempuan bermain di jalanan (Zakaria 8:3).
Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, anak-anak yang lahir telah mewarisi dosa (Mazmur 51:7), dan anak-anak juga akan menghadap tahta pengadilan Allah (Wahyu 20:15-16). Oleh karena ituanak-anak juga membutuhkan keselamatan dari Tuhan Yesus (Matius 18:14). Melalui kuasa kelahiran baru Roh Kudus, Tuhan memberikan rencana baru bagi manusia, termasuk anak-anak. Mereka akan bertumbuh menjadi milik kepunyaan-Nya dan berkarya bagi kemuliaan-Nya (Rom 11:36). Anak-anak yang memiliki hati yang lemah lembut, merupakan tanah yang baik dan ladang yang paling cocok untuk ditanami kebenaran Alkitab. Alkitab pun mencatat bahwa anak-anak dapat percaya kepada Tuhan, dapat menyesali dosanya dan dapat memperoleh keselamatan dari Tuhan, bahkan orang dewasa patut meneladani sikap anak-anak ini (Markus 10:15).

12. Rekrutmen dan Evaluasi Panggilan Melayani Anak Sekolah Minggu Jemaat GIDI Agape Wamena
      Tuhan ingin agar anak-anak ini mengenal Pencipta mereka; bertemu dengan Dia dan diubahkan menjadi ciptaan baru. Pelayanan ASM tidak semata-mata dibentuk untuk mendidik anak-anak menjadi anak- anak yang manis yang mempunyai sikap baik budi. Itu bukan tujuan utama Tuhan bagi anak-anak. Tujuan mengajar ASM  ialah supaya mereka harus berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Kita harus meyakini bahwa apa yang telah dimulai olehNya, maka Ia juga yang akan menyempurnakan nya. Pendidikan melalui pelayanan ASM akan menjadi dasar pertumbuhan rohani seorang anak untuk dapat mengenal kebenaran Alkitab, menyembah Tuhan dan memuji Tuhan dan mengasihi pekerjaanNya. Apabila mereka telah dimenangkan maka berarti generasi selanjutnya juga telah dimenangkan, karena mereka adalah penerus dan pemimpin generasi yang akan datang. Dan tidak bisa disangkal bahwa jika kita memenangkan anak-anak maka kita tahu gereja memiliki masa depan.
      Dari penjelasan di atas, peran pembinaan kepada ASM itu sangat memegang peranan penting di dalam tubuh gereja itu. Jikalau ASM berhasil, berarti gereja telah melatih dan mempersiapkan para pemimpin gereja untuk masa yang akan datang. Memang “anak-anak kecil” yang terlihat hadir di Sekolah Minggu, tapi “anak-anak kecil” itulah yang beberapa tahun ke depan akan menjadi para pemimpin gereja. Kualitas para pemimpin gereja di masa yang akan datang, sedikit banyak dapat dilihat dari bagaimana kualitas Sekolah Minggu yang ada saat ini. Oleh karena itu, penting dipikirkan bersama, bagaimana membuat ASM menjadi program yang terintegrasi dengan gereja secara utuh. Bagaimana merangkai program pembinaan anak secara berkesinambungan hingga kelak mereka remaja dan dewasa. Melayani ASM merupakan suatu tugas dan tanggung jawab yang berat. Tapi sesuai dengan janji-Nya, Tuhan Yesus akan senantiasa menyertai dan memberikan kekuatan bagi setiap kita yang terpanggil melayani di Sekolah Minggu. “…. ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20).
      Tanggung Jawab GSM hanya dapat bertahan kalau pengajar-pengajarnya adalah orang-orang yang berkepribadian kuat. Gereja dan Sekolah Minggu milik kita bersama. “Jadilah teladan bagi orang-orang percaya,” (1Timotius 4:12). Sekolah Minggu diselenggarakan di semua gereja di  Indonesia, namun   pengembangan pelayanannya belum diusahakan secara maksimal.  Mengingat pentingnya Sekolah Minggu sebagai wadah persemaian, bukan hanya pengetahuan tentang iman Kristen, melainkan juga nilai-nilai yang mendukung kehidupan, khususnya kasih terhadap sesama,  keadilan dan perdamaian, menyadari dampak kemajuan zaman dengan diikuti derasnya pengaruh perkembangan teknologi informasi pada anak-anak saat ini, menjadi pergumulan yang tidak mudah bagi sekolah minggu untuk mendapatkan guru-guru yang memiliki hati dan motivasi yang kuat sehingga dapat mendidik anak mengintegrasikan iman di dalam ilmu dan moral.













BAB III

METODOLOGI PENELITIAN


Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian dan kajian teoretis, maka langkah penelitian pada bab ini adalah:
A.   Tujuan  Penelitian
      Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pelayanan sekolah minggu telah dilaksanakan secara perkala dan bertanggung jawab selama satu tahun 2016 dan sekaligus rekrutmen calon guru sekolah minggu di Gereja Injili Di indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena periode 2017 . Kemudian secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi komponen tahap perencanaan dan komponen tahap program membandingkan yang di rinci secara holistick sebagai berikut:
1.     Mendeskripsikan perencanaan program penyiapan sumber daya manusia dalam rekrutmen calon pengasuh sekolah minggu.
2.     Mendeskripsikan penerapan evaluasi program tahunan dan rekrutmen calon pengasuh sekolah minggu
3.     Mendeskripsikan proses pencapaian evaluasi program tahunan dan rekrutmen calon pengasuh sekolah minggu meliputi aspek administrasi, penyiapan sumber daya manusia, dan penganggkatan kepala pengasuh sekolah minggu.
4.     Mendeskripsikan pencapaian sasaran program  rekrutmen calon ketua sekolah minggu meliputi  efektivitas terhadap dampak kebijakan dan strategi implementasi kebijakan.
5.     Mendeskripsikan perbandingan hasil dan tujuan dalam evaluasi program pelayanan sekolah minggu dan rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu meliputi evaluasi penugasan guru sebagai kepala pengasuh sekolah minggu.

B.   Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lingkungan Greja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena. Pelaksanaan penelitian ini didasarkan pada jadwal waktu penelitian sebagai berikut:
1.    Tahap persiapan penulisan proposal penellitian, Juni  – Agustus,  2016)
2.    Tahap pengumpulan data dan verifikasi data, SeptemberDesember 2012016, dan tahap penulisan penelitian pada  Januari – Janwari- Maret,  2017.
Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di Lingkungan Gereja Injili Di Indonesia GIDI Jemaat Agape mengandung beberapa alasan strategis sebagai berikut:
1.      Bahwa secara kontekstual lokasi penelitian yang dijadikan acuan tempat penelitian ini sangat strategis, mengingat bahwa pelaksanaan piloting rekrutmen calon Pengasuh sekolah minggu dari Klasis Bogo serta Gereja setempat dan gereja terdekat dalam organisasi (GIDI).
2.      Bahwa secara implementatif lokasi Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena yang dijadikan tempat untuk objek penelitian, merupakan area wilayah dimana peneliti bertugas di bidang kerohanian di Jemaat Agape, sehingga sangat tepat jika penelitian dilakukan di lokasi ini maka akan mempermudah akomodasi dan perolehan data secara akurat karena penelitian menguasai bidang yang akan dijadikan tempat penelitian.
3.      Bahwa penelitian ini akan mengambil lokasi di tempat tersebut, secara rill nantinya akan memberikan informasi hasil penelitian yang sangat objektif dan sangat memberikan bantuan bagi kemajuan satuan pendidikan sekolah minggu yang akan dijadikan objek penelitian tersebut. Serta secara maksimal hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dan difungsikan secara integral dalam menentukan kebijakan rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena. 
C.     Pendekatan, Metode dan Desain  Penelitian
1)    Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian di lakukan  pendekatan, sebagaimana dinyatakan Arikunto bahwa penelitian evaluasi program menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana program tersebut dapat diimplementasikan, sejauhmana terlaksananya program, ketercapaian tujuan program seperti yang ditetapkan, dan untuk mengetahui kendala dalam implementasi program tersebut. Demikian pula halnya dengan penelitian evaluasi kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah di lingkunagan Dinas Pendidikan Kutai Kartanegara, bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah dapat di implentasikan, serta kendala apa (jika ada) dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan menyeluruh diperlukan pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif ini dipilih karena dalam penelitian kualitatif gejala-gejala, informasi-informasi diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan selama berlangsungnya proses pelaksanaan kebijakan.Penelitian kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kutai Kartanegara ini, diperoleh dengan hasil yang lengkap berupa data-data yang rinci dan mendalam, hasil data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat dicermati. Dalam penelitian kualitatif kehadiran dan keterlibatan peneliti sangat diutamakan, karena pengumpulan data harus dilakukan dalam situasi yang sesungguhnya, peneliti juga diharapkan dapat menjaga hubungan yang baik dengan informan, sehingga dapat membantu kelancaran dalam proses penelitian. Ciri khas penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah; (1) memperlakukan latar alamiah sebagai sumber data, dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) sifatnya deskriptif, yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar, dan bukan angka, (3) lebih mementinkan proses daripada hasil, (4) cenderung menganalisis data secar kualitatif dengan menekankan hasil naturalistik digabungkan dengan hasila induktif, dan (5) pemberian makna atas data merupakan perhatian umum.[1]
2)    Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian penelitian kuantitatif. Selanjutnya, untuk dapat menghasilkan teori melalui tindak penelitian, penelitian kualitatif mengandalkan jenis analisis yang disebut analisis komparatif yang dikenakan secara berlanjut berkesinambungan terhadap kategori-kategori data yang terus berkembang (menjadi makin banyak dan makin tajam) selama proses penelitian dilaksanakan. Linoln dan Guba, merinci unsur-unsur desain dan tertib urutannya sebagai berikut:
a.    Menentukan fokus penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah evaluasi kebijakan rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu dalam menunjang kelancaran operasional organisasi bidang pendidikan sekolah minggu, dan pengaturan manajemen organisasi pendidikan sekolah minggu.
b.    Menentukan kesesuaian paradigma dengan fokus penelitian.
c.    Menentukan kesesuaian paradigma dengan teori subtantif.
d.    Menentukan di mana dan dari siapa data akan diperoleh.
e.    Menentukan fase-fase penelitian.
f.     Menggunakan instrumen manusia.
g.    Mengumpulkan dan merekam data.
h.    Melakukan analisis data.
i.      Merencanakan logistik.
j.      Membangun keterpercayaan.
 Sedangkan runtutan kerja pokok penelitian secara naturalistik adalah:
a.    Menyiapkan suatu lingkup masalah yang hendak diamati secara fleksibel.
b.    Menentukan latar amatan.
c.    Terjun ke lapangan mencari data dan mencatatnya secara deskriptif dan reflektif.
d.    Hasil pencatatan deskriptif dan reflektif digunakan untuk mensintesakan data dalam kategori-kategori yang menonjol menggunakan analisis komparatif.
e.    Hasil pengkategorian akan memberikan pilihan terhadap fokus amatan.
f.     Terjun ke lapangan lagi berkenal fokus untuk mencari data baru dengan maksud data baru digunakan untuk makin mempertajam, menggeser, atau mengubah fokus dan untuk mempertajam amatannya sendiri berdasar fokus yang sudah menjadi makin tajam.
g.    Memutar kembali perbuatan kegiatan
h.    secara berulang-ulang sehingga dicapai keadaan data jenuh (tambahan data dari lapangan sudah tidak dapat lagi mempertajam analisis dan memperkokoh kategori yang ada karena tambahan data tersebut sudah bersifat pengulangan yang sama dan tetap).
i.      Memilih sejumlah kategori yang menonjol atau kokoh (yang memiliki data anggota yang cukup banyak) sebagai calon teori substansial yang dihasilkan oleh penelitian yang dilaksanakan.
j.      Merumuskan teori substansial dengan cara menarik kesimpulan dari kategori-kategori yang terpilih.
k.    Melakukan pengabsahan kesimpulan atau teori melalui penilaian pihak responden dan atau melalui triangulasi.
3)    Desain Model Penelitian Evaluasi
Model penelitian evaluasi yang digunakan yaitu Model dem (Discrepancy Evaluation Model), model menurut Provus yang disebut juga Model Kesenjangan. Hal ini berdasarkan bahwa dalam pelaksanaan rekrutmen calon kepala sekolah perlu dilihat kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara hasil yang diharapkan dengan yang terjadi di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan pelaksanaan rekrutmen. Pendekatan ini memperkenalkan pelaksanaan evaluasi dengan langkah-langkah yang perlu dilakukan menurut Provus, meliputi:
a.    Tahap Definisi (definition stage)
Dalam tahap definisi, fokus kegiatan dilakukan untuk merumuskan tujuan, proses atau aktifitas, serta pengalokasian sumber daya dan partisipan untuk melakukan aktivitas dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Provus, program pendidikan merupakan sistem dinamis yang meliputi inputs (antecedent), proses, dan output juga outcomes. Standar atau harapan-harapan yang ingin dicapai ditentukan untuk masing-masing komponen tersebut. Standar ini merupakan tujuan program yang kemudian menjadi kriteria dalam kegiatan penelitian yang dilakukan.
b.    Tahap Instalasi (installation stage)
Selama tahap instalasi, rancangan program digunakan sebagai standar untuk mempertimbangkan langkah-langkah operasional program.
c.    Tahap Proses (process stage)
Pada tahap proses, evaluasi difokuskan upaya bagaimana memperoleh data tentang kemajuan para peserta program, untuk menentukan apakah perilakunya berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika ternyata tidak, maka perlu dilakukan perubahan terhadap aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perilaku tersebut.
d.    Tahap Produk (product stage)
Selama tahap produk, penilaian dilakukan untuk menentukan apakah tujuan akhir program tercapai atau tidak. Provus membedakan antara dampak terminal (immediate outcomes) dan dampak jangka panjang (long term-outsomes).
e.    Tahap Membandingkan  (comparison stage),
Tahap membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini evaluator menuliskan semua penemuan kesenjangan untuk disajikan kepada para pengambil keputusan, agar mereka (ia) dapat memutuskan kelanjutan dari program rekrutmen calon kepala sekolah.
Apapun kesenjangan yang ditemukan melalui evaluasi, pemecahan masalah dilakukan secara kooperatif antara evaluator dengan pengelola kebijakan sebagai suatu masukan agar pelaksanaan rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu berjalan dengan lebih baik. Masukan yang dilakukan antara lain membicarakan tentang:
1)    Mengapa ada kesenjangan
2)    Upaya perbaikan apa yang mungkin dilakukan
3)    Upaya mana yang paling baik dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengumpulkan informasi dibuatlah model desain penelitian sebagai berikut:
 
























          
D. Instrumen Penelitian
     1. Kisi-kisi Instrumen
Instrumen penelitian didasarkan pada kisis-kisi instrumen yang dapat dilihat pada tabel 3.1. berikut ini :
Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Penelitian
No
Tahap Evaluasi
Aspek Yang Dievaluasi
Sumber Informasi
Jenis Instrumen
1.
Tahap Definisi (definition stage) atau Perencanaan

1.   Perencanaan program rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu
2.   Penyiapan sumber daya manusia dalam implementasi kebijakan rekrutmen calon Pengasuh sekolah Minggu
-   Pendapat lisan : Ketua Pengasuh SM dan  wakil Pengasuh sekolah, Minggu
-   Pendapat lewat tulisan: Ketua pengasuh dan
wakil ketua pengasuh sekolah, Minggu di gereja GIDI Agape
·     Wawancara
·     Angket
·     Observa
·     Dokumentasi
2
Tahap Instalasi (installation stage)

1.   Program implementasi kebijakan rekrutmen calon pengasuh sekolah Minggu.
2.   Program penerapan sistim rekrutmen calon ketua  sekolah minggu.

-  Keadaan fisik terkait dengan perekrutan calon ketua sekolah Minggu adanya syarat administrasi, penyiapan SDM, pengangkatan, dampak implementasi, strategi dan sistem perekrutan
·     Observasi
·     Dokumentasi




3
Tahap Proses (process stage)

1.   Proses seleksi administrasi calon ketua pengasuh sekolah minggu.
2.   Proses penyiapan sumber daya manusia rekrutmen.
3.   Proses pengangkatan calon ketua pengasuh sekolah minggu sebagai kepalamengatusr jalanya pelayanan sekolah mingu
Surat keputusan  tentang perekrutan calon ketua sekolah minggu
Pengumuman tentang perekrutan calon kepala pengasuh sekolah Minggu, syarat administrasi, penyiapan SDM
Surat keputusan pengangkatan kepala Pengasuh sekolah Minggu
·     Dokumentasi

4
Tahap Produk
(product stage)

1.   Pencapaian sasaran pelaksanaan rekrutmen calon ketua sekolah minggu dari sisi efetivitas  terhadap dampak kebijakan.
2.   Pencapaian sasaran pelaksanaan rekrutmen calon ketua sekolah Minggu dari sisi strategi implementasi kebijakan.
Implementasi kompetensi kepala sekolah,
Adanya Strategi
·     Wawancara
·     Observasi
·     Dokumentasi

5
Tahap Program Membandingkan (Programe comparison stage)

Perbandingan hasil dan tujuan  evaluasi penugasan Pengasuh sebagai ketua sekolah Minggu


Pendapat lisan atau tertulis hasil dan tujuan
Adanya Sistem rekrutmen calon ketua sekolah Minggu

·     Wawancara
·     Angket
·     Dokumentasi
    
2. Validasi Instrumen
            Validasi teoretik (konstruk) dilakukan dengan pakar dan atau panel. Proses penelaahan teoretis suatu konsep dimulai dari komponen evaluasi, aspek yang dievaluasi, indikator sampai kepada penjabaran dan penulisan butir instrumen, peneliti menjabarkan dan menelaah instrumen, prosedur telaah dan hasil telaahnya secara kualitatif. Selanjutnya peneliti menjelaskan prosedur telaah dan hasil uji validasi panel secara kuantitatif. Validitas instrumen dilakukan dengan
a.     Memeperpanjang keikutsertaan peneliti dalam proses pengumpulan data yang berupa hasil angket, pengamatan dan wawancara di lapangan agar instrumen tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga hasil yang diperoleh valid.
b.     Melakukan observasi secara terus menerus agar fenomena sosial yang terkadang tidak jelas terlihat atau sulit terungkap lewat wawancara terlihat jelas.
c.      Memilih berbagai sumber data yang sesuai agar diperoleh variasi informasi seluas-luasnya atau selengkap-lengkapnya.
d.     Melakukan diskusi dengan teman sejawat untuk memperoleh berbagai saarana ataupun kritik dari mulai proses awal penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian yang didasarkan pada instrumen penelitian yang digunakan.[2]
E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
1.    Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini berupa catatan lapangan, hasil pengamatan, catatan hasil observasi pendahuluan, pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh pejabat struktural dinas pendidikan, kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kartanegara beserta arsip-arsip yang ada yang dapat mendukung data penelitian yang akan dilakukan. Ditambah dengan pendapat-pendapat dari wakil kepala sekolah dan dokumen berupa dokumen pribadi serta foto-foto. Adapun sumber data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.    Sumber Data Primer
Sumber data primer yang dimaksud dalam penelitian ini didapatkan peneliti dari hasil angket, dan wawancara langsung yang telah dilaksanakan terhadap responden yang dijadikan objek penelitian.
a.    1. Observasi
Dengan observasi atau pengamatan akan dapat mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, dan gambaran apa yang nanti harus dilakukan pada saat menghadapi situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks. Selain itu dengan pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek sehingga memungkinkan peneliti menjadi sumber data; pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihaknya maupun dari pihak subjek[3]
b.    2. Wawancara
Perolehan data yang berikutnya adalah dengan menggunakan metode wawancara. Dengan wawancara dapat diperoleh data mengenai identitas objek dengan jelas dan dapat mengetahui pendapat, pengalaman, perasaan dan harapan mereka terhadap evaluasi kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah di Kabupaten Kutai Kartanegara. Jadi data yang diperoleh adalah berupa kata-kata dan tindakan dari objek sumber data yang terekam melalui alat perekam maupun hasil penulisan secara langsung oleh peneliti.
b.    Sumber Data Sekunder
Berisi gambaran secara umum (deskripsi) tentang keadaan kepala sekolah yang menjadi objek penelitian, meliputi data syarat, data pengumuman, data rekapitulasi pendaftar rekrutmen calon kepala sekolah faktor-faktor lainnya yang melingkupi dan mempengaruhi secara internal dan eksternal terhadap rekrutmen calon kepala sekolah yang bersangkutan. Prosedur pengumpulan data kualitatif ini adalah menggunakan cara-cara yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu:
a.      Wawancara (Indepth Interview)
b.      Pengamatan (observasi).[4]

2.    Pedoman Observasi
Sistem pengamatan yang digunakan peneliti adalah sistem pengamatan terbuka. Yaitu peneliti diketahui oleh responden sehingga mereka dengan sukarela memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengamati segala hal yang mendukung dari hasil penelitian ini. Dalam pengumpulan data peneliti memutuskan siapa responden atau sampel yang akan diwawancara atau diobservasi.
Observasi yang digunakan adalah observasi tidak berstruktur. Yaitu observasi yang dilakukan tanpa menggunakan petunjuk observasi. Dengan demikian peneliti harus mampu secara pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu obyek.[5] Pertanyaan penelitian sudah dirumuskan terlebih dahulu meskipun hal ini bisa berubah tergantung situasi yang dihadapi peneliti pada saat tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Marxwel bahwa penyelesaian pertanyaan peneliti tergantung tidak hanya pada pertanyaan penelitian yang peneliti kerjakan tetapi juga situasi aktual pada saat penelitian dan apa yang akan bekerja secara efektif dalam situasi tersebut untuk memberikan data yang kita butuhkan.[6] Pengumpulan data melalui observasi mengacu pada serangkaian pertanyaan yang mengarahkan pada apa, siapa, di mana, mengapa, dan bagaimana. Dengan observasi diperoleh data mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang ada. Selain itu, observasi dapat menentukan kancah penelitian dan objek penelitian dengan tepat. Dalam kaitan dengan penelitian ini observasi dilakukan terhadap beberapa ketua pengasuh sekolah minggu hasil piloting rekrutmen calon ketua sekolah minggu di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Jemaat Agape Wamena. Observasi yang pertama dilakukan adalah untuk melihat apakah kebijakan yang diterapkan oleh Departen Gereja Injili Di Indonesia Wilayah Bogo, Klasis Lembah Baliem Jemaat Agape‘ tersebut menimbulkan suatu dampak yang positif atau negatif secara umum. Selain itu peneliti mulai mengobservasi ketua pengasuh sekolah minggu tentang kompetensi ketua pengasuh sekolah Minggu, yang meliputi manajerial, kepribadian, supervisi, Integritas, loyalitas dan sosial. Selain hal tersebut juga diamati segala sesuatu yang kiranya berkaitan dengan evaluasi kebijakan rekrutmen calon ketua Pengasuh sekolah Minggu dan jajaranya.
3.      Pedoman Wawancara
             Dalam pengumpulan data melalui metode wawancara ini, peneliti melakukan wawancara; yang pertama adalah wawancara dengan ketua pengasuh sekolah Minggu piloting rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah Minggu, wawancara dengan para Majelis Jemaat dan  wakil ketua sekolah minggu mengenai rekrutmen ketua pengasuh sekolah minggu dan jajarannya, wawancara dengan Gembala Jemaat Agape tentang rekrutmen calon ketua sekolah Minggu.
a)    Jenis Wawancara
Jenis wawancara yang digunakan adalah tehnik yang tidak berstruktur yaitu wawancara dilakukan tanpa penyusunan daftar baku sebelumnya, akan tetapi tetap mengacu pada fokus permasalahan penelitian.
Jenis wawancara ini bersifat fleksibel dan memungkinkan peneliti mengikuti minat dan pemikiran responden. Pewawancara dengan bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada responden dalam urutan manapun bergantung pada jawaban. Hal ini dapat ditindaklanjuti, tetapi peneliti juga mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian yang dimiliki dalam pikirannya dan isu tertentu yang akan digali. Namun pengarahan dan pengendalian wawancara oleh peneliti sifatnya minimal. Umumnya, ada perbedaan hasil wawancara pada tiap responden, tetapi dari yang awal biasanya dapat dilihat pola tersebut. Responden bebas menjawab, baik isi maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci.
Wawancara Semi Berstrukutur. Wawancara ini dimulai dari isu yang dicakup dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara menjamin bahwa peneliti mengumpulkan jenis data yang sama dari para responden. Peneliti dapat mengembangkan pertanyaan dan memutuskan sendiri mana isu yang dimunculkan. Pedoman wawancara berfokus pada subjek area tertentu yang diteliti, tetapi dapat direvisi setelah wawancara karena ide yang baru muncul belakangan.[7] Pengambilan data dari wawancara tersebut dengan menggunakan kertas dan pena untuk mencatat jawaban responden dibantu dengan penggunaan tape recorder agar tidak ada jawaban responden yang terlewatkan.
b)   Teknik Wawancara
        Wawancara kualitatif formal adalah percakapan yang tidak berstruktur dengan suatu tujuan yang biasanya mengutamakan perekaman dan transkrip data verbatim (kata per kata), dan penggunaan suatu pedoman wawancara daripada susunan pertanyaan yang kaku. Wawancara dilaksanakan dengan tidak memaksakan agenda atau kerangka kerja pada responden, justru tujuan wawancara ini untuk mengikuti kemauan responden. Peggunaan format ini adalah untuk menangkap perspektif responden sesuai dengan tujuan penelitian.[8]
c)    Lama dan Pemilihan Waktu Wawancara
        Lama dan waktu wawancara ditentukan oleh peneliti. Peneliti melakukan kontrak waktu dengan responden, sehingga mereka dapat merencanakan kegiatannya pada hari itu sesuai dengan jadwal yang ditetapkan tanpa terganggu oleh wawancara, dan umumnya responden menginginkan waktunya tidak lebih dari satu jam.[9] Jadi peneliti menggunakan penilaian mereka sendiri, mengikuti keinginan responden, dan menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan topik penelitiannya. Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data belum semua diperoleh, wawancara dapat dilakukan sekali lagi atau lebih.
d)   Prosedur Wawancara
Prosedur wawancara yang dilakukan peneliti mengikuti tahap berikut ini:
1)    Mengidentifikasi para responden berdasarkan prosedur sampling yang dipilih sebelumnya.
2)    Menentukan jenis wawancara yang akan dilakukan dan informasi bermanfaat apa yang relevan dalam menjawab pertanyaan penelitian.
3)    Mempersiapkan alat tulis dan alat perekam yang sesuai.
4)    Pengecekan kondisi alat perekam, misalnya baterainya.
5)    Menyusun protokol wawancara, panjangnya kurang lebih empat sampai lima halaman dengan kira-kira lima pertanyaan terbuka dan tersedia ruang yang cukup di antara pertanyaan untuk mencatat respon terhadap komentar responden.
6)    Menentukan tempat untuk melakukan wawancara. Jika mungkin ruangan cukup terang, tidak ada distraksi dan nyaman bagi responden. Peneliti dan responden duduk berhadapan dengan perekam berada di antaranya, sehingga suara-suara keduanya dapat terekam baik.
7)    Selama wawancara peneliti mencocokkan dengan pertanyaan, melengkapi pertanyaan pada waktu tersebut (jika memungkinkan), menghargai responden dan selalu bersikap sopan santun.[10]





BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.   Hasil Evaluasi
Pada bagian ini akan dideskripsikan hasil penelitian evaluasi program pelayanan sekolah minggu setahun dan  merekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu di Gereja Injili Di Indinesia (GIDI), merupakan dimana tempat penyelenggaraan program pelayanan sekolah minggu sesuai dengan ADART Jemaat Agape Wamena.
Kebijakan rekrutmen calon ketua pengasuh sekolah minggu telah dilaksanakan sejak tahun 2004 sampai dengan 2016 sekarang, melalui program piloting angkatan 15 di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia sesuai dengan surat keputusan ADART  tentang  penetapan tim seleksi rekrutmen calon ketua pengasu sekolah minggu di Jemaat Agape Wamena.
1)    Tahap Definisi (definition stage)
Berdasarkan fokus masalah evaluasi program pelayanan tahunan sekolaminggu dan implementasi kebijakan rekrutmen calon kepala sekolah ditemukan hasil bahwa penangan pelayanan sekolah minggu dilimpahkan kewenangan yang besar kepada gereja setempat dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan seolah minggu. Salah satu kewenangan tersebut adalah dalam pembinaan karir pendidik sekolah mingu dan tenaga pendidik, termasuk rekrutmen ketua pengasuh  sekolah minggu. Implementasi kewenangan tersebut selama ini menunjukkan dua kecenderungan yaitu:
Subjek yang teramati ditemukan pengangkatan mereka sebagai ketua pengasuh sekolah mingu terdapat dua macam cara pengangkatan; pertama pengangkatan tidak prosedural, dikatakan tidak prosedural karena tidak melalui proses rekrutmen seperti yang di ataur pada Peraturan yang tertuang dalam ADART Gereja  Injili Di Indonesia (GIDI).
2)     Tahap Instalasi (installaition stage)
Pada tahap ini adalah tahap standar rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu, dalam Peraturan ADRT Gereja Injili Di Indonesia tentang Penugasan Guru sekolah minggu sebagai Kepala Pengasuh Sekolah minggu.
rekrutmen tenga pengar sesuai dengan kebutuhan jemaat, agar pelayanan sekolah
 minggu berjalan sesuai dengan harapan gereja.
3)    Aspek administrasi
Peraturan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) menegaskan bahwa seorang guru sekolah minggu dapat diusulkan menjadi calon kepala sekolah minggu akan diusulkan oleh Pendeta, dan anggota Majelis setempat, agar memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu antara lain: 1) memiliki kualifikasi akademik paling rendah lulusan Sarjana Lulusan (S. 1) atau diploma empat (D- IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi, 2) tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 3) pengalaman mengajar. Memiliki lisensi sertifikat pengasuh sekolah minggu, tidak pemabuk, sudah bertobat dan lahir baru di dalam Yesus Kristus. Memiliki pengetahuan Alkitab yang cukup memadai. Seorang pengasuh sekolah minggu yang kreatif. memiliki kecakapan komunikasi, humoris, tidak pemara. Apabila syarat-syarat administrasi tersebut dipenuhi maka selanjutnya calon kepala pengasuh sekolah minggu mengikuti seleksi bidang kerohanian berupa penilaian kepemimpinan dan penguasaan kompetensi sebagai kepala pengasuh sekolah minggu di gereja sebelum dia melayani sepenuhnya.

4)    Aspek penyiapan sumber daya manusia
Setelah lulus seleksi kecakapan kompetensi, maka pihak penguji materi program sekolah minggu memberikan lisensi atau sertifikat pengasuh dan kepalah guru sekolah minggu agar dapat melayani dengan sepenuh hati di gereja. Kepalah Pengasuh Sekolah Minggu, diharus memiliki kemampuan akdemisi dibidang Teologis, supaya menyiapkan materi atau bahan-bahan pengajaran dalam pembangunan sumberdaya manusia  dalam gereja bisa terarah secara baik dan benar.
5)    Aspek proses pengangkatan
Ada sebuah proses perekrutan yang harus dilalui sebelum Pendeta atau Gembala Jemaat yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan pengangkatan seorang kepala pengasuh sekolah minggu. Bukan sekedar pelantikan dan pengangkatan, proses pengangkatan didahului dengan penilaian tim akseptabilitas atau tim seleksi yang dibentuk Majelis Jemaat, didasarkan pada penilaian tim aseptabilitas, objektifitas terhadap calon kepala pengasuh sekolah minggu yang dinilai layak menjadi kepala Pengasuh sekolah minggu atau tidak.

6)    Aspek strategis implementasi
Jabatan Kepala sekolah Minggu bukanlah jabatan seumur hidup atau seumur penguasa daerah berkuasa yang mengangkat kepala sekolah. Dalam Peraturan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) telah diatur tentang masa jabatan ketua pengasu sekolah minggu. Dinyatakan bahwa ketua pengasuh sekolah minggu diberi 1 (satu) kali masa tugas selama 3  tahun. Apabilah ketua Pengasu sekolah minggu melaksanakan program sekolah minggu dengan baik dan benar, sesuai kurikulum, maka masa kontrak kerjanya diperpanjang. Dasar pertimbangan adalah penilaian kinerja kepala pengasuh sekolah minggu yang dilaksanakan setiap tahun oleh Ketua Majelis, komulatif selama 3 tahun yang dijadikan staandar seorang kepala sekolah minggu layak untuk diangkat kembali ataau tidak.
7)    Aspek sistem pelaksanaan evaluasi
Dalam Peraturan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) dijelaskan bahwa kepala pengasuh sekolah minggu  yang masa tugasnya berakhir, tetap melaksanakan tugas sebagai guru sekolah minggu sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran atau bimbingan dan konseling sesuai dengan ketentuan. Berkenaan masa tugas ini, faktor lain yang menentukan  adanya penilaian kinerja kepala pengasuh sekolah minggu dilaksanakan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif setiap 3 tahun. Berdasarkan pertimbangan standar ini seorang kepala pengasuh sekolah minggu yang masa tugasnya berakhir, tetap melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran, hal ini menjelaskan bahwa guru dalam tugas tambahan sebagai kepala pengasuh sekolah minggu adalah proses life cicle yang merupakan sistem implementasi rekrutmen kepala sekolah.

BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.   Kesimpulan
Evaluasi Program tahunan harus dilaksanakan, karena hasil evaluasi menentukan maju-mundurnya dan mati hidupnya suatu organisasi yang besar. Melalui evaluasi dapat memunculkan suatu rahasi yang terpendam maupun terlahir muncul di permukaan. Seorang pemimpin, dalam hal ini guru sekolah minggu akan sadar apabilah evaluasi diadakan, evaluasi adalah vorum terbuka mengumumkan kiritik, saran, dan mengkontribusikan program baru dan menyetujui program yang ada. Dalam evaluasi memberikan suatu penjelasan mengenai kwalifikasi seorang guru sekolah minggu, kompetensinya, kepribadianya, sosialnya, moralnya, dan imanya, serta pengalaman lahir barunya. Semuanya sudah di evaluasi. dalam evaluasi semua pihak terlibat untuk menentukan, arah menetabkan bahan pengajaran, membuang yang tidak berkembang dan menetabkan yang berjalan dengan baik dan benar sesuai kurikulum sekolah minggu.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan evaluasi program pelayanan sekolah minggu tahunan, dan pelaksanaan rekrutmen calon kepala sekolah di lingkungan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) dapat dilaksanakan, dengan menggunakan model evaluasi kebijakan Discrepancy Evaluation Modle (DEM) atau model kesenjangan.
B.   Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan yang dituliskan pada bab-bab sebelumnya, maka dengan ini di sampaikan rekomendasi untuk perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan kebijakan implementasi rekrutmen calon kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kutai Kartanegara sebagai berikut :
1.    Perlu segera dijalankan program sekolah sesuai dengan aturan gereja  mengingat dampak yang ditimbulkan sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu kepala pengasuh sekolah minggu.
2.    Meningkatkan kompetensi kepala pengasuh sekolah minggu perlu segera dilakukan karena pendidikan dan pelatihan, agar kualitas pendidikan kerohanian  dapat meningkat.
3.    Mendorong kepada guru sekolah minggu dan melibatkan para pemangku jabatan untuk meningkatkan dan mengembangkan sistem rekrutmen calon kepala pengasuh sekolah minggu lebih terbuka dan transparan untuk dapat menjadi pemimpin yang bijaksana.
4.    Meningkatakan komitmen menjadi guru sekolah minggu kapan dan dimana saja dalam situasi apapun.






[1] Rubbert C. Bogdan and Sari Knop Biklen, Qualitative Research for Education (Boston:Allyn and       Bacon, 1982), hh.68-70
[2] Burhan Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003), hh. 60-61.
[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006) h. 175.
[4] Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1999), h. 177..
[5] Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Prenada Media Grup, 2009), h. 116.
[6] Joseph A. Maxwell, Qualitative Research Design: An Interactive Approach (London: Sage Publications, 1996), h. 74.
[7] Holloway, I & Wheeler, S. Qualitative Research for Nurses. (London: Blackwell Science, 1996), h. 23.
[8] Robinson, J.P. “Phases of The Qualitative Research Interview With Institutionalized Elderly Individuals,” Journal of Gerontological Nursing; Nov 2000; 26, 11; Pro Quest Medical Library, 2000. h. 17.
[9] Corrine Glesne & Alan Peshkin, Becoming Qualitative Researchers, An Introduction. (London: Sage Publiction, 1992), h. 73.
[10] J.W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (London: Sage Publication, 2003), h. 197.