Rabu, 29 Mei 2013

DEUTEROKANON, APOKRIFA, DAN ANAGIOSKOMEINA




             
oleh 
Matius Sobolim, S. Th. 

Alkitab Teutrokanonika
Seorang teman non-Kristen bertanya mengenai "perbedaan" Alkitab yang dipegang Gereja Katolik Roma dan Protestan via email. Saya pikir jawaban atas petanyaan tersebut (yg masih belum ada tambahan catatan referensinya) bisa saya taruh di sini untuk diketahui bersama:

            Pada dasarnya, dunia Kristen (Katolik Roma, Protestan, Orthodox) memiliki Kitab Suci yang sama. Dalam kasus Perjanjian Baru, isi dan jumlah buku maupun susunan kitab-kitabnya adalah sama dalam ketiga bentuk kekristenan tersebut. Namun dalam Perjanjian Lama, ada perbedaan mengenai apa yang disebut sebagai "Deuterokanonika" dalam Gereja Katolik Roma, yang oleh Protestan dianggap bukan bagian dari Kanon Kitab Suci dan disebut sebagai "Apokrifa", sementara pihak Orthodox menyebutnya sebagai "Anagioskomeina". Kitab-kitab itu menurut Protestan dianggap sebagai tambahan yang dilakukan kemudian oleh Gereja Katolik Roma. Sebaliknya Gereja Katolik Roma justru menuduh kitab-kitab tersebut telah dikurang-kurangi dan dibuang oleh pihak Protestan. Sementara itu, Orthodox mempunyai sikapnya sendiri yang tidak sama dengan kedua pendekatan itu.

            Untuk mengerti permasalahannya, kita harus melihat ke belakang dalam sejarah masa lalu. Setelah Alexander Agung dari Yunani berhasil menaklukkan seluruh Asia sampai di perbatasan India bagian barat, termasuk Palestina, Syria, dan Mesir, maka budaya dan bahasa Yunani menjadi bahasa internasional pada zaman itu. Akibat perpaduan antara budaya Yunani dengan budaya-budaya Asia itu, maka terbentuklah budaya global yang disebut budata Helenistik.

            Kota Alexanderia di Mesir menjadi pusat dari kebudayaan Helenistik ini. Orang-orang Yahudi banyak bermukim di situ. Mereka tidak bisa berbicara dalam bahasa Ibrani maupun Aramaik, melainkan mereka berbicara dengan bahasa Yunani. Ini terjadi kira-kira 250 tahun sebelum Kristus lahir di dunia. Pada saat itu, Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) belum "dikanonkan" (dipakemkan), terutama dalam hal kitab-kitab sejarah (kitab Yosua sampai dengan Ester), dan kitab-kitab sastra hikmat (kitab Mazmur sampai dengan Kidung Agung), sehingga oleh para rabbi (ulama Yahudi) pada saat proyek penerjemahannya ke bahasa Yunani diikut-sertakan pula sastra-sastra rohani Agama Yahudi yang ditulis antara zaman nabi Maleakhi sampai zaman Helenistik ini.


            Kitab-kitab itu adalah, kitab-kitab sejarah: 1, 2, 3, 4 Makabe, Yudit, Tobit, tambahan Ester, tambahan Daniel, Esdras, kitab-kitab nubuat: Barukh (murid nabi Yeremia), kitab-kitab Hikmat: Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, dan lain-lain. Terjemahan Kitab Ibrani dalam bahasa Yunani ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai "Septuaginta" (LXX, artinya "70" yg menunjukkan jumlah penerjemahnya) dan dalam bahasa Yunani disebut sebagai "Ephdomikonta".

Setelah proyek penerjemahan tersebut selesai, maka dengan demikian terdapat dua jenis kanon Perjanjian Lama pada saat Yesus Kristus belum datang ke dunia ini. Kanon yang pertama terdapat di Palestina adalah Kanon dalam bahasa Ibrani dengan jumlah kitab yang lebih pendek (Kanon Pendek). Kanon yang kedua ada di Alexanderia dalam bahasa Yunani dengan jumlah kitab yang lebih panjang (Kanon Panjang). Kanon Pendek adalah yang digunakan oleh orang-orang Yahudi di Palestina, sementara Kanon Panjang digunakan oleh orang-orang Yahudi di luar Palestina.
Ketika iman Kristen tersebar di zaman purba, ternyata mayoritas yang menerima Kristus adalah orang-orang non-Yahudi dan orang-orang Yahudi non-Palestina. Oleh karena itu, disebabkan faktor bahasanya, secara otomatis Kanon Panjang yang digunakan untuk membimbing mereka. Dengan menggunakan Kanon Panjang, Gereja purba membuktikan kepada umat Yahudi bahwa Mesias yang dinubuatkan itu adalah Yesus. Para rabbi Yahudi yang kebakaran jenggot marah dan bereaksi sehingga pada tahun 90 M, mereka mengadakan sidang di Yamnia (dekat Tel Aviv, Israel sekarang) melarang penggunaan Kanon Panjang dan menetapkan penggunaan Kanon Pendek saja. Sejak saat itu, Kanon Panjang (Septuaginta) menjadi eksklusif milik Gereja dan naskah Septuaginta inilah yang dikutip oleh para Rasul dalam Perjanjian Baru.
Inilah Kitab Suci resmi Gereja sejak awal. Dalam Septuaginta ada Kitab 4 Makabe, ada Surat Kiriman Yeremia, ada 2 Esdras (Ezra), ada Mazmur 151 yang tidak terdapat dalam Deuterokanonika Gereja Katolik Roma.
Gereja Orthodox sejak zaman purba telah mengetahui adanya dua bentuk Kanon Perjanjian Lama ini, sehingga Gereja Orthodox menggunakan Septuaginta itu sebagai Kitab Suci resmi dari zaman purba sampai kini, namun sambil menekankan bahwa yang dianggap mempunyai wibawa sebagai sumber dogma hanyalah apa yang terdapat dalam Kanon Pendek saja. Jumlah kitab yang lebih banyak dalam Kanon Panjang ditetapkan tidak boleh menjadi rujukan dogmatis, dari dulu sampai kini, namun boleh menjadi bacaan rohani dan susila. Jadi, kitab-kitab tersebut layak dibaca, dalam bahasa Yunani "Anagioskomeina", tapi tidak sejajar dengan Kanon Ibrani, maka bukan "Deuterokanonika" (Kanonika = Kanon, Deutero = Kedua) sebagaimana yang dipahami oleh Gereja Katolik Roma. Kitab-kitab ini bukan sesuatu yang bertentangan secara moral dan semangat dengan Kanon Perjanjian Lama, maka kitab-kitab ini tidak boleh pula disingkirkan atau diremehkan dan hanya dianggap sebagai "Apokrifa".

Reformasi Protestan yang awalnya bermula dari penolakan ajaran Indulgensi dan penjualan Surat Penghapusan Dosa yang dilakukan pihak-pihak Gereja Katolik Roma akhirnya menolak pula ajaran tentang "Api Penyucian" yang dianggap tidak terdapat dalam Kitab Suci dan yang dianggap pula sebagai biang keladi ajaran Indulgensi dan penjualan Surat Penghapusan Dosa. Gereja Katolik Roma merespon dengan mendasarkan ajaran "Api Penyucian" dari 2 Makabe 12:44-45 yang menyebutkan tentang doa bagi orang-orang mati dan diadakannya kurban penebusan bagi orang-orang mati agar dosanya diampuni. Gereja Orthodox, meskipun juga membaca itu dalam ayat ini, tidak melihat sama sekali ada ajaran tentang Api Penyucian dalam ayat ini. Sementara itu, Gerakan Reformasi akhirnya menolak juga ayat yang dianggap menjadi dasar tentang ajaran Api Penyucian ini, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan bahwa dengan demikian Deuterokanonika ini mengajarkan yang sesat, maka harus ditolak.

Akhirnya, Gerakan Reformasi menolak Deuterokanonika dan merujuk kepada Kanon Pendek yang digunakan oleh umat Yahudi. Jadi jika kita lihat sejarahnya, tidak ada Gereja Katolik Roma yang menambah-nambahi dan tidak ada Protestan yang mengurang-ngurangi. Yang ada adalah: dari sebelum Kristus lahir, memang sudah ada dua bentuk Kanon: Pendek (Palestina) dan Panjang (Alexanderia).
Dalam reaksinya terhadap Gerakan Reformasi Protestan ini, Gereja Katolik Roma mengadakan Kontra-Reformasi dan menyelenggarakan Konsili di Trente yang menegaskan bahwa "Deuterokanonika" sejajar dengan Kanon Ibrani. Sementara itu, Gereja Orthodox tetap menggunakan Septuaginta yang agak lebih panjang dari Deuterokanonika milik Gereja Katolik Roma, tanpa menganggap itu sejajar dengan Kanon Palestina. Gereja Orthodox memandang itu hanya "Anagioskomeina", bukan "Deuterokanonika", dan juga bukan "Apokrifa".  Sehingga, Gereja Orthodox menerima kedua-duanya, baik Kanon Panjang tanpa menjadikan "Anagioskomeina" sebagai "Deuterokanonika", maupun Kanon Pendek tanpa menjadikan "Anagioskomeina" sebagai "Apokrifa". Karena ada atau tidaknya "Anagioskomeina" sama sekali tidak menambah, mengubah, atau mempengaruhi akidah dan dogma, sebab itu hanya berisi sejarah dan himbauan moral saja.
Apakah aku hanya akan diam melihat mereka masuk rumah & memporakporandakan kita yang selama ini diam? Apakah sikapku bertentangan dengan Gereja atau tidak, Tuhan yang tahu. Yang aku tahu hanya mengangkat pedang tinggi untuk mengusir perusuh - (Vlad 'Drakula' Tepes, Pangeran & umat Orthodox Rumania)

Quote
Reformasi Protestan yang awalnya bermula dari penolakan ajaran Indulgensi dan penjualanSurat Penghapusan Dosa yang dilakukan pihak-pihak Gereja Katolik Roma akhirnya menolak pula ajaran tentang "Api Penyucian" yang dianggap tidak terdapat dalam Kitab Suci dan yang dianggap pula sebagai biang keladi ajaran Indulgensi dan penjualan Surat Penghapusan Dosa. Gereja Katolik Roma merespon dengan mendasarkan ajaran "Api Penyucian" dari 2 Makabe 12:44-45 yang menyebutkan tentang doa bagi orang-orang mati dan diadakannya kurban penebusan bagi orang-orang mati agar dosanya diampuni. Gereja Orthodox, meskipun juga membaca itu dalam ayat ini, tidak melihat sama sekali ada ajaran tentang Api Penyucian dalam ayat ini. Sementara itu, Gerakan Reformasi akhirnya menolak juga ayat yang dianggap menjadi dasar tentang ajaran Api Penyucian ini, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan bahwa dengan demikian Deuterokanonika ini mengajarkan yang sesat, maka harus ditolak.
Dalam ajaran katolik ada yang namanya hukuman "akibat dosa".

Jadi walaupun dosa kita telah diampuni namun kita juga masih menanggung hukuman akibat dosa yang kita lakukan. Analoginya seperti kalau kita tertusuk duri . Duri telah kita cabut namun kita masih mendapat luka yang perlu waktu untuk sembuh seperti sedia kala.Begitu juga dosa walaupun telah mendapat pengampunan maka kita masih menanggung hukuman akibat dosa tersebut.Contoh alkitabiahnya adalah Musa yang tidak boleh masuk tanah terjanji dan Daud yang dosa zinahnya diampuni namun menanggung hukuman akibat dosanya yaitu anaknya meninggal. 

 Permasalahannya katolik percaya bila hukuman akibat dosa itu jika tidak lunas dikerjakan semasa hidup maka akan diteruskan setelah hidup dalam "api penyucian"Sedangkan rekan2 protestan tidak meyakini hal yang demikian.
Begitu juga ajaran "api penyucian" ini menurut katolik bukan hanya berdasar pada ayat makabe diatas tapi juga dari tulisan kanonik rasul paulus terhadap bangunan yang didirikan diatas dasar.
Kalau tidak salah walau tidak disebutkan "api penyucian" tapi beberapa bapa gereja juga menyebutkan tentang adanya hukuman sementara yang masih harus ditanggung orang yang sudah wafat.

Again...kalau sudah bicara ajaran para bapa gereja tentu tidak bisa dijadikan rujukan oleh saudara2 protestan. Jadi kalau bicara ajaran/ penapsiran memang susah dan alot hehe... Namun dari tulisan om Wilie di atas dapat memperjelas dasar deuterokanonika yang dipegang katolik dan dasar kanon ibrani yang dipegang protestan.

Kanon Kitab Suci menurut Gereja Katolik

            Kanon Kitab Suci yang ditetapkan menurut tradisi apostolik Gereja adalah Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab dan Perjanjian Baru terdiri atas 27 kitab.[3] Mungkin kita pernah mendengar bahwa Gereja Katolik dikatakan ‘menambahkan’ 7 kitab dalam Perjanjian Lama, yaitu Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Yudit, Barukh, Tobit, 1 dan 2 Makabe (beserta tambahan Kitab Daniel dan Esther), yang dikenal dengan Kitab Deuterokanonika. Tetapi sesungguhnya, ketujuh kitab tersebut sudah ada sejak jemaat awal. Baru sekitar 1500 tahun kemudian, Martin Luther memisahkan ketujuh kitab ini dari kanon Perjanjian Lama. Kitab-kitab ini digabungkan dengan kitab-kitab lain yang umum disebut sebagai kitab Apokrif/ “Apocrypha” oleh Gereja Protestan. 

Kanon Perjanjian Lama (PL)
Kanon Perjanjian Lama gereja Protestan diambil berdasarkan kanon kaum Yahudi yang berbahasa Ibrani di Palestina. Sedangkan kanon Perjanjian Lama Gereja Katolik berdasarkan atas kanon kaum Yahudi yang berbahasa Yunani (Alexandria) di seluruh Mediterania, termasuk di Palestina. Alexandria adalah kota di Mesir yang mempunyai perpustakaan terbesar pada jaman itu, di bawah kepemimpinan Raja Ptolemy II Philadelphus (285-246 BC). Maka keseluruhan Kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani oleh 70 atau 72 orang ahli kitab Yahudi. Terjemahan ini selesai pada tahun 250-125 BC, dan dari sanalah kita mengenal kata “Septuagint” yaitu kata Latin dari 70 (LXX), sesuai dengan jumlah para penerjemah itu.

 Pada jaman Yesus hidup, bahasa Ibrani adalah bahasa yang mati/ tidak digunakan.
Orang-orang Yahudi di Palestina pada saat itu umumnya bicara dengan bahasa Aramaic. Sedangkan pada waktu itu, bahasa Yunani merupakan bahasa yang umum dipergunakan di seluruh dunia Mediteranian. Maka tak mengherankan bahwa yang Alkitab yang dipergunakan oleh Yesus adalah terjemahan Septuagint/ Yunani, dan terjemahan Septuagint ini pula yang dipergunakan oleh para penulis kitab Perjanjian Baru. 

Pengarang Protestan yang bernama Gleason Archer dan G.C. Chirichigno membuat daftar yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru mengutip Septuagint sebanyak 340 kali, dan hanya mengutip kanon Ibrani sebanyak 33 kali. Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam Perjanjian Baru, terjemahan Septuagint dikutip sebanyak lebih dari 90%. Jangan lupa, seluruh kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. 
Mengapa PL menurut Septuagint berisi 46 kitab sedangkan kanon Ibrani 39 kitab
Kanon Ibrani ditetapkan oleh para rabi Yahudi di Javneh/Jamnia, Palestina, pada sekitar tahun 100, yang kemungkinan disebabkan oleh reaksi mereka terhadap Gereja  yang menggunakan kanon Yunani (Alexandria). Alasan mereka tidak memasukkan seluruh  kitab ini ke dalam kanon mereka adalah karena mereka tidak dapat menemukan ke-7  kitab Deuterokanonika tersebut dalam versi Ibrani. Namun Gereja Katolik tidak  mengakui keputusan para rabi Yahudi tersebut. Jangan kita lupa, bahwa mereka (para  rabi Yahudi) tidak pernah menerima Kristus, ajaran Kristiani maupun Perjanjian Baru yang sudah ada sebelum kanon Ibrani ditetapkan. Bagaimana kita dapat mempercayai keputusan para rabi Yahudi untuk menentukan kanon Kitab Suci? Atau mengakui bahwa mereka dipimpin oleh Roh Kudus, padahal mereka malah telah menolak Kristus? 

Memang harus diakui bahwa karena wahyu ilahi diberikan pertama-tama melalui bangsa Yahudi, maka tak mengherankan jika Alkitab kita mengandung kitab-kitab suci yang diakui juga oleh kaum agama Yahudi. Menurut The Pontifical Biblical Commision, on The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible, (I, E, 3.Formation of the Christian Canon), disebutkan: 
“Di Gereja- gereja Timur pada jaman Origen (185-253) ada usaha untuk menyesuaikan dengan kanon Ibrani…. [Namun] usaha untuk menyesuaikan teks Ibrani dalam kanon Ibrani tidak menghalangi para pengarang Kristen di gereja-gereja Timur untuk menggunakan kitab-kitab yang tidak termasuk dalam kanon Ibrani, atau yang mengikuti teks Septuagint. Maka pendapat bahwa – kanon Ibrani yang seharusnya dipilih oleh umat Kristiani- tidak dipilih oleh gereja-gereja Timur, atau setidak-tidaknya tidak ada kesan yang mendukung ke arah itu. Di gereja-gereja Barat, penggunaan Septuagint adalah umum dan dipertahankan oleh St. Agustinus (354-430). Ia melandaskan pandangannya pada praktek yang telah berlangsung lama dalam Gereja.”
 Maka berdasarkan penggunaan kitab-kitab yang telah lama berakar di Gereja, Gereja Katolik menetapkan kanon Kitab Suci pada Konsili di Hippo 393 dan Carthage 397, yaitu 46 kitab dari kanon Yunani (Septuagint) sebagai kanon Perjanjian Lama/PL dan 27 kitab Perjanjian Baru/ PB termasuk di sini adalah ketujuh kitab di PL yang disebut sebagai Deuterokanonika. Para Bapa Gereja, baik sejak jaman Kristen abad pertama, Polycarpus, Irenaeus, Clement dan Cyprian mengutip kitab-kitab Deuterokononika tersebut dalam pengajaran mereka, sebab mereka menganggap kitab-kitab tersebut diilhami oleh Roh Kudus, sama dengan kitab-kitab PL lainnya. 

Sejak saat diresmikannya kanon Kitab Suci pada abad ke-4, Septuagint ini diterima
oleh umat Kristiani, kecuali oleh mereka yang kemudian menolaknya pada sekitar tahun 1529 bersamaan dengan pemisahan diri mereka dari kesatuan dengan Gereja Katolik.
Jadi tidak benar bahwa Kitab Deuterokanonika baru ditambahkan pada tahun 1546 pada Konsili Trente; ini adalah mitos yang sangat keliru! PL menurut Martin Luther dan gereja Protestan

Dengan berpegang pada kanon Ibrani berdasarkan Konsili Jamnia dan pendapat St.
Jerome, gereja Protestan menganggap ke- 39 kitab sebagai kanon Perjanjian Lama.
Namun demikian sebenarnya alasan ini tidak cukup kuat, karena walaupun St. Jerome pernah menyatakan pendapatnya yang menolak status kanonik kitab Yudit, Tobit, Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan, ia pada akhirnya dengan rendah hati tunduk pada keputusan Gereja, dengan memasukkan kitab-kitab tersebut ke dalam terjemahan Kitab Suci berbahasa Latin, “the Vulgate”. Juga penelitian terakhir dari the Dead Sea Scroll di Qumran menunjukkan ditemukannya copy naskah berbahasa Ibrani dari beberapa kitab yang dipermasalahkan (yang tidak termasuk kanon Ibrani). Selanjutnya, penemuan naskah Ibrani pada sebagian besar kitab Sirakh/ Ecclesiaticus di Mesir memperkuat anggapan para ahli kitab suci bahwa kitab Sirakh tersebut diterjemahkan ke bahasa Yunani dari bahasa Ibrani. 

Bukti-bukti ini sesungguhnya memperkuat bahwa Septuagint adalah terjemahan awal yang lengkap dan otentik, hanya saja dengan berselangnya waktu, naskah Ibrani dari beberapa kitab ini tidak dapat ditemukan seluruhnya. Jika suatu saat nanti ditemukan semua naskah Ibraninya, barangkali semua menjadi lebih jelas. Namun dengan ditemukannya sebagian saja dari naskah Ibrani kitab tersebut, itu sudah menunjukkan bahwa alasan mencoret keberadaan kitab Deuterokanonika dari kanon hanya karena tidak dapat ditemukan naskah Ibrani-nya, sesungguhnya bukan merupakan alasan yang kuat. 
Sebab, jika suatu saat dapat ditemukan semua naskah Ibrani-nya, bagaimana
mempertanggungjawabkan pendapat ini? Juga perlu direnungkan, mengapa gereja Protestan mengambil dasar konsili Jamnia sebagai dasar penentuan kanon PL, sebab konsili itu tidak umum diketahui oleh kaum Yahudi dan hasil konsili tersebut tidak diterima oleh segenap kaum Yahudi. Kaum Saduki dan Samaria tidak menerimanya, bahkan kaum Yahudi di Ethiophia sampai sekarang mempunyai kitab PL yang sama dengan yang kanon PL Gereja Katolik. 

Sekarang mari kita melihat fakta sejarah. Walaupun Luther mempertanyakan
penetapan 46 kitab dalam kanon PL, namun ia sendiri tetap menyertakan Kitab
Deuterokanonika tersebut dalam terjemahan Alkitab pertamanya dalam bahasa Jerman pada tahun 1530. Kitab Deuterokanonika juga ditemukan dalam edisi pertama King James Version pada tahun 1611, dan pada saat pertama Alkitab dicetak. Maka kitab Deuterokanonika memang sudah termasuk dalam semua Alkitab (setidak-tidaknya sebagai appendix dalam Alkitab Protestan) sampai pada tahun 1825, yaitu saat Komite Edinburgh dari the British Foreign Bible Society ‘memotongnya’. Maka terlihat bahwa bukan Gereja Katolik yang menambahkan Kitab Deuterokanonika, melainkan gereja Protestan yang menguranginya dari keseluruhan Kitab Suci.

Perlu juga diketahui bahwa Luther mempertanyakan keaslian kitab 2 Makabe, dari segi historis dan karena di kitab tersebut juga berisi dasar doktrin Api Penyucian, yang bertentangan dengan prinsip-nya “Salvation by faith alone”. Pandangan inilah yang sering dianggap sebagai alasan mengapa Luther memisahkan kitab Deuterokanonika sebagai “Apokrif ‘Apocrypha’, yaitu kitab-kitab yang tidak dianggap sama seperti Kitab Suci lainnya namun sebagai kitab yang berguna dan baik untuk dibaca.” Sayangnya, setelah jaman Reformasi, arti ‘apocrypha’ –yang terjemahan bebasnya adalah ‘tersebunyi’ ini memperoleh konotasi negatif, sehingga diartikan sebagai ‘salah/ sesat’.

Kanon PL mana yang kita pilih?
Jika kita memilih untuk berpegang pada Kitab Suci yang mengandung ketujuh kitab tersebut, artinya, kita mengikuti tradisi para rasul, para penulis kitab Perjanjian
Baru dan para jemaat awal. Namun jika kita berpegang pada Kitab Suci yang tidak
mencantumkan ketujuh kitab itu, artinya kita mengikuti tradisi para rabi Yahudi
non-Kristen yang kemudian diikuti oleh gereja Protestan.

Kanon Perjanjian Baru (PB)
Mengenai hal kanon PB, baik Gereja Katolik maupun Protestan setuju, bahwa terdapat 27 kitab di dalam kitab Perjanjian Baru. Kitab pertama PB dituliskan sekitar tahun 50, yaitu 1 Tesalonika, dan yang terakhir, Wahyu, pada tahun 90-100. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sampai diperoleh Kitab Perjanjian Baru tersebut, jika pada waktu yang sama dituliskan kitab-kitab lain, yang mengundang perbedaan pendapat dalam kelompok jemaat mengenai hal ke-otentikan kitab sebagai yang diilhami Roh Kudus. Misalnya ada yang berpendapat bahwa kitab Ibrani, Yudas, Wahyu dan 2 Petrus itu tidak diilhami Roh Kudus, sedangkan sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kitab Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat Barnabas dan Clement adalah tulisan yang diilhami Roh Kudus. Gereja memahami situasi ‘kebingungan’ ini maka pada akhir abad ke- 4 dimulailah suatu konsili dan dekrit yang memutuskan Kanon seluruh Kitab Suci, sebagai berikut::

Tahun 382, Paus Damasus I, didorong oleh Konsili Roma, menulis dekrit yang  menentukan ke 73kitab, PL dan PB.
Tahun 393, Konsili Hippo di Afrika Utara menyetujui adanya ke-73 kitab
tersebut dalam kanon Kitab Suci, PL dan PB.
Tahun 397, Konsili Carthage/ Carthago, Afrika Utara, kembali menyetujui kanon
PL dan PB tersebut. Banyak gereja Protestan yang menganggap konsili ini sebagai yang menentukan secara otoritatif kanon Perjanjian Baru.
Tahun 405, Paus St. Innocentius I (401-417) menulis surat kepada Uskup
Exsuperius dari Toulouse, menetapkan ke 73 kitab seperti yang disetujui oleh Konsili Hippo dan Carthage.
Tahun 419, Konsili ekumenikal di Florence secara resmi mendefinisikan daftar
ke-73 kitab yang sama tersebut dalam kanon Kitab Suci.
Tahun 1546, Konsili ekumenikal di Trente meneguhkan lagi kanon Kitab Suci yang terdiri dari ke-73 kitab tersebut.
Tahun 1869, Konsili ekumenikal Vatikan I kembali meneguhkan daftar kitab yang disebutkan dalam Konsili Trente.

Maka kita ketahui dalam waktu 40 tahun dari tahun 382 sampai 419 diadakan beberapa konsili dan keputusan Bapa Paus tentang Kanon Kitab Suci sampai akhirnya ke-73 kitab tersebut diterima secara umum oleh Gereja pada sekitar tahun 450.

            Gereja Katolik menggunakan wewenang mengajarnya untuk meneguhkan kanon Kitab Suci  tersebut, dan kita patut bersyukur atas campur tangan Roh Kudus yang memimpin Gereja  Katolik dalam hal ini. St. Agustinus berkata, “Saya tidak akan percaya pada Injil seandainya otoritas Gereja Katolik tidak mengarahkan saya untuk itu”. Maka St. mengakui bahwa kepastian akan keaslian kitab tertentu sebagai yang sungguh diilhami oleh Roh Kudus adalah dengan menerima ketentuan yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, dan dengan demikian mengakui juga otoritas Gereja Katolik. Suatu  permenungan adalah: jika kita meragukan otoritas Gereja Katolik, maka kita  sesungguhnya juga menentang Para Bapa Gereja, seperti St. Agustinus. Adakah kita lebih pandai dan lebih diilhami Roh Kudus daripada mereka?

Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa Kitab Suci berkaitan erat dengan Gereja Katolik. Kitab Perjanjian Lama ditetapkan berdasarkan terjemahan yang diakui oleh Gereja Katolik. Kitab Perjanjian Baru ditulis, diperbanyak, dikumpulkan dan dilestarikan oleh Gereja Katolik. Dari kanon yang ditetapkan oleh Gereja Katolik inilah semua gereja yang lain memperoleh Kitab Suci. Namun bukan berarti bahwa otoritas Gereja Katolik-lah yang menciptakan Kitab Suci, sebab Roh Kuduslah yang memberi inspirasi kepada para penulis Kitab Suci. Yang benar adalah, Gereja Katolik diberi kuasa ilahi oleh Yesus Kristus sendiri untuk secara resmi meneguhkan dan menentukan secara dogmatis daftar kitab-kitab tertentu sebagai kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Penentuan ini tidak mungkin salah, sebab Gereja dipimpin oleh Roh Kudus yang tidak mungkin salah. Mari bersama, kita dengan rendah hati mensyukuri rahmat bimbingan Roh Kudus terhadap Gereja Katolik yang olehnya kita memperoleh Kitab Suci. Mari kita tunjukkan ketaatan iman kita kepada Kristus dengan mempercayai ketentuan yang ditetapkan oleh Gereja yang didirikan-Nya.