Kamus menawarkan defiinisi berikut
ini untuk ”agama” – ”kepercayaan kepada Allah atau illah yang biasanya
diwujudkan dalam perbuatan dan upacara; suatu sistim kepercayaan, penyembahan,
dll., seringkali dengan kode etik tertentu.” Dalam terang definisi ini, Alkitab
ada berbicara mengenai agama yang diatur, dan dalam banyak kasus, tujuan dan
dampak dari ”agama yang diatur” bukanlah sesuatu yang menyenangkan Tuhan.
Berikut ini adalah beberapa contoh di mana agama yang diatur dicantumkan.
Kejadian
11:1-9: Barangkali ini adalah contoh yang paling awal mengenai agama yang
diatur, para keturunan Nuh mengorganisasikan diri mereka untuk membangun menara
karena percaya bahwa jikalau mereka dapat membangun menara yang cukup tinggi
mereka dapat diselamatkan. Mereka percaya bahwa kesatuan mereka lebih penting
daripada hubungan mereka dengan Allah. Allah turun tangan dan mengacaukan
bahasa mereka sehingga memecahkan agama ini.
Keluaran
6 dan seterusnya: Allah telah menjanjikan Abram (Abraham) hubungan yang khusus
antara keturunannya dan Allah. Namun kita melihat bahwa hal ini ”diatur” untuk
sebuah bangsa diawali pada saat keluaran dan terus berlanjut sepanjang sejarah
orang-orang Israel. Sepuluh Hukum, Tabernakel, sistim korban, dll, semua diatur
oleh Allah untuk diikuti oleh orang-orang Israel. Studi lebih lanjut terhadap
Perjanjian Baru memperjelas bahwa tujuan akhir dari agama ini adalah untuk
membawa para pengikutnya kepada Kristus (Galatia 3; Roma 7). Namun demikian, banyak
yang salah mengerti dan menyembah elemen-elemennya dan bukannya Allah yang
sejati.
Hakim-Hakim
dan seterusnya: Banyak konflik yang dialami oleh orang-orang Israel melibatkan
konflik dari agama yang diatur. Contoh-contohnya meliputi Baal (Hakim-Hakim 6;
1 Raja-Raja 18); Dagon (1 Samuel 5), Molekh (2 Raja-Raja 23:10). Allah
menggunakan agama-agama ini untuk menyatakan kuasaNya dengan mengalahkan
mereka.
Kitab-Kitab
Injil: Orang-orang Farisi dan Saduki mewakili agama yang diatur pada zaman
Kristus. Yesus terus menerus menegur kesalahan pengajaran mereka dan
kemunafikan cara hidup mereka. Banyak dari antara mereka yang bertobat dari
agama yang diatur ini – Paulus adalah salah satu contoh.
Surat-surat:
Ada kelompok-kelompok yang mencampur-adukkan Injil dengan tuntutan-tuntutan
perbuatan-perbuatan baik tertentu. Mereka juga mendesak dan menekan orang-orang
percaya untuk mengubah dan menerima agama baru ini. Jemaat-jemaat di Galatia
dan Kolose diperingatkan soal ini.
Wahyu: Bahkan pada zaman akhir agama yang diatur akan memiliki dampak yaitu
saat Antikristus mendirikan satu agama untuk seluruh dunia.
Pada
umumnya hasil dari ”agama yang diatur” adalah mengacaukan orang dari rencana
Allah. Namun demikian, Alkitab juga berbicara mengenai orang-orang Kristen yang
diorganisir (orang-orang percaya) yang adalah merupakan bagian dari rencanaNya.
Dia menyebut mereka gereja-gereja. Penggambaran dalam Kitab Kisah Rasul dan
Surat-Surat memberi petunjuk bahwa gereja perlu diatur dan saling bergantung
satu dengan yang lain. Organisasi menghasilkan perlindungan, produktifitas dan
kemampuan untuk menjangkau keluar (Kisah Rasul 2:41-47).
Dalam
hal ini gereja lebih tepat disebut ”relasi yang diatur.” Tidak ada kemauan
untuk mencari Allah (Allahlah yang telah menjangkau mereka). Tidak ada
kesombongan (semua diterima karena anugerah). Sepantasnyalah tidak ada
percekcokan mengenai kepemimpinan (Kristus adalah Kepala – Kolose 1:18).
Seharusnya tidak ada prasangka (Kita semua satu di dalam Kristus – Galatia
3:28). Masalahnya bukanlah soal diatur. Yang menjadi masalah adalah sekedar
mengikuti agama.
Pemisahan
Alkitabiah adalah pengakuan bahwa Allah telah memanggil orang-orang percaya
keluar dari dunia dan untuk mempertahankan kesucian pribadi dan bersama di
tengah budaya yang berdosa. Pemisahan Alkitabiah biasanya dipertimbangkan dalam
dua bagian: pribadi dan gerejawi.
Pemisahan
pribadi meliputi komitmen individu tsb. pada cara hidup yang saleh. Daniel
mempraktekkan pemisahan pribadi ketika dia “berketetapan untuk tidak menajiskan
dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja” (Daniel
1:8). Apa yang dilakukannya adalah pemisahan Alkitabiah karena standarnya
adalah berdasarkan penyataan Allah dalam hukum Musa.
Contoh
modern dari pemisahan pribadi misalnya adalah keputusan untuk menolak undangan
pesta di mana alkohol disajikan. Keputusan semacam ini mungkin dilakukan untuk
mencegah pencobaan (Roma 13:14), untuk menjauhi “segala jenis kejahatan” (1
Tesalonika 5:22), atau untuk tetap konsisten dengan keyakinan pribadi (Roma
14:5).
Alkitab
dengan jelas mengajarkan bahwa anak Allah harus terpisah dari dunia, “Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat
antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan
orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita
adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam
bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan
menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku. Sebab itu: Keluarlah
kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan
janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus
6:14-17; lihat juga 1 Petrus 1:14-16).
Pemisahan
gerejawi mencakup keputusan dari suatu gereja dalam kaitan hubungannya dengan
organisasi lainnya, berdasarkan pada teologia atau praktek gereja. Pemisahan
tersirat dalam kata “gereja.” Kata Yunani ekklesia berarti “kumpulan yang
dipanggil keluar.” Dalam surat Yesus kepada jemaat Pergamus, Dia memperingatkan
untuk tidak bertoleransi dengan mereka yang mengajarkan doktrin yang salah
(Wahyu 2:14-15). Gereja harus terpisah, memutuskan hubungan dengan ajaran
sesat. Contoh modern dari pemisahan gerejawi adalah sikap denominasi yang
menolak kesatuan oikumenis untuk menghindari kesatuan dengan mereka yang
murtad.
Pemisahan
Alkitabiah tidak mengharuskan orang-orang Kristen untuk tidak berhubungan
dengan orang-orang tidak percaya. Sama seperti Yesus, kita harus berteman
dengan orang-orang berdosa tanpa ambil bagian dalam dosa (Lukas 7:34). Paulus
mengungkapkan pandangan yang seimbang soal pemisahan: “Dalam suratku telah
kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang
aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini
…karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini” (1 Korintus 5:9-10).
Dengan kata lain, kita ada di dalam dunia, namun bukan dari dunia.
The
Pilgrim’s Progress karya John Bunyan menyediakan contoh yang indah mengenai
pemisahan Alkitabiah: Kristen dan Setiawan berjalan bersama melalui Kota
Kesia-siaan, di mana ada sebuah Pasar, karena “jalan menuju Kota Surgawi harus
melalui kota ini … orang yang menuju ke Kota itu, namun belum melalui kota ini
harus keluar dari dunia.” Di Pasar itu orang-orang Kesia-siaan terheran-heran
dengan kata-kata, pakaian dan nilai kehidupan sang Musafir. Fakta bahwa mereka
adalah “orang-orang asing dan pendatang” (Ibrani 11:13) memisahkan mereka dari
orang dunia.
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
– apa bedanya?
Perjanjian Lama meletakkan dasar untuk pengajaran-pengajaran
dan peristiwa-peristiwa
dalam Perjanjian Baru. Alkitab adalah wahyu progresif.
Jikalau Anda melangkahi setengah
Anikmas
dari buku yang bagus dan berusaha untuk
menamatkannya, Anda akan sulit untuk memahami para pemerannya, jalan ceritanya
dan bagian akhirnya. Demikian pula, Perjanjian Baru hanya dapat dipahami secara
utuh ketika dipandang sebagai sesuatu yang dibangun di atas dasar
peristiwa-peristiwa, para pemeran, hukum, sistem persembahan, perjanjian dan
berbagai janji Perjanjian Lama.
Jika
kita hanya memiliki Perjanjian Baru (PB) kita akan datang kepada Injil tanpa
mengetahui mengapa orang-orang Yahudi mencari Mesias (Raja Penyelamat). Tanpa
PL, kita tidak akan mengerti mengapa Mesias datang (lihat Yesaya 53); kita
tidak dapat mengenali Yesus, orang Nazaret itu, sebagai Mesias melalui berbagai
nubuat mendetil mengenai Dia (tempat kelahiranNya (Mikha 5:2); cara kematianNya
(Mazmur 22, khusus ayat 1, 7-8, 14-18; Mazmur 69:21, dll), kebangkitanNya
(Mazmur 16:10), dan banyak lagi detil pelayananNya (Yesaya 52:13; 9:2, dll).
Tanpa
PL kita tidak dapat memahami adat istiadat orang-orang Yahudi yang disebutkan
secara sambil lalu dalam PB. Kita tidak akan dapat memahami pemutarbalikan yang
dilakukan orang-orang Farisi terhadap hukum Allah saat mereka menambahkan
kebiasaan mereka sendiri pada hukum itu. Kita tidak akan mengerti mengapa Yesus
begitu marah ketika Dia menyucikan halaman Bait Allah. Kita tidak akan mengerti
bahwa kita dapat menggunakan hikmat yang sama yang digunakan Kristus ketika
berulang kali Dia menanggapi para seterunya (baik manusia maupun Iblis).
Demikian
pula halnya kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul dalam Perjanjian Baru
mencatat banyak penggenapan nubuat yang diutarakan ratusan tahun terdahulu
dalam Perjanjian Lama. Banyak dari nubuat-nubuat ini berhubungan dengan
kedatangan pertama dari Mesias. Dalam kelahiran, kehidupan, mujizat, kematian
dan kebangkitan Yesus sebagaimana ditemukan dalam kitab-kitab Injil kita
mendapatkan penggenapan dari nubuat-nubuat Perjanjian Lama yang bertalian
dengan kedatangan yang pertama dari Mesias.
Detil-detil inilah yang mengokohkan
klaim Yesus bahwa Dia adalah Kristus yang dijanjikan. Bahkan nubuat-nubuat
dalam Perjanjian Baru (banyak di antaranya terdapat dalam kitab Wahyu) adalah
berdasarkan nubuat yang terdahulu yang terdapat dalam kitab-kitab Perjanjian
Lama. Nubuat-nubuat Perjanjian Baru ini berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
sekitar kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Kurang lebih dua dari tiga ayar
Wahyu adalah berdasarkan ayat-ayat Perjanjian Lama.
PL
juga mengandung berbagai pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan banyak
tokoh yang jatuh dalam dosa. Dengan mengamati kehidupan mereka kita dapat
didorong untuk percaya kepada Allah apapun yang terjadi (Daniel 3) dan tidak
berkompromi dalam hal-hal yang sepele (Daniel 1) sehingga pada akhirnya kita dapat
setia dalam hal-hal yang besar (Daniel 6). Kita belajar bahwa paling baik
mengaku dosa secepatnya dan dengan sungguh-sungguh serta bukannya melemparkan
kesalahan (1 Samuel 15). Kita dapat belajar untuk tidak bermain-main dengan
dosa karena dosa akan menerkam kita dan gigitannya mematikan (lihat Hakim-Hakim
13-16).
Kita
dapat belajar bahwa kita perlu bersandar (dan taat) kepada Allah jika kita mau
mengalami kehidupan tanah-perjanjian Allah dalam hidup ini dan firdaus di
kemudian waktu (Bilangan 13). Kita belajar bahwa jika kita membayangkan hal-hal
berdosa, kita sementara mempersiapkan diri untuk berdosa (Kejadian 3, Yosua
6-7). Kita belajar bahwa dosa memiliki konsekwensi bukan hanya untuk diri kita
sendiri, namun juga untuk orang-orang sekitar kita yang kita kasihi, dan
sebaliknya, perbuatan baik kita bukan hanya berpahala untuk diri sendiri, namun
juga untuk orang-orang yang ada di sekitar kita (Kejadian 3; Keluaran 20:5-6).
Dalam Perjanjian Baru kita memiliki
teladan Petrus untuk kita pelajari – bahwa kita tidak boleh bersandar pada
kekuatan kita sendiri karena kalau demikian kita AKAN gagal (Matius 26:23-41).
Dalam kata-kata dari penyamun di salib, kita melihat bahwa melalui iman yang
sederhana dan tulus kita akan diselamatkan dari dosa-dosa kita (Lukas
23:39-43). Kita juga melihat bagaimana ciri gereja Perjanjian Baru yang
bersemangat (Kisah 2:41-47; 13:1-3, dll).
Juga
karena wahyu Alkitab bersifat progresif, Perjanjian Baru memperjelas
pengajaran-pengajaran yang hanya dikiaskan dalam Perjanjian Lama. Kitab Ibrani
menggambarkan bagaimana Yesus adalah Imam Besar yang sejati dan pengorbananNya
yang sekali itu menggantikan semua korban yang hanya merupakan gambaran dari
pengorbananNya.
Perjanjian Lama memberikan Hukum
yang terdiri dari dua bagian: perintah dan berkat/kutuk yang bersumber dari
ketaatan atau ketidaktaatan pada perintah-perintah itu. Perjanjian Baru
memperjelas bahwa Allah memberi perintah-perintah ini untuk memperlihatkan
kebutuhan manusia akan keselamatan dan bukan untuk menjadi jalan keselamatan
(Roma 3:19).
Perjanjian
Lama menggambarkan sistem persembahan yang diberikan Allah kepada orang-orang
Israel untuk secara sementara waktu menutupi dosa-dosa mereka. Perjanjian Baru
memperjelas bahwa sistem ini hanyalah kiasan dari pengorbanan Kristus yang
melaluinya keselamatan dapat diperoleh (Kisah 4:12, Ibrani 10:4-10). Perjanjian
Lama memperlihatkan firdaus yang hilang; Perjanjian Baru memperlihatkan firdaus
yang diperoleh kembali melalui Adam yang kedua (Kristus) dan bagaimana suatu hari
itu akan dipulihkan kembali.
Perjanjian
Lama menyatakan bahwa manusia terpisah dari Allah karena dosa (Kejadian 3), dan
Perjanjian Baru menyatakan bahwa manusia sekarang dapat dipulihkan kembali
hubungannya dengan Allah (Roma 3-6). Perjanjian Lama menubuatkan kehidupan
Mesias. Kitab-kitab Injil pada umumnya mencatat kehidupan Yesus dan Surat-Surat
menafsirkan kehidupanNya dan bagaimana kita harus menanggapi segala yang telah
dan akan dilakukanNya.
Kembali,
sekalipun Perjanjian Baru adalah gambar yang “lebih jelas,” Perjanjian Lama
tidak kalah pentingnya. Selain meletakkan dasar untuk Perjanjian Baru, tanpa PL
kita tidak memiliki dasar untuk menentang kesalahan pemutarbalikan politik
dalam masyarakat kita di mana evolusi dipandang sebagai pencipta dari semua
spesies selama jutaan tahun (dan bukannya hasil dari penciptaan Allah secara
khusus dalam enam hari secara harafiah). Kita akan menerima bahwa pernikahan
dan keluarga adalah struktur yang berevolusi yang harus terus berubah seiring
dengan perubahan masyarakat, dan bukannya sebagai desain Allah untuk
membesarkan anak-anak yang saleh dan untuk melindungi mereka yang kalau tidak
akan dimanipulasi dan disalahgunakan (paling sering adalah perempuan dan
anak-anak).
Tanpa
PL, kita tidak akan dapat mengerti janji-janji yang masih akan digenapi Allah
terhadap bangsa Yahudi. Akibatnya, kita tidak dapat secara tepat melihat bahwa
masa kesengsaraan besar adalah masa tujuh tahun di mana Allah akan secara
khusus berkarya dengan bangsa Yahudi yang dulunya menolak kedatanganNya yang
pertama namun akan menerima Dia pada kedatanganNya yang kedua kali. Kita tidak
akan memahami bagaimana pemerintahan 1.000 tahun Yesus adalah sesuai dengan
janji-janjiNya kepada orang-orang Yahudi dan juga bagaimana itu cocok dengan
bangsa-bangsa bukan Yahudi. Kita juga tidak akan dapat melihat bagaimana bagian
akhir dari Alkitab menyimpulkan hal-hal yang belum selesai yang dimulai di
bagian awal dari Alkitab, bagaimana Allah akan memulihkan dunia ini menjadi
firdaus sebagaimana yang direncanakanNya, dan bagaimana kita akan menikmati
hubungan yang dekat dengan Allah secara pribadi sebagaimana yang terjadi di
taman Eden.
Secara
ringkas, Perjanjian Lama meletakan dasar dan untuk mempersiapkan bangsa Israel
untuk kedatangan Mesias yang akan mengorbankan diriNya bagi dosa-dosa mereka
(dan bagi dosa-dosa dunia). Perjanjian Baru menceritakan kehidupan Yesus
Kristus dan kemudian menoleh ke belakang kepada apa yang dilakukanNya dan
bagaimana seharusnya kita menanggapi karunia hidup kekal dan menghidupi
kehidupan kita dengan rasa syukur untuk segala yang telah diperbuatNya bagi
kita (Roma 12). Kedua Perjanjian ini mengungkapkan Allah yang sama sucinya,
sama pemurahnya dan sama adilnya, yang harus menghukum dosa namun ingin membawa
orang-orang berdosa kepada diriNya melalui pengampunan yang hanya dimungkinkan
melalui korban penebusan Kristus sebagai pembayaran untuk dosa. Dalam kedua
Perjanjian, Allah mengungkapkan diriNya kepada kita dan bagaimana kita harus
datang kepadaNya melalui Yesus Kristus. Dalam kedua Perjanjian kita mendapatkan
segala yang kita perlukan untuk hidup kekal dan hidup yang saleh (2 Timotius
3:15-17).[1]
Definisi
: Sebuah pemahaman bahwa segala hal yang di tulis di dalam Alkitab adalah
benar.Makna : Ineransi merupakan sebuah ajaran yang menekankan bahwa isi
Alkitab itu adlah firman Allah karena yang menjadi pedoman adalah Allah dan
Allah tidak pernah salah, yang berubah adalah pandangan atau tafsiran manusia
terhadap ayat-ayat dalam Alkitab itu, tetapi isi Alkitab itu sendiri tidak
berubah karena mereka pun menganggap bahwa Alkitab sendiri diilhami oleh roh
kudus sehingga kemungkinan untuk salah itu sanagt sedikit bahkan tidak mungkin
salah.
Ineransi
itu sendiri tidak hanya berlaku pada Alkitab tetapi juga pada semua bidang
pengetahuan dan bahkan di semua aspek kehidupan.
Hal ini
karena manusia dengan segala pengetahuannya adalah ciptaan Tuhan. Menurut
ajaran ini, Tuhan tidak salah jadi semua yang Ia ciptakan juga tidak salah.
Pemahaman
ini kemudian menjadi salah jika manusia menutup-nutupi atau mambenarkan
kesalahan sesamanya karena anggapan tersebut kembali lagi kepada Allah benar,
maka semua ciptaan-Nya benar.
atas perhatiannya sampaikan terimakasi... wawawawa....
Supremasi Alkitab: Inspirasi Verbal dan
Ineransi Alkitab
Oleh
Matius Sobolim, S. Th.
Allah Wene/ Alkitab
Alkitab sering dan bahkan sampai dengan saat ini menjadi problematika yang
klasik dalam kekristenan karena pernyataan yang mengatakan bahwa Alkitab adalah
firman Allah. Masalah ini timbul sebagai reaksi atas persoalan dogmatis yang
seakan-akan memenjarakan pemikiran umat untuk bertanya: mengapa Alkitab disebut
Firman Allah? Padalah Alkitab hadir dalam proses sejarah yang berarti bahwa
Alkitab adalah karya manusia yang berdosa sehingga berimplikasi terhadap
ketidaksempurnaan yang bisa terdapat dalam Alkitab. Maka, dengan sendirinya
Alkitab tidak layak disebut Firman Allah karena mengandung kesalahan atau jauh
dari kesempurnaan dalam standar Allah. Beberapa pertanyaan lain yang sering
ditujukan kepada Alkitab seperti: apakah Alkitab berasal dari Allah? Bagaimana
Alkitab ditulis? Apakah Alkitab bisa salah? Dan mengapa kita harus mengandalkan
Alkitab?
Penelaahan yang bisa dilakukan untuk melihat kembali Alkitab sebagai hasil karya
manusia yang berdosa [yang berpeluang kepada ketidaksempurnaan dalam Alkitab]
dapat dilakukan melalui dua hal penting yaitu inspirasi dan ineransi Alkitab.
Kedua istilah ini harus digunakan secara runtut dan koheren karena keduanya
saling terkait satu dengan yang lainnya. Ketika kita memahami apa dan bagaimana
inpirasi itu, dengan sendiri kita dapat memahami ineransi Alkitab. Artinya jika
kita memahami bagai mana Alkitab itu diilhamkan, kita akan melihat bahwa tidak
bisa salah atau benar adalah Firman Allah. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan
tersebut termaktub dalam dua istilah dalam sejarah lahirnya Alkitab, inspirasi
Alkitab dan inspirasi Alkitab.
A.Inspirasi
Alkitab
Kata “inspirasi” ini memiliki makna khusus dalam term ini karena diambil dari
istilah Alkitab dalam bahasa Yunani theopneustos (1 Tim.3:15-16) yang berarti
dihembuskan Allah atau secara teologis dapat juga disebut diverbalkan
Allah—verbal plenary. Oleh sebab itu pada umumnya, kata inspirasi Alkitab
dimengerti sebagai pimpinan Roh Kudus atas para penulis Alkitab. Artinya ketika
Alkitab ditulis, itu semua merupakan hasil karya Roh Kudus, sehingga meskipun
Alkitab ditulis oleh kurang lebih 40 penulis yang berbeda dengan latar belakang
profesi, lokasi, situasi sosial politik dan budaya yang berbeda-beda dalam
kurun waktu lebih dari 1500 tahun. Namun hasilnya terlihat begitu menakjubkan,
adanya suatu kesatuang yang utuh dan harminis nampak seperti ditulis oleh satu
orang saja. Oleh sebab itu ispirasi biasanya didefinisikan sebagai sustu pengaruh
supranatural Roh Kudus yang menggerakkan para penulis Alkitab dari nyata bahwa
Alkitab berasal dari Allah, memiliki otoritas, tanpa salah, dan kekal. Ini
adalah nilai-nilai ilahi. Jadi keutuhan yang menakjubkan dari Alkitab menjadi
jelas bahwa itu adalah karya Roh Kudus.
Supremasi Alkitab datang dari Allah sendiri yang telah “menafaskan” Alkitab
tersebut sehingga yang tanpa salah adalah tulisan dalam Alkitab, pada naskah
aslinya, bukan orang yang menulis. Allah yang menjadi sumber segala tulisan
dalam Alkitab. Sekalipun Alkitab ditulis oleh manusia, tidak dihasilkan oleh
keinginan atau bukan hasil dari manusia (person) yang menulis tersebut tetapi
atas dorongan Roh Kudus, mereka berbicara atas nama Allah (2 Pet. 1:21).
Sekalipun dalam Alkitab terdapat juga unsur atau aspek manusia seperti gaya
penulisan, pengalaman pribadi yang berkaitan, dan bahkan gaya bahasa juga
berbeda, sudut pandang dan aspek lainnya, tetapi Allah dalam Roh Kudus
mengawasi mereka sebagai hamba Allah yang hidup dan aktif.
Sekalipun demikian, tidak sedikit orang yang pemahaman yang keliru tentang
inspirasi Alkitab. Ada beberapa istilah seperti inspirasi natural yang
meniadakan unsur supranatural Roh Kudus dalam penulisan Alkitab, iluminasi
spiritual, inspirasi parsial atau dinamis yang membedakan isi Alkitab dalam dua
bagian, ada yang diilhamkan seperti hal-hal praktis yang berkaitan dengan iman
sedangkan, yang berhubungan dengan sejarah tidak atau bisa salah. Pandangan
lain yang keliru adalah inspirasi konseptual yang mengatakan bahwa Allah hanya
mengispirasikan konsepnya saja sedangkan kata-kata dalam Alkitab adalah hasil
dakehendak penulis tanpa dikontrol oleh Allah. Kebalikan dari teori ini, ada
yang mengatakan bahwa penulis Alkitab hanya sekedar mesin tulis dimana setiap
kata dan titik koma diucapkan oleh Allah atau didiktekan.
Sebagai respon atas pandangan-pandangan tersebut, Alkitab diteguhkan oleh Yesus
sendiri sebagai firman yang hidup bahwa inspirasi Alkitab dilakukan secara
menyeluruh sehingga tidak satu huruf pun yang akan berlalu atau tidak boleh
dihilangkan sampai semuanya tergenapi [dalam Tuhan Yesus Kristus] (Mat.
5:17-18). Pernyataan ini merujuk kepada PL dimana huruf terkecil dalam bahasa
Ibrani (yodh). Sedangkan dalam PB, Yesus Kristus, Firman yang hidup (Yoh. 1:1)
itu sekaligus menjadi sumber inspirasi dan dalam penulisannya Roh Kudus terus
bekerja sehingga pembuatan PB dalam kurun waktu 100 tahun tetap mejadi satu
keutuhan. Paulus dalam semua tulisannya menggunakan kata Kitab Suci yang
keseluruhannya diilhamkan oleh Allah tidak hanya merujuk kepada PL tetapi juga
PB, semuanya bukan hasil karya manusia biasa tetapi yang ektra ordinary karena
Roh Kudus berkarya di dalamnya. Kesaksian Yesus sendiri menjadi peneguhan Allah
secara langsung terhadap seluruh Alkitab termasuk di dalamnya inspirasi verbal
baik melalui Yesus sendiri maupun dalam kebiasaan bercerita masyarakan Yahudi.
B.Ineransi Alkitab
Dari penjabaran tersebut di atas mengantar kita memahami apakah Alkitab bisa
salah, mengandung kesalahan. Kita telah melihat bahwa ke-ada-an Alkitab bukan
karena hasil karya manusia semata tetapi keseluruhannya adalah karya Roh Kudus
melalui para penulis. Hal ini berarti bahwa otoritas tertinggi adalah Allah.
Jika Allah yang bekerja dalam pembuatan Alkitab, Alkitab berkuasa dan tidak
mengandung kesalahan sedikitpun. Namun dengan demikian, untuk alasan perumusan
masalah dalam pertentangan akan ketidakbersalahan Alkitab, kita perlu
menjabarkan bagian ini secara khusus untuk dapat memahaminya secara utuh.
Kata ineransi (inerrant) yang dalam arti sederhana tidak ada kesalahan. Namun
dalam istilah teologis, tidak sesederhana itu. Kata ineransi dapat diartikan
bahwa Alkitab memiliki kualitas bebas dari salah, kemungkinan untuk kesalahan,
dan tidak dapat salah baik secara akademis, historis maupun spiritual. Untuk
lebih jelas dapat dipahami melalui sebuah silogisme sederhana yang menacu pada
topik sebelumnya bahwa Alkitab berasal dari Allah.
Premis 1: “Allah adalah benar.”
Premis 2: “Alkitab berasal (dinafaskan/diilhamkan) dari Allah.”
Silogisme: : Maka Alkitab adalah benar [karena diinspirasikan oleh Allah yang
benar].
Sekalipun demikian, ineransi tidak menuntut kekauan bukan berarti kompromi
terhadap kritik-kritik yang meragukan Alkitab karena Alkitab tidak bercerita
tentang kebenaran melainkan kebenaran dapat dan termasuk proses penulisan
Alkitab sepanjang masa tidak saling kontradiksi. Ineransi selalu merujuk kepada
manuskrip yang asli yang berarti bahwa pada waktu fakta diketahui, Alkitab
dalam tulisan aslinya, apabila diinterpretasikan dengan benar akan terlihat
sepenuhnya benar dalam setiap pengajarannya yang berhubungan dengan segala
aspek yang termaktub dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Dari silogisme di atas, maka segala kritik yang meragukan kewibawaan Alkitab
sesungguh sekaligus menjadi keraguan secara langsung terhadap natur Allah. Hal
ini bukan pembelaan skeptis tetapi sebuah koherensi yang runtut dalam
keseluruhan Alkitab. Dengan demikian, ineransi Alkitab dapat dimengerti bahwa
Alkitab benar dalam keselruhan dan dalam semua bagian, benar secara rohani,
historis dan akademis, secara moral, maksud dan peneguhan tidak bisa salah.
Allah berbicara kepada manusia dalam bahasa Alkitab (bisa disebut bahasa
manusia) yang sepenuhnya adalah penyataan Allah sehingga tidak dapat dipertentangkan
(secara umum pertentangan dalam iman dan penalaran).
Ketidak-kakuan dalam ineransi Alkitab dapat dilihat dalam beberapa hal bahwa
ineransi mengijinkan adanya keragaman dalam gaya bahasa, keragaman rincian
dalam menjelaskan peristiwa yang sama, untuk tidak menggunakan tata bahasa yang
standar, ayat-ayat problematik. Ineransi juga tidak menuntut laoran kata demi
kata dari suatu peristiwa dan juga tidak menuntut catatan itu mengajarkan
kesalahan atau kontradiksi. Jadi, otoritas Alkitab tidak kurang dari otoritas
Yesus Kristus sendiri karena Ia sendiri yang telah meneguhkan pengilhaman PL
dan menyajikan dan menjanjikan PB. Kesaksian Yesus dan para rasul bersifat
inerrant pada apa yang diajarkan. Alkitab yang ada saat ini adalah Firman
Tuhan. Ineransi menjadi doktrin yang penting apabila dimengerti dengan benar.
Alkitab berbicara secara akurat sesuai dengan kebenaran dalam semua
penyataannya;
baik itu hal teologis, historis, geografis dan geologis.
Sekalipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya kritik terhadap teori
ineransi Alkitab ini. Mengenai kebenaran dalam Alkitab, Erantis menyimpulkan
bahwa kesalahan-kesalahan dapat mengajarkan kebenaran. Hal ini tidak beralasan
karena mereka mencampuradukan hal-hal kronologis dengan hal teologis. Dari pernyataan
tersebut, muncul pernyataan bahwa apabila Alkitab tidak dapat dipercaya dalam
hal kronologis hiistoris, Alkitab juga tidak dapat dipercaya dalam hal
kebenaran akan berita keselamatannya. Hal ini sama dengan keraguan yang
ditujukan terhadap karakter Allah berkaitan dengan problem kejahatan.
C.Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjabaran singkat mengenai inspirasi dan
ineransi Alkitab tersebut diatas, ada beberapa term yang dapat dimasukan dalam
sebuah silogisme ganda berikut:
Premis 1 : “Allah adalah benar.”
Premis 2 : “Yesus, Firman Allah yang hidup adalah Allah, tidak berdosa/salah.”
Premis 3 : “Alkitab berasal (dinafaskan/diilhamkan) dari Allah.”
Kesimpulan : “Jadi, Alkitab adalah Firman Allah yang tanpa salah karena
diinspirasikan oleh Allah yang benar, dan diteguhkan oleh Yesus, Firman Allah
yang hidup yang tidak berdosa.”
Alkitab telah terbukti secara historis tanpa salah selama lebih dari 3500 tahun
sejak pembuatannya hingga hari ini, tidak ada satu keraguanpun yang ditujukan
kepada supremasi Alkitab yang bertahan selama itu. Tidak ada karya manusia yang
bertahan lebih dari dua abad, semuanya mengalami permaharuan. Itu berarti bahwa
Alkitab bukan karya manusia tetapi Allah, yang kekal. Akhirnya, ‘Segala tulisan
yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran
(2Ti 3:16)”. Jangan mempertanyakan otoritas Alkitab karena dengan demikian kita
mempertanyakan keberadaan Allah.
Sumber
Pustaka:________________________________________
Enns, Paul, The Moody Handbook of Theology, terj., Malang: Literatur SAAT, 2010
Bruggen, Jacob van, Siapa yang Membuat Alkita?, Surabaya: Penerbit Momentum,
2010
Geisler, Norman, dan Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan, terj.,
Yogyakarta: Yayasan Andi, 2010