Tampilkan postingan dengan label Alkitab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alkitab. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 April 2014

APAKAH ALKITAB MASIH RELEVAN PADA ZAMAN INI?


Apakah Alkitab masih relevan pada zaman ini? 

Oleh: Matius Soboliem, S. Th  

Kamus menawarkan defiinisi berikut ini untuk ”agama” – ”kepercayaan kepada Allah atau illah yang biasanya diwujudkan dalam perbuatan dan upacara; suatu sistim kepercayaan, penyembahan, dll., seringkali dengan kode etik tertentu.” Dalam terang definisi ini, Alkitab ada berbicara mengenai agama yang diatur, dan dalam banyak kasus, tujuan dan dampak dari ”agama yang diatur” bukanlah sesuatu yang menyenangkan Tuhan. Berikut ini adalah beberapa contoh di mana agama yang diatur dicantumkan.

            Kejadian 11:1-9: Barangkali ini adalah contoh yang paling awal mengenai agama yang diatur, para keturunan Nuh mengorganisasikan diri mereka untuk membangun menara karena percaya bahwa jikalau mereka dapat membangun menara yang cukup tinggi mereka dapat diselamatkan. Mereka percaya bahwa kesatuan mereka lebih penting daripada hubungan mereka dengan Allah. Allah turun tangan dan mengacaukan bahasa mereka sehingga memecahkan agama ini.

            Keluaran 6 dan seterusnya: Allah telah menjanjikan Abram (Abraham) hubungan yang khusus antara keturunannya dan Allah. Namun kita melihat bahwa hal ini ”diatur” untuk sebuah bangsa diawali pada saat keluaran dan terus berlanjut sepanjang sejarah orang-orang Israel. Sepuluh Hukum, Tabernakel, sistim korban, dll, semua diatur oleh Allah untuk diikuti oleh orang-orang Israel. Studi lebih lanjut terhadap Perjanjian Baru memperjelas bahwa tujuan akhir dari agama ini adalah untuk membawa para pengikutnya kepada Kristus (Galatia 3; Roma 7). Namun demikian, banyak yang salah mengerti dan menyembah elemen-elemennya dan bukannya Allah yang sejati.

            Hakim-Hakim dan seterusnya: Banyak konflik yang dialami oleh orang-orang Israel melibatkan konflik dari agama yang diatur. Contoh-contohnya meliputi Baal (Hakim-Hakim 6; 1 Raja-Raja 18); Dagon (1 Samuel 5), Molekh (2 Raja-Raja 23:10). Allah menggunakan agama-agama ini untuk menyatakan kuasaNya dengan mengalahkan mereka.

            Kitab-Kitab Injil: Orang-orang Farisi dan Saduki mewakili agama yang diatur pada zaman Kristus. Yesus terus menerus menegur kesalahan pengajaran mereka dan kemunafikan cara hidup mereka. Banyak dari antara mereka yang bertobat dari agama yang diatur ini – Paulus adalah salah satu contoh.

            Surat-surat: Ada kelompok-kelompok yang mencampur-adukkan Injil dengan tuntutan-tuntutan perbuatan-perbuatan baik tertentu. Mereka juga mendesak dan menekan orang-orang percaya untuk mengubah dan menerima agama baru ini. Jemaat-jemaat di Galatia dan Kolose diperingatkan soal ini.

Wahyu: Bahkan pada zaman akhir agama yang diatur akan memiliki dampak yaitu saat Antikristus mendirikan satu agama untuk seluruh dunia.

            Pada umumnya hasil dari ”agama yang diatur” adalah mengacaukan orang dari rencana Allah. Namun demikian, Alkitab juga berbicara mengenai orang-orang Kristen yang diorganisir (orang-orang percaya) yang adalah merupakan bagian dari rencanaNya. Dia menyebut mereka gereja-gereja. Penggambaran dalam Kitab Kisah Rasul dan Surat-Surat memberi petunjuk bahwa gereja perlu diatur dan saling bergantung satu dengan yang lain. Organisasi menghasilkan perlindungan, produktifitas dan kemampuan untuk menjangkau keluar (Kisah Rasul 2:41-47).

            Dalam hal ini gereja lebih tepat disebut ”relasi yang diatur.” Tidak ada kemauan untuk mencari Allah (Allahlah yang telah menjangkau mereka). Tidak ada kesombongan (semua diterima karena anugerah). Sepantasnyalah tidak ada percekcokan mengenai kepemimpinan (Kristus adalah Kepala – Kolose 1:18). Seharusnya tidak ada prasangka (Kita semua satu di dalam Kristus – Galatia 3:28). Masalahnya bukanlah soal diatur. Yang menjadi masalah adalah sekedar mengikuti agama.




APA ITU PEMISAHAN ALKITABIAH?


Apa itu pemisahan Alkitabiah?

Yesi Simbu, Anni Kobak, Matius Sobolim
Pemisahan Alkitabiah adalah pengakuan bahwa Allah telah memanggil orang-orang percaya keluar dari dunia dan untuk mempertahankan kesucian pribadi dan bersama di tengah budaya yang berdosa. Pemisahan Alkitabiah biasanya dipertimbangkan dalam dua bagian: pribadi dan gerejawi.

Pemisahan pribadi meliputi komitmen individu tsb. pada cara hidup yang saleh. Daniel mempraktekkan pemisahan pribadi ketika dia “berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja” (Daniel 1:8). Apa yang dilakukannya adalah pemisahan Alkitabiah karena standarnya adalah berdasarkan penyataan Allah dalam hukum Musa.

            Contoh modern dari pemisahan pribadi misalnya adalah keputusan untuk menolak undangan pesta di mana alkohol disajikan. Keputusan semacam ini mungkin dilakukan untuk mencegah pencobaan (Roma 13:14), untuk menjauhi “segala jenis kejahatan” (1 Tesalonika 5:22), atau untuk tetap konsisten dengan keyakinan pribadi (Roma 14:5).

            Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa anak Allah harus terpisah dari dunia, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku. Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus 6:14-17; lihat juga 1 Petrus 1:14-16).

            Pemisahan gerejawi mencakup keputusan dari suatu gereja dalam kaitan hubungannya dengan organisasi lainnya, berdasarkan pada teologia atau praktek gereja. Pemisahan tersirat dalam kata “gereja.” Kata Yunani ekklesia berarti “kumpulan yang dipanggil keluar.” Dalam surat Yesus kepada jemaat Pergamus, Dia memperingatkan untuk tidak bertoleransi dengan mereka yang mengajarkan doktrin yang salah (Wahyu 2:14-15). Gereja harus terpisah, memutuskan hubungan dengan ajaran sesat. Contoh modern dari pemisahan gerejawi adalah sikap denominasi yang menolak kesatuan oikumenis untuk menghindari kesatuan dengan mereka yang murtad.

            Pemisahan Alkitabiah tidak mengharuskan orang-orang Kristen untuk tidak berhubungan dengan orang-orang tidak percaya. Sama seperti Yesus, kita harus berteman dengan orang-orang berdosa tanpa ambil bagian dalam dosa (Lukas 7:34). Paulus mengungkapkan pandangan yang seimbang soal pemisahan: “Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini …karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini” (1 Korintus 5:9-10). Dengan kata lain, kita ada di dalam dunia, namun bukan dari dunia.

            The Pilgrim’s Progress karya John Bunyan menyediakan contoh yang indah mengenai pemisahan Alkitabiah: Kristen dan Setiawan berjalan bersama melalui Kota Kesia-siaan, di mana ada sebuah Pasar, karena “jalan menuju Kota Surgawi harus melalui kota ini … orang yang menuju ke Kota itu, namun belum melalui kota ini harus keluar dari dunia.” Di Pasar itu orang-orang Kesia-siaan terheran-heran dengan kata-kata, pakaian dan nilai kehidupan sang Musafir. Fakta bahwa mereka adalah “orang-orang asing dan pendatang” (Ibrani 11:13) memisahkan mereka dari orang dunia.





Minggu, 09 Juni 2013

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – apa bedanya



Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – apa bedanya


Oleh
Matius Soboliem, S. Th.





Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – apa bedanya?




Perjanjian Lama meletakkan dasar untuk pengajaran-pengajaran dan peristiwa-peristiwa 
dalam Perjanjian Baru. Alkitab adalah wahyu progresif. Jikalau Anda melangkahi setengah
Anikmas
dari buku yang bagus dan berusaha untuk menamatkannya, Anda akan sulit untuk memahami para pemerannya, jalan ceritanya dan bagian akhirnya. Demikian pula, Perjanjian Baru hanya dapat dipahami secara utuh ketika dipandang sebagai sesuatu yang dibangun di atas dasar peristiwa-peristiwa, para pemeran, hukum, sistem persembahan, perjanjian dan berbagai janji Perjanjian Lama.

            Jika kita hanya memiliki Perjanjian Baru (PB) kita akan datang kepada Injil tanpa mengetahui mengapa orang-orang Yahudi mencari Mesias (Raja Penyelamat). Tanpa PL, kita tidak akan mengerti mengapa Mesias datang (lihat Yesaya 53); kita tidak dapat mengenali Yesus, orang Nazaret itu, sebagai Mesias melalui berbagai nubuat mendetil mengenai Dia (tempat kelahiranNya (Mikha 5:2); cara kematianNya (Mazmur 22, khusus ayat 1, 7-8, 14-18; Mazmur 69:21, dll), kebangkitanNya (Mazmur 16:10), dan banyak lagi detil pelayananNya (Yesaya 52:13; 9:2, dll).

            Tanpa PL kita tidak dapat memahami adat istiadat orang-orang Yahudi yang disebutkan secara sambil lalu dalam PB. Kita tidak akan dapat memahami pemutarbalikan yang dilakukan orang-orang Farisi terhadap hukum Allah saat mereka menambahkan kebiasaan mereka sendiri pada hukum itu. Kita tidak akan mengerti mengapa Yesus begitu marah ketika Dia menyucikan halaman Bait Allah. Kita tidak akan mengerti bahwa kita dapat menggunakan hikmat yang sama yang digunakan Kristus ketika berulang kali Dia menanggapi para seterunya (baik manusia maupun Iblis).

            Demikian pula halnya kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul dalam Perjanjian Baru mencatat banyak penggenapan nubuat yang diutarakan ratusan tahun terdahulu dalam Perjanjian Lama. Banyak dari nubuat-nubuat ini berhubungan dengan kedatangan pertama dari Mesias. Dalam kelahiran, kehidupan, mujizat, kematian dan kebangkitan Yesus sebagaimana ditemukan dalam kitab-kitab Injil kita mendapatkan penggenapan dari nubuat-nubuat Perjanjian Lama yang bertalian dengan kedatangan yang pertama dari Mesias.



Detil-detil inilah yang mengokohkan klaim Yesus bahwa Dia adalah Kristus yang dijanjikan. Bahkan nubuat-nubuat dalam Perjanjian Baru (banyak di antaranya terdapat dalam kitab Wahyu) adalah berdasarkan nubuat yang terdahulu yang terdapat dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Nubuat-nubuat Perjanjian Baru ini berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Kurang lebih dua dari tiga ayar Wahyu adalah berdasarkan ayat-ayat Perjanjian Lama.

            PL juga mengandung berbagai pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan banyak tokoh yang jatuh dalam dosa. Dengan mengamati kehidupan mereka kita dapat didorong untuk percaya kepada Allah apapun yang terjadi (Daniel 3) dan tidak berkompromi dalam hal-hal yang sepele (Daniel 1) sehingga pada akhirnya kita dapat setia dalam hal-hal yang besar (Daniel 6). Kita belajar bahwa paling baik mengaku dosa secepatnya dan dengan sungguh-sungguh serta bukannya melemparkan kesalahan (1 Samuel 15). Kita dapat belajar untuk tidak bermain-main dengan dosa karena dosa akan menerkam kita dan gigitannya mematikan (lihat Hakim-Hakim 13-16).

            Kita dapat belajar bahwa kita perlu bersandar (dan taat) kepada Allah jika kita mau mengalami kehidupan tanah-perjanjian Allah dalam hidup ini dan firdaus di kemudian waktu (Bilangan 13). Kita belajar bahwa jika kita membayangkan hal-hal berdosa, kita sementara mempersiapkan diri untuk berdosa (Kejadian 3, Yosua 6-7). Kita belajar bahwa dosa memiliki konsekwensi bukan hanya untuk diri kita sendiri, namun juga untuk orang-orang sekitar kita yang kita kasihi, dan sebaliknya, perbuatan baik kita bukan hanya berpahala untuk diri sendiri, namun juga untuk orang-orang yang ada di sekitar kita (Kejadian 3; Keluaran 20:5-6).



Dalam Perjanjian Baru kita memiliki teladan Petrus untuk kita pelajari – bahwa kita tidak boleh bersandar pada kekuatan kita sendiri karena kalau demikian kita AKAN gagal (Matius 26:23-41). Dalam kata-kata dari penyamun di salib, kita melihat bahwa melalui iman yang sederhana dan tulus kita akan diselamatkan dari dosa-dosa kita (Lukas 23:39-43). Kita juga melihat bagaimana ciri gereja Perjanjian Baru yang bersemangat (Kisah 2:41-47; 13:1-3, dll).

            Juga karena wahyu Alkitab bersifat progresif, Perjanjian Baru memperjelas pengajaran-pengajaran yang hanya dikiaskan dalam Perjanjian Lama. Kitab Ibrani menggambarkan bagaimana Yesus adalah Imam Besar yang sejati dan pengorbananNya yang sekali itu menggantikan semua korban yang hanya merupakan gambaran dari pengorbananNya.



Perjanjian Lama memberikan Hukum yang terdiri dari dua bagian: perintah dan berkat/kutuk yang bersumber dari ketaatan atau ketidaktaatan pada perintah-perintah itu. Perjanjian Baru memperjelas bahwa Allah memberi perintah-perintah ini untuk memperlihatkan kebutuhan manusia akan keselamatan dan bukan untuk menjadi jalan keselamatan (Roma 3:19).

            Perjanjian Lama menggambarkan sistem persembahan yang diberikan Allah kepada orang-orang Israel untuk secara sementara waktu menutupi dosa-dosa mereka. Perjanjian Baru memperjelas bahwa sistem ini hanyalah kiasan dari pengorbanan Kristus yang melaluinya keselamatan dapat diperoleh (Kisah 4:12, Ibrani 10:4-10). Perjanjian Lama memperlihatkan firdaus yang hilang; Perjanjian Baru memperlihatkan firdaus yang diperoleh kembali melalui Adam yang kedua (Kristus) dan bagaimana suatu hari itu akan dipulihkan kembali.



            Perjanjian Lama menyatakan bahwa manusia terpisah dari Allah karena dosa (Kejadian 3), dan Perjanjian Baru menyatakan bahwa manusia sekarang dapat dipulihkan kembali hubungannya dengan Allah (Roma 3-6). Perjanjian Lama menubuatkan kehidupan Mesias. Kitab-kitab Injil pada umumnya mencatat kehidupan Yesus dan Surat-Surat menafsirkan kehidupanNya dan bagaimana kita harus menanggapi segala yang telah dan akan dilakukanNya.



            Kembali, sekalipun Perjanjian Baru adalah gambar yang “lebih jelas,” Perjanjian Lama tidak kalah pentingnya. Selain meletakkan dasar untuk Perjanjian Baru, tanpa PL kita tidak memiliki dasar untuk menentang kesalahan pemutarbalikan politik dalam masyarakat kita di mana evolusi dipandang sebagai pencipta dari semua spesies selama jutaan tahun (dan bukannya hasil dari penciptaan Allah secara khusus dalam enam hari secara harafiah). Kita akan menerima bahwa pernikahan dan keluarga adalah struktur yang berevolusi yang harus terus berubah seiring dengan perubahan masyarakat, dan bukannya sebagai desain Allah untuk membesarkan anak-anak yang saleh dan untuk melindungi mereka yang kalau tidak akan dimanipulasi dan disalahgunakan (paling sering adalah perempuan dan anak-anak).

            Tanpa PL, kita tidak akan dapat mengerti janji-janji yang masih akan digenapi Allah terhadap bangsa Yahudi. Akibatnya, kita tidak dapat secara tepat melihat bahwa masa kesengsaraan besar adalah masa tujuh tahun di mana Allah akan secara khusus berkarya dengan bangsa Yahudi yang dulunya menolak kedatanganNya yang pertama namun akan menerima Dia pada kedatanganNya yang kedua kali. Kita tidak akan memahami bagaimana pemerintahan 1.000 tahun Yesus adalah sesuai dengan janji-janjiNya kepada orang-orang Yahudi dan juga bagaimana itu cocok dengan bangsa-bangsa bukan Yahudi. Kita juga tidak akan dapat melihat bagaimana bagian akhir dari Alkitab menyimpulkan hal-hal yang belum selesai yang dimulai di bagian awal dari Alkitab, bagaimana Allah akan memulihkan dunia ini menjadi firdaus sebagaimana yang direncanakanNya, dan bagaimana kita akan menikmati hubungan yang dekat dengan Allah secara pribadi sebagaimana yang terjadi di taman Eden.

            Secara ringkas, Perjanjian Lama meletakan dasar dan untuk mempersiapkan bangsa Israel untuk kedatangan Mesias yang akan mengorbankan diriNya bagi dosa-dosa mereka (dan bagi dosa-dosa dunia). Perjanjian Baru menceritakan kehidupan Yesus Kristus dan kemudian menoleh ke belakang kepada apa yang dilakukanNya dan bagaimana seharusnya kita menanggapi karunia hidup kekal dan menghidupi kehidupan kita dengan rasa syukur untuk segala yang telah diperbuatNya bagi kita (Roma 12). Kedua Perjanjian ini mengungkapkan Allah yang sama sucinya, sama pemurahnya dan sama adilnya, yang harus menghukum dosa namun ingin membawa orang-orang berdosa kepada diriNya melalui pengampunan yang hanya dimungkinkan melalui korban penebusan Kristus sebagai pembayaran untuk dosa. Dalam kedua Perjanjian, Allah mengungkapkan diriNya kepada kita dan bagaimana kita harus datang kepadaNya melalui Yesus Kristus. Dalam kedua Perjanjian kita mendapatkan segala yang kita perlukan untuk hidup kekal dan hidup yang saleh (2 Timotius 3:15-17).[1]


Kamis, 06 Juni 2013

INERRANCY ALKITAB


INERRANCY ALKITAB

Oleh
Matius Sobolim, S. Th.
           
Inerasi Alkitab

Definisi : Sebuah pemahaman bahwa segala hal yang di tulis di dalam Alkitab adalah benar. Makna : Ineransi merupakan sebuah ajaran yang menekankan bahwa isi Alkitab itu adlah firman Allah karena yang menjadi pedoman adalah Allah dan Allah tidak pernah salah, yang berubah adalah pandangan atau tafsiran manusia terhadap ayat-ayat dalam Alkitab itu, tetapi isi Alkitab itu sendiri tidak berubah karena mereka pun menganggap bahwa Alkitab sendiri diilhami oleh roh kudus sehingga kemungkinan untuk salah itu sanagt sedikit bahkan tidak mungkin salah.

Ineransi itu sendiri tidak hanya berlaku pada Alkitab tetapi juga pada semua bidang pengetahuan dan bahkan di semua aspek kehidupan.
Hal ini karena manusia dengan segala pengetahuannya adalah ciptaan Tuhan. Menurut ajaran ini, Tuhan tidak salah jadi semua yang Ia ciptakan juga tidak salah.
Pemahaman ini kemudian menjadi salah jika manusia menutup-nutupi atau mambenarkan kesalahan sesamanya karena anggapan tersebut kembali lagi kepada Allah benar, maka semua ciptaan-Nya benar.
atas perhatiannya sampaikan terimakasi... wawawawa....

Selasa, 04 Juni 2013

Supremasi Alkitab: Inspirasi Verbal dan Ineransi Alkitab

-->
Supremasi Alkitab: Inspirasi Verbal dan Ineransi Alkitab


Oleh
 Matius Sobolim, S. Th. 


 
Allah Wene/ Alkitab




Alkitab sering dan bahkan sampai dengan saat ini menjadi problematika yang klasik dalam kekristenan karena pernyataan yang mengatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah. Masalah ini timbul sebagai reaksi atas persoalan dogmatis yang seakan-akan memenjarakan pemikiran umat untuk bertanya: mengapa Alkitab disebut Firman Allah? Padalah Alkitab hadir dalam proses sejarah yang berarti bahwa Alkitab adalah karya manusia yang berdosa sehingga berimplikasi terhadap ketidaksempurnaan yang bisa terdapat dalam Alkitab. Maka, dengan sendirinya Alkitab tidak layak disebut Firman Allah karena mengandung kesalahan atau jauh dari kesempurnaan dalam standar Allah. Beberapa pertanyaan lain yang sering ditujukan kepada Alkitab seperti: apakah Alkitab berasal dari Allah? Bagaimana Alkitab ditulis? Apakah Alkitab bisa salah? Dan mengapa kita harus mengandalkan Alkitab?

Penelaahan yang bisa dilakukan untuk melihat kembali Alkitab sebagai hasil karya manusia yang berdosa [yang berpeluang kepada ketidaksempurnaan dalam Alkitab] dapat dilakukan melalui dua hal penting yaitu inspirasi dan ineransi Alkitab. Kedua istilah ini harus digunakan secara runtut dan koheren karena keduanya saling terkait satu dengan yang lainnya. Ketika kita memahami apa dan bagaimana inpirasi itu, dengan sendiri kita dapat memahami ineransi Alkitab. Artinya jika kita memahami bagai mana Alkitab itu diilhamkan, kita akan melihat bahwa tidak bisa salah atau benar adalah Firman Allah. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut termaktub dalam dua istilah dalam sejarah lahirnya Alkitab, inspirasi Alkitab dan inspirasi Alkitab.
A.    Inspirasi Alkitab
Kata “inspirasi” ini memiliki makna khusus dalam term ini karena diambil dari istilah Alkitab dalam bahasa Yunani theopneustos (1 Tim.3:15-16) yang berarti dihembuskan Allah atau secara teologis dapat juga disebut diverbalkan Allah—verbal plenary. Oleh sebab itu pada umumnya, kata inspirasi Alkitab dimengerti sebagai pimpinan Roh Kudus atas para penulis Alkitab. Artinya ketika Alkitab ditulis, itu semua merupakan hasil karya Roh Kudus, sehingga meskipun Alkitab ditulis oleh kurang lebih 40 penulis yang berbeda dengan latar belakang profesi, lokasi, situasi sosial politik dan budaya yang berbeda-beda dalam kurun waktu lebih dari 1500 tahun. Namun hasilnya terlihat begitu menakjubkan, adanya suatu kesatuang yang utuh dan harminis nampak seperti ditulis oleh satu orang saja. Oleh sebab itu ispirasi biasanya didefinisikan sebagai sustu pengaruh supranatural Roh Kudus yang menggerakkan para penulis Alkitab dari nyata bahwa Alkitab berasal dari Allah, memiliki otoritas, tanpa salah, dan kekal. Ini adalah nilai-nilai ilahi. Jadi keutuhan yang menakjubkan dari Alkitab menjadi jelas bahwa itu adalah karya Roh Kudus.

Supremasi Alkitab datang dari Allah sendiri yang telah “menafaskan” Alkitab tersebut sehingga yang tanpa salah adalah tulisan dalam Alkitab, pada naskah aslinya, bukan orang yang menulis. Allah yang menjadi sumber segala tulisan dalam Alkitab. Sekalipun Alkitab ditulis oleh manusia, tidak dihasilkan oleh keinginan atau bukan hasil dari manusia (person) yang menulis tersebut tetapi atas dorongan Roh Kudus, mereka berbicara atas nama Allah (2 Pet. 1:21). Sekalipun dalam Alkitab terdapat juga unsur atau aspek manusia seperti gaya penulisan, pengalaman pribadi yang berkaitan, dan bahkan gaya bahasa juga berbeda, sudut pandang dan aspek lainnya, tetapi Allah dalam Roh Kudus mengawasi mereka sebagai hamba Allah yang hidup dan aktif.

Sekalipun demikian, tidak sedikit orang yang pemahaman yang keliru tentang inspirasi Alkitab. Ada beberapa istilah seperti inspirasi natural yang meniadakan unsur supranatural Roh Kudus dalam penulisan Alkitab, iluminasi spiritual, inspirasi parsial atau dinamis yang membedakan isi Alkitab dalam dua bagian, ada yang diilhamkan seperti hal-hal praktis yang berkaitan dengan iman sedangkan, yang berhubungan dengan sejarah tidak atau bisa salah. Pandangan lain yang keliru adalah inspirasi konseptual yang mengatakan bahwa Allah hanya mengispirasikan konsepnya saja sedangkan kata-kata dalam Alkitab adalah hasil dakehendak penulis tanpa dikontrol oleh Allah. Kebalikan dari teori ini, ada yang mengatakan bahwa penulis Alkitab hanya sekedar mesin tulis dimana setiap kata dan titik koma diucapkan oleh Allah atau didiktekan.

Sebagai respon atas pandangan-pandangan tersebut, Alkitab diteguhkan oleh Yesus sendiri sebagai firman yang hidup bahwa inspirasi Alkitab dilakukan secara menyeluruh sehingga tidak satu huruf pun yang akan berlalu atau tidak boleh dihilangkan sampai semuanya tergenapi [dalam Tuhan Yesus Kristus] (Mat. 5:17-18). Pernyataan ini merujuk kepada PL dimana huruf terkecil dalam bahasa Ibrani (yodh). Sedangkan dalam PB, Yesus Kristus, Firman yang hidup (Yoh. 1:1) itu sekaligus menjadi sumber inspirasi dan dalam penulisannya Roh Kudus terus bekerja sehingga pembuatan PB dalam kurun waktu 100 tahun tetap mejadi satu keutuhan. Paulus dalam semua tulisannya menggunakan kata Kitab Suci yang keseluruhannya diilhamkan oleh Allah tidak hanya merujuk kepada PL tetapi juga PB, semuanya bukan hasil karya manusia biasa tetapi yang ektra ordinary karena Roh Kudus berkarya di dalamnya. Kesaksian Yesus sendiri menjadi peneguhan Allah secara langsung terhadap seluruh Alkitab termasuk di dalamnya inspirasi verbal baik melalui Yesus sendiri maupun dalam kebiasaan bercerita masyarakan Yahudi.

B.     Ineransi Alkitab
Dari penjabaran tersebut di atas mengantar kita memahami apakah Alkitab bisa salah, mengandung kesalahan. Kita telah melihat bahwa ke-ada-an Alkitab bukan karena hasil karya manusia semata tetapi keseluruhannya adalah karya Roh Kudus melalui para penulis. Hal ini berarti bahwa otoritas tertinggi adalah Allah. Jika Allah yang bekerja dalam pembuatan Alkitab, Alkitab berkuasa dan tidak mengandung kesalahan sedikitpun. Namun dengan demikian, untuk alasan perumusan masalah dalam pertentangan akan ketidakbersalahan Alkitab, kita perlu menjabarkan bagian ini secara khusus untuk dapat memahaminya secara utuh.

Kata ineransi (inerrant) yang dalam arti sederhana tidak ada kesalahan. Namun dalam istilah teologis, tidak sesederhana itu. Kata ineransi dapat diartikan bahwa Alkitab memiliki kualitas bebas dari salah, kemungkinan untuk kesalahan, dan tidak dapat salah baik secara akademis, historis maupun spiritual. Untuk lebih jelas dapat dipahami melalui sebuah silogisme sederhana yang menacu pada topik sebelumnya bahwa Alkitab berasal dari Allah.

Premis 1: “Allah adalah benar.”
Premis 2: “Alkitab berasal (dinafaskan/diilhamkan) dari Allah.”
Silogisme: : Maka Alkitab adalah benar [karena diinspirasikan oleh Allah yang benar].

Sekalipun demikian, ineransi tidak menuntut kekauan bukan berarti kompromi terhadap kritik-kritik yang meragukan Alkitab karena Alkitab tidak bercerita tentang kebenaran melainkan kebenaran dapat dan termasuk proses penulisan Alkitab sepanjang masa tidak saling kontradiksi. Ineransi selalu merujuk kepada manuskrip yang asli yang berarti bahwa pada waktu fakta diketahui, Alkitab dalam tulisan aslinya, apabila diinterpretasikan dengan benar akan terlihat sepenuhnya benar dalam setiap pengajarannya yang berhubungan dengan segala aspek yang termaktub dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

Dari silogisme di atas, maka segala kritik yang meragukan kewibawaan Alkitab sesungguh sekaligus menjadi keraguan secara langsung terhadap natur Allah. Hal ini bukan pembelaan skeptis tetapi sebuah koherensi yang runtut dalam keseluruhan Alkitab. Dengan demikian, ineransi Alkitab dapat dimengerti bahwa Alkitab benar dalam keselruhan dan dalam semua bagian, benar secara rohani, historis dan akademis, secara moral, maksud dan peneguhan tidak bisa salah. Allah berbicara kepada manusia dalam bahasa Alkitab (bisa disebut bahasa manusia) yang sepenuhnya adalah penyataan Allah sehingga tidak dapat dipertentangkan (secara umum pertentangan dalam iman dan penalaran).

Ketidak-kakuan dalam ineransi Alkitab dapat dilihat dalam beberapa hal bahwa ineransi mengijinkan adanya keragaman dalam gaya bahasa, keragaman rincian dalam menjelaskan peristiwa yang sama, untuk tidak menggunakan tata bahasa yang standar, ayat-ayat problematik. Ineransi juga tidak menuntut laoran kata demi kata dari suatu peristiwa dan juga tidak menuntut catatan itu mengajarkan kesalahan atau kontradiksi. Jadi, otoritas Alkitab tidak kurang dari otoritas Yesus Kristus sendiri karena Ia sendiri yang telah meneguhkan pengilhaman PL dan menyajikan dan menjanjikan PB. Kesaksian Yesus dan para rasul bersifat inerrant pada apa yang diajarkan. Alkitab yang ada saat ini adalah Firman Tuhan. Ineransi menjadi doktrin yang penting apabila dimengerti dengan benar. Alkitab berbicara secara akurat sesuai dengan kebenaran dalam semua
penyataannya; baik itu hal teologis, historis, geografis dan geologis.

Sekalipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya kritik terhadap teori ineransi Alkitab ini. Mengenai kebenaran dalam Alkitab, Erantis menyimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan dapat mengajarkan kebenaran. Hal ini tidak beralasan karena mereka mencampuradukan hal-hal kronologis dengan hal teologis. Dari pernyataan tersebut, muncul pernyataan bahwa apabila Alkitab tidak dapat dipercaya dalam hal kronologis hiistoris, Alkitab juga tidak dapat dipercaya dalam hal kebenaran akan berita keselamatannya. Hal ini sama dengan keraguan yang ditujukan terhadap karakter Allah berkaitan dengan problem kejahatan.

C.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjabaran singkat mengenai inspirasi dan ineransi Alkitab tersebut diatas, ada beberapa term yang dapat dimasukan dalam sebuah silogisme ganda berikut:

Premis 1 : “Allah adalah benar.”
Premis 2 : “Yesus, Firman Allah yang hidup adalah Allah, tidak berdosa/salah.”
Premis 3 : “Alkitab berasal (dinafaskan/diilhamkan) dari Allah.”
Kesimpulan : “Jadi, Alkitab adalah Firman Allah yang tanpa salah karena diinspirasikan oleh Allah yang benar, dan diteguhkan oleh Yesus, Firman Allah yang hidup yang tidak berdosa.”



Alkitab telah terbukti secara historis tanpa salah selama lebih dari 3500 tahun sejak pembuatannya hingga hari ini, tidak ada satu keraguanpun yang ditujukan kepada supremasi Alkitab yang bertahan selama itu. Tidak ada karya manusia yang bertahan lebih dari dua abad, semuanya mengalami permaharuan. Itu berarti bahwa Alkitab bukan karya manusia tetapi Allah, yang kekal. Akhirnya, ‘Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2Ti 3:16)”. Jangan mempertanyakan otoritas Alkitab karena dengan demikian kita mempertanyakan keberadaan Allah.


Sumber Pustaka:________________________________________
Enns, Paul, The Moody Handbook of Theology, terj., Malang: Literatur SAAT, 2010
Bruggen, Jacob van, Siapa yang Membuat Alkita?, Surabaya: Penerbit Momentum, 2010
Geisler, Norman, dan Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan, terj., Yogyakarta: Yayasan Andi, 2010