Kamis, 17 April 2014

Dapatkah monoteisme dibuktikan?

Dapatkah monoteisme dibuktikan?
          Definisi monoteisme – Monoteisme berasal dari kata “mono” (tunggal) dan “teisme” (kerpercayaan pada Allah). Khususnya monoteisme adalah kepercayaan pada satu Allah yang sejati yang adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan juga Hakim dari segala makhluk. Monoteisme berbeda dari henoteisme yang adalah kepercayaan pada bermacam allah dengan satu allah yang lebih utama dari semua allah yang lain. Monoteisme juga bertolak belakang dengan politeisme yang adalah kepercayaan pada adanya banyak allah.

            Ada banyak argumen yang mendukung monoteisme, termasuk di dalamnya pewahyuan khusus (Alkitab), pewahyuan alam (filosofi), dan juga antropologi sejarah. Berikut ini semuanya akan diuraikan secara amat singkat walaupun penjelasan ini tidak boleh dianggap sebagai penjelasan yang menyeluruh.

            Argumen Biblika untuk monoteisme – Ulangan 4:35, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” Ulangan 6:4, “ Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Maleakhi 2:10a, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?” 1 Korintus 8:6, “ namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” 1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yakobus 2:19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”

            Jelas bahwa bagi banyak orang tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa hanya ada satu Allah karena Alkitab mengatakan demikian. Ini adalah karena tanpa Allah tidak ada cara untuk membuktikan bahwa Alkitab benar-benar adalah FirmanNya! Namun demikian, orang bisa saja mengatakan bahwa karena Alkitab memiliki bukti supranatural yang paling dapat diandalkan yang menguatkan apa yang diajarkan, ini dapat menjadi dasar yang meneguhkan monoteisme. Argumen yang serupa adalah kepercayaan dan pengajaran Yesus Kristus yang membuktikan bahwa Dia adalah Alah (atau paling sedikit Dia diperkenankan Allah) melalui kelahiranNya yang merupakan mujizat, kehidupanNya, dan mujizat kebangkitanNya. Allah tidak dapat berdusta atau ditipu; karena itu apa yang dpercayai dan diajarkan Yesus adalah benar adanya. Karena itu, monoteisme, sebagaimana yang dipercayai dan diajarkan Yesus, adalah benar adanya. Argumen ini mungkin tidak akan berkesan dalam bagi mereka yang tidak mengenal bukti supranatural Alkitab dan Kristus, namun ini merupakan suatu permulaan yang baik bagi mereka yang memahaminya.

            Argumen historis untuk monoteisme – Argumen yang berdasarkan popularitas sangat perlu dicurigai, namun adalah menarik melihat betapa monoteisme mempengaruhi agama-agama dunia. Teori yang terkenal mengenai perkembangan agama secara evolusi berasal dari pandangan mengenai realita secara umum, dan anggapan mengenai antropologi evolutionis yang memandang kebudayaan-kebudayaan “primitif” sebagai wakil dari tahapan awal perkembangan agama. Namun ada beberapa masalah dengan teori evolusi semacam ini:
1.      Perkembangan yang dilukiskan tidak pernah diamati – bahkan kenyataannya kelihatannya tidak ada peningkatan ke arah monoteisme dari kebudayaan manapun – yang terjadi malah kebalikannya.
2.      Metode antropologi mendefinisikan “primitif” dengan menyamakannya dengan perkembangan tehnologi, namun ini bukanlah kriteria yang memuaskan karena dalam suatu budaya terdapat begitu banyak komponen.
3.      Tahapan-tahapan yang dimaksud sering hilang atau dilangkahi.
4.      Akhrnya, kebanyakan budaya politeistik memperlihatkan sisa-sisa monoteisme dari tahap awal perkembangan mereka. Apa yang kita temukan adalah Allah yang monoteistik ini merupakan suatu pribadi, maskulin, tinggal di langit, memiliki pengetahuan dan kuasa yang luar biasa, menciptakan dunia, sumber dari moralitas yang harus kita taati, namun kita langgar dan sebagai akibatnya kita terbuang, namun jalan pendamaian sudah disediakan. Bisa dikata semua agama mengandung variasi dari Allah semacam ini pada dulunya sebelum kemudian “merosot” pada kacaunya politeisme, animisme dan sihir – bukan sebaliknya (Islam adalah kasus yang amat jarang, di mana Islam berbalik 360 derajat kembali kepada kepercayaan monoteistik). Namun sekalipun dengan pergerakan seperti ini, politeisme sering kali merupakan monoteistik atau henoteistik fungsional. Jarang ada agama politeistik yang tidak memiliki salah satu dari dewa dewi sebagai allah yang berkuasa di atas allah-allah lainnya, di mana allah-allah lainnya ini bertindak hanya sebagai pengantara.

            Argumen filosofis/teologis untuk Monoteisme – Ada banyak argumen filosofis mengenai ketidakmungkinan untuk adanya lebih dari satu Allah. Banyak dari argumen ini bergantung pada posisi metafisik seseorang dalam soal natur dari realita. Dalam artikel yang begitu pendek ini adalah tidak mungkin untuk menjabarkan semua pandangan dasar metafisik ini dan kemudian memperlihatkan pandangan mereka mengenai monoteisme, tapi percayalah bahwa ada dasar-dasar filosofis dan teologis dari kebenaran-kebenaran ini yang sudah beribu tahun lamanya (dan kebanyakan tidak perlu dijelaskan lagi). Secara singkat, berikut ini adalah tiga argumen yang seseorang dapat pilih untuk diteliti (mulai dari yang kurang sulit):
1)     Kalau ada lebih dari satu Allah, maka alam semesta akan kacau karena ada bermacam pencipta dan penguasa, tapi kenyataannya alam semesta tidak kacau; karena itu hanya ada satu Allah.
2)     Karena Allah adalah makhluk yang sempurna, maka tidak mungkin ada Allah yang kedua karena keduanya pasti akan ada perbedaan, dan untuk berbeda dari yang sempurna berarti kurang sempurna dan bukan Allah.
3)     Karena Allah ada secara tidak terbatas, maka Allah tidak bisa terbagi-bagi (karena bagian tidak dapat dijumlahkan untuk menjadi tidak terbatas). Kalau keberadaan Allah bukan hanya merupakan bagian dari diriNya (sebagaimana lazimnya bagi segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada), maka Allah haruslah memiliki memiliki keberadaan yang tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin ada dua makhluk yang tidak terbatas karena yang satu haruslah berbeda dari yang lainnya, dan berbeda dari keberadaan yang tidak terbatas berarti tidak ada sama sekali.

            Orang mungkin bisa berargumen bahwa banyak argumen ini tidak menyingkirkan “allah-allah” tingkat yang lebih rendah, dan itu bisa saja diterima. Walaupun kita tahu bahwa ini tidaklah benar secara Alkitabiah, secara teori sama sekali tidak ada salahnya. Dengan kata lain, Allah bisa saja mencipta “allah-allah” tingkat lebih rendah, namun kenyataannya Dia tidak melakukan hal itu. Kalau Dia melakukannya, bukan saja “allah-allah” ini merupakan makhluk ciptaan yang terbatas, mungkin sangat mirip dengan para malaikat (bdk. Mazmur 82). Hal ini tidak akan merusak monoteisme yang tidak pernah mengatakan bahwa tidak ada makhluk rohani lainnya – hanya saja tidak ada Allah lainnya.[1]


                    Matius Sobolim, S. Th 

          Definisi monoteisme – Monoteisme berasal dari kata “mono” (tunggal) dan “teisme” (kerpercayaan pada Allah). Khususnya monoteisme adalah kepercayaan pada satu Allah yang sejati yang adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan juga Hakim dari segala makhluk. Monoteisme berbeda dari henoteisme yang adalah kepercayaan pada bermacam allah dengan satu allah yang lebih utama dari semua allah yang lain. Monoteisme juga bertolak belakang dengan politeisme yang adalah kepercayaan pada adanya banyak allah.


            Ada banyak argumen yang mendukung monoteisme, termasuk di dalamnya pewahyuan khusus (Alkitab), pewahyuan alam (filosofi), dan juga antropologi sejarah. Berikut ini semuanya akan diuraikan secara amat singkat walaupun penjelasan ini tidak boleh dianggap sebagai penjelasan yang menyeluruh.



            Argumen Biblika untuk monoteisme – Ulangan 4:35, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” Ulangan 6:4, “ Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Maleakhi 2:10a, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?” 1 Korintus 8:6, “ namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” 1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yakobus 2:19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”



            Jelas bahwa bagi banyak orang tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa hanya ada satu Allah karena Alkitab mengatakan demikian. Ini adalah karena tanpa Allah tidak ada cara untuk membuktikan bahwa Alkitab benar-benar adalah FirmanNya! Namun demikian, orang bisa saja mengatakan bahwa karena Alkitab memiliki bukti supranatural yang paling dapat diandalkan yang menguatkan apa yang diajarkan, ini dapat menjadi dasar yang meneguhkan monoteisme. Argumen yang serupa adalah kepercayaan dan pengajaran Yesus Kristus yang membuktikan bahwa Dia adalah Alah (atau paling sedikit Dia diperkenankan Allah) melalui kelahiranNya yang merupakan mujizat, kehidupanNya, dan mujizat kebangkitanNya. Allah tidak dapat berdusta atau ditipu; karena itu apa yang dpercayai dan diajarkan Yesus adalah benar adanya. Karena itu, monoteisme, sebagaimana yang dipercayai dan diajarkan Yesus, adalah benar adanya. Argumen ini mungkin tidak akan berkesan dalam bagi mereka yang tidak mengenal bukti supranatural Alkitab dan Kristus, namun ini merupakan suatu permulaan yang baik bagi mereka yang memahaminya.



            Argumen historis untuk monoteisme – Argumen yang berdasarkan popularitas sangat perlu dicurigai, namun adalah menarik melihat betapa monoteisme mempengaruhi agama-agama dunia. Teori yang terkenal mengenai perkembangan agama secara evolusi berasal dari pandangan mengenai realita secara umum, dan anggapan mengenai antropologi evolutionis yang memandang kebudayaan-kebudayaan “primitif” sebagai wakil dari tahapan awal perkembangan agama. Namun ada beberapa masalah dengan teori evolusi semacam ini:

1.      Perkembangan yang dilukiskan tidak pernah diamati – bahkan kenyataannya kelihatannya tidak ada peningkatan ke arah monoteisme dari kebudayaan manapun – yang terjadi malah kebalikannya.

2.      Metode antropologi mendefinisikan “primitif” dengan menyamakannya dengan perkembangan tehnologi, namun ini bukanlah kriteria yang memuaskan karena dalam suatu budaya terdapat begitu banyak komponen.

3.      Tahapan-tahapan yang dimaksud sering hilang atau dilangkahi.
4.      Akhrnya, kebanyakan budaya politeistik memperlihatkan sisa-sisa monoteisme dari tahap awal perkembangan mereka. Apa yang kita temukan adalah Allah yang monoteistik ini merupakan suatu pribadi, maskulin, tinggal di langit, memiliki pengetahuan dan kuasa yang luar biasa, menciptakan dunia, sumber dari moralitas yang harus kita taati, namun kita langgar dan sebagai akibatnya kita terbuang, namun jalan pendamaian sudah disediakan. Bisa dikata semua agama mengandung variasi dari Allah semacam ini pada dulunya sebelum kemudian “merosot” pada kacaunya politeisme, animisme dan sihir – bukan sebaliknya (Islam adalah kasus yang amat jarang, di mana Islam berbalik 360 derajat kembali kepada kepercayaan monoteistik). Namun sekalipun dengan pergerakan seperti ini, politeisme sering kali merupakan monoteistik atau henoteistik fungsional. Jarang ada agama politeistik yang tidak memiliki salah satu dari dewa dewi sebagai allah yang berkuasa di atas allah-allah lainnya, di mana allah-allah lainnya ini bertindak hanya sebagai pengantara.



            Argumen filosofis/teologis untuk Monoteisme – Ada banyak argumen filosofis mengenai ketidakmungkinan untuk adanya lebih dari satu Allah. Banyak dari argumen ini bergantung pada posisi metafisik seseorang dalam soal natur dari realita. Dalam artikel yang begitu pendek ini adalah tidak mungkin untuk menjabarkan semua pandangan dasar metafisik ini dan kemudian memperlihatkan pandangan mereka mengenai monoteisme, tapi percayalah bahwa ada dasar-dasar filosofis dan teologis dari kebenaran-kebenaran ini yang sudah beribu tahun lamanya (dan kebanyakan tidak perlu dijelaskan lagi). Secara singkat, berikut ini adalah tiga argumen yang seseorang dapat pilih untuk diteliti (mulai dari yang kurang sulit):

1)     Kalau ada lebih dari satu Allah, maka alam semesta akan kacau karena ada bermacam pencipta dan penguasa, tapi kenyataannya alam semesta tidak kacau; karena itu hanya ada satu Allah.
2)     Karena Allah adalah makhluk yang sempurna, maka tidak mungkin ada Allah yang kedua karena keduanya pasti akan ada perbedaan, dan untuk berbeda dari yang sempurna berarti kurang sempurna dan bukan Allah.
3)     Karena Allah ada secara tidak terbatas, maka Allah tidak bisa terbagi-bagi (karena bagian tidak dapat dijumlahkan untuk menjadi tidak terbatas). Kalau keberadaan Allah bukan hanya merupakan bagian dari diriNya (sebagaimana lazimnya bagi segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada), maka Allah haruslah memiliki memiliki keberadaan yang tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin ada dua makhluk yang tidak terbatas karena yang satu haruslah berbeda dari yang lainnya, dan berbeda dari keberadaan yang tidak terbatas berarti tidak ada sama sekali.



            Orang mungkin bisa berargumen bahwa banyak argumen ini tidak menyingkirkan “allah-allah” tingkat yang lebih rendah, dan itu bisa saja diterima. Walaupun kita tahu bahwa ini tidaklah benar secara Alkitabiah, secara teori sama sekali tidak ada salahnya. Dengan kata lain, Allah bisa saja mencipta “allah-allah” tingkat lebih rendah, namun kenyataannya Dia tidak melakukan hal itu. Kalau Dia melakukannya, bukan saja “allah-allah” ini merupakan makhluk ciptaan yang terbatas, mungkin sangat mirip dengan para malaikat (bdk. Mazmur 82). Hal ini tidak akan merusak monoteisme yang tidak pernah mengatakan bahwa tidak ada makhluk rohani lainnya – hanya saja tidak ada Allah lainnya.[1]