Oleh :
Ev. Matius Sobolim, S. Th.
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Karena kasihNya Ia telah rela mengorbankan diriNya dengan mati di
kayu salib untuk menebus kita dari dosa. Kini kita telah menjadi
orang sangat berbahagia dan patut bersukacita karena kita boleh
disebut sebagai anak-anak Allah. Kita sudah bebas
dari belenggu dosa dan menerima kehidupan yang kekal bersama dengan
Tuhan.
Namun demikian, ada kewajiban dan tanggung jawab
yang harus kita lakukan sebagai orang yang telah dibebaskan dari
dosa. Karena belumlah lengkap kebahagiaan itu jika dinikmati seorang
diri, akan tetapi kebahagiaan itu akan menjadi sempurna jika kita
membagikannya kepada sesama kita yang belum menerimanya.
Ada banyak saudara-saudara kita yang belum
mendengar “Kabar Baik” itu, dan adalah
tugas kita untuk memberitakanyan. “Karena
itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku
menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius
28:19-20). Ini merupakan tugas yang
sangat mulia yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sebagai wujud
dari kasih kita kepada Tuhan dan sesama, maka tidak ada alasan bagi
kita untuk tinggal diam melihat saudara-saudara kita yang masih dalam
kegelapan.
Hal pertama yang perlu bagi penginjilan ialah
wawasan. Kita harus memandang dunia ini seperti yang dipandang Yesus.
Alkitab berkata, “melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus
oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka
lelah dan terlantar seperti domba yang tak berguna” (Mat. 9:36).
Usaha penginjilan Yesus dimulai ketika Ia melihat kebutuhan rohani
yang dalam dari orang banyak. Apa yang dilihat-Nya menggerakkan
hati-Nya untuk bertindak.1
Untuk itu dalam hal ini penulis akan menguraikan
sebagaian kecil bagaimana motode atau cara
kita dalam menjangkau saudara-saudara kita yang belum menerima
keselamatan itu, khususnya umat Muslim di Indonesia.
Rumusan
Masalah
- Apa yang dimaksud dengan Islam ?
- Bagaimana kondisi atau situasi Islam di Indonesia?
- Apa yang dimaksud dengan pelayanan Kontekstual ?
- Bagaimana menjangkau orang Muslim secara Kontekstual ?
- Prinsip-prinsip apa yang perlu diperhatikan dalam berkontekstualisasi ?
Tujuan
- Dapat memahami tentang Islam
- Dapat memahami kondisi dan situasi Islam di Indonesia
- Dapat memahami apa yang dimaksud dengan pelayanan Kontekstual
- Dapat memahami cara menjangkau orang Muslim secara Kontekstual
- Dapat mengetahui hal-hal yang penting dalam berkontekstualisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Islam
Kata Islam berasal dari bahasa Arab, al-islam, dari kata kerja
“Salama” yang artinya “ tunduk atau berserah diri kepada
kekuasaan Allah”. Dengan kata lain: menerima semua peraturan Tuhan
sebagai petunjuk bagi kehidupan seseorang melalui para nabi, yang
disebut juga agama. Secara etimologi, kata “Islam” diturunkan
dari akar kata yang sama yaitu “salam” yang berarti “damai”.
Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan yaitu
Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya
oleh pengikutnya diturunkan dari langit), dan termasuk dalam golongan
agama Ibrahim. Islam adalah agama terbesar kedua di dunia. Pengikut
ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim (Muslimin untuk laki-laki
dan Muslimat bagi permpuan). Islam
mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui
para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh
bahwa Muhammad SAW adalah Nabi terakhir.
Kitab suci agama Islam
adalah Al-Quran, berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti
“bacaan” atau “sesuatu yang di baca berulang-ulang”. Dalam
keyakinan umat Islam, Al-Quran dan Hadist merupakan pegangan hidup
bagi seluruh umat Islam. Al-Quran diyakini adalah wahyu dari Allah
kepada Muhammad melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk jalan
kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Menurut
Amien Rais, di Indonesia sekarang ini Islam dapat didefinisikan ke
dalam lima bagian, yaitu:
Pertama, umat Islam didefinisikan sebagai himpunan orang yang
menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Dengan
definisi ini, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas penduduk yang
sangat heterogen. Sebagaian besar di antara mereka mungkin hanya
terkait dengan Islam secara nominal saja. Sebagian besar tidak tahu
apa-apa tentang Islam. Dalam kategori Geertz, banyak diantara mereka
termasuk abangan dan priyayi.
Kedua, umat Islam di definisikan sebagai himpunan orang yang sudah
menjalankan ritus-ritus, zakat, saum, dan haji. Dengan definisi iini,
jumlah umat Islam menurun secara drastis. Belum ada penelitian,
berapa persentase umat Islam dalam pengertian ini.
Ketiga, umat Islam adalah himpunan orang yang memiliki pengetahuan
yang memadai atau lebih dari itu tentang ajaran-ajaran Islam. diduga
jumlah mereka sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan minoritas.
Keempat, umat Islam adalah himpunan orang yang berusaha mengatur
perilakunya di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan ajaran Islam.
Mereka menerapkan kadang-kadang secara formalistis---aturan-aturan
Islam dalam berpakaian, makan-minum, bertetangga, belajar, bergaul
dan sebagainya. Umat Islam dalam definisi ini bisa dilihat pada
aktivis-aktivis masjid, penggerak organisasi kemasyarakatan Islam,
atau anggota-anggota jemaat yang dibina secara teratur.
Kelima, umat Islam adalah himpunan orang Islam
yang terlibat secara ideologis dengan ajaran Islam. Mereka memandang
Islam sebagai Weltauschaung yang harus dijaadikan dasar dalam
memandang persoalan-persoalan dunia. Mereka umumnya disebut
kaum fundamentalis atau orang-orang yang menampilkan Islam sebagai
system alternative. Mereka bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya atau menegakkan syariat Islam. Dengan
definisi ini, umat Islam hanyalah minoritas kecil.2
2.2.
Kondisi dan situasi Islam di Indonesia
Umat
Islam di Indonesia menempati jumlah besar di Dunia Muslim. Mereka
dikenal sebagai Muslim Sunni (ahlussunnah waljama’ah), bukan
Muslim Syi’ah. Muslim Sunni memang merupakan mayoritas, sedangkan
Muslim Syi’ah merupakan minoritas. Muslim Sunni hamper ditemukan di
seluruh dunia Muslim seperti : Mesir dan Arab Saudi, sedangkan Muslim
Syi’ak secara dominant terkonsentrasi di Iran. Sunni dan Syi’ah
mempunyai beberapa perbedaan teologis dan politik. Misalnya, kaum
Sunni berpendapat bahwa pengganti Nabi bias siapa saja dan tidak
harus dari ahul bait (keluarga nabi) asal memiliki kualitas
keagamaan, moral, dan spiritual yang baik. Sedangkan kaum Syi;’ah
berpendirian bahwa Nabi harus berasal dari ahul bait (keluarga nabi).
Dipandang
dari perspektif sosiokultural keagamaan umat Islam di Indonesia dapat
dikelompokan kedalam dua kelompok, yaitu Muslim Tradisionalis yang
biasanya diwakili oleh NU dan Muslim Modern yang biasa
direpresentasikan oleh Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad. Dikotomi
ini mungkin tidak relevan lagi kalau dikaitkan dengan perkembangan
pemikiran Islam dewasa ini. Kaum Muslim Tradisional dan kaum Muslim
Modernis memiliki persamaan dan kesamaan dalam memegangi doktrin
dasar Islam (ushul), tetapi mereka mempunyai perbedaan dalam hal yang
bersifat detail (furu).
Dimasa-masa
lalu perbedaan itu menjadi penyebab terjadinya perselisihan dan
pertikaian pendapat antara kedua belah pihak. Namun dewasa ini dengan
adanya proses pencerahan berpikir di kalangan kaum Muslim
Tradisionalis dan kaum Muslim Modernis, sekat-sekat budaya antara
keduanya mulai hancur dan dihancurkan. Kedua belah pihak bahwa
perbedaan demikian adalah wajar dan itu hendaknya dipandang
sebagaikhazanah kekayaan pemikiran dan pluranisme pemikiran.3
Suatu
pengamatan sepintas membenarkan bahwa masyarakat muslim mayoritas itu
mendiami hamper separuh terbesar wilayah Indonesia Bagian barat
dengan strata social, ekonomi dan sivilisasi (peradaban) yang
terbilang lebih baik. Di sana ada
konsentrasi sumber daya manusia berkualitas lebih tinggi dalam
pendidikan, konsentrasi industri-industri berat dan ringan,
konsentrasi alokasi PMA dan PMDN, konsentrasi lembaga pendidikan
tinggi dan lain-lain.4
Kondisi
dan situasi Islam di Indonesia juga bisa
di golongkan dalam dua golongan, yaitu:
1. Golongan Islam Rakyat.
Islam golongan ini masih memiliki kepercayaan kepada hal-hal yang
berbau mistik. Sebagai contoh, :
- Mereka percaya akan adanya roh-roh orang yang sudah mati. Mereka percaya bahwa pada malam ke-7 dan ke- 40 roh orang mati akan kembali ke rumahnya untuk melihat upaya apa yang dilakukan oleh keluarganya agar roh mereka menjadi damai atau mendapat ketenangan.
- Jin merupakan komponen yang kuat dalam konsep “hubungan sebab akibat”. Penyebab kematian, kelumpuhan atau penyakit tertentu mungkin disebabkan oleh suatu jin.
- Kebanyakan dari mereka membawa jimat-jimat di badan mereka dan menyimpannya di tempat-tempat tertentu di dalam halaman mereka agar membawa berkah. Bahkan beberapa orang melakukan praktek permantraan.
- Berkunjung ke tempat-tempat kramat untuk mendapatkan berkah, dsb.
2.
Golongan Islam Ideal
Islam Ideal hanya memiliki kiat-kiat yang sedikit untuk memahami
urusan sehari-hari. Dalam hal rohani Islam Ideal lebih focus pada
makna kehidupan, kematian, sorga, neraka, keselamatan, kekekalan, dan
kepercayaan. Mereka beribadah di Mesjid, yang utama Mekah, Medina,
Yerusalem, Damaskus, Istambul. Kiblat di Mekah. Tempat sholat. Ustad
atau Imam adalah orang yang dianggap paling penting di kalangan Islam
Ideal. 5
2.3.
Pelayanan Kontekstual
Istilah kontekstualisasi bukanlah suatu istilah yang baru, melainkan
adalah suatu istilah yang sudah digunakan secara popular dalam dunia
pendidikan theology pada decade-dekade akhir abad XX ini. Theology
kontekstualisasi adalah refleksi ideal dari setiap orang Kristen
dalam konteks hidupnya atas Injil Yesus Kristus. Yang dipentingkan
disini ialah bagaimana seharusnya Injil (yang utuh itu) di taburkan
sehingga membawa keseimbangan yang tampak dari refleksi theology si
penerima Injil (dari hakikat dirinya yang utuh – secara
pribadi/kelompok, budaya, social, polotik, ekonomi local, dsb. –
dan keseluruhan perspektif orang-orang tersebut dalam konteksnya).
refleksi itu menampakkan pemahaman, pendirian, dan dampak Injil yang
seimbang dalam konteks dimaksud yang digambarkan dalam sikap
“sambutan atas Injil sebagai milik diri dan mengekspresikan
pemilikan ini dalam pengertian/arti yang baru melalui bentuk budaya
local yang dikenal, yang secara fungsional melayani kebutuhan
masyarakat konteks tersebut.6
Theologi kontekstualisasi menekankan bagaimana seharusnya setiap
orang Kristen bertheologi dalam konteks, yaitu budaya, social,
ekonomi, politik, geografi, dan sebaginya di mana ia seorang individu
serta gereja sebagai komunitas mikro berada dalam komunitas makro.
Theologia kontekstual Alkitabiah yang abash menempatkan Allah sebagai
the prime cause, the prime mover dari proses beertheologi
dalam konteks. Pada sisi ini, “Alkitab” berperan utama sebagai
“penyataan Allah” karena Allah sendiri memilih untuk menyatakan
diri kepada manusia dan penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini
berarti Allah sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai
wahana penyataan-Nya. Manusia pada sisi lain
(sebagai penerima/partisipan) menerima penyataan Allah dalam hidupnya
dari filter budaya.
Theologi kontekstual yang abash menekankan bahwa
apabila Allah telah menetapkan untuk menggunakan budaya
manusiasebagai wahana dan sarana penyataan diri-Nya, maka buadaya
manusia haruslah dihargai untuk dipelajari guna memperoleh petuntuk
bagaimana seharusnya menyeberangkan Injil kepaada sekelompok orang
melalui budaya mereka. Refleksi penerimaan atas penyataan Injil
budaya yang menampakkan (memberi indikasi) bahwa mereka memahami
penyataan diri allah (Injil) dengan baik merupakan bukti bahwa proses
kontekstualisasi telah dimulai.7
2.4.
Metode penjangkauan umat Mislim secara Kontekstual
Untuk
menjangkau umat Muslim secara kontekstual sebaiknya menggunakan
metode-metode yang nantinya mempermudah Injil yang akan kita
sampaikan.
1.
Metode Bercerita
Metode
ini baik digunakan disamping karena Allah sendiri berkomunikasi
dengan kita memakai metode ini di dalam Alkitab dan juga Isa Almasih
memakai cerita atau perumpamaan dalam mengajar (Mar.4:1-2, 33-34).
Seringkali para ustad dan kyai juga memakai metode ini. Melalui
metode bercerita juga dapat meminimalisir dugaan-dugaan negative,
perasaan tersinggung, karena penyampaiannya lebih halus tanpa
mempersalahkan mereka. Dengan bercerita hubungan
akan semakin akrab, suasana tidak resmi, bisa dilakukan dimana saja
dan kapan saja. Disamping itu, budaya Indonesia adalah budaya lisan,
sehingga metode bercerita lebih mudah dipahami dan diingat oleh
pendengar.
2.
Sarana Penginjilan
- Menggunakan Firman Allah / Kitab Suci yang dapat dipercaya oleh mereka (Taurat, Zabur, Injil, Al-qura).
- Tekankan bahwa Allah adalah Esa (Tauhid) : Allah adalah satu-satunya yang berdaulat, yang bertindak dalam sejarah dan berkomunikasi dengan manusia.
- Jelaskan sifat Allah dan siapa Dia sebenarnya : Allah Yang Maha Kuasa, Maha Tahu, Sumber Segala Anugerah, Pengasih dan Penyayang, Murah Hati, Mengasihi manusia dan Ingin Bersekutu dengan Manusia.
- Jelaskan siapa sebenarnya Isa Almasih: Ia yang dijanjikan Allah untuk manusia, diutus sesuai dengan rencana Allah, suci/tak pernah berbuat dosa.
3.
Sarana Pemuridan
Sering
kali sebelum orang Islam bertobat, sebenarnya kita sudah mulai
memuridkan dan mengajar mereka mengenai prinsip-prinsip kebenaran
tentang Injil. Mereka mungkin mempunyai banyak konsep yang salah
tentang Injil; Keselamatan; Isa Almasih, dan banyak pertanyaan yang
perlu dijawab. Orang yang haus mencari kebenaran
mungkin memerlukan pemuridan yang cukup lama. Dalam pemuridan
ini kita bisa mengajarkan mereka tentang :
- Kronologis penciptaan dunia dan manusia.
- Menjelaskan Isa Almasih agar mereka mengenal-Nya lebih dalam
- Bagaimana kehidupan Kristen yang sebenarnya (berjalan dengan kuasa dan anugerah Allah)
- Teladan tokoh-tokoh dalam Alkitab : Ibrahim, Musa, Daud, dsb.
- Mengenal seluruh rencana Tuhan dalam kehidupan pribadi
- Kepastian keselamatan di dalam Isa Almasih.
- Menolong mereka menghadapi kesulitan/tantangan/penderitaan hidup.
- Dan lain-lain.
2.5.
Prinsip-prinsip Kontekstual.
Allah sendiri dalam menyatakan kasih-Nya kepada manusia sering
menggunakan cara atau metode kontekstual. Bila kita melihat di dalam
Kejadian 15:7-11, di sini pun terdapat dasar kontekstualisasi Allah
yang jelas, di mana Allah dalam mengadakan perjanjian dengan Abraham
menggunakan praktik ritual budaya yang tidak asing bagi Abraham, yang
memberi arti-arti istimewa bagi Abraham sendiri, sebagai peserta
perjanjian itu.
Selanjutnya, dinamika proses kontekstualisasi terdapat dalam
bapa-bapa leluhur PL, maupun para hakim, para nabi, dan sebagainya.
Sebagai contoh : Yusuf dan Daniel di Babilonia (Kej. 40; 41:1-36;
Daniel 2:1-49). Pada kedua peristiwa ini Allah menyatakan
diri/kehendak-Nya melalui mimpi. Hal ini merupakan suatu praktik
penujuman yang sangat popular dikalangan masyarakat saat itu. Namun
yang dapat memahami Allah (berteologi dalam konteks) secara tepat
adalah Yusuf dan Daniel, bukanlah ahli nujum Mesir ataupun Babilonia.
Jadi jelaslah bahwa Allah dalam penyataan diri-Nya menggunakan
perangkat budaya yang dikenal oleh konteks budaya masyarakat
setempat, sedangkan yang dapat berteologi dalam konteks dengan tepat
hanyalah umat Allah dari dan dalam setiap konteks.
Melihat gambaran ini, maka dapat dikatakan bahwa dalam interaksi
(inkarnasi) Firman dan refleksi iman konteks Hebraic PL, semuanya
menampakkan cirri kontekstualitas. Ibadat Israel dilaksanakan dengan
menggunakan pola kontekstual yang dikenal pada zaman itu, sehingga
ada pengorbanan, ada hari-hari raya, dan sebagainya, polanya sama
dengan apa yang dikenal dalam konteks, sedangkan isinya jelas
berbeda, dengan tujuan yang berbeda. Inilah cara Allah
berkontekstualisasi dalam PL, yang tegas menggunakan elemen budaya
kontekstual dengan tujuan “menyatakan Allah” dalam sejarah
manusia. hal ini dipertegas dengan menggunakan “allah” yang
bersifat umum, sedangkan untuk membedakan allah bangsa lain dengan
Allah yang benar digunakan sebutan TUHAN (YHWH ---- nama pribadi
Allah yang dikenal oleh Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Israel,
Yesus Kristus, dan Alkitab).
Prinsip-prinsip
kontekstualisasi yang dapat dipelajari dari Perjanjian Lamaghghhhhh
gg dapat dirinci berdasarkan uraian diatas, yaitu sebaga
berikut:
- Kontekstualisasi dimulai dari Allah ---- yang beringkarnasi lewat firman-Nya.
- Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang oleh kreatifitas manusia.
- Refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman/penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan.
- Bentuk, arti, dan fungsi elemen budaya digunakan secara selektif untuk mengekspersikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari orang dalam.
- Bentuk, arti, dan fungsi elemen budya digunakan selalu bersifat kontemporer, actual, dan famillier dalam suatu konteks budaya pada suatu era sejarah tertentu sehingga secara jelas dan langsung bersifat komunikatif serta menjawab kebutuhan peserta budaya dari kontek tersebut.
- Kontekstualisasi yang beanr akan membawa perubahan yang seimbang, dimana Firman yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dimaksud dan secara mekanis beroperasi di dalam kerangka hidup budaya tersebut.
- Unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi adalah penyataan diri Allah, trasformaasi, dan penghayatan perjanjian berkat yang direfleksikan dari perspektif emic.8
Jika kita meneliti lebih jauh, masih sangat banyak prinsip-prinsip
yang kita temukan di dalam Alkitab khususnya dalam Perjanjian Baru
yang berkenaan dengan pelayannan secara kontekstual. Berdasarkan
uraian tersebut diatas, penulis ingin mengatakan bahwa untuk mencapai
suatu tujuan yang mulia dalam menjalankan Amanat Agung, kita sebagai
hamba-Nya dituntut untuk arif dan bijaksana.
Prinsip-prinsip pendekatan Kontekstual meliputi :
1.
Prinsip secara umum
Pendekatan
secara pribadi perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum kita hendak
menceritakan Kabar Baik itu. hal ini sangat penting, karen dengan
mengenal mereka dan sebaliknya mereka mengenal kita akan timbul suatu
ikatan persahabatan yang dapat mempermudah pemberitaan Kabar baik
itu. Budaya orang Islam perlu dipahami lebih dahulu, sehingga kita
dapat melakukan komunikasi secara tepat dengan tidak menimbulkan
ketersinggungan. Kuat lemahnya pesan yang mereka terima bergantung
dari hasil interaksi kita dengan mereka. Komunikasi akan sangat
efektif jika kita sudah mendapat tempat di hati mereka.
2.
Memahami Budaya Masyarakat
a.
Pengertian Budaya
Budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan
nilai-nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan
ruang, obyek-obyek materi milik pribadi atau kelompok yang diwariskan
dari generasi ke generasi dalam suatu kelompok masyarakat.
Budaya
menyangkut segenap aspek kehidupan manusia :
- Cara hidup manusia : belajar, berfikir, merasa, mempercayai, bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, ekonomi, politik, teknologi, dan sebagainya.
- Berhubungan dengan obyek materi : rumah, alat masak, transportasi, alat perang, dsb.
- Berhubungan dengan komunikasi : siapa, apa, bagaimana pesan disampaikan, bagaimana menafsirkan pesan lisan atau bahasa tubuh.
b.
Unsur-unsur budaya
- Unsur budaya yang bisa dipakai : Pakai kopiah, sarung (P), penutup kepala (W), duduk di lantai/tikar, cara bersalaman, sunat (factor kesehatan, alat musik tradisional (degung, suling,dll), mengubah cerita-cerita rakyat menjadi cerita agama, penggunaan istilah-istilah bahasa Arab.
- Unsur budaya yang perlu dirubah : Memurnikan unsur-unsur budaya agar berkenan kepadan Allah, Ikrar Luassane pasal 10 :”Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya kebudayaan dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah”, di Afrika banyak suku suka mengadakan pesta minum bir yang diubah menjadi pesta minum teh.
- Unsur budaya yang harus di buang : Praktek poligami, praktek-praktek kuasa kegelapan (sihir, mantera, dan lain-lain).
c.
Perbedaan Makna Budaya.
Setiap kebudayaan memiliki bentuk, arti dan fungsi yang bersifat
unik. Budaya juga memiliki lapisan yang paling dalam baik materi
maupun non materi. Pada prakteknya sulit bagi seseorang untuk
mengartikan makna budaya yang berbeda dengan dirinya, sehingga
terjadi kesalahan persepsi dalam menafsirkan sesuatu. Pada saat dua
orang dari budaya yang berbeda mulai berinteraksi, pasti terdapat
perbedaan-perbedaan atau pihak yang satu dianggap keliru oleh pihak
yang lain.
Berdasarkan perbedaan tersebut maka oring dari budaya A dapat berkata
orang dari budaya B kurang baik, kurang ajar, kurang sopan, kurang
peduli, kurang jujur, dsb. Maka dari itu keanekaragaman sering
dipandang sebagai penghalang dalam komunikasi pergaulan lintas
budaya. Dari fakta ini dapat dipahami bila seseorang ingin
berinteraksi dengan orang dari budaya lain diperlukan suatu pemahaman
yang benar menurut konteks budayanya.
BAB III
KESIMPULAN
Tidak ada hal yang
baik yang dapat kita lakukan selain percaya kepada Tuhan Yesus dan
melakukan perintah-perintah-Nya. Memberitakkan “Kabar Baik”
merupakan perintah dari Tuhan yang patut kita lakukan dengan
sukacita. Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Sungguh
dimana kita berada adalah merupakan lahan yang subur untuk menuai.
Dengan melihat kondisi dan situasi yang ada dan menggunakan
metode-metode yang relevan akan mempermudah kita dalam menuai jiwa.
Dengan melihat
kondisi dan situasi bangsa kita akhir-akhir ini, terjadi krisis yang
sangat kompleks. Krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, krisis
kepercayaan, krisis rohani. Seperti yang terjadi baru-baru ini, yaitu
kasus “dukun cilik” (Ponari) , ada puluhan ribu orang yang datang
untuk memperoleh kesembuhan yang relative murah atau mungkin gratis.
Ini membuktikan bahwa disamping mengalami krisis ekonomi, yang lebih
parah adalah krisis dalam kerohanian mereka.
Berdasarkan hal
tersebut kita dapat mengetahui bagaimana cara menjangkau mereka. Hal
yang terpenting yang perlu ditekankan adalah “hidup kekal”.
Banyak orang mencari hal-hal yang sifatnya sementara. Sehingga
kebanyakan orang akan memilih jalan pintas untuk sebuah hasil yang
sifatnya fana. Inilah kesempatan kita untuk memperkenalka Kristus,
karena hanya dalam Kristuslah kita akan menemukan kehidupan yang
kekal itu.
Marilah kita
melayani Tuhan dengan segenap hati karena menjangkau jiwa-jiwa
merupakan tanggung jawab kita sebagai orang percaya. Persahabatan
merupakan metode yang baik untuk kita memulai penginjilan, karena
dengan demikian kita dapat menyampaikan Injil dengan tidak
menimbulkan pertikaian yang menjurus kepada sara.
SEKIAN
BAB IV
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Rais, M. Amien, Islam di Indonesia :suatu ikhtiar mengaca diri,
(Jakarta, 1996
Matar, M. Oasim, Sejarah, Teologia dan Etika Agama-Agama
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta), 2003
Tomatala,Y,
Teologi Kontekstual
( Yayasan Penerbit
Gandum Mas, Jawa Timur, 2001),
Tule
Philipus, Agama-Agama Kerabat Dalam Semesta (Nusa Indah, Flores-NTT),
1994
Powe,
W. Paul, Murid Sejati (Yayasan Kalam Hidup), 2000
Diambil
dari Diktat Islamologi dan Pelayanan Kontekstual, karya Pdt. I
Gusti Ngurah Oka, M.Th.