Rabu, 27 Februari 2019

LAPORAN LAPORAN

LAPORAN BACAAN

Nama          : Matthew Sobolim
Kursus        : Isu Kontemporer PL Teologi
Tugas          : Membaca Laporan
Judul Buku : Bentuk jamak dari PL Theology     : Dari Kanon ke Doa
Penulis        : Dr. Yonki Karman
Program      : Pascasarjana S. 3 

Buku ini lahir sebagai respons penulis terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar PL, setelah bagian pertama dari Alkitab Kristen selama hampir satu dekade, keduanya berada dalam wilayah studi. Tanpa berpura-pura membalikkan Jawaban yang diberikan di sini, untuk penulis ini diinginkan   untuk mengundang pembaca dan seluruh komunitas Kristen untuk melihat masalah di sekitar Perjanjian Lama (PL) dari perspektif Kitab itu sendiri. Tidak baik jika Perjanjian Lama dipandang bermasalah hanya karena dilihat dari perspektif yang ada di luar dirinya sendiri meskipun itu adalah Perjanjian Baru (PB).
Buku ini juga memperhatikan para penulis yang setidaknya merasakan literatur akademis Perjanjian Lama (PL) dalam Bahasa Indonesia. Tidak ada buku teks teologi PL di Bahsa Indonesia yang benar-benar membahas konten selengkap Barth (1970-1989) lebih lengkap daripada edisi bahasa Inggrisnya (1991). Penulis buku ini, Yaki Karman.
Buku ini ditulis atas dasar kebutuhan umat Tuhan. Hari ini, penulis menerjemahkan buku ini karena umat Tuhan saat ini lebih mementingkan PB, bahkan penulis buku-buku sebelumnya dalam bahasa Inggris memiliki beban teologis, kepada pembaca Kristen untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada umat Tuhan untuk benar-benar peduli PL teologi sebagai Alkitab Pertama tentang Cinta dan Keadilan, dan kedaulatan Allah. Penuisis melihat PL dan Kitab Suci PB tidak dapat dipisahkan, satu kesatuan kekakuan dalam membangun struktur dasar dari desain teologis. Alkitab PL sebagai Nubuat dan   Alkitab Perjanjian Baru sebagai Pemenuhan Nubuat Perjanjian Lama.
Pendekatan dalam kompiler buku adalah gangguan dari "Kanon to Prayer" setiap topik yang dibahas dengan memanfaatkan komentar dari PL. Sementara itu PL Teologi tampaknya tidak lagi berpusat pada tema. Tapi, hebat sebagai pusat pembangunan kerangka kerja teologis dari persetujuan Elchrodt ; Kekudusan  Tuhan: Kaehlar "Tuhan sebagai Tuhan". Wildberger   "Israel sebagai umat pilihan". Seelxiss "Pemerintahan Tuhan" Klein "Kerajaan Tuhan" Vrioxen "Federasi Tuhan dan Manusia" Fohmr "Pemerintahan Tuhan dan aliansi Tuhan dengan Manusia" daripada berspekulasi tentang berbagai tradisi teologis. Fokus buku ini berfokus pada topik-topik spesifik dalam sorotan PL secara holistik. 
Dalam hal ini, penulis menggambarkan pemilihan sup judul dari "Kanon ke Doa" menunjukkan bahwa tidak cukup untuk melihat PL hanya sebagai Firman Tuhan. Tetapi itu juga menciptakan kerohanian Kristen. Dan tidak ada pisau berlebihan yang dikatakan sebagai pusat kerohanian adalah doa. Dengan mempelajari PL demikian, menggali kekayaan spiritual dan melihat hubungan dengan pers saat ini. Penulis berharap akan ada minat baru pada PL. Kerohanian Kristen akan timpang ketika PL tidak mendapatkan tempat yang cocok dalam kehidupan gereja. Ketika para Penulis melihat relevansi yang sangat besar dari pesan-pesan Nabi dalam PL.
Buku ini ditulis dalam  Perspektif Canon BISA atau tepatnya Canon Kristen. Prespektif Kanon ini menyatukan keragaman teks PL. Kitab Suci PL tidak disusun oleh orang-orang yang mengumpulkan sumber daya hanya begitu saja. Tetapi menyelesaikan dengan pertimbangan teologis dan liturgis. Canon Canon menegaskan karena ada Kanon Katolik dengan PL yang lebih luas atau Canon Yahudi yang tidak mengenali PB.   Kanon Kristen sendiri adalah PL dan PB. Keduanya bersatu dalam arti bahwa ada bagian PB terkait PB dan PB itu sendiri berakar pada PL. Meskipun persatuan tidak terpisahkan, PB tidak bisa begitu saja dibawa ke PL.
Dengan menggunakan kata-kata Alkitab, tak terhindarkan merekonstruksi masyarakat Israel kuno. Ini bukan tanpa catatan, hasil rekonstruksi yang memanfaatkan data yang sangat terbatas tentang Israel di masa lalu. Meskipun harus dihargai, setiap hasil pembangunan masyarakat Israel kuno, bagaimanapun, detail dan meyakinkan tetap menjadi hopotidist yang nantinya akan berurusan dengan hipotetis lainnya dan seterusnya. Dalam hal ini penulis tidak ingin berspekulasi sebagai teologi Biblika, teologi PL, harus bersandar pada sesuatu yang definitif dan konstan terutama melihat melihat fungsinya yang menyediakan dasar-dasar Alkitab untuk disiplin Teologi Sistematik.
Penulis buku ini mengakui bahwa kerangka naratif PL 140% dari PL adalah narasi dan buku ini diatur terlepas dari kerangka kerja tersebut. Menurunnya penghargaan terhadap motif Alkitab sebagai masalah teologis telah menjadi sorotan. Namun, pastoralisme negatif. Oleh karena itu, para penulis mengatakan bahwa Alkitab akan diperhitungkan terutama untuk konteks dunia Mississippi sebelumnya, seperti Indonesia. Narasi lama harus digantikan oleh narasi baru, atau narasi Alkitab, yaitu tentang bagaimana Allah berurusan dengan umat-Nya.
Lebih jauh, para penulis menekankan bahwa, pendekatan sosoal sering menempati kepemilikan marginal dari teologi Alkitab. Namun dalam buku ini perspektif sosial memainkan peran penting.   Dengan memperhatikan kritik terhadap Teologi Feminisme dan Teologi pembebasan. Untuk alasan ini, penulis buku ini mencoba untuk mengangkat ke kedalaman keprihatinan yang terletak pada PL pada wanita.
Rekomendasi dari Penulis Buku ini: Buku Bunga Rampai Teologi PL Karangan Dr. Yonky Karman: ini akan membantu banyak siswa dan pembaca Alkitab, bukan hanya buku-buku Perjanjian Lama tetapi jarang, tetapi terutama karena kecambah ini menggabungkan topik-topik yang juga penting dalam Perjanjian Lama dan aktual untuk masyarakat saat ini, seperti perang, tanah, penderitaan wanita Buku Bunga Rampai Teologi PL Karangan Dr. Yonky Karman, adalah buku Teologi Perjanjian Lama yang berisikan diskusi tentang sembilan Teologi esensial. Penulis buku ini menguraikan kesimpulan pohon dengan hati-hati dan jelas. Literatur yang ditimpa pada akhir setiap mata pelajaran adalah sumber yang dapat digunakan oleh pembaca yang ingin menyelidiki subjek lebih lanjut. Buku ini perlu dimiliki oleh siapa saja yang ingin mengajar dan mempelajari teologi Perjanjian Lama, serta para misionaris berita Injil, dalam memperluas Amanat Agung.
Sebagai kesimpulan. Setelah membaca dan belajar, ternyata The Flowering Book of PL Theology of Karangan, Dr. Yonky Karman, mengundang pembaca untuk berpartisipasi dan terus belajar, dan lebih memahami dasar-dasar Alkitab yang baik dan benar. Dalam buku ini ada 9 judul sebagai tema utama dalam PL. Tema ini sangat sentral dalam membangun fondasi teologis yang kuat. Buku ini juga mengajak pembaca untuk memperhitungkan pentingnya persatuan dan kesatuan dari Kitab PL dan PB. Persatuan itu unik, sehingga persatuan memberi warna untuk mempelajari Firman Allah.
    Elabo Onggomby Sinduk
 Soboliem, M. Th


  

REFLEKSI MISI LAYANAN YUNUS

REFLEKSI MISI  PELAYANAN YUNUS
Nama   : Matthew Sobolim
Kursus : Isu Kontemporer Teologi PL 
Tugas  : Misi Refleksi Dinas Yunus 
Dosen  : Dr. Ferdinan S. Manafe


LATAR BELAKANG
Yunus diperkenalkan sebagai putra Amitai dan disebut sebagai Nabi kerajaan utara Israel pada masa pemerintahan Yeroboam II dan datang dari Gat-Hefer ke utara Nazaret di Galilea. Dalam kitab Yunus, Yunus adalah orang pilihan Allah untuk mengirim pesan kepada orang-orang Niniwe untuk bertobat dari kejahatan mereka (Yun 1: 1-2), tetapi Yunus melarikan diri dengan sebuah kapal ke arah barat, ke Tarsis (Spanyol).

REFLEKSI
Dalam perjalanannya, kapal yang dia naiki dihadapkan dengan badai besar yang diketahui Yunus karena disebabkan oleh dia yang melarikan diri dari perintah Allah. Dia kemudian memerintahkan orang-orang di kapal untuk melemparkan dirinya ke laut di mana dia kemudian dimakan oleh ikan besar. Di dalam perut ikan, Yunus berdoa dan berterima kasih dan akan melakukan apa yang telah didapatnya, kemudian ikan itu memuntahkan Yunus ke darat.
Dengan kesempatan kedua yang diberikan Allah, Yunus melanjutkan untuk mengikuti apa yang diperintahkan Allah untuk memberi tahu penduduk kota Niniwe yang perjalanan tiga hari bahwa kota itu akan dihancurkan dalam empat puluh hari. Hanya ini yang Yunus katakan kepada orang-orang Niniwe tanpa tanda Keajaiban apa pun yang berasal dari Tuhan, tetapi karena kepercayaan mereka kepada Tuhan dan juga kesadaran semua warga kota, termasuk raja, raja memerintahkan rakyatnya untuk berpuasa dan bertobat dari semua kejahatan dan kekerasan yang dilakukan. Semua yang dilakukan raja dan rakyat Niniwe, membuat Tuhan tidak menghukum mereka, Yunus, marah dalam doanya, tetapi Tuhan dengan sabar mengajar Yunus bahwa Dia senang memberikan rahmatnya kepada semua orang dari semua bangsa.
Alkitab menyebutkan bahwa Niniwe adalah "kota yang agung" (Yunus 1: 2). Berkat-berkat Allah dicurahkan berlimpah-limpah di Niniwe. Kota ini tidak hanya kota metropolitan besar - ibukota kekaisaran yang kuat, tetapi kota ini juga terkenal dengan keindahannya. Banyak orang menganggap Niniwe sebagai kota paling indah yang pernah dibangun di bumi. Di militer, Niniwe tampaknya tak terkalahkan. Menurut berita, setidaknya di masa lalu, kota membangun benteng di luar kota yang membentang lebih dari 60 mil dan di dalam kota dibangun tembok setinggi 100 kaki. Kereta tiga lintasan dapat melintasi benteng yang dibangun. Untuk membangun istana kerajaan di Nineveh membutuhkan 10.000 budak selama 12 tahun. Taman kota dan bangunan umum lainnya sangat terkenal di dunia. Nineveh telah berdiri selama 1500 tahun, membuat sebagian besar kota-kota besar tampak baru. Nineveh benar-benar sebuah "kota yang megah".
Niniwe yang disebutkan dalam Alkitab juga mewakili atau melambangkan kota di zaman kuno dan modern. Niniwe adalah kota budaya dan kota yang penuh dengan ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan. Kejahatan kota ini adalah apa yang Tuhan katakan adalah masalah utamanya dan merupakan alasan mengapa pelayanan misi Yunus diperlukan (Yunus 1: 2).
Selain keindahan dan kekuatannya, Niniwe juga merupakan kota yang harus dinilai. Kota ini menyembah berhala dan seluruh kehidupan ekonomi dan politiknya didasarkan pada eksploitasi negara-negara lemah, penaklukan militer, dan perbudakan. Nabi Nahum dengan jelas menggambarkan Niniwe sebagai pengkhianat bagi bangsa-bangsa dan kota pelacuran (Nahum 3: 4). Segala macam sifat buruk dan sihir banyak dilakukan dan bahkan perkembangan artistiknya telah dikotori oleh percabulan dan penyembahan berhala. Nahum dengan tegas menyebut Niniwe sebagai "kota pertumpahan darah" (Nahum 3: 1) karena kekejaman dan perampasannya yang menyebabkan dia mendapatkan julukan itu.
Tuhan tahu seperti apa kota itu; kejahatannya telah membangkitkan amarahnya. Dosa kota itu bersifat individual, karena secara individual dilakukan oleh ribuan orang Niniwe. Tetapi dosa mereka juga kolektif karena itu adalah jumlah total kehidupan Niniwe, baik budaya dan keberhasilannya menunjukkan kejahatan yang telah mereka lakukan. Roh Kain dan Lamekh jelas ada di sana. Itu adalah konspirasi dari kemurtadan. Kehidupan orang-orang Niniwe telah benar-benar hancur, dan satu-satunya harapan bagi kota ini adalah jika ada pertobatan nasional seluas dan sedalam dosa-dosa yang telah tercemar.
Arti dari Kitab Yunus untuk pelayanan misionaris kota dapat dipelajari dengan banyak cara. Para ahli strategi misi melihat pola-pola umum di dalamnya, bahwa Allah mengirim utusan-Nya, untuk pergi ke kota itu dan memberitakan Firman Allah, dan mudah-mudahan hasilnya adalah penduduk kota pertobatan dan berbalik kepada Allah. Dari perspektif strategi misi, Yunus adalah model pembawa pesan seumur hidup.
Para teolog terkesan oleh fakta bahwa inisiatif misi sebenarnya diambil oleh Allah. Kisah ini tentang Yunus, tetapi tokoh utamanya sebenarnya bukan manusia, tetapi Allah sendiri. Tuhan memanggil nabi dan mendesaknya untuk menaatinya. Belas kasih Tuhan untuk kota jahat ini mendorong seluruh upaya evangelikal di sana, meskipun Yunus sendiri enggan dan suasana hatinya buruk. Ini benar-benar misi Tuhan dan sama sekali bukan misi Yunus. Tuhan ingin Niniwe diselamatkan, dan dengan anugerah-Nya Dia memaksa nabi untuk bertindak dan membawa kota itu ke pertobatan. (Untuk penjelasan lebih rinci tentang misi Yunus ke kota Niniwe . [1]
Yang menonjol, misi Yunus adalah tanda panggilan Allah kepada umat-Nya untuk mengkhotbahkan pesan pertobatan dan keselamatan ke kota-kota, termasuk kota-kota dengan kejahatan mengerikan yang terancam dengan kehancuran abadi. Meskipun Niniwe memiliki banyak kelemahan, ia sangat penting di mata Allah, dan Allah ingin agar pesan-Nya diberitakan di sepanjang jalan-jalan Niniwe. Tugas Yunus, selanjutnya adalah tugas umat Allah secara keseluruhan, untuk pergi menjadi utusan bagi Allah melawan benteng kekuasaan dan kejahatan dan bergabung dengan Allah dalam perjuangan antara menjatuhkan hukuman dan menunjukkan kasih karunia ke kota ini.
Kisah Yunus dan apa yang terjadi di kota Niniwe layak menjadi analisis dan refleksi yang berkelanjutan . Sama seperti layanan kota dimulai di kota Niniwe beberapa abad yang lalu, sekarang layanan seperti itu harus dimulai lagi. Tuhan masih berbicara melalui Yunus tentang sifat dasar pelayanan kota, belas kasihan Tuhan kepada orang-orang di kota, dan keinginan-Nya untuk mendengarkan mereka. Kisah Yunus juga mengingatkan kita tentang roh pemberontak dari utusan Allah yang menolak untuk mengenali kota-kota sebagai tempat yang strategis untuk pelayanan misionaris.
Bayangkan bagaimana ceritanya akan berubah jika Yunus tetap berada di kota Niniwe, mengajarkan hukum-hukum Allah, menegakkan keadilan, dan melayani sebagai cahaya bagi negara penyembah berhala, serta pemanggilan orang Israel dalam Yesaya 42: 1-9. Yunus mungkin akan mengirim pesan kepada teman-temannya para nabi di Israel, memberi tahu mereka bahwa ada pertobatan hebat yang terjadi di kota Niniwe, dan mendorong mereka untuk bergabung dengannya untuk melanjutkan layanan yang telah ia mulai. Mungkin ini akan menjadi hari baru bagi rakyat Israel - titik balik penting dari pemahaman mereka tentang Allah dan terutama perhatiannya terhadap dunia, bahkan untuk kota Niniwe yang jahat. Israel mungkin akan melihat pemikiran mereka sebagai bangsa pilihan dari perspektif baru, yaitu, mereka adalah bangsa yang dipilih untuk menjadi utusan Tuhan kepada dunia.
Tetapi Yunus menolak untuk melakukan pelayanan di kota Niniwe. Kegagalan misi secara keseluruhan adalah dari Yunus dan penolakan Israel karena kekerasannya untuk memahami, kepedulian Allah terhadap semua bangsa dan tanggung jawab Yerusalem untuk menjadi cahaya "Niniwe" dari dunia ini. Roh Kudus mengilhami untuk menulis buku pendek ini dan memasukkannya ke dalam Alkitab untuk menunjukkan kesalahpahaman teologis Israel. Kitab Yunus bermanfaat, bagi Israel kuno dan juga bagi gereja Kristen dewasa ini, untuk menjadi buku yang menyediakan pengajaran, teguran, dan untuk mengingatkan pentingnya pelayanan misionaris.
Seperti yang kita ketahui, Yunus meninggalkan kota, dan pertobatan Niniwe membutuhkan waktu yang singkat. Akhirnya kota Niniwe dihancurkan. Tetapi Yesus terus menyatakan kesungguhan orang-orang Niniwe: "Pada saat penghakiman orang-orang Niniwe akan bangkit bersama generasi ini dan mereka akan mengutuknya, karena orang-orang Niniwe bertobat ketika mereka mendengarkan khotbah Yunus, dan memang di sini ada lebih dari Jonah! " (Lukas 11:32) Sejak kedatangan Yesus, masalah kota-kota dan penduduknya terus mengkhawatirkan apa yang dilakukan Kristus dan Injil-Nya.
Pertobatan Niniwe, meskipun singkat, menunjukkan apa yang dapat terjadi di kota dan sekitarnya ketika Firman Allah diberitakan dan Roh-Nya mengunjungi kota. Sedihnya, kisah Niniwe hanya diingat dalam kisah sejarah religius sebagai kegagalan atas kesempatan yang diberikan, tetapi tidak diingat sebagai gerakan besar kerajaan Allah.
Masalah Niniwe masih merupakan tantangan besar bagi umat Allah. Di era urbanisasi yang terjadi di seluruh dunia saat ini, apakah umat Allah ingin menangkap kesempatan untuk memberitakan Injil ke Nineveh modern, atau lebih tepatnya mereka berpaling seperti Yunus - lebih memilih layanan di tempat-tempat yang kurang mengancam? Dan jika mereka mencapai kota, seberapa luas pesan keselamatan disampaikan? Bisakah berita itu menyentuh kejahatan tersembunyi kota di berbagai tempat? Akankah cerita itu mengundang pertobatan dari pusat perbelanjaan, pusat jalan, dan bahkan ke pemerintah pusat kota?
Artikel-artikel dari sampul Kitab Yunus menyiratkan kesedihan membuka topeng dari kegagalan seorang nabi. Namun, artikel-artikel itu sangat luar biasa jika dilihat dari teologi dan struktur kerja layanan misi kota. Dengan kata-kata yang penuh emosi, Tuhan menyatakan dirinya sebagai ahli demografis yang menghitung populasi kota dan mengamati penduduk kota termasuk hewan-hewan yang ada. Penyembahan berhala, kekejaman, dan keserakahan orang-orang Niniwe tidak luput dari perhatian Allah.

PENUTUP
Seluruh rincian pelayanan kota Niniwe tersirat dalam pewahyuan dalam Kitab Yunus ini. Tuhan telah menjadi pemrakarsa dan direktur perusahaan misionaris. Dia menanam tanaman hijau dan menentukan urutan penciptaan untuk kesejahteraan manusia. Tetapi perhatian utama-Nya lebih ditujukan kepada umat manusia. Demi keselamatan mereka, Allah mengutus para nabi dan Putra-Nya, untuk mencapai kota.



[1] membaca buku Roger S. Greenway, "Rasul ke Kota: Strategi Alkitab untuk Misi Urban" (Grand Rapids: Baker, I978), hlm. 15-28).

Sabtu, 16 Februari 2019

RENDAHNYA KESADARAN INTELEKTUAL MAHASISWA

RESIKO PROFESIONALISME YANG EFEKTIVE DAN RENDAH

      Matius Soboliem, S. Th. M. Th
Masalah yang memberatkan bagi Siswa saat ini adalah "Keberadaan kompleksitas kehidupan mengimbangi jumlah buku yang muncul sekarang." Itulah salah satu faktor menurunnya minat baca. "Kompleksitas kehidupan siswa sekarang melebihi intensitas membaca mereka," lanjutnya.
Fasilitas yang tersedia, yang dapat diakses oleh siswa jauh lebih terbatas daripada siswa saat ini. "Siswa pertama ketika membaca buku sangat bersemangat karena keadaan yang menuntut mereka, dalam arti mereka didesak oleh yang berwibawa."
Siswa sekarang tahu bahwa siswa adalah agen perubahan. Tetapi siswa tidak tahu apa yang sebenarnya ingin mereka ubah. Siswa sekarang cenderung disibukkan dengan memenuhi kompleksitas kehidupan hedonis daripada membaca buku bahwa mereka sangat penting.
Ada beberapa faktor mengapa siswa tidak termotivasi untuk membaca, karena tidak ada kesadaran dan keinginan siswa untuk meningkatkan pengetahuan mereka dan untuk mendapatkan wawasan. Tidak adanya keinginan ini disebabkan oleh beberapa hal:
1. Siswa tidak
     menganggap penting untuk
     menambah pengetahuan
     dengan membaca.
2. Tidak ada kekuatan kritis
     untuk mengekstraksi informasi
     dari luar kelas.
3. Situasi sosial hari ini.
4. Perkembangan teknologi
    Menjadi fokus utama
    pekerjaan lain yang
    harus dilakukan.
5. Hanpone sangat kuat dalam
    menguasai pikiran,
    perasaan, dan kemauan.
6. Hanpone mengontrol
    24 jam dan tidak
    memberikan
    peluang kerja lain
    kepada pengguna Hp.
         Dengan perkembangan teknologi canggih saat ini secara drastis membuat para siswa sulit untuk mengatasi situasi, serta siswa juga dimanjakan dengan situasi tersebut. Terutama internet, tidak ada siswa yang tidak mengenali teknologi yang telah menjadi kehidupan sehari-hari mereka.
         Contoh nyata adalah jejaring sosial Facebook. Siswa sekarang kecanduan semacam Facebook sehingga meskipun di media online ada banyak jurnal ilmiah siswa tidak memanfaatkannya. Mereka bahkan sibuk dengan kekesalan mereka bahwa mereka memposting difacebook. Kesibukan sekarang dinikmati oleh siswa, sehingga mereka meninggalkan ruang baca yang merupakan keharusan.
Faktor lain yang meremehkan kurangnya kesiapan siswa adalah pemalsu ekonomi. Kondisi keuangan siswa yang tidak mampu mencapai harga buku menyebabkan mereka tidak memiliki bahan bacaan. "Tidak bisa membeli buku juga menyebabkan siswa tidak tertarik membaca.
         Di sisi lain, sistem pendidikan yang berorientasi pada pembentukan out put (lulusan, red) yang merupakan karyawan dalam pikiran juga merupakan faktor. Kurangnya tuntutan untuk ketahanan diri sehingga siswa hanya memprioritaskan bagaimana mereka bekerja setelah lulus, daripada memikirkan kualitas apa yang akan mereka bawa ketika lulus sehingga mereka dapat memajukan bangsa.

Minggu, 17 Februari 2019 pukul 13.51 siang Materi ini terus berkembangkan.

KUDUS DAN KEKUDUSAN

       KUDUS PENGUDUSAN

      Ev. Matius Soboliem, M.Th

Kudus Pengudusan ;,Yunani: αγιασμος hagiasmos, Pengudusan. Artinya dipisahkan untuk pelayanan Allah. Makna dasar dari akar kata Ibrani gadesy antara lain: (i)'menyendirikan', (ii)'cemerlang'. Arti pertama mungkin menekankan kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi, status, nisbah, dalam mana kata itu diterjemahkan 'terpotong', 'dipisahkan', 'disendirikan untuk penggunaan khusus', 'diserahkan untuk', atau'disucikan', 'dianggap keramat atau suci lawan dari yg biasa, tercemar atau sekuler'. Arti kedua mungkin menekankan penggunaannya berkaitan dengan keadaan, atau proses, yg dalam PB mengarah ke pemikiran tentang perubahan batin yg terjadi berangsur-angsur, yg menghasilkan kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yg menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yg baik dan menurut kehendak Tuhan.

I. Dalam PL
Dua bentuk arti seperti diuraikan sesuai garis besar di atas barangkali secara umum dapat disebut yg keimaman dan yg kenabian. Tapi keduanya tidak bertentangan. Acuan utama keduanya ialah tertuju kepada Allah.
a. Tuhan dilukiskan suci dalam keagungan, lain dalam sifat kelainan-Nya, sangat jauh dari manusia, dosa dan dunia (bnd Kel 3:5; Yes 6:3 dab). Manusia dianjurkan untuk mengakui Tuhan semesta alam sebagai Yang Kudus (Yes 8:13). Dan Tuhan berfirman akan menguduskan diriNya sendiri dan akan dikuduskan di dalam atau oleh mereka. Artinya tuntutan kekuasaan-Nya yg berdaulat diakui (seperti Ia akan dipermuliakan, yaitu bahwa keagungan-Nya akan diakui lewat sikap dan hubungan umat-Nya dgn Dia). Sesuatu atau seseorang yg dikuduskan diakui sebagai yg disendirikan oleh Tuhan maupun manusia (mis sabat, Kej 2:3; mezbah, Kel 29:37; Kemah Pertemuan, Kel 29:44; jubah, Im 8:30; puasa, Yl 1:14; rumah, Im 27:14; padang, Im 27:17; umat, Kel 19:14; jemaat, Yl 2:16; imam, Kel 28:41). Ini tidak harus berarti menyangkut perubahan batin. Upacara ritual dari hukum Taurat membuka kemungkinan mengampuni pelanggaran, atas mana umat Tuhan, yg telah disendirikan oleh Tuhan agar menjadi milik-Nya saja untuk digunakan sebagai alat-Nya, bersalah.
b. Kendati hal-hal di atas terutama merupakan pengudusan lahiriah dan ritual saja, namun semua hal itu disertai kenyataan batiniah yg mendalam. Peringatan Tuhan, 'Hendaknya engkau kudus karena Aku kudus', menuntut tanggapan moral dan spiritual dari umat, suatu refleksi dari sifat-sifat moral-Nya mengenai kebenaran, kemurnian, kebencian terhadap kejahatan, minat yg penuh kasih terhadap kesejahteraan orang lain dalam ketaatan kepada kehendak-Nya; karena Yang Kudus dari Israel terlibat aktif demi kebaikan umat-Nya (Kel 19:4) yg telah dipisahkan dari yg jahat. Kekudusan-Nya adalah sekaligus transenden dan imanen (Ul 4:7; Mzm 73:28), dan umat juga harus memiliki ciri-ciri demikian. Para nabi sadar akan bahayanya pengudusan lahiriah saja, justru mereka mengingatkan umat agar selalu menghormati Tuhan; mereka bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menghinakan upacara-upacara'kudus'yg lahiriah yg tanpa kekudusan perbuatan (Yes 1:4-11; 8:13). Anak-anak Israel menghinakan kekudusan Tuhan dengan hidup tak suci di antara bangsa-bangsa. Mereka gagal menjalankan hukum kekudusan (Im 17-26) yg memadukan secara mengagumkan aspek-aspek moral dan ritual.

II. Dalam PB
        Dalam Injil-injil Sinoptik penggunaan kata kerja 'menguduskan' dapat bersifat seremonial atau ritual. Tuhan Yesus berbicara tentang Bait Allah yg menguduskan emas, dan mezbah yg menguduskan persembahan korban (Mat 23:17,19). Di sini arti utamanya ialah pengudusan; emas dan persembahan diserahkan, disendirikan, dan dianggap secara khusus suci dan berharga oleh hubungannya dengan Bait Allah dan mezbah yg sudah suci.
        Dalam pengertian yg sejajar, namun yg lebih tinggi dan lebih rohani karena menyangkut lingkungan kepribadian, Kristus menguduskan diriNya sendiri bagi karya pengorbanan-Nya, Sang Bapak menguduskan Dia, dan Ia meminta pengikut-Nya 'menguduskan' (memandang dgn hormat, yg suci memberi tempat yg unik terhadap) Sang Bapak (Yoh 17:19; 10:36; Mat 6:9). Perluasan lebih lanjut dari pemikiran ini muncul dalam hal Kristus menguduskan umat dengan darah-Nya sendiri (Ibr 13:12) dan mungkin dalam Yoh 17:17 mengenai Bapak menguduskan orang percaya melalui firman kebenaran.
Bertalian dengan Yoh 17:17 kata 'mungkin' sengaja digunakan, karena ide 'pengudusan' di sini meluaskan artinya ke arah perubahan moral dan spiritual.
         Surat Ibr menjembatani anti batiniah dan lahiriah dari pengudusan. Kristus oleh pengorbanan-Nya menguduskan saudara-saudaraNya tidak hanya dalam arti menyendirikan mereka, tapi juga dalam arti memperlengkapi mereka bagi ibadah dan pelayanan kepada Tuhan. Ia melakukan hal ini dengan mendamaikan dosa-dosa mereka (Ibr 2:17) dan menguduskan hati nurani mereka dari pekerjaan-pekerjaan maut (Ibr 9:13 dab). Pengudusan ini janganlah dimengerti terutama sebagai suatu proses, melainkan sebagai kenyataan yg digenapi, karena 'oleh satu korban Ia telah menyempurnakan untuk selamanya mereka yg dikuduskan' (Ibr 10:10,14).
         Namun nasihat agar tumbuh dalam pengudusan bukannya tidak ada (lih Ibr 12:14, dimana kekudusan lebih menunjuk kpd keadaan ketimbang status).
Kendati 'pengudusan' dalam Ibr agak dekat dengan 'pembenaran' dalam Rm dan Gal, namun beda penggunaan kata 'pengudusan' dalam ketiganya janganlah dibesar-besarkan.
        Paulus menggunakan 'pengudusan' dalam dua arti juga. Dalam beberapa hal ia mengartikannya status yg diberikan kepada orang percaya yg berada di dalam Kristus bagi pengudusan maupun pembenaran. Kata jabaran 'orang kudus' terutama mengacu kepada status mereka di dalam Kristus ('dikuduskan di dalam Kristus Yesus', 1 Kor 1:2; bnd 1 Ptr 1:2). Pengudusan yg diperoleh merupakan hak istimewa bagi suami istri dan anak-anak, jika salah seorang dari orangtua itu orang percaya; hal ini lagi-lagi merupakan pengudusan secara status (1 Kor 7:14).
Arti kedua dari pengudusan menurut Paulus, menyangkut ihwal perubahan moral dan spiritual orang percaya yg sudah dibenarkan, yg sudah dilahirkan kembali, dikaruniai hidup baru oleh Tuhan.  

          Kehendak Tuhan ialah pengudusan kita (1 Tes 4:3). Dan mengalami dikuduskan secara keseluruhan ialah menjadi serupa dengan citra Kristus, dan dengan demikian merasakan dalam pengalaman arti menjadi citra Allah. Kristus adalah isi dan norma hidup yg dikuduskan: hidup kebangkitan-Nya diciptakan kembali dalam diri orang percaya sementara ia bertumbuh di dalam anugerah dan mencerminkan kemuliaan Tuhannya.

        Dalam pengalaman yg terus-menerus perihal pembebasan dari hukum secara harfiah, jiwa manusia dibebaskan oleh Roh Kudus (2 Kor 3:17, 18). Roh Kudus adalah penggerak dalam pengudusan manusia, tapi Ia bekerja melalui firman kebenaran dan doa iman, dan melalui persekutuan orang percaya (Ef 5:26) sementara mereka menguji diri sendiri dalam terang kasih Roh dan kekudusan yg tidak boleh tidak harus ada (Ibr 12:14). Iman, yg dilahirkan oleh Roh, menggenggam sarana pengudusan itu.

         Sebagaimana pembenaran berarti pembebasan dari hukuman dosa, demikian pula pengudusan berarti pembebasan dari pencemaran, kekurangan dan kuasa dosa. Tapi dalamnya dan luasnya pembebasan dalam arti yg terakhir itu masih dipersoalkan. Doa permohonan supaya Tuhan menguduskan orang percaya sepenuhnya, sehingga jiwa, roh dan tubuh mereka terpelihara tanpa cacat sampai kedatangan Kristus, diikuti oleh pernyataan bahwa 'Ia yg memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya' (1 Tes 5:23, 24). Ini menimbulkan tiga pertanyaan penting.

a. Apakah Tuhan melakukan pengudusan menyeluruh seketika? Apakah pengudusan oleh iman berarti menerima pengudusan menyeluruh sebagai anugerah sama seperti pembenaran, sehingga orang percaya itu sekarang juga telah dibuat menjadi kudus, masuk untuk selama-lamanya ke dalam kekudusan yg nyata dan praktis adalah suatu keadaan? Beberapa orang mengemukakan bahwa dalam pengalaman krisis yg mengikuti pertobatan, kemanusiaan yg lama disalibkan sekali untuk selamanya, dan akar dosa dicabut atau prinsip dosa ditiadakan. Beberapa orang melangkah lebih jauh dan menekankan kebutuhan akan penerimaan dan perbuatan karunia-karunia Roh (terutama karunia lidah) sebagai bukti pekerjaan Roh itu. Yg lain memandang bahwa PB pasti menentang pandangan ini, dan bahwa adanya surat-surat rasul dengan pernyataan-pernyataan doktrin, alasan-alasan, himbauan dan nasihat, bertentangan dengan itu.

b. Apakah Tuhan melakukan pengudusan pada masa hidup orang percaya? Di kalangan mereka yg menekankan ciri krisis dari pengalaman pengudusan maupun mereka yg memandangnya lebih sebagai suatu proses, terdapat orang-orang yg menyatakan diri sudah mencapai derajat tinggi dari hidup yg dikuduskan itu. Dengan menggarisbawahi perintah seperti 'haruslah kamu sempurna' (Mat 5:48), dan tidak menafsirkan 'kesempurnaan' di sini dalam arti 'kedewasaan', maka mereka mengatakan bahwa kasih yg sempurna dapat dicapai dalam kehidupan kini di dunia ini.

        Tapi tuntutan-tuntutan yg tinggi dalam arti 'kesempurnaan tanpa dosa', biasanya mengecilkan baik bobot dosa maupun standar kehidupan moral yg dituntut. Dosa dirumuskan sebagai 'pelanggaran sukarela terhadap suatu hukum yg diketahui' (Wesley) ketimbang 'setiap kekurangan dalam penyesuaian dengan atau pelanggaran atas hukum Tuhan' (Westminster Shorter Catechism). Rumusan terakhir mencakup keadaan kita dan dosa-dosa akibat kelalaian maupun yg dilakukan terbuka dan sengaja. Pendapat lain, dengan menyetujui bahwa kekudusan yg tak terputuskan dan kesempurnaan tanpa cela itu tidaklah mungkin, menyatakan bahwa kendati demikian toh adalah mungkin mempunyai dengan sempurna motivasi yg sempurna, ialah kasih.

c. Apakah Tuhan akan melakukan pengudusan tanpa aktivitas orang percaya? Mereka yg mengecilkan bobot dosa dan standar kekudusan yg dituntut Tuhan, berada dalam bahaya memberi penekanan yg tidak tepat pada usaha manusia dalam pengudusan. Tapi ada ekstrim yg berlawanan juga, yaitu yg meletakkan keseluruhan tugas pengudusan melulu pada Tuhan. Tuhan diharapkan akan menghasilkan orang kudus dengan segera, atau mengisi seorang Kristen secara berangsur-angsur dengan anugerah atau Roh. Ini memerosotkan manusia menjadi hanya robot tanpa sikap moral, sehingga sebenarnya hanya melahirkan pengudusan tak bermoral, suatu gagasan yg kontradiktif. Mereka yg membela watak manusia menyangkal cara kerja Roh Kudus yg tidak berharkat pribadi sedemikian itu. Mereka juga hati-hati terhadap tuntutan bahwa Roh bekerja langsung melalui proses pikiran manusia secara tak disadari, ketimbang disadari.

      Orang percaya tidak tahu betapa susahnya perjuangan melawan dosa (Rm 7-8; Gal 5), tapi harus sadar bahwa pengudusan terjadi tidak hanya oleh usahanya sendiri melawan kecenderungan-kecenderungan jahat yg ada pada dirinya sendiri. Ada perkembangan dalam penggenapan moral, tapi ada juga sesuatu yg secara misterius melakukan pengudusan di dalam dirinya. Bahkan hal itu bukanlah kerjasama belaka, dalam mana Roh dan orang percaya masing-masing menyumbang sesuatu. Tindakan itu dapat disebut baik karya Roh maupun karya orang percaya dalam rahasia anugerah. Tuhan, Roh itu, bekerja melalui pengakuan yg setia akan hukum kebenaran dan tanggapan orang percaya dalam kasih. Dan semuanya menghasilkan kedewasaan spiritual yg terungkap dalam menerapkan hukum kasih terhadap sesama.

        Penggenapan pengudusan bagi orang percaya, yg oleh anugerah iman dalam karya Kristus, oleh Roh 'menguduskan diri sendiri' (1 Yoh 3:3), dinyatakan dengan jaminan kepastian: 'Kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diriNya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yg sebenarnya' (1 Yoh 3:2).

        Suatu proses menjadikan kudus atau suci dengan memisahkan. Dalam PL orang dan tempat dikuduskan, artinya dikhususkan untuk Tuhan melalui pemercikan dengan darah. Keadaan berdosa yang terus-menerus dari umat menuntut pengudusan ritual mereka untuk menjadi umat demi nama Allah.  Roh Tuhan akan memberi mereka hati yang baru (Yer. 31:33; Yeh. 11:19).Dalam PB Yesus dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (Yoh. 10:36), dan Anak ilu sendiri mempunyai  murid-murid yang dikuduskan atau dikhususkan (Yoh. 17:17-18) Tetapi,Paulus mengajarkan bahwa untuk misi yang diletakkan atas para murid yang diutus, mereka harus hidup dalam kekudusan (Rm. 6:19) sehingga menghasilkan buah-buah Roh (Gal. 5:22-25).

        Dalam pemikiran teologi kemudian pengudusan itu menunjuk pada suatu proses yang dimulai dengan  baptisan, yang berlanjut dalam kehidupan yang ditopang oleh sakramen dan akhirnya disempurnakan pada  penghakiman terakhir (Ef. 4:30).

BIBLIOGRAFI

W Marshall, The Gospel Mystery of Sanctification, 1692, edisi 1955;

 J Wesley, A Plain Account of Christian Perfection, edisi 1952; 

C Hodge, Systematic Theology 3, 1871-1873; 

J. C Ryle, Holiness, edisi 1952; 

B. B Warfield, Perfectionism, 2 jld, 1931; 

R. E. D Clarke, Conscious and Unconscious Sin, 1934; 

N. H Snaith, The Distinctive Ideas of the Old Testament, 1944; 

D. M Lloyd-Jones, Christ our Sanctification, 1952; 

G. C Berkouwer, Faith and Sanctification, 1952; W. E Sangster, The Path to Perfection, 1957; 

J Murray, Definitive Sanctification, CTJ 2, 1967, hlm 5; K. F. W Prior, The Way of Holiness, 1967. GW/S


Sabtu 19 Februari 2019 Jam 8:08 WIB. Posting Melalui Hanpone Notte 5 Desa Tlekung Kangsiran Putuk. Kota Batu Jawa Timur.



PENEBUSAN

   PENEBUSAN

         Ev. Matius Sobolim, M. Th

Penebusan; Tebus, dalam bahasa Yunaninya: λυτρον lutron; dari kata  λυτρωσις lutrosis. λυτρωτης lutrotes; απολυτρωσις apolutrosis. Dosa telah merusak hubungan antara Allah dengan manusia, dan penebusan merupakan sarana, yang dengannya  pendamaian berlangsung.

         Dalam PL  korban dan persembahan ditetapkan dan berkembang dengan baik dalam periode pasca  pembuangan, dengan makna untuk menyingkirkan sekat pemisah yang diakibatkan oleh dosa, yang telah memisahkan manusia dari kemurahan Allah. Korban-korban ditentukan oleh Allah yang maharahim demi pemulihan persahabatan, yang tidak mungkin dicapai oleh seorang individu melalui perbuatannya sendiri.
         Pada zaman Makabe korban-korban binatang dianggap telah digantikan dengan nilai penebusan suatu penderitaan. Dalam kisah para martir Makabe, penderitaan mereka dianggap sebagai penebusan, bukan hanya bagi para penderitanya, melainkan juga bagi orang lain. Karena itu, anggota Makabe yang termuda di antara tujuh bersaudara, memohon kepada Allah agar melalui dirinya dan saudara-saudaranya murka Yang Mahakuasa, yang ditimpakan kepada umat Israel dapat diakhiri (2Mak. 7:38).

         Dalam PB, penebusan dihubungkan dengan kehidupan, kematian, dan  kebangkitan Yesus, dan barangkali Dia sendiri telah memahami kematian-Nya yang akan segera terjadi dalam hubungannya dengan penebusan (Mrk. 10:45). Pada surat Paulus kepada jemaat Roma, sumber rahmat Allah dalam mendamaikan manusia adalah Yesus Kristus (Rm. 3:25), dan dalam Surat Ibrani, gagasan tentang korban digunakan; pencemaran karena  dosa disucikan oleh darah korban yang tak berdosa. Darah ketaatan Kristus dan hidup yang dipersembahNya dicurahkan ke atas hati nurani kita yang berdosa, sehingga kita dapat menghampiri Allah dengan ketaatan yang sama.) Pelepasan oleh seorang 'penebus' dari suatu keburukan dengan membayar harganya. Hamba-hamba dapat dibebaskan atau ditebus dengan cara ini. Apabila seekor lembu menanduk seseorang hingga mati, si pemilik yang tidak menjaga lembunya itu harus dihukum mati juga, tetapi suatu harga tebusan dapat menyelamatkannya (Kel. 21:30). Sanak keluarganya yang berhak membayarkan harga tebusan itu disebut go'el dalam bahasa Ibrani, dan kata yang sama itu digunakan bagi Yahweh sebagai pelepas bangsa pilihan-Nya (Yes. 41:14).
      Surat-surat PB menyatakan bahwa Kristus menebus manusia dari 'dunia jahat yang sekarang ini' (Gal. 1:4), atau dari 'perhambaan' si Iblis (Ibr. 2:14-15). Penebusan ini sudah terlaksana (Rm. 8:29), tetapi juga masih menantikan penyempurnaannya dengan pemusnahan kematian (Rm. 8:23). Sebagaimana dalam PL, penulis-penulis PB juga menyebutkan bahwa Allah menebus suatu bangsa bagi diri-Nya (Why. 5:9), dan kematian Kristus diberitakan sebagai penebusan umat manusia dari akibat atau hukuman dosa-dosa mereka (Gal. 3:15).Dalam aliran Gnostik ada ajaran tentang seorang penebus. Ia dibayangkan telah diutus untuk turun dalam penyamaran ke bumi dari alam rohani untuk menerangi umat manusia dengan pengetahuan (gnosis) tertentu mengenai identitas mereka sesungguhnya. Aliran Gnostik dalam lingkungan Kristen tidak melihat pekerjaan Kristus sebagai yang membebaskan dari dosa, tetapi lebih menuntun orang pada pengenalan diri sendiri.

         Tebusan dalam LXX kata ini dipakai untuk sejumlah uang sebagai harga pembebasan seorang hamba (Im. 25:47-55). Inilah latar belakang dari ungkapan tentang Yesus dalam Mrk.10:45b: Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Pikiran ini melanjutkan kalimat sebelumnya, bahwa Anak Manusia itu datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Penderitaan satu orang ini dipakai Allah untuk keuntungan yang lain. 'Banyak orang' berarti 'semua orang'. Dalam 4Mak. 17:2 dst. dikatakan bahwa para martir Yahudi menjadi tebusan bagi dosa-dosa bangsanya: mereka menderita ganti orang lain, tetapi sebagai wakil dan bukan sebagai ganti. Ada juga dalam Mrk. 10:45, itu suatu ingatan akan Dan. 7, di mana seorang Anak Manusia dipertahankan dan dinyatakan sebagai pemenang. Tetapi, Markus 10:45b harus dimengerti dalam terang ayat 45a: bahwa kemenangan itu hanya dicapai melalui penderitaan dan pelayanan.
         Penebusan berarti pembebasan dari sesuatu yg jahat dengan pembayaran suatu harga. Artinya lebih dari sekedar pembebasan saja. Demikianlah tawanan-tawanan perang dapat dibebaskan berdasarkan pembayaran harga yg disebut uang tebusan (Yunani lutron). Dengan kata lutron dibentuklah secara khusus kelompok kata untuk menyatakan ide pembebasan berdasarkan pembayaran uang tebusan. Dalam lingkaran ide-ide ini kematian Kristus dapat dipandang sebagai 'suatu tebusan bagi orang banyak' (Mrk 10:45).

           Budak-budak dapat dibebaskan dengan suatu proses pembayaran tebusan. Dalam upacara pembelian resmi oleh suatu ilah, maka untuk kebebasannya si budak harus membayar harga ke dalam perbendaharaan kuil. Kemudian ia harus mengalami upacara resmi yg khidmat, yg menyatakan bahwa ia telah dijual kepada ilah itu 'untuk kebebasan'. Secara teknis ia tetap budak ilah itu, dan karena itu beberapa kewajiban agamawi dapat dikenakan atasnya. Tapi sejauh bersangkutan dengan manusia, sejak itu ia merdeka. Atau, si budak dapat membayar saja harga itu kepada tuannya. Hal yg khas mengenai setiap bentuk pembebasan ialah pembayaran harga tebusan (lutron). 'Penebusan' adalah nama yg diberikan untuk prosesnya.

          Di kalangan orang Ibrani situasinya berbeda, seperti dilukiskan dengan baik dalam Kel 21:28-30. Kalau seseorang mempunyai seekor lembu yg berbahaya, ia harus mengurungnya. Apabila lembu itu lepas dan menanduk seseorang sehingga mati, hukumnya jelas, 'lembu itu harus dilempari dengan batu sampai mati, dan pemiliknya pun harus dihukum mati'. Tapi ini bukanlah perkara pembunuhan yg disengaja. Tidak ada maksud jahat yg dipikirkan sebelumnya. Jadi ditetapkan bahwa suatu tebusan (Ibrani kofer) dapat 'dikenakan atasnya'. Ia dapat membayar dengan sejumlah uang, dan dengan demikian menebus hidupnya yg seharusnya telah hilang.
Kebiasaan-kebiasaan lain mengenai penebusan pada zaman kuno, melengkapi peri penebusan itu dengan hal-hal tertentu untuk menebus milik, dsb. Tapi ketiga hal yg telah disebut di atas adalah yg paling penting. Pada ketiga-tiganya terdapat hal yg sama, yaitu gagasan tentang kebebasan yg dijamin dengan pembayaran suatu harga. Di luar Alkitab kebiasaan itu secara praktis tidak berbeda. Kadang-kadang kata ini digunakan secara metaforis, tapi itu hanya memperjelas arti dasar kata itu. Pembayaran suatu harga untuk pembebasan adalah asasi dan khas.
           Itulah yg membuat konsep penebusan begitu bermanfaat bagi orang Kristen purba. Yesus mengajar mereka bahwa 'barangsiapa berbuat dosa adalah hamba (Yunani 'budak') dosa' (Yoh 8:34). Selaras dengan ini, Paulus berpikir tentang dirinya sendiri sebagai 'bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa' (Rm 7:14), terjual di bawah kuasa tuan yg kejam. Ia mengingatkan orang-orang Roma bahwa dahulu mereka adalah 'budak-budak dosa' (Rm 6:17). Dari sudut pandang yg lain, manusia berada di bawah hukuman mati karena dosanya. 'Sebab upah dosa adalah maut' (Rm 6:23). Pendosa adalah budak. Pendosa pasti mati.

       Bagaimanapun juga, dunia kuno memandang bahwa situasi manusia sangat membutuhkan penebusan. Tanpa penebusan berarti perbudakan akan berlanjut, hukuman mati akan dilaksanakan. Salib Kristus dilihat dengan latar belakang ini. Salib Kristus adalah harga yg dibayarkan untuk membebaskan budak-budak, untuk memerdekakan si terhukum.
       Dalam metafora ini tetap ada ide tentang pembayaran harga. Tapi justru inilah yg dipersoalkan oleh beberapa orang, yg berpikir bahwa penebusan tidak lebih dari cara lain untuk mengatakan 'pembebasan'. Alasan utama untuk berpikir demikian, ialah beberapa bagian PL yg berkata bahwa TUHAN menebus umat-Nya (Kel 6:6; Mzm 77:16 dab; dll), dan tidak dapat dipikirkan bahwa Dia harus membayar suatu harga kepada seseorang. Tapi inilah kesalahpahaman. Memang kadang-kadang dalam PL TUHAN dipikirkan begitu kuat sehingga kekuatan segenap bangsa hanyalah barang kecil bagi-Nya, dan lagi 'penebusan' tidak disebut dalam ay-ay itu. Di mana dipakai penebusan, di situ ada pemikiran tentang usaha. TUHAN menebus 'dengan lengan yg terentang'. Dia menyatakan kekuatan-Nya. Karena Dia mengasihi umat-Nya maka Dia menebusnya dengan korban, yakni diriNya sendiri. Usaha-Nya dipandang sebagai 'harga' penebusan. Itulah sebabnya peristilahan 'penebusan' dipakai.

        Istilah khas PB untuk penebusan ialah apolutrosis, suatu kata yg jarang muncul di lain tempat. Kata itu muncul 10 kali dalam PB, tapi hanya 8 kali dalam semua kepustakaan Yunani selebihnya. Ini mungkin menyatakan keyakinan orang Kristen purba, bahwa penebusan yg dikerjakan dalam Kristus adalah unik. Tapi itu tidak berarti sebagaimana orang berpikir, bahwa mereka mengerti penebusan hanyalah sebagai 'pembebasan'. Untuk itu mereka menggunakan kata rhuomai, 'membebaskan'. apolutrosis berarti pembebasan berdasarkan pembayaran harga tunai dan tuntas, dan harga itu adalah kematian Juruselamat sebagai tebusan. Ungkapan 'penebusan oleh darahNya' (Ef 1:7) menjelaskan bahwa darah Kristus dipandang sebagai harga tebusan. Halnya sama dengan Rm 3:24 dab, 'dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya'.

          Dalam kutipan di atas Paulus menggunakan tiga metafora, yaitu metafora dari dunia pengadilan, dari dunia korban-korban, dan dari dunia perbudakan. Baiklah kita memusatkan perhatian pada yg terakhir. Paulus membayangkan suatu proses pembebasan, tapi dengan pembayaran suatu harga, yaitu darah Kristus. Dalam Ibr 9:15 penebusan juga dihubungkan dengan kematian Kristus. Kadang-kadang kita bertemu dengan penyebutan harta, tapi itu bukan penebusan, seperti dalam acuan-acuan tentang 'kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar' (1 Kor 6:19 dab; 7:22 dab). Ide dasarnya adalah sama. Kristus membeli manusia dengan mengorbankan darahNya. Dalam Gal 3:13 harga tebusan itu dirumuskan sebagai, 'menjadi kutuk karena kita'. Kristus menebus kita dengan menempati tempat kita, dengan memikul kutuk kita. Hal ini mengacu kepada ide tentang penggantian dalam penebusan, ide yg kadang-kadang memperoleh tekanan seperti dalam Mrk 10:45 ('tebusan bagi banyak orang').
Penebusan tidak hanya menengok ke belakang ke Golgota. Penebusan memandang ke depan ke kemerdekaan yg di dalamnya si tertebus berada. 'Kamu telah dibeli, dan harganya telah lunas dibayar', jadi Paulus dapat berkata, 'karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu' (1 Kor 6:20). Justru karena mereka telah ditebus dengan harga yg demikian itu, maka orang percaya harus menjadi milik Allah. Mereka harus memperlihatkan dalam hidup mereka, bahwa mereka tidak lagi tertawan di dalam perbudakan dari mana mereka telah dilepaskan. Mereka dinasihati supaya 'berdiri teguh di dalam kemerdekaan yg dengannya Kristus telah memerdekakan kita' (Gal 5:1).

Sabtu 16 Februari 2018
posting melaui Hanpone android Note 5 di Gangsiran Putuk Batu Jawa Timur.

BIBLIOGRAFI

LAE, hlm 318 dab; L Morris, The Apostolic Preaching of the Cross3, 1965, bab 1, TWNT; B. B Warfield, The Person and Work of Christ, (red.) S. G Craig, 1950, bab 9; O Procksch, F Buchsel, TDNT 4, hlm 328-356; C Brown dll, NIDNTT 3, hlm 177-223. LM/BS/HAO

Jumat, 15 Februari 2019

KEKUDUSAN ALLAH

            KEKUDUSAN ALLAH

          Ev. Matius Sobolim, M. Th.

ALLAH ADALAH KUDUS
Undang-undang Kekudusan (Im. 17-20) merupakan suatu ikhtisar ketetapan-ketetapan ritual dan moral yang didasarkan pada kekudusan Allah (Im. 19:2). Kemungkinan Undang-undang Kekudusan itu digunakan oleh imam-imam dan orang Lewi sebagai pengajaran. Dalam PB kekudusan yang dimiliki Bait Yerusalem dianggap sebagai kuail umat Kristen (1Kor. 3:16-17); namun, terutama Yesus disebut kudus (Luk. 1:35), sebagaimana Ia disebut pada awal pemberitaan-Nya (Kis. 3:14), dan seperti Ia menyapa Bapa-Nya (Job. 17:11). Gereja juga kudus (Ef. 2:19-22), didiami oleh  Roh Kudus karena itu, setiap perilaku yang merusak hubungan ini dicela (Rm. 5:5; 2Kor. 6:16-17).
          Digunakan dalam  Doa Bapa Kami (Mat. 6:9) dengan anti menghormati sebagai yang kudus. Istilah-istilah yg prinsipal adalah gadosy dan  (Ibrani) dan hagios (Yunani). Terjemahan yg lazim bagi keduanya adalah kudus, walaupun kadang-kadang keduanya diterjemahkan dengan 'suci'. Perbedaan antara kudus dan suci tidaklah gamblang, justru bisa benar mengatakan bahwa bila yg dipikirkan adalah kualitas hakiki Tuhan dan manusia, maka dipakailah istilah kudus; istilah suci menekankan akibat daripada sikap yg menjurus kepada kesucian.
          Dalam bahasa Ibrani Qadosy dapat berarti 'terpisah' (dikhususkan) atau 'terpotong dari', digunakan terhadap keadaan terlepasnya seseorang atau suatu benda (supaya Tuhan dapat memakainya, dan dgn demikian terhadap keadaan orang atau obyek yg dilepas itu). Hagios mempunyai dasar pemikiran yg sama mengenai keterpisahan dan kesucian terhadap Allah. Kata 'mahakudus' dalam Kis 2:27 dan kata 'kudus' dalam Why 15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani hosios (di tempat lain diterjemahkan 'suci' atau 'saleh'), suatu kata yg mengandung arti hubungan yg benar dengan Allah, mungkin juga dalam pengertian kekasih.
a. Kekudusan Allah
Istilah kudus didalam PL sama dengan di PB, dipakai dalam pengertian tertinggi terhadap Allah. Istilah itu menunjuk, pertama, kepada keterpisahan Allah dari ciptaan dan bahwa Ia mengungguli ciptaan itu. Demikianlah 'kudus' menggambarkan transendensi Allah. Yahweh, karena 'kekudusan'-Nya berdiri bertentangan dengan ilah-ilah (Kel 15:11) demikian juga dengan seluruh ciptaan (Yes 40:25).  ALLAH.
Istilah itu juga menunjuk kepada hubungan, dan mengandung arti ketentuan Allah untuk memelihara kedudukanNya sendiri terhadap makhluk-makhluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, 'sifat dalam mana Yahweh menjadikan diriNya sendiri ukuran mutlak bagi diriNya sendiri' (Godet). Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan manusia (Hos 11:9), itu adalah sama artinya dengan 'Allah yg tertinggi', dan terutama menekankan sifat Allah yg sangat menakutkan (Mzm 99:3).
Karena kekudusan meliputi setiap keistimewaan sifat Allah, maka hal itu dapat disifatkan sebagai: demikianlah Allah adanya. Sebagaimana sinar matahari mencakup semua warna dalam spektrumnya dan menjadi cahaya (terang) demikianlah dalam penyataan diriNya sendiri, semua sifat Allah menjadi satu dalam kekudusan; untuk maksud itu maka kekudusan pernah disebut: 'sifat dari segala sifat' yg kesatuannya mencakup segala sifat Allah. Untuk mengerti keberadaan dan perangai Allah sebagai hanya kumpulan kesempurnaan yg abstrak, berarti membuat Allah tidak riil. Di dalam Allah dari Alkitab, kesempurnaan hidup berfungsi dalam kekudusan.
Karena itu dapatlah dimengerti mengapa kekudusan khas disifatkan dalam Kitab Suci untuk setiap Oknum Allah Tritunggal, Bapak (Yoh 17:11), Anak (Kis 4:30) dan khususnya bagi Roh Kudus sebagai yg menyatakan dan yg mengaruniakan kekudusan Allah kepada ciptaan-Nya.
b. Kekudusan Allah dalam hubungan dengan umat-Nya
         Umat Allah adalah kudus karena mereka dimurnikan melalui Kristus dan mereka hanya kepunyaan Allah. Dengan bantuan Roh Kudus mereka menjaga dirinya dari dosa, dan hidup hanya untuk Allah. Segala sesuatu yang terpisahkan (dikhususkan) dari kebiasaan atau hal-hal yang duniawi adalah 'kudus'. Karena itu, di atas semuanya, Allah adalah kudus (Yes. 6:3), dan kekudusan-Nya diperluas kepada manusia yang berada dalam transaksi dengan-Nya (mis. imam-imam di Bait Allah) dan segala peralatan yang mereka gunakan serta perayaan-perayaan yang mereka rayakan (Im. 23). PL menggunakan kata 'kudus' atas orang yg dinobatkan bagi maksud-maksud agamawi. Misalnya para imam yg ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yg disucikan bagi Allah tidak sama dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini 'kudus' mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terlepas dari PB, sebagaimana dalam 1 Kor 7:14, di mana suami yg tidak beriman dikuduskan karena hubungannya dengan istri yg beriman demikian sebaliknya.
         Tapi konsepsi mengenai kekudusan berkembang, sejalan dengan penyataan Allah, dari luar ke dalam, dari yg bersifat upacara kepada kenyataan; maka 'kudus' mendapat arti etis yg kuat, dan ini adalah maknanya, yg nyaris satu-satunya makna dalam PB. Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yg Ia terapkan pada diriNya sendiri dan segi yg Ia kehendaki supaya makhluk ciptaan-Nya mengenal Dia demikian. Dan para nabi menyatakan bahwa Allah menghendaki untuk mengkomunikasikan kekudusan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya Ia menuntut kesucian dari mereka. Apabila 'Aku ini kudus adanya', demikianlah pernyataan Allah sendiri yg mengangkat hakikat diriNya mengungguli makhluk ciptaan-Nya, demikianlah 'hendaknya kamu kudus' adalah seruan Allah bagi makhluk ciptaan-Nya, supaya mereka dapat menjadi orang yg mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr 12:10). Kekudusan Allah dikaruniakan kepada jiwa manusia, pada saat ia dilahirkan kembali, dan itulah yg menjadi sumber dan landasan bagi tabiat yg suci.
          Kristus dalam hidup dan sifat-sifat-Nya adalah teladan tertinggi kekudusan Allah. Dalam Dia keadaan kudus bahkan lebih daripada hanya tidak berdosa: itu adalah penyerahan-Nya yg seutuhnya kepada kehendak dan maksud Allah, dan untuk itu Yesus menguduskan diriNya sendiri (Yoh 17:19). Kekudusan Kristus adalah ukuran bagi sifat orang Kristen dan jaminannya, 'Sebab Ia yg menguduskan dan mereka yg dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu' (Ibr 2:11).  
         Dalam PB petunjuk rasuli bagi orang Kristen ialah orang-orang kudus (hagioi). Istilah ini terus dipakai sebagai petunjuk umum, sekurang-kurangnya sampai zaman Ireneus dan Tertulianus (abad 3 sM), kendati sesudah itu dalam pemakaian gerejawi derajatnya merosot menjadi gelar yg diperoleh sebagai kehormatan. Walaupun anti utamanya adalah hubungan dengan pribadi, toh juga menggambarkan sifat, dan terutama sifat seperti sifat Kristus. Di mana-mana dalam PB ditekankan anti kekudusan secara etis bertentangan dengan hal-hal yg kotor. Kekudusan ialah panggilan tertinggi bagi orang Kristen dan tujuan daripada hidupnya. Pada Hari Kiamat, menurut Kitab Suci, ada dua kategori manusia yaitu yg benar dan yg jahat.
c. Makna eskatologis mengenai kekudusan
          Kitab Suci menekankan kemantapan sifat moral (Why 22: 11), juga menekankan segi pembalasan dari kekudusan Allah, yg mencakup dunia dalam penghakiman. Berdasarkan hakikat Allah, hidup diatur sedemikian rupa sehingga dalam kekudusan terdapat 'sejahtera', dalam dosa terdapat 'kutuk'. Karena kekudusan Allah tidak bisa membuat dan mengindahkan suatu alam semesta di mana dosa dapat tumbuh dengan sempurna, maka kualitas pembalasan dalam pemerintahan Allah menjadi jelas. Tapi pembalasan itu bukanlah akhir dari segala sesuatu; kekudusan Allah menjamin bahwa akan ada perbaikan akhir, suatu palingenesia, suatu regenerasi dalam bidang moral. Eskatologi Alkitab berjanji bahwa kekudusan Allah akan membersihkan alam semesta, lalu menciptakan langit baru dan bumi baru dimana terdapat kebenaran (2 Ptr 3:13).

Kekudusan Allah adalah mutlak kekal dan abadi. Jaka Allah menuntut manusia Kudus, maka perintah itu tidak bisa dibatasi oleh manusia. Karena Esensi Allah adalah Kudus dalam keabadian.

Sabtu 16 Februari 2019 di Gangsiran Butuk desa Telekund Kecamatan Junerjo, Kota Wisata Batu. Provinsi Jawa Timur. Posting Melalui HP Android untuk kepentingan pengembangan sekaligus memahami arti dan seluruh isi Firman Allah tentang Kekudusan ALLAH; Ditinjau dari sudut pandang Alkitab.

sobolommatius@gmail.com

BIBLIOGRAFI

A Murray, Holy in Christ, 1888; 

R Otto (trJ. W Harvey), The Idea of theHoly,1946; ERE, 6, hlm 731-759; W. E Sangster, The Path to Perfection, 1943; 

H Seebass, C Brown, di NIDNTT 2, hlm 223-238; TDNT 1, hlm 88-115, 122: 3, hlm 221-230; 5, hlm 489-493; 7, hlm 175-185. RAF/P.


KEKUDUSAN ALLAH

            KEKUDUSAN ALLAH
             Ev. Matius Sobolim, M. Th.

ALLAH ADALAH KUDUS
Undang-undang Kekudusan (Im. 17-20) merupakan suatu ikhtisar ketetapan-ketetapan ritual dan moral yang didasarkan pada kekudusan Allah (Im. 19:2). Kemungkinan Undang-undang Kekudusan itu digunakan oleh *imam-imam dan orang Lewi sebagai pengajaran.Dalam PB kekudusan yang dimiliki Bait Yerusalem dianggap sebagai kuali umat Kristen (1Kor. 3:16-17); namun, terutama Yesus disebut kudus (Luk. 1:35), sebagaimana Ia disebut pada awal pemberitaan-Nya (Kis. 3:14), dan seperti Ia menyapa Bapa-Nya (Job. 17:11). Gereja juga kudus (Ef. 2:19-22), didiami oleh --> Roh Kudus karena itu, setiap perilaku yang merusak hubungan ini dicela (Rm. 5:5; 2Kor. 6:16-17).

Digunakan dalam  Doa Bapa Kami (Mat. 6:9) dengan anti menghormati sebagai yang kudus. Istilah-istilah yg prinsipal adalah gadosy dan qodesy (Ibrani) dan hagios (Yunani). Terjemahan yg lazim bagi keduanya adalah kudus, walaupun kadang-kadang keduanya diterjemahkan dengan 'suci'. Perbedaan antara kudus dan suci tidaklah gamblang, justru bisa benar mengatakan bahwa bila yang dipikirkan adalah kualitas hakiki Tuhan dan manusia, maka dipakailah istilah kudus; istilah suci menekankan akibat daripada sikap yang menjurus kepada kesucian.

 Dalam bahasa Ibrani Qadosy dapat berarti 'terpisah' (dikhususkan) atau 'terpotong dari', digunakan terhadap keadaan terlepasnya seseorang atau suatu benda (supaya Tuhan dapat memakainya, dan dgn demikian terhadap keadaan orang atau obyek yang dilepas itu). Hagios mempunyai dasar pemikiran yg sama mengenai keterpisahan dan kesucian terhadap Allah. Kata 'mahakudus' dalam Kis 2:27 dan kata 'kudus' dalam Why 15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani hosios (di tempat lain diterjemahkan 'suci' atau 'saleh'), suatu kata yang mengandung arti hubungan yg benar dengan Allah, mungkin juga dalam pengertian kekasih.
a. Kekudusan Allah
Istilah kudus didalam PL sama dengan di PB, dipakai dalam pengertian tertinggi terhadap Allah. Istilah itu menunjuk, pertama, kepada keterpisahan Allah dari ciptaan dan bahwa Ia mengungguli ciptaan itu. Demikianlah 'kudus' menggambarkan transendensi Allah. Yahweh, karena 'kekudusan'-Nya berdiri bertentangan dengan ilah-ilah (Kel 15:11) demikian juga dengan seluruh ciptaan (Yes 40:25).  ALLAH.

Istilah itu juga menunjuk kepada hubungan, dan mengandung arti ketentuan Allah untuk memelihara kedudukanNya sendiri terhadap makhluk-makhluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, 'sifat dalam mana Yahweh menjadikan diriNya sendiri ukuran mutlak bagi diriNya sendiri' (Godet). Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan manusia (Hos 11:9), itu adalah sama artinya dengan 'Allah yg tertinggi', dan terutama menekankan sifat Allah yg sangat menakutkan (Mzm 99:3).

Karena kekudusan meliputi setiap keistimewaan sifat Allah, maka hal itu dapat disifatkan sebagai: demikianlah Allah adanya. Sebagaimana sinar matahari mencakup semua warna dalam spektrumnya dan menjadi cahaya (terang) demikianlah dalam penyataan diriNya sendiri, semua sifat Allah menjadi satu dalam kekudusan; untuk maksud itu maka kekudusan pernah disebut: 'sifat dari segala sifat' yg kesatuannya mencakup segala sifat Allah.

Untuk mengerti keberadaan dan perangai Allah sebagai hanya kumpulan kesempurnaan yg abstrak, berarti membuat Allah tidak riil. Di dalam Allah dari Alkitab, kesempurnaan hidup berfungsi dalam kekudusan.
Karena itu dapatlah dimengerti mengapa kekudusan khas disifatkan dalam Kitab Suci untuk setiap Oknum Allah Tritunggal, Bapak (Yoh 17:11), Anak (Kis 4:30) dan khususnya bagi Roh Kudus sebagai yg menyatakan dan yg mengaruniakan kekudusan Allah kepada ciptaan-Nya.
b. Kekudusan Allah dalam hubungan dengan umat-Nya
         Umat Allah adalah kudus karena mereka dimurnikan melalui Kristus dan mereka hanya kepunyaan Allah. Dengan bantuan Roh Kudus mereka menjaga dirinya dari dosa, dan hidup hanya untuk Allah. Segala sesuatu yang terpisahkan (dikhususkan) dari kebiasaan atau hal-hal yang duniawi adalah 'kudus'.

Karena itu, di atas semuanya, Allah adalah kudus (Yes. 6:3), dan kekudusan-Nya diperluas kepada manusia yang berada dalam transaksi dengan-Nya (mis. imam-imam di Bait Allah) dan segala peralatan yang mereka gunakan serta perayaan-perayaan yang mereka rayakan (Im. 23). PL menggunakan kata 'kudus' atas orang yg dinobatkan bagi maksud-maksud agamawi. Misalnya para imam yg ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yg disucikan bagi Allah tidak sama dengan bangsa-bangsa lain.

Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini 'kudus' mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terlepas dari PB, sebagaimana dalam 1 Kor 7:14, di mana suami yg tidak beriman dikuduskan karena hubungannya dengan istri yg beriman demikian sebaliknya.
         Tapi konsepsi mengenai kekudusan berkembang, sejalan dengan penyataan Allah, dari luar ke dalam, dari yg bersifat upacara kepada kenyataan; maka 'kudus' mendapat arti etis yg kuat, dan ini adalah maknanya, yg nyaris satu-satunya makna dalam PB. Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yg Ia terapkan pada diriNya sendiri dan segi yg Ia kehendaki supaya makhluk ciptaan-Nya mengenal Dia demikian. Dan para nabi menyatakan bahwa Allah menghendaki untuk mengkomunikasikan kekudusan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya Ia menuntut kesucian dari mereka.

Apabila 'Aku ini kudus adanya', demikianlah pernyataan Allah sendiri yg mengangkat hakikat diriNya mengungguli makhluk ciptaan-Nya, demikianlah 'hendaknya kamu kudus' adalah seruan Allah bagi makhluk ciptaan-Nya, supaya mereka dapat menjadi orang yg mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr 12:10). Kekudusan Allah dikaruniakan kepada jiwa manusia, pada saat ia dilahirkan kembali, dan itulah yg menjadi sumber dan landasan bagi tabiat yg suci.
          Kristus dalam hidup dan sifat-sifat-Nya adalah teladan tertinggi kekudusan Allah. Dalam Dia keadaan kudus bahkan lebih daripada hanya tidak berdosa: itu adalah penyerahan-Nya yg seutuhnya kepada kehendak dan maksud Allah, dan untuk itu Yesus menguduskan diriNya sendiri (Yoh 17:19). Kekudusan Kristus adalah ukuran bagi sifat orang Kristen dan jaminannya, 'Sebab Ia yg menguduskan dan mereka yg dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu' (Ibr 2:11). 
         Dalam PB petunjuk rasuli bagi orang Kristen ialah orang-orang kudus (hagioi). Istilah ini terus dipakai sebagai petunjuk umum, sekurang-kurangnya sampai zaman Ireneus dan Tertulianus (abad 3 sM), kendati sesudah itu dalam pemakaian gerejawi derajatnya merosot menjadi gelar yg diperoleh sebagai kehormatan.

         Walaupun anti utamanya adalah hubungan dengan pribadi, toh juga menggambarkan sifat, dan terutama sifat seperti sifat Kristus. Di mana-mana dalam PB ditekankan anti kekudusan secara etis bertentangan dengan hal-hal yg kotor. Kekudusan ialah panggilan tertinggi bagi orang Kristen dan tujuan daripada hidupnya. Pada Hari Kiamat, menurut Kitab Suci, ada dua kategori manusia yaitu yg benar dan yg jahat.
c. Makna eskatologis mengenai kekudusan
          Kitab Suci menekankan kemantapan sifat moral (Why 22: 11), juga menekankan segi pembalasan dari kekudusan Allah, yg mencakup dunia dalam penghakiman. Berdasarkan hakikat Allah, hidup diatur sedemikian rupa sehingga dalam kekudusan terdapat 'sejahtera', dalam dosa terdapat 'kutuk'.

Karena kekudusan Allah tidak bisa membuat dan mengindahkan suatu alam semesta di mana dosa dapat tumbuh dengan sempurna, maka kualitas pembalasan dalam pemerintahan Allah menjadi jelas. Tapi pembalasan itu bukanlah akhir dari segala sesuatu; kekudusan Allah menjamin bahwa akan ada perbaikan akhir, suatu palingenesia, suatu regenerasi dalam bidang moral. Eskatologi Alkitab berjanji bahwa kekudusan Allah akan membersihkan alam semesta, lalu menciptakan langit baru dan bumi baru dimana terdapat kebenaran (2 Ptr 3:13).

Kekudusan Allah adalah mutlak kekal dan abadi. Jaka Allah menuntut manusia Kudus, maka perintah itu tidak bisa dibatasi oleh manusia. Karena Esensi Allah adalah Kudus dalam keabadian.


BIBLIOGRAFI
Murray, Holy in Christ, 1888; R Otto (trJ. W Harvey), 
The Idea of theHoly,1946; ERE, 6, hlm 731-759; 
W. E Sangster, The Path to Perfection, 1943; 
H Seebass, C Brown, di NIDNTT 2, hlm 223-238; 
TDNT 1, hlm 88-115, 122: 3,  221-230; 5, hlm 489-493; 7, hlm 175-185. RAF/P