Selasa, 28 Mei 2013

ISLAMOLOGI

ISLAMOLOGI
ISLAMOLOGI
       
 Oleh :


Ev. Matius Sobolim, S. Th.




 
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Karena kasihNya Ia telah rela mengorbankan diriNya dengan mati di kayu salib untuk menebus kita dari dosa. Kini kita telah menjadi orang sangat berbahagia dan patut bersukacita karena kita boleh disebut sebagai anak-anak Allah. Kita sudah bebas dari belenggu dosa dan menerima kehidupan yang kekal bersama dengan Tuhan.

Namun demikian, ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus kita lakukan sebagai orang yang telah dibebaskan dari dosa. Karena belumlah lengkap kebahagiaan itu jika dinikmati seorang diri, akan tetapi kebahagiaan itu akan menjadi sempurna jika kita membagikannya kepada sesama kita yang belum menerimanya.

Ada banyak saudara-saudara kita yang belum mendengar “Kabar Baik” itu, dan adalah tugas kita untuk memberitakanyan. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20). Ini merupakan tugas yang sangat mulia yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sebagai wujud dari kasih kita kepada Tuhan dan sesama, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam melihat saudara-saudara kita yang masih dalam kegelapan.

Hal pertama yang perlu bagi penginjilan ialah wawasan. Kita harus memandang dunia ini seperti yang dipandang Yesus. Alkitab berkata, “melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tak berguna” (Mat. 9:36). Usaha penginjilan Yesus dimulai ketika Ia melihat kebutuhan rohani yang dalam dari orang banyak. Apa yang dilihat-Nya menggerakkan hati-Nya untuk bertindak.1

Untuk itu dalam hal ini penulis akan menguraikan sebagaian kecil bagaimana motode atau cara kita dalam menjangkau saudara-saudara kita yang belum menerima keselamatan itu, khususnya umat Muslim di Indonesia.

Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Islam ?
  2. Bagaimana kondisi atau situasi Islam di Indonesia?
  3. Apa yang dimaksud dengan pelayanan Kontekstual ?
  4. Bagaimana menjangkau orang Muslim secara Kontekstual ?
  5. Prinsip-prinsip apa yang perlu diperhatikan dalam berkontekstualisasi ?

Tujuan
  1. Dapat memahami tentang Islam
  2. Dapat memahami kondisi dan situasi Islam di Indonesia
  3. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan pelayanan Kontekstual
  4. Dapat memahami cara menjangkau orang Muslim secara Kontekstual
  5. Dapat mengetahui hal-hal yang penting dalam berkontekstualisasi.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Islam
Kata Islam berasal dari bahasa Arab, al-islam, dari kata kerja “Salama” yang artinya “ tunduk atau berserah diri kepada kekuasaan Allah”. Dengan kata lain: menerima semua peraturan Tuhan sebagai petunjuk bagi kehidupan seseorang melalui para nabi, yang disebut juga agama. Secara etimologi, kata “Islam” diturunkan dari akar kata yang sama yaitu “salam” yang berarti “damai”.

Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh pengikutnya diturunkan dari langit), dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Islam adalah agama terbesar kedua di dunia. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim (Muslimin untuk laki-laki dan Muslimat bagi permpuan). Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad SAW adalah Nabi terakhir.

Kitab suci agama Islam adalah Al-Quran, berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti “bacaan” atau “sesuatu yang di baca berulang-ulang”. Dalam keyakinan umat Islam, Al-Quran dan Hadist merupakan pegangan hidup bagi seluruh umat Islam. Al-Quran diyakini adalah wahyu dari Allah kepada Muhammad melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk jalan kehidupan manusia di dunia dan akhirat.

Menurut Amien Rais, di Indonesia sekarang ini Islam dapat didefinisikan ke dalam lima bagian, yaitu:

Pertama, umat Islam didefinisikan sebagai himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Dengan definisi ini, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas penduduk yang sangat heterogen. Sebagaian besar di antara mereka mungkin hanya terkait dengan Islam secara nominal saja. Sebagian besar tidak tahu apa-apa tentang Islam. Dalam kategori Geertz, banyak diantara mereka termasuk abangan dan priyayi.

Kedua, umat Islam di definisikan sebagai himpunan orang yang sudah menjalankan ritus-ritus, zakat, saum, dan haji. Dengan definisi iini, jumlah umat Islam menurun secara drastis. Belum ada penelitian, berapa persentase umat Islam dalam pengertian ini.

Ketiga, umat Islam adalah himpunan orang yang memiliki pengetahuan yang memadai atau lebih dari itu tentang ajaran-ajaran Islam. diduga jumlah mereka sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan minoritas.

Keempat, umat Islam adalah himpunan orang yang berusaha mengatur perilakunya di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Mereka menerapkan kadang-kadang secara formalistis---aturan-aturan Islam dalam berpakaian, makan-minum, bertetangga, belajar, bergaul dan sebagainya. Umat Islam dalam definisi ini bisa dilihat pada aktivis-aktivis masjid, penggerak organisasi kemasyarakatan Islam, atau anggota-anggota jemaat yang dibina secara teratur.

Kelima, umat Islam adalah himpunan orang Islam yang terlibat secara ideologis dengan ajaran Islam. Mereka memandang Islam sebagai Weltauschaung yang harus dijaadikan dasar dalam memandang persoalan-persoalan dunia. Mereka umumnya disebut kaum fundamentalis atau orang-orang yang menampilkan Islam sebagai system alternative. Mereka bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya atau menegakkan syariat Islam. Dengan definisi ini, umat Islam hanyalah minoritas kecil.2

2.2. Kondisi dan situasi Islam di Indonesia
Umat Islam di Indonesia menempati jumlah besar di Dunia Muslim. Mereka dikenal sebagai Muslim Sunni (ahlussunnah waljama’ah), bukan Muslim Syi’ah. Muslim Sunni memang merupakan mayoritas, sedangkan Muslim Syi’ah merupakan minoritas. Muslim Sunni hamper ditemukan di seluruh dunia Muslim seperti : Mesir dan Arab Saudi, sedangkan Muslim Syi’ak secara dominant terkonsentrasi di Iran. Sunni dan Syi’ah mempunyai beberapa perbedaan teologis dan politik. Misalnya, kaum Sunni berpendapat bahwa pengganti Nabi bias siapa saja dan tidak harus dari ahul bait (keluarga nabi) asal memiliki kualitas keagamaan, moral, dan spiritual yang baik. Sedangkan kaum Syi;’ah berpendirian bahwa Nabi harus berasal dari ahul bait (keluarga nabi).

Dipandang dari perspektif sosiokultural keagamaan umat Islam di Indonesia dapat dikelompokan kedalam dua kelompok, yaitu Muslim Tradisionalis yang biasanya diwakili oleh NU dan Muslim Modern yang biasa direpresentasikan oleh Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad. Dikotomi ini mungkin tidak relevan lagi kalau dikaitkan dengan perkembangan pemikiran Islam dewasa ini. Kaum Muslim Tradisional dan kaum Muslim Modernis memiliki persamaan dan kesamaan dalam memegangi doktrin dasar Islam (ushul), tetapi mereka mempunyai perbedaan dalam hal yang bersifat detail (furu).

Dimasa-masa lalu perbedaan itu menjadi penyebab terjadinya perselisihan dan pertikaian pendapat antara kedua belah pihak. Namun dewasa ini dengan adanya proses pencerahan berpikir di kalangan kaum Muslim Tradisionalis dan kaum Muslim Modernis, sekat-sekat budaya antara keduanya mulai hancur dan dihancurkan. Kedua belah pihak bahwa perbedaan demikian adalah wajar dan itu hendaknya dipandang sebagaikhazanah kekayaan pemikiran dan pluranisme pemikiran.3

Suatu pengamatan sepintas membenarkan bahwa masyarakat muslim mayoritas itu mendiami hamper separuh terbesar wilayah Indonesia Bagian barat dengan strata social, ekonomi dan sivilisasi (peradaban) yang terbilang lebih baik. Di sana ada konsentrasi sumber daya manusia berkualitas lebih tinggi dalam pendidikan, konsentrasi industri-industri berat dan ringan, konsentrasi alokasi PMA dan PMDN, konsentrasi lembaga pendidikan tinggi dan lain-lain.4

Kondisi dan situasi Islam di Indonesia juga bisa di golongkan dalam dua golongan, yaitu:
1. Golongan Islam Rakyat.
Islam golongan ini masih memiliki kepercayaan kepada hal-hal yang berbau mistik. Sebagai contoh, :
    • Mereka percaya akan adanya roh-roh orang yang sudah mati. Mereka percaya bahwa pada malam ke-7 dan ke- 40 roh orang mati akan kembali ke rumahnya untuk melihat upaya apa yang dilakukan oleh keluarganya agar roh mereka menjadi damai atau mendapat ketenangan.
    • Jin merupakan komponen yang kuat dalam konsep “hubungan sebab akibat”. Penyebab kematian, kelumpuhan atau penyakit tertentu mungkin disebabkan oleh suatu jin.
    • Kebanyakan dari mereka membawa jimat-jimat di badan mereka dan menyimpannya di tempat-tempat tertentu di dalam halaman mereka agar membawa berkah. Bahkan beberapa orang melakukan praktek permantraan.
    • Berkunjung ke tempat-tempat kramat untuk mendapatkan berkah, dsb.
2. Golongan Islam Ideal
Islam Ideal hanya memiliki kiat-kiat yang sedikit untuk memahami urusan sehari-hari. Dalam hal rohani Islam Ideal lebih focus pada makna kehidupan, kematian, sorga, neraka, keselamatan, kekekalan, dan kepercayaan. Mereka beribadah di Mesjid, yang utama Mekah, Medina, Yerusalem, Damaskus, Istambul. Kiblat di Mekah. Tempat sholat. Ustad atau Imam adalah orang yang dianggap paling penting di kalangan Islam Ideal. 5

2.3. Pelayanan Kontekstual
Istilah kontekstualisasi bukanlah suatu istilah yang baru, melainkan adalah suatu istilah yang sudah digunakan secara popular dalam dunia pendidikan theology pada decade-dekade akhir abad XX ini. Theology kontekstualisasi adalah refleksi ideal dari setiap orang Kristen dalam konteks hidupnya atas Injil Yesus Kristus. Yang dipentingkan disini ialah bagaimana seharusnya Injil (yang utuh itu) di taburkan sehingga membawa keseimbangan yang tampak dari refleksi theology si penerima Injil (dari hakikat dirinya yang utuh – secara pribadi/kelompok, budaya, social, polotik, ekonomi local, dsb. – dan keseluruhan perspektif orang-orang tersebut dalam konteksnya). refleksi itu menampakkan pemahaman, pendirian, dan dampak Injil yang seimbang dalam konteks dimaksud yang digambarkan dalam sikap “sambutan atas Injil sebagai milik diri dan mengekspresikan pemilikan ini dalam pengertian/arti yang baru melalui bentuk budaya local yang dikenal, yang secara fungsional melayani kebutuhan masyarakat konteks tersebut.6

Theologi kontekstualisasi menekankan bagaimana seharusnya setiap orang Kristen bertheologi dalam konteks, yaitu budaya, social, ekonomi, politik, geografi, dan sebaginya di mana ia seorang individu serta gereja sebagai komunitas mikro berada dalam komunitas makro. Theologia kontekstual Alkitabiah yang abash menempatkan Allah sebagai the prime cause, the prime mover dari proses beertheologi dalam konteks. Pada sisi ini, “Alkitab” berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah sendiri memilih untuk menyatakan diri kepada manusia dan penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini berarti Allah sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai wahana penyataan-Nya. Manusia pada sisi lain (sebagai penerima/partisipan) menerima penyataan Allah dalam hidupnya dari filter budaya. 
 
Theologi kontekstual yang abash menekankan bahwa apabila Allah telah menetapkan untuk menggunakan budaya manusiasebagai wahana dan sarana penyataan diri-Nya, maka buadaya manusia haruslah dihargai untuk dipelajari guna memperoleh petuntuk bagaimana seharusnya menyeberangkan Injil kepaada sekelompok orang melalui budaya mereka. Refleksi penerimaan atas penyataan Injil budaya yang menampakkan (memberi indikasi) bahwa mereka memahami penyataan diri allah (Injil) dengan baik merupakan bukti bahwa proses kontekstualisasi telah dimulai.7

2.4. Metode penjangkauan umat Mislim secara Kontekstual
Untuk menjangkau umat Muslim secara kontekstual sebaiknya menggunakan metode-metode yang nantinya mempermudah Injil yang akan kita sampaikan.
1. Metode Bercerita
Metode ini baik digunakan disamping karena Allah sendiri berkomunikasi dengan kita memakai metode ini di dalam Alkitab dan juga Isa Almasih memakai cerita atau perumpamaan dalam mengajar (Mar.4:1-2, 33-34). Seringkali para ustad dan kyai juga memakai metode ini. Melalui metode bercerita juga dapat meminimalisir dugaan-dugaan negative, perasaan tersinggung, karena penyampaiannya lebih halus tanpa mempersalahkan mereka. Dengan bercerita hubungan akan semakin akrab, suasana tidak resmi, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Disamping itu, budaya Indonesia adalah budaya lisan, sehingga metode bercerita lebih mudah dipahami dan diingat oleh pendengar.
2. Sarana Penginjilan
  • Menggunakan Firman Allah / Kitab Suci yang dapat dipercaya oleh mereka (Taurat, Zabur, Injil, Al-qura).
  • Tekankan bahwa Allah adalah Esa (Tauhid) : Allah adalah satu-satunya yang berdaulat, yang bertindak dalam sejarah dan berkomunikasi dengan manusia.
  • Jelaskan sifat Allah dan siapa Dia sebenarnya : Allah Yang Maha Kuasa, Maha Tahu, Sumber Segala Anugerah, Pengasih dan Penyayang, Murah Hati, Mengasihi manusia dan Ingin Bersekutu dengan Manusia.
  • Jelaskan siapa sebenarnya Isa Almasih: Ia yang dijanjikan Allah untuk manusia, diutus sesuai dengan rencana Allah, suci/tak pernah berbuat dosa.
3. Sarana Pemuridan
Sering kali sebelum orang Islam bertobat, sebenarnya kita sudah mulai memuridkan dan mengajar mereka mengenai prinsip-prinsip kebenaran tentang Injil. Mereka mungkin mempunyai banyak konsep yang salah tentang Injil; Keselamatan; Isa Almasih, dan banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Orang yang haus mencari kebenaran mungkin memerlukan pemuridan yang cukup lama. Dalam pemuridan ini kita bisa mengajarkan mereka tentang :
    • Kronologis penciptaan dunia dan manusia.
    • Menjelaskan Isa Almasih agar mereka mengenal-Nya lebih dalam
    • Bagaimana kehidupan Kristen yang sebenarnya (berjalan dengan kuasa dan anugerah Allah)
    • Teladan tokoh-tokoh dalam Alkitab : Ibrahim, Musa, Daud, dsb.
    • Mengenal seluruh rencana Tuhan dalam kehidupan pribadi
    • Kepastian keselamatan di dalam Isa Almasih.
    • Menolong mereka menghadapi kesulitan/tantangan/penderitaan hidup.
    • Dan lain-lain.
2.5. Prinsip-prinsip Kontekstual.
Allah sendiri dalam menyatakan kasih-Nya kepada manusia sering menggunakan cara atau metode kontekstual. Bila kita melihat di dalam Kejadian 15:7-11, di sini pun terdapat dasar kontekstualisasi Allah yang jelas, di mana Allah dalam mengadakan perjanjian dengan Abraham menggunakan praktik ritual budaya yang tidak asing bagi Abraham, yang memberi arti-arti istimewa bagi Abraham sendiri, sebagai peserta perjanjian itu.

Selanjutnya, dinamika proses kontekstualisasi terdapat dalam bapa-bapa leluhur PL, maupun para hakim, para nabi, dan sebagainya. Sebagai contoh : Yusuf dan Daniel di Babilonia (Kej. 40; 41:1-36; Daniel 2:1-49). Pada kedua peristiwa ini Allah menyatakan diri/kehendak-Nya melalui mimpi. Hal ini merupakan suatu praktik penujuman yang sangat popular dikalangan masyarakat saat itu. Namun yang dapat memahami Allah (berteologi dalam konteks) secara tepat adalah Yusuf dan Daniel, bukanlah ahli nujum Mesir ataupun Babilonia. Jadi jelaslah bahwa Allah dalam penyataan diri-Nya menggunakan perangkat budaya yang dikenal oleh konteks budaya masyarakat setempat, sedangkan yang dapat berteologi dalam konteks dengan tepat hanyalah umat Allah dari dan dalam setiap konteks.

Melihat gambaran ini, maka dapat dikatakan bahwa dalam interaksi (inkarnasi) Firman dan refleksi iman konteks Hebraic PL, semuanya menampakkan cirri kontekstualitas. Ibadat Israel dilaksanakan dengan menggunakan pola kontekstual yang dikenal pada zaman itu, sehingga ada pengorbanan, ada hari-hari raya, dan sebagainya, polanya sama dengan apa yang dikenal dalam konteks, sedangkan isinya jelas berbeda, dengan tujuan yang berbeda. Inilah cara Allah berkontekstualisasi dalam PL, yang tegas menggunakan elemen budaya kontekstual dengan tujuan “menyatakan Allah” dalam sejarah manusia. hal ini dipertegas dengan menggunakan “allah” yang bersifat umum, sedangkan untuk membedakan allah bangsa lain dengan Allah yang benar digunakan sebutan TUHAN (YHWH ---- nama pribadi Allah yang dikenal oleh Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Israel, Yesus Kristus, dan Alkitab).

Prinsip-prinsip kontekstualisasi yang dapat dipelajari dari Perjanjian Lamaghghhhhh gg dapat dirinci berdasarkan uraian diatas, yaitu sebaga berikut:
  1. Kontekstualisasi dimulai dari Allah ---- yang beringkarnasi lewat firman-Nya.
  2. Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang oleh kreatifitas manusia.
  3. Refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman/penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan.
  4. Bentuk, arti, dan fungsi elemen budaya digunakan secara selektif untuk mengekspersikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari orang dalam.
  5. Bentuk, arti, dan fungsi elemen budya digunakan selalu bersifat kontemporer, actual, dan famillier dalam suatu konteks budaya pada suatu era sejarah tertentu sehingga secara jelas dan langsung bersifat komunikatif serta menjawab kebutuhan peserta budaya dari kontek tersebut.
  6. Kontekstualisasi yang beanr akan membawa perubahan yang seimbang, dimana Firman yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dimaksud dan secara mekanis beroperasi di dalam kerangka hidup budaya tersebut.
  7. Unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi adalah penyataan diri Allah, trasformaasi, dan penghayatan perjanjian berkat yang direfleksikan dari perspektif emic.8

Jika kita meneliti lebih jauh, masih sangat banyak prinsip-prinsip yang kita temukan di dalam Alkitab khususnya dalam Perjanjian Baru yang berkenaan dengan pelayannan secara kontekstual. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis ingin mengatakan bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang mulia dalam menjalankan Amanat Agung, kita sebagai hamba-Nya dituntut untuk arif dan bijaksana.

Prinsip-prinsip pendekatan Kontekstual meliputi :
1. Prinsip secara umum
Pendekatan secara pribadi perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum kita hendak menceritakan Kabar Baik itu. hal ini sangat penting, karen dengan mengenal mereka dan sebaliknya mereka mengenal kita akan timbul suatu ikatan persahabatan yang dapat mempermudah pemberitaan Kabar baik itu. Budaya orang Islam perlu dipahami lebih dahulu, sehingga kita dapat melakukan komunikasi secara tepat dengan tidak menimbulkan ketersinggungan. Kuat lemahnya pesan yang mereka terima bergantung dari hasil interaksi kita dengan mereka. Komunikasi akan sangat efektif jika kita sudah mendapat tempat di hati mereka.

2. Memahami Budaya Masyarakat

a. Pengertian Budaya
Budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan nilai-nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, obyek-obyek materi milik pribadi atau kelompok yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu kelompok masyarakat.
Budaya menyangkut segenap aspek kehidupan manusia :
  • Cara hidup manusia : belajar, berfikir, merasa, mempercayai, bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, ekonomi, politik, teknologi, dan sebagainya.
  • Berhubungan dengan obyek materi : rumah, alat masak, transportasi, alat perang, dsb.
  • Berhubungan dengan komunikasi : siapa, apa, bagaimana pesan disampaikan, bagaimana menafsirkan pesan lisan atau bahasa tubuh.
b. Unsur-unsur budaya
  • Unsur budaya yang bisa dipakai : Pakai kopiah, sarung (P), penutup kepala (W), duduk di lantai/tikar, cara bersalaman, sunat (factor kesehatan, alat musik tradisional (degung, suling,dll), mengubah cerita-cerita rakyat menjadi cerita agama, penggunaan istilah-istilah bahasa Arab.
  • Unsur budaya yang perlu dirubah : Memurnikan unsur-unsur budaya agar berkenan kepadan Allah, Ikrar Luassane pasal 10 :”Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya kebudayaan dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah”, di Afrika banyak suku suka mengadakan pesta minum bir yang diubah menjadi pesta minum teh.
  • Unsur budaya yang harus di buang : Praktek poligami, praktek-praktek kuasa kegelapan (sihir, mantera, dan lain-lain).
c. Perbedaan Makna Budaya.
Setiap kebudayaan memiliki bentuk, arti dan fungsi yang bersifat unik. Budaya juga memiliki lapisan yang paling dalam baik materi maupun non materi. Pada prakteknya sulit bagi seseorang untuk mengartikan makna budaya yang berbeda dengan dirinya, sehingga terjadi kesalahan persepsi dalam menafsirkan sesuatu. Pada saat dua orang dari budaya yang berbeda mulai berinteraksi, pasti terdapat perbedaan-perbedaan atau pihak yang satu dianggap keliru oleh pihak yang lain.

Berdasarkan perbedaan tersebut maka oring dari budaya A dapat berkata orang dari budaya B kurang baik, kurang ajar, kurang sopan, kurang peduli, kurang jujur, dsb. Maka dari itu keanekaragaman sering dipandang sebagai penghalang dalam komunikasi pergaulan lintas budaya. Dari fakta ini dapat dipahami bila seseorang ingin berinteraksi dengan orang dari budaya lain diperlukan suatu pemahaman yang benar menurut konteks budayanya.


BAB III
KESIMPULAN

Tidak ada hal yang baik yang dapat kita lakukan selain percaya kepada Tuhan Yesus dan melakukan perintah-perintah-Nya. Memberitakkan “Kabar Baik” merupakan perintah dari Tuhan yang patut kita lakukan dengan sukacita. Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Sungguh dimana kita berada adalah merupakan lahan yang subur untuk menuai. Dengan melihat kondisi dan situasi yang ada dan menggunakan metode-metode yang relevan akan mempermudah kita dalam menuai jiwa.

Dengan melihat kondisi dan situasi bangsa kita akhir-akhir ini, terjadi krisis yang sangat kompleks. Krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan, krisis rohani. Seperti yang terjadi baru-baru ini, yaitu kasus “dukun cilik” (Ponari) , ada puluhan ribu orang yang datang untuk memperoleh kesembuhan yang relative murah atau mungkin gratis. Ini membuktikan bahwa disamping mengalami krisis ekonomi, yang lebih parah adalah krisis dalam kerohanian mereka. 

Berdasarkan hal tersebut kita dapat mengetahui bagaimana cara menjangkau mereka. Hal yang terpenting yang perlu ditekankan adalah “hidup kekal”. Banyak orang mencari hal-hal yang sifatnya sementara. Sehingga kebanyakan orang akan memilih jalan pintas untuk sebuah hasil yang sifatnya fana. Inilah kesempatan kita untuk memperkenalka Kristus, karena hanya dalam Kristuslah kita akan menemukan kehidupan yang kekal itu. 

Marilah kita melayani Tuhan dengan segenap hati karena menjangkau jiwa-jiwa merupakan tanggung jawab kita sebagai orang percaya. Persahabatan merupakan metode yang baik untuk kita memulai penginjilan, karena dengan demikian kita dapat menyampaikan Injil dengan tidak menimbulkan pertikaian yang menjurus kepada sara.

SEKIAN



BAB IV
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Rais, M. Amien, Islam di Indonesia :suatu ikhtiar mengaca diri, (Jakarta, 1996
Matar, M. Oasim, Sejarah, Teologia dan Etika Agama-Agama
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta), 2003
Tomatala,Y, Teologi Kontekstual ( Yayasan Penerbit Gandum Mas, Jawa Timur, 2001),
Tule Philipus, Agama-Agama Kerabat Dalam Semesta (Nusa Indah, Flores-NTT), 1994
Powe, W. Paul, Murid Sejati (Yayasan Kalam Hidup), 2000
Diambil dari Diktat Islamologi dan Pelayanan Kontekstual, karya Pdt. I Gusti Ngurah Oka, M.Th.