MANUSIA DAN
PROSES PENYEMPURNAAN DIRI
oleh Ev. Matius Sobolim, S. Th.
Manusia dan proses Penyempurnaan |
Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia
merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan
keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu
Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai
atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang
untuk menyempurnakan dirinya
(QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan ini
amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia
itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang
mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi
dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab
suci sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174).
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat
yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa
rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal
Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus
dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang
lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.
Persoalan serius yang menghadang adalah,
sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada
umumnya, kini manusia semakin mendapatkan
kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu
pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam
profesi kehidupan maka protret atau konsep tentang realitas
manusia semakin terpecah meniadi
kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok
manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin ilmu
seperti psikologi, sosiologi, biologi,
kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan
lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek
kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode
dan tujuan yang berbeda. Differensiasi
metodologis setiap ilmu, meskipun
obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang
berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat
manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri
yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah
misteri yang melekat pada dirinya dan
misteri ini telah mengundang kegelisahan
intelektual pare ahli pikir untuk mencoba
berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir
mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung
dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin
terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia. Krisis pengenalan
jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan,
misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
Nietzsche proclaims the will to power, Freud
signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the economic
instinct. Each theory becomes a Procrustean bed in which the
empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern.
Owing to this development our modern theory
of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete
anarchy of thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21)
Krisis pengenalan diri sesungguhnya
tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan
juga di kalangan Islam. Terjadinya
ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau
tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang
terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini
cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia
adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap
menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya,
manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan
pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu fiqih
cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim,
maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan
sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf
memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada
dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia
itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
Jadi, bila langkah pertama untuk
mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri
terlebih dahulu secara benar, maka langkah
pertama yang harus kita tempuh ialah
bagaimana mengenal diri kita secara benar.
Meskipun Cassirer secara
gamblang menunjukkan krisis pengenalan
diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua
paradigma pemahaman terhadap manusia,
yaitu paradigma materialisme-atheistik
dan spiritualisme-theistik. Yang pertama berkeyakinan
pada teori bahwa semua realitas materi (downward causation),
sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia materi ini
hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat
imateri (upward causation).
Bagi mereka yang berpandangan
atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik
akan sulit diajak untuk menghayati makna
penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di
kalangan pare sufi. Kritik terhadap aliran
materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah
dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan
Barat
kontemporer dengan dalih, antara
lain, faham ini telah mereduksi keagungan
manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and
religious being.
Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang
amat sederhana tetapi gamblang betapa miskinnya penganut
materialisme dalam memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.
Progressive reductionism works as
follows. An art object is only mass and light waves; an act of love only
chemiphysical, only electrical charges; therefore, the art object
or act of love is only a flow of electricity. (Ralph ross,
1962, hal. 8).
Pandangan yang begitu dangkal tentang
manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin
al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan
di muka bumi untuk melaksanakan
'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3).
Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang
begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan
karena dengan penciptaan itu
Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu
an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin
dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah,
pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut, namun
dengan beberapa
penafsiran yang berbeda. Meski
demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia
adalah microcosmos yang memiliki
sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan
paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS.
41:53). Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah
menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur
Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min
ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan
mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah
minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau
manusia masih berada dalam lingkup dunia materi
dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas
atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam
konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap
tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah
berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah
kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh
pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the mistery of the
material world before knowing himself.
Dalam kaitan definisi,
tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para
sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan
bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak
pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian
dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin
dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran
spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat
pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam
tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula
dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah
bila ada yang berpendapat
bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke
arah kehidupan mistik bersifat natural dan
universal. Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang
senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam
kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah
muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan
sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil
rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur
manusia yang paling dalam, yang
pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa
nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain,
roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"
bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa
diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master.
Bila hal ini terjadi maka terjadilah
kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada
kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan
konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan
memerintah dari atas singgasana
"imateri" dengan
sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang
kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak,
lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran:
minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu
seseorang bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan
meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa
damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai
pula (QS. 89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk
meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau
ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran
hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun
seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan
berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191).
Dari dzikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq.
Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan
sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana
sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi
sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya
menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i
Allah."
Maqam ketiga tahaqquq.
Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan
kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang
mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat
Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.
Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari
kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang
mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan
intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan
melihat kedekatan hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya
ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam
pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an
dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan
dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan
dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa
meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada
jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil
(qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan
bumi karena ia sanggup menerima 'arsy Tuhan,
sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut
Ibn 'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub
yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang
sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya
Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri
Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam
pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan,
hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu
menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan
(Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam konteks
inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan
ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia
akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah
"microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di
situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya
atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa,
melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya
Yang Bathin.
KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA
Bila upaya penyucian jiwa
merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati
dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf
bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya
setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi
sufi.
Pandangan semacam itu tentu saja
kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu,
bukankah cukup tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits
yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah
mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam
perilaku insaniyahnya?
Melalui tahapan ta'alluq,
takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan
mencapai derajat khalifah Allah dengan
kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih
dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah
sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di
muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek
untuk memakmurkan bumi, dan bukankah
hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya?
Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang
tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah
dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,
1980.
Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul
'Arabi, Lahore, 1938
Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.
Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in
Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.
Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan
III, Princeton, 1982.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, 1973
Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,
1976.
Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.