DIALOG ANTAR AGAMA
Mengejutkan mendengar
hasil penelitian yang baru dilakukan oleh sebuah gereja di Berlin
dimana disebutkan bahwa rakyat Jerman sekarang hanya 4% saja yang
pergi ke gereja resmi. Angka ini jelas mengejutkan, sebab, menurut
Church Growth Quarterly (Summer 1993), di Jerman masih tercatat 21 %
yang hadir di gereja-gereja, dan survai yang dilakukan oleh Institute
for Public Opinion Research di Allensbach di tahun 1987 masih ada 54%
penduduk yang mengatakan bahwa ‘Agama masih diperlukan’ sekalipun
hanya 25% yang masih percaya bahwa ‘Agama memberi jawab bagi
kehidupan masakini.’ Mengapa kemerosotan terjadi begitu cepat?Sejalan dengan
kemerosotan yang terjadi begitu pesat yang tidak terlepas dari
liberalisme yang sudah makin merata dipercaya pendeta-pendeta gereja-
resmi, terlihat bahwa gereja resmi banyak melakukan usaha-usaha
Dialog Antar Agama (Inter-Faith). Di Berlin belum lama ini ada Imam
Islam diminta berkotbah di sebuah gereja resmi, dan
kesaksian-kesaksian orang-orang non-Jerman dan non-Kristen seperti
dari suku Turki, Kurdi, Marokko dan negara-negara Afrika dan Arab
lainnya sudah makin sering terjadi di mimbar-mimbar gereja resmi di
Jerman, bukan kesaksian pertobatan tetapi keluhan mereka pada
pemerintah Jerman.
Memang pluralisme telah
menjungkir balikkan komposisi kekristenan di Jerman, dimana kalau
sesudah era reformasi Martin Luther Jerman mempunyai angka
kekristenan cukup tinggi di atas 90% penduduknya (penulis mengunjungi
gereja Wittenberg dimana Luther menempelkan ke-95 dalil-dalil
reformasinya, dan Kuil Wartburg dimana Martin Luther menterjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa Jerman), tetapi sekarang ada sekitar 30.000
pendeta resmi tetapi juga 90.000 peramal dan dukun klenik. Pengaruh
agama Timur termasuk Hundusisme dan Taoisme sudah melanda masyakrakat
dan gereja-gereja Jerman. Sudah banyak pendeta lebih mempopulerkan
meditasi Yoga dan Tai Chi daripada berdoa kepada Tuhan, lebih
mempelajari Bagawad Gita dan Tao The Ching daripada mempelajari
Alkitab firman Tuhan, dan dialog dengan agama-agama lain dibuka lebar
sekalipun dengan kelompok ‘Evangelische Gemeinde’ (gereja tidak
resmi) kurang dijalin dialog.
Penulis teringat ketika
pada tahun 1979 mengunjungi sebuah gereja besar di Rotterdam pada
saat mode dialog agama mulai dipopulerkan di Eropah, dua orang
Marokko diminta bersaksi dan dari mulut mereka keluar keluhan dan
caci-maki pada pemerintah Belanda. Inikah dialog? Faktanya sejak itu
makin banyak dialog serupa terjadi di gereja-gereja resmi dan
faktanya pula adalah makin banyak gereja dijual dan dijadikan tempat
ibadat agama lain, bahkan beberapa tahun yang lalu di Den Haag ada
gereja dibeli dan dijadikan mesjid orang-orang Indonesia. Dalam masa
yang sama tidak ada tempat ibadat agama lain yang dijual dan
dijadikan gereja!
Salah satu akibat
langsung dari Dialog Antar Agama atau Inter-Faith adalah makin banyak
orang Kristen berpindah agama dan tidak terjadi sebaliknya dalam
usaha ini. Situasi demikian bisa dimengerti mengingat bahwa umumnya
yang getol ber Dialog adalah mereka yang orientasi imannya pada
Alkitab sudah kendor (Liberal) dan konsepnya mengenai Yesus sudah
berubah (Yesus ala Jesus Seminar) sedangkan lawan dialognya umumnya
penyiar-penyiar agama yang gigih bahkan fundamentalis, akibatnya
lebih banyak terjadi de-kristenisasi malalui usaha dialog ini.
Perkawinan campur juga
makin banyak terjadi dalam masyarakat plural, dan umumnya melibatkan
orang Jerman yang secara tradisional beragama Kristen dengan orang
agama-agama pendatang yang umumnya non-Kristen, dan dari gejala yang
nampak praktis tidak ada orang non-Kristen dibawa ke dalam
kekristenan tetapi sebaliknya yang terjadi adalah berduyun-duyunnya
orang Jerman menjadi pengikut agama lain. Menyedihkan sekali perilaku
pendeta dialog demikian, soalnya alerginya terhadap kekristenan
pencinta Alkitab dan yang dicap sebagai fundamentalis mendorong
mereka menjual kekristenan bahkan gereja kristen ke agama lain, agama
yang sering lebih fundamentalis perilakunya.
Dari gejala-gejala
demikian kita patut bertanya apakah maksud sebenarnya Dialog Antar
Agama itu? Secara teoritis dialog kelihatannya merupakan alternatif
lebih baik dibandingkan sikap sementara umat Kristen dan terlebih
sekte-sekte yang cenderung tertutup dan fanatik. Memang banyak
kekristenan demikian lebih baik berperang atau gereja pecah daripada
bersatu, dalam hal demikian kebiasaan dialog memang perlu dibudayakan
agar kita dapat membuka diri terhadap pihak luar disamping
memperkenalkan diri kepada pihak luar. Jadi dari konteks ini kita
patut membudayakan dialog di kalangan umat Kristen termasuk dialog
dengan gama-agama lain, karena melalui dialog ini banyak prasangka
dapat dihilangkan.
Jadi memang benar dalam
berdialog kita menjadi bersifat inklusif dan meninggalkan jalan
eksklusif, tetapi sampai dimanakah batas inklusifisme itu? Apakah
juga termasuk pengorbankan iman sendiri demi menerima iman orang
lain? Yang menjadi masalah adalah dialog itu ternyata sudah bergeser
bukan pada cara saja tetapi telah diisi motivasi kepercayaan yang
cenderung bersikap ‘Universalisme’ yang beranggapakan semua agama
itu sama dan semua menuju yang ‘SATU’ itu, dan semua pendiri
agama itu sama tujuannya. Sampai disini pertanyaan yang perlu
diajukan adalah sampai dimana batasnya? Dialog agama antar umat
Kristen sendiri sudah sulit untuk dilaksanakan, karena dalam
kekristenan konsep mengenai Tuhan sudah berbeda, ada yang masih
menyebut Yesus adalah Tuhan sedangkan yang lain beranggapan Yesus
adalah manusia biasa. Apalagi dialog dengan agama lain yang notabene
lebih berbeda lagi.
Memang di kalangan
perbandingan agama ada usaha mereduksi agama-agama sekedar menjadi
‘jalan etis’ menuju ‘manusia baik’ atau ‘humanisasi agama’,
tetapi mereka yang mengerti agama secara benar dapat mengetahui bahwa
sejarah agama-agama yang ribuan tahun menunjukkan bahwa reduksi
demikian terlalu sumir. Memang ada agama-agama monotheis besar
seperti Yahudi, Kristen dan Islam, tetapi ada agama Pantheist seperti
Buddha dan Taoisme yang cenderung tidak mempercayai keberadaan Tuhan,
dan ada pula agama-agama alam yang cenderung animistis bahkan okultis
yang bahkan menganggap ‘Setan adalah Tuhan dan Sumber Kuasa’,
realita yang jelas berlawabanan dengan Tuhan Monotheisme.
Kalau orang Yahudi,
Kristen, dan Islam duduk bersama berdialog dan mencari bekas-bekas
warisan Abraham, maka agak susah dilakukan dengan agama-agama
Pantheist apalagi dengan yang Okultist. Pertanyaan demikian perlu
direnungkan karena dialog agama sekarang bergeser pada realita
sinkretisme yang begitu luas. Di Azizi, pertemuan agama-agama yang
dipelopori Paus mengajak bukan saja Imam Katolik dan Biksu Buddha
untuk bersembahyang bersama tetapi juga dukun-dukun Indian.
Di Amerika Serikat, pada
tahun 1993 diadakan pertemuan antar agama yang dikenal sebagai
‘Parlemen Agama-Agama’. Dalam pertemua itu baik Pendeta Kristen,
Imam Islam, Rahib Buddha, Dukun Indian, maupun Pemuja Setan bersatu
hati berdoa demi perdamaian dunia. Di tahun 1692 ada 20 pemuja setan
dibakar di Salem oleh orang-orang Kristen, suatu tindakan yang tidak
manusiawi dan kristiani tentunya, sebab keristenan tidak mengajarkan
kebencian demikian, disini kelihatannya dialog agama dan parlemen
agama tentu lebih baik. Tetapi bagaimana kalau tiga abad kemudian di
Salem diadakan dewan Antar-Iman yang anggotanya antara lain adalah
pendeta Kristen dan Pendeta Gereja Setan dan mereka berfoto bersama
berangkulan tanpa ada rasa apa-apa? Ini terjadi belum lama ini!
Konsep baik-buruk dan benar-salah sudah kabur bahkan dihilangkan
batas-batasnya, masalah dosa, keselamatan dan kehidupan kekal
dianggap kepercayaan kosong sehingga pertobatan sudah tidak relevan
lagi.
Bisakah manusia dengan dunia yang kacau ini mungkin hidup
dengan lebih baik dengan agama baru demikian? Kelihatannya kekristenan
tidak separah itu, sebab di tengah Dialog Antar Agama yang
mengorbankan Yesus dan kekristenan itu, di Jerman juga tumbuh
gereja-gereja bebas (non-resmi) yang dinamakan ‘Freie Evangelische
Gemeinde’ yang rata-rata penuh diisi jemaat bahkan di Aachen mereka
baru membeli gedung baru karena gedung gereja lama sudah tidak
memadai, dapat dikata di kota dimana ada gereja resmi sekarang ada
juga gereja bebas ini. Persekutuan-persekutuan mahasiswa semacam Para
Navigator, Campuis Crusade dan Intervarsity makin menjamur, bahkan
persekutuan mahasiswa Kristen Indonesia juga menjamur. Mereka banyak
disegarkan melalui program dwi-tahunan yang disebut ‘Pro-Christ’
yang dipelopori oleh Billy Graham. Memang keristenan di Jerman sudah
bergeser dari gereja resmi ke gereja bebas dan
persekutuan-persekutuan, dan disamping itu ajaran-ajaran sekte-sekte
makin meluas semacam Saksi Yehuwa, Mormon, Christian Science dan
Scientology.
Yang menarik adalah di
kalangan gereja bebas dan persekutuan mahasiswa sudah ada usaha
dialog antar agama dalam bentuk yang berbeda. Mereka menyadari bahwa
banyak orang pendatang mengalami pergumulan dan kesulitan ketika
datang ke Jerman, di tengah kemelut hidup itulah banyak jemaat
demikian menyatakan kasih membantu dan menolong mereka tanpa usaha
mengkristenkan mereka (proselitisme) tetapi hasilnya cukup
mengejutkan karena sudah banyak yang tertarik menjadi pengikut Yesus.