Selasa, 28 Mei 2013

DIALOG ANTAR AGAMA

DIALOG ANTAR AGAMA


            Mengejutkan mendengar hasil penelitian yang baru dilakukan oleh sebuah gereja di Berlin dimana disebutkan bahwa rakyat Jerman sekarang hanya 4% saja yang pergi ke gereja resmi. Angka ini jelas mengejutkan, sebab, menurut Church Growth Quarterly (Summer 1993), di Jerman masih tercatat 21 % yang hadir di gereja-gereja, dan survai yang dilakukan oleh Institute for Public Opinion Research di Allensbach di tahun 1987 masih ada 54% penduduk yang mengatakan bahwa ‘Agama masih diperlukan’ sekalipun hanya 25% yang masih percaya bahwa ‘Agama memberi jawab bagi kehidupan masakini.’ Mengapa kemerosotan terjadi begitu cepat?Sejalan dengan kemerosotan yang terjadi begitu pesat yang tidak terlepas dari liberalisme yang sudah makin merata dipercaya pendeta-pendeta gereja- resmi, terlihat bahwa gereja resmi banyak melakukan usaha-usaha Dialog Antar Agama (Inter-Faith). Di Berlin belum lama ini ada Imam Islam diminta berkotbah di sebuah gereja resmi, dan kesaksian-kesaksian orang-orang non-Jerman dan non-Kristen seperti dari suku Turki, Kurdi, Marokko dan negara-negara Afrika dan Arab lainnya sudah makin sering terjadi di mimbar-mimbar gereja resmi di Jerman, bukan kesaksian pertobatan tetapi keluhan mereka pada pemerintah Jerman.
















         Memang pluralisme telah menjungkir balikkan komposisi kekristenan di Jerman, dimana kalau sesudah era reformasi Martin Luther Jerman mempunyai angka kekristenan cukup tinggi di atas 90% penduduknya (penulis mengunjungi gereja Wittenberg dimana Luther menempelkan ke-95 dalil-dalil reformasinya, dan Kuil Wartburg dimana Martin Luther menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman), tetapi sekarang ada sekitar 30.000 pendeta resmi tetapi juga 90.000 peramal dan dukun klenik. Pengaruh agama Timur termasuk Hundusisme dan Taoisme sudah melanda masyakrakat dan gereja-gereja Jerman. Sudah banyak pendeta lebih mempopulerkan meditasi Yoga dan Tai Chi daripada berdoa kepada Tuhan, lebih mempelajari Bagawad Gita dan Tao The Ching daripada mempelajari Alkitab firman Tuhan, dan dialog dengan agama-agama lain dibuka lebar sekalipun dengan kelompok ‘Evangelische Gemeinde’ (gereja tidak resmi) kurang dijalin dialog.
Penulis teringat ketika pada tahun 1979 mengunjungi sebuah gereja besar di Rotterdam pada saat mode dialog agama mulai dipopulerkan di Eropah, dua orang Marokko diminta bersaksi dan dari mulut mereka keluar keluhan dan caci-maki pada pemerintah Belanda. Inikah dialog? Faktanya sejak itu makin banyak dialog serupa terjadi di gereja-gereja resmi dan faktanya pula adalah makin banyak gereja dijual dan dijadikan tempat ibadat agama lain, bahkan beberapa tahun yang lalu di Den Haag ada gereja dibeli dan dijadikan mesjid orang-orang Indonesia. Dalam masa yang sama tidak ada tempat ibadat agama lain yang dijual dan dijadikan gereja!





















         Salah satu akibat langsung dari Dialog Antar Agama atau Inter-Faith adalah makin banyak orang Kristen berpindah agama dan tidak terjadi sebaliknya dalam usaha ini. Situasi demikian bisa dimengerti mengingat bahwa umumnya yang getol ber Dialog adalah mereka yang orientasi imannya pada Alkitab sudah kendor (Liberal) dan konsepnya mengenai Yesus sudah berubah (Yesus ala Jesus Seminar) sedangkan lawan dialognya umumnya penyiar-penyiar agama yang gigih bahkan fundamentalis, akibatnya lebih banyak terjadi de-kristenisasi malalui usaha dialog ini.








         Perkawinan campur juga makin banyak terjadi dalam masyarakat plural, dan umumnya melibatkan orang Jerman yang secara tradisional beragama Kristen dengan orang agama-agama pendatang yang umumnya non-Kristen, dan dari gejala yang nampak praktis tidak ada orang non-Kristen dibawa ke dalam kekristenan tetapi sebaliknya yang terjadi adalah berduyun-duyunnya orang Jerman menjadi pengikut agama lain. Menyedihkan sekali perilaku pendeta dialog demikian, soalnya alerginya terhadap kekristenan pencinta Alkitab dan yang dicap sebagai fundamentalis mendorong mereka menjual kekristenan bahkan gereja kristen ke agama lain, agama yang sering lebih fundamentalis perilakunya.
          Dari gejala-gejala demikian kita patut bertanya apakah maksud sebenarnya Dialog Antar Agama itu? Secara teoritis dialog kelihatannya merupakan alternatif lebih baik dibandingkan sikap sementara umat Kristen dan terlebih sekte-sekte yang cenderung tertutup dan fanatik. Memang banyak kekristenan demikian lebih baik berperang atau gereja pecah daripada bersatu, dalam hal demikian kebiasaan dialog memang perlu dibudayakan agar kita dapat membuka diri terhadap pihak luar disamping memperkenalkan diri kepada pihak luar. Jadi dari konteks ini kita patut membudayakan dialog di kalangan umat Kristen termasuk dialog dengan gama-agama lain, karena melalui dialog ini banyak prasangka dapat dihilangkan.
         Jadi memang benar dalam berdialog kita menjadi bersifat inklusif dan meninggalkan jalan eksklusif, tetapi sampai dimanakah batas inklusifisme itu? Apakah juga termasuk pengorbankan iman sendiri demi menerima iman orang lain? Yang menjadi masalah adalah dialog itu ternyata sudah bergeser bukan pada cara saja tetapi telah diisi motivasi kepercayaan yang cenderung bersikap ‘Universalisme’ yang beranggapakan semua agama itu sama dan semua menuju yang ‘SATU’ itu, dan semua pendiri agama itu sama tujuannya. Sampai disini pertanyaan yang perlu diajukan adalah sampai dimana batasnya? Dialog agama antar umat Kristen sendiri sudah sulit untuk dilaksanakan, karena dalam kekristenan konsep mengenai Tuhan sudah berbeda, ada yang masih menyebut Yesus adalah Tuhan sedangkan yang lain beranggapan Yesus adalah manusia biasa. Apalagi dialog dengan agama lain yang notabene lebih berbeda lagi.































           Memang di kalangan perbandingan agama ada usaha mereduksi agama-agama sekedar menjadi ‘jalan etis’ menuju ‘manusia baik’ atau ‘humanisasi agama’, tetapi mereka yang mengerti agama secara benar dapat mengetahui bahwa sejarah agama-agama yang ribuan tahun menunjukkan bahwa reduksi demikian terlalu sumir. Memang ada agama-agama monotheis besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam, tetapi ada agama Pantheist seperti Buddha dan Taoisme yang cenderung tidak mempercayai keberadaan Tuhan, dan ada pula agama-agama alam yang cenderung animistis bahkan okultis yang bahkan menganggap ‘Setan adalah Tuhan dan Sumber Kuasa’, realita yang jelas berlawabanan dengan Tuhan Monotheisme. 
         Kalau orang Yahudi, Kristen, dan Islam duduk bersama berdialog dan mencari bekas-bekas warisan Abraham, maka agak susah dilakukan dengan agama-agama Pantheist apalagi dengan yang Okultist. Pertanyaan demikian perlu direnungkan karena dialog agama sekarang bergeser pada realita sinkretisme yang begitu luas. Di Azizi, pertemuan agama-agama yang dipelopori Paus mengajak bukan saja Imam Katolik dan Biksu Buddha untuk bersembahyang bersama tetapi juga dukun-dukun Indian.
Di Amerika Serikat, pada tahun 1993 diadakan pertemuan antar agama yang dikenal sebagai ‘Parlemen Agama-Agama’. Dalam pertemua itu baik Pendeta Kristen, Imam Islam, Rahib Buddha, Dukun Indian, maupun Pemuja Setan bersatu hati berdoa demi perdamaian dunia. Di tahun 1692 ada 20 pemuja setan dibakar di Salem oleh orang-orang Kristen, suatu tindakan yang tidak manusiawi dan kristiani tentunya, sebab keristenan tidak mengajarkan kebencian demikian, disini kelihatannya dialog agama dan parlemen agama tentu lebih baik. Tetapi bagaimana kalau tiga abad kemudian di Salem diadakan dewan Antar-Iman yang anggotanya antara lain adalah pendeta Kristen dan Pendeta Gereja Setan dan mereka berfoto bersama berangkulan tanpa ada rasa apa-apa? Ini terjadi belum lama ini! Konsep baik-buruk dan benar-salah sudah kabur bahkan dihilangkan batas-batasnya, masalah dosa, keselamatan dan kehidupan kekal dianggap kepercayaan kosong sehingga pertobatan sudah tidak relevan lagi.




























         Bisakah manusia dengan dunia yang kacau ini mungkin hidup dengan lebih baik dengan agama baru demikian?  Kelihatannya kekristenan tidak separah itu, sebab di tengah Dialog Antar Agama yang mengorbankan Yesus dan kekristenan itu, di Jerman juga tumbuh gereja-gereja bebas (non-resmi) yang dinamakan ‘Freie Evangelische Gemeinde’ yang rata-rata penuh diisi jemaat bahkan di Aachen mereka baru membeli gedung baru karena gedung gereja lama sudah tidak memadai, dapat dikata di kota dimana ada gereja resmi sekarang ada juga gereja bebas ini. Persekutuan-persekutuan mahasiswa semacam Para Navigator, Campuis Crusade dan Intervarsity makin menjamur, bahkan persekutuan mahasiswa Kristen Indonesia juga menjamur. Mereka banyak disegarkan melalui program dwi-tahunan yang disebut ‘Pro-Christ’ yang dipelopori oleh Billy Graham. Memang keristenan di Jerman sudah bergeser dari gereja resmi ke gereja bebas dan persekutuan-persekutuan, dan disamping itu ajaran-ajaran sekte-sekte makin meluas semacam Saksi Yehuwa, Mormon, Christian Science dan Scientology.
Yang menarik adalah di kalangan gereja bebas dan persekutuan mahasiswa sudah ada usaha dialog antar agama dalam bentuk yang berbeda. Mereka menyadari bahwa banyak orang pendatang mengalami pergumulan dan kesulitan ketika datang ke Jerman, di tengah kemelut hidup itulah banyak jemaat demikian menyatakan kasih membantu dan menolong mereka tanpa usaha mengkristenkan mereka (proselitisme) tetapi hasilnya cukup mengejutkan karena sudah banyak yang tertarik menjadi pengikut Yesus.