Corintus head Cafering
Oleh
Matius
Soboliem, S. Th.
Bekas Bangunan Kota Korintus |
Penyimpangan-penyimpangan
dalam perkumpulan ibadah bersama (11: 2-16).
Setelah
Paulus menyelesaikan masalah penyembahan berhala, Paulus meluruskan
penyimpangan-penyimpangan dalam perkumpulan ibadah bersama. Pertama,
tentang wanita yang tidak menggunakan tutup kepala pada waktu berdoa
atau bernubuat(11: 2-16). Kedua, penyimpangan dalam merayakan
perjamuan Tuhan (11:17-34). Ketiga, penyimpangan-penyimpangan dalam
menggunakan karunia berbahasa roh dalam perkumpulan ibadah bersama
(pasal 12-14).
A.
Penyimpangan dimana wanita tidak menggunakan penutup kepala pada
waktu berdoa atau bernubuat (11:2-16).
Ada
bukti-bukti yang kuat dalam kebudayaan Yunani-Romawi kuno bahwa jika
wanita-wanita mempersembahkan korban kepada dewa mereka biasanya
memakai penutup kepala. Sebagai contoh: disebelah patung kaesar
Agustus yang ditemukan di Korintus, terdapat patung seorang wanita
yang sedang mempersembahkan persembahan korban dengan kepala yang
ditutup dengan tudung.1
Kita juga bisa menyebutkan tentang pentingnya mezbah Cn. Domitius
Ahenobarus yang ditemukan di Louvre yang sangat jelas sekali terlihat
ada seorang wanita yang dengan kepala yang tertutup dengan tudung
sedang mempersembahkan persembahan. Dalam gambar tersebut terlihat
bahwa orang laki-laki tidak memakai penutup kepala dan disitu hanya
ada seorang perempuan saja yang harus memakai
penutup kepala karena bertugas untuk mempersembahkan korban.2
Hal ini adalah untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam
ibadah. Selain itu ada bukti dari batu relief di museum Archeologi di
Milan, dimana ada wanita yang sedang mempersembahkan korban yang
memakai penutup kepala.3
Bukti dari literatur-literatur kuno juga banyak, seperti literatur
yang ditulis oleh Livy (10.7.10) menunjukkan bahwa wanita harus
memakai penutup kepala bukan hanya pada saat mempersembahkan korban
saja tetapi pada saat menyampaikan nubuatan juga. Hal ini juga
didukung oleh Varro (De
Lingua Latina,
5.29.130) dan Juvenal (Sat.
6.390-392).
Hal
ini sama dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh wanita-wanita
Yahudi yang memakai penutup kepala dalam kehidupan sehari-hari atau
dalam ibadah. Jadi dalam hal ini, Paulus tidak berusaha untuk
memaksakan agar wanita-wanita Korintus memakai adat-kebiasaan Yahudi
pada saat berdoa atau bernubuat, sebab bukti-bukti sangat banyak
bahwa memakai penutup kepala pada saat mempersembahkan korban atau
bernubuat adalah merupakan praktek yang umum berlaku dalam kebudayaan
Yunani-Romawi kuno. Selain itu, juga ada literatur yang menyebutkan
bahwa jika ada wanita yang dicukur pendek atau dengan rambut
yang terurai kebawah, adalah merupakan hal yang memalukan jika dia
muncul dalam tempat umum (Dio Chrysostom, 64.2f.).
Kemudian,
permasalahan apa yang sedang dihadapi oleh Paulus dalam perikop ini.
Gordon Fee memberi penjelasan bahwa latar belakang yang menyebabkan
mereka tidak memakai penutup kepala pada waktu berdoa dan bernubuat
adalah berhubungan dengan status mereka yang baru dalam Kristus,
dimana mereka sudah menjadi “manusia
rohani.”
Dalam status seperti ini mereka sudah sama seperti malaekat karena
sudah berbahasa malaekat, sehingga sekarang ini tidak lagi ada
pemisahan jenis kelamin dan tidak lagi ada perbedaan status.4
Hal inilah yang sedang di responi oleh Paulus dalam perikop ini.
Argumen
Paulus dalam perikop ini bisa ditelusuri sebagai berikut: ayat 2
adalah pembukaan dari bagian ini. Ayat 3 Paulus menjelaskan tentang
kedudukan wanita dan pria dalam jema’at. Ayat 4-7, Paulus
menyatakan tentang bagaimana seharusnya sikap wanita ketika berdoa
dan bernubuat. Ayat 8-10, Paulus memberikan alasan mengapa wanita
harus memakai penutup kepala. Ayat 11-12, Paulus menjelaskan status
laki-laki dan perempuan dalam Tuhan. Ayat 13-15, Paulus mengajak agar
mereka mempertimbangkan sendiri mana yang patut bagi seorang wanita
yang sedang berdoa atau bernubuat. Ayat 16, Paulus memberikan
gambaran tentang kebiasaan yang berlaku di seluruh gereja yang telah
didirikan.
11:2.
Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap
mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan
kepadamu.
Pembukaan
dari perikop ini agak aneh, sebab Paulus memuji orang-orang Korintus
tetapi pada ayat berikutnya menegur, sehingga pertanyaannya adalah
tradisi yang manakh yang dimaksud oleh Paulus. Ada yang mengusulkan
bahwa ini adalah ini adalah tradisi yang tidak sibutkan yang mereka
memelihara sampai saat surat ini ditulis. Kemungkinan yang terbaik
ialah bahwa ini adalah strategi Paulus untuk melihat sgi positip dari
kehidupan orang-orang Korintus untuk menyapkan teguran yang akan
dilakukan pada ayat berikutnya. Kemungkinan yang lain adalah bahwa
Paulus memuji semangat mereka memelihara tradisi-tradisi yang Paulus
ajarkan kepada mereka, inilah yang dipuji oleh Paulus. Dilain pihak
ada yang hal-hal yang kurang tepat, inilah yang akan diluruskan oleh
Paulus dalam ayat 3 dan seterusnya.
11:3.
Tetapi aku mau supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari
tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah
laki-laki dan kepada dari Kristus ialah Allah.
Kata
“tetapi” menunjukkan bahwa walaupun mereka sudah mengikuti
tradisi dengan baik, tetapi ada yang kurang tepat dimana kelihatannya
disebabkan oleh karena pengertian yang salah. Hal ini terlihat dari
pembukaan ayat ini “tetapi
aku mau supaya kamu mengetahui hal ini” Masalah
apa yang terjadi dibalik argumen Paulus di ayat 3 ini: “Kepala
dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah
laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah.”
Ayat ini telah menjadi perdebatan dari banyak ahli Perjanjian Baru,
khususnya berkenaan dengan dengan masalah apa yang berada dibaliknya
sehingga Paulus menyampaikan argumen di ayat ini?. Jawaban dari
pertanyaan ini memang tergantung pada pengertian kata “kepala”
(kefalh)
dalam ayat ini.
Pertama-tama
kata ini berarti “sumber, terutama sumber hidup.”5
Dalam hal ini maka pengertian dari ayat ini adalah bahwa Kristus
adalah sumber hidup laki-laki, laki-laki adalah sumber hidup dari
perempuan dan Allah adalah sumber hidup dari Kristus. Pendapat ini
bukannya tidak ada kesulitan, sebab bagaimana menjelaskan bahwa
laki-laki adalah sumber hidup dari wanita?, atau bagaimana Allah
sebagai sumber hidup dari Kristus?
Yang
kedua, pengertian dari “kepala” adalah “otoritas atas”6
Dalam hal ini maka permasalahan yang terjadi di Korintus adalah
penolakan otoritas laki-laki berhubungan dengan status mereka yang
baru sebagai “manusia rohani”. Penyimpangan ini sebenarnya sudah
dirasakan ketika Paulus meresponi surat mereka di pasal 7, dimana ada
wanita-wanita yang tidak melakukan tanggung-jawabnya sebagai isteri
dalam melayani hubungan seksual bagi suami mereka (7: 3-5).
Dihubungkan dengan pasal 11 ini, maka penyimpangan ini terjadi dalam
ibadah bersama dimana wanita-wanita ini berdoa dengan tidak lagi
menggunakan penutup kepala yang dalam kebudayaan Yunani-Romawi
menjadi simbol tunduk kepada orang laki-laki. Dengan melakukan
demikian maka mereka sebetulnya menolak otoritas laki-laki pada
umumnya sebab semuanya sudah menjadi seperti malaekat dimana tidak
ada lagi perbedaan status, bahkan tidak ada lagi apa yang dinamakan
perbedaan jenis kelamin. Selain itu, jika wanita-wanita disini adalah
orang-orang yang sudah menikah,7
maka tujuan dari perikop ini adalah bahwa Paulus sedang mengembalikan
susunan secara hirarki dari struktur otoritas, bahwa suami adalah
kepala dari isteri. Hal ini sejalan dengan ajaran Paulus di lain
tempat, seperti di Epesus 5:22-23; Kolose 3:18, bahwa suami adalah
kepala dari isteri. Oleh sebab itu isteri harus tunduk kepada suami
seperti tunduk kepada Kristus. Dan Kristus harus tunduk kepada Allah
Bapa sebagai otoritas yang tertinggi.
11:4.
Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang
bertudung, menghina kepalanya.
Kata
“tiap-tiap laki-laki” menunjuk kepada tiap-tiap laki-laki Kristen
“yang berdoa dan
bernubuat dengan kepala bertudung menghina kepalanya.” Kelihatan
disini yang menjadi masalah adalah masalah dalam beribadah bersama
dan bukan beribadah secara pribadi, sebab orang bisa berdoa pribadi,
tetapi bernubuat biasanya dilakukan dalam konteks ibadah bersama.
Ungkapan “menghina
kepalanya” adalah
kurang jelas apa yang dimaksud disini. Apakah mungkin Paulus sedang
menyebutkan kebiasaan orang laki-laki yang melakukan penyembahan di
kuil dewa dimana orang laiki-laki memakai mahkota dikepalanya sebagai
simbol otoritas atas wanita.8
Sehingga pemakaian penutup kepala berarti menghina otoritasnya.
Kemungkinan yang lain adalah, Paulus memakai argumen Perjanjian Lama,
dimana Haman menutupi kepalanya dengan kain tanda berkabung (Est.
6:12. Walaupun demikian, konteks disini tidak mengijinkan kebiasaan
di Perjanjian Lama diterapkan disini. Kemungkinan lain adalah bahwa
“menghina kepala” disini berarti menghina Kristus sebagai kepala
laki-laki. Kesulitan dengan pendapat ini adalah tidak jelas dalam hal
apa laki-laki mengina Yesus. Kemungkinan lain adalah bahwa hal ini
hanyalah bersifat hipothetis untuk mengontraskan antara masalah yang
sedang dihadapi dalam perikop ini. Kemungkinan yang mana yang benar,
sulit untuk diputuskan. Kemungkinan yang paling mungkin adalah
kemungkinan pertama dalam argumen diatas, walaupun demikian tidak
berarti bahwa pendapat itu tidak terdapat kesulitan.
11:5.
Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala
yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan
perempuan yang dicukur rambutnya. 11:6.
Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia
juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah
penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia
menudungi kepalanya.
Ungkapan
“tiap-tiap perempuan
yang berdoa atau bernubuat”
menunjuk kepada saat mereka mengadakan ibadah bersama dimana
masing-masing jema’at ada kesempatan untuk mengucapkan doa atau
nubuatan. Walaupun dalam hal ini Paulus tidak membedakan hak antara
laki-laki dan perempuan dalam berdoa dan bernubuat, namun kebiasaan
yang berlaku dalam tradisi mereka tidak boleh dilanggar, bahwa wanita
yang berdoa atau bernubuat harus memakai penutup kepala. Jika seorang
wanita yang berdoa dan bernubuat tidak memakai penutup kepala maka
sebab hal ini adalah merupakan penghinaan kepada kepalanya dan ia
disamakan dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Mengenai yang
terakhir ini, nanti dalam ayat 6, Paulus menjelaskan bahwa jika
seorang wanita menggunting rambutnya atau mencukurnya, hal ini adalah
merupakan penghinaan baginya. Hal ini semua berhubungan dengan
adat-istiadat yang berlaku di sana, dengan demikian lebih baik bagi
wanita untuk menutupi kepalanya dengan tudung pada saat berdoa dan
bernubuat. Selain itu, istilah “menghina kepalanya” bisa juga
dimengerti dalam arti simbolis, yaitu bahwa wanita itu menghina
kepalanya yanitu suaminya sendiri. Kalau hal ini benar, maka
penolakan untuk memakai penutup kepala pada waktu berdoa dan
bernubuat adalah sebagai expressi dari penolakan otoritas suami
terhadap isteri. Kemungkinan ini sebenarnya didukung oleh konteksnya,
berhubung dengan status mereka yang baru sebagai “wanita-wanita
rohani” (ai pneumatikai).
- Argumen dari penciptaan (11:7-12).
Pada
perikop ini Paulus memakai argumen dari penciptaan untuk mendukung
argumen bahwa ketika berdoa dan bernubuat, wanita harus memakai
penutup kepala, sedangkan yang laki-laki tidak. Walaupun demikian,
argumen-argumen inipun sangat kompleks, yang tidak gampang untuk
dimengerti.
Walaupun
demikian argumen Paulus bisa ditelusuri sebagai berikut: ayat 7,
merupakan alasan langsung dari argumen ayat 4-6. Ayat 8-9, Paulus
memakai argumen dari penciptaan. Ayat 10, penerapan kepada situasi di
Korintus. Ayat 11-12, perspektip Paulus tentang hubungan antara
wanita dan laki-laki.
11:7.
Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya, ia menyinarkan
gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan
laki-laki.
Kata
penghubung “sebab”
menjelaskan alasan dari mengapa wanita harus memakai penutup kepala
pada saat berdoa atau bernubuat sedangkan yang laki-laki tidak,
karena “ia
menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan
menyinarkan kemuliaan laki-laki.”
Yang menjadi fokus dalam alasan Paulus disini adalah bahwa Paulus
disini mengingatkan bahwa dengan tidak memakai penutup kepala pada
saat berdoa atau bernubuat, seorang wanita tidak bisa mencerminkan
kemuliaan laki-laki, karena dia telah bertindak tidak sesuai dengan
adat kebiasaan yang berlaku. Yang dimaksud disini adalah bahwa wanita
tidak lagi mau tunduk kepada suaminya akibat dari statusnya yang baru
sebagai “manusia rohani” Paulus, dalam hal ini, nampaknya tidak
merubah adat kebiasaan yang ada walaupun kebiasaan ini merupakan
kebiasaan yang ada kaitannya dengan kebiasaan dalam kuil berhala,
namun bagi Paulus kebiasaan ini termasuk pada hal-hal yang
“nonessential”. Bahkan jika perubahan terhadap kebiasaan tersebut
berkenaan dengan pemahaman yang keliru terhadap status mereka yang
baru dalam Kristus, maka inilah alasannya Paulus melarang untuk
merubah adat kebiasaan tersebut. Walaupun demikian Paulus pada
akhirnya menjelaskan bahwa yang berlaku di seluruh jema’at-jema’at
yang telah didirikan Paulus tidak berlaku peraturan seperti ini (ay.
16), hal ini berarti bahwa peraturan yang diberikan disini adalah
bersifat situasional, khusus hanya di Korintus saja. Ungkapan “ia
menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah” bahwa
apa yang dilakukan oleh seorang wanita mempunyai dampak kepada
kemuliaan laki-laki yang seharusnya menyinarkan kemuliaan Allah.
Dengan demikian, ketundukan seorang wanita terhadap laki-laki adalah
memancarkan kemuliaan kepala (suami) dan suami yang demikian
menyinarkan kemuliaan Allah.
11:8.
Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan
berasal dari laki-laki. 11:9.
Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan
diciptakan karena laki-laki.
Kedua
ayat ini adalah menjelaskan apa yang dikatakan Paulus di ayat 7c,
bahwa wanita memancarkan kemuliaan laki-laki. Paulus memakai argumen
dari Kejadian 2:23 dan 18-20, tentang bagaimana wanita diciptakan dan
posisi yang ditetapkan oleh Allah. Ungkapan “perempuan
diciptakan karena (untuk kepentingan) laki-laki”, seolah-olah
menyiratkan status wanita yang lebih rendah, namun pada hakekatnya
jika kita melakukan penafsiran yang tepat terhadap kisah penciptaan,
maka pemahaman ini tidak terjadi. Paulus sendiri nanti di ayat 11-12
akan menjelaskan mengenai hal ini. Jadi dalam hal ini Paulus
meneguhkan fakta bahwa laki-laki sebagai kepala dari isteri dan
wanita adalah kemuliaanya, sebab wanita diciptakan untuk kepentingan
laki-laki, yaitu sebagi penolong. Oleh sebab itu wanita perlu tetap
tunduk kepada suaminya, seperti suami tunduk kepada Kristus.
11:10.
Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh
karena para malaikat.
Kata
penghubung “sebab
itu” dalam bahasa
Yunani dia touto
: “untuk alasan inilah,” hal ini menunjuk kepada argumen
sebelumnya yaitu bahwa wanita harus tetap tunduk kepada suaminya,
maka “perempuan harus
memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.” Kata
“harus” menunjukkan tekanan dari nasehatnya bahwa mereka harus
mengenakan penutup kepala ketika berdoa atau bernubuat. Sedangkan
kata “wibawa” dalam bahasa Yunaninya adalah e*xousia
yang berarti “otoritas”, hal ini menegaskan bahwa peremuan harus
memakai penutup kepala, sebab penutup kepala tersebut adalah simbol
dari otoritas laki-laki. Sekali lagi disini penekanannya adalah
kedudukan laki-laki sebagai kepala isteri dan menunjuk kepada status
yang lebih rendah (subordination).
Ungkapan
“karena para
malaekat” ,
kemungkinan ini menunjuk kepada kisah malaekat malaekat yang sekarang
ada di sorga adalah tunduk kepada Allah Pencipta mereka. Justru
malaekat-malaekat yang tidak mau tunduk kepada Allah telah jatuh
(Yes. 14: 12-21).
11:11.
Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan
tidak ada laki-laki tanpa perempuan. 11:12.
Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula
laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari
Allah.
Dalam
kedua ayat ini, Paulus mengembalikan semuanya pada perspektif yang
benar, yaitu dari perspektif Tuhan. Hal ini berfungsi untuk
mengingatkan pihak laki-laki agar tidak bertindak semena-mena seperti
apa yang telah dilakukan oleh orang-orang laiki-laki dalam kebudayaan
Yunani-Romawi. Untuk itu dia memulai pernyataannya dengan “dalam
Tuhan. Kata ini adalah menunjuk kepada status mereka dalam Kristus,
dimana harus memperlakukan wanita-wanita dalam perspektif Kristus.
Alasannya adalah “tidak
ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa
perempuan.” Artinya
bahwa baik laki-laki dan perempuan adalah saling bergantung satu
dengan yang lain, karena saling membutuhkannya. Jadi sekali lagi
Paulus membawa argumennya dalam perspektif hubungan yang sesuai
dengan rencana dan kehendakNya, yaitu bukannya hak yang harus
diperjuangkan (emansipasi), tetapi agar mereka hidup saling mengasihi
satu dengan yang lain. Perspektif Alllah ini dijelaskan lebih lanjut
bahwa, segala-sesuatu berasal dari Allah, sehingga segala tindakan
yang dilakukan haruslah demi kemuliaan nama Allah.
2.
Argumen dari apa yang pantas dalam budaya setempat (11:13-16)
Dalam
perikop ini, Paulus kembali pada argumennya di ayat 4-6, dan
mengembalikan semua nasehatnya kepada pertimbangan mereka sendiri.
Mereka diminta untuk mempertimbangkan dengan akal yang sehat (ay.
13), yaitu manakah yang pantas dilakukan dalam konteks budaya mereka.
Walaupun demikian Paulus sudah barang tentu berharap bahwa mereka
akan memperhatikan nasehatnya. Ragu akan langkah yang mereka ambil,
Paulus masih menambah satu argumen lagi dari hukum alam (ay. 14-15).
Di ayat 16, Paulus menyampaikan kebiasaan yang berlaku secara umum,
baik di jema’at-jema’at yang didirikannya maupun di jema’at
secara universal.
11:13.
Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah
dengan kepala tidak bertudung?
Dalam
ayat ini, Paulus mengulangi apa yang telah dilakukan dalam pasal
10:15, agar mereka mempertimbangkan dengan memakai akal yang sehat.
Disini kita melihat lagi, bagaimana Paulus memperlakukan jema’atnya
sebagai manusia dan bukan sebuah benda yang bisa di atur, atau di
manipulasi demi kepentingan seorang gembala. Perlakuan ini adalah
penting bagi tugas penggembalaan agar pelayanan hamba Tuhan menjadi
berkat bagi jema’atnya. Mereka diminta untuk mempertimbangkan:
“Patutkah perempuan
berdoa kepada Allah dengan kepala tidak bertudung?” Dalam
pertanyaan rethoris ini, tersirat bahwa menurut budaya yang berlaku,
adalah tidak patut bagi seorang perempuan berdoa kepada Allah dengan
kepala tidak bertudung. Jadi, mereka harus memakai tudung ketika
berdoa kepada Allah.
11:14.
Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah penghinaan
bagi laki-laki, jika ia berambut panjang.
11:15.
Tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut
panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi
penudung.
Paulus
memakai argumen yang terakhir untuk meyakinkan bahwa wanita-wanita di
Korintus bersedia menerima nasehatnya, yaitu argumen yang diambil
dari alam. Yang dimaksud alam disini adalah menunjuk kepada hukum
yang berlaku secara universal dalam alam ini bahwa: laki-laki
memiliki rambut pendek, dan perempuan memiliki rambut panjang. Sekali
lagi argumen disini yang menjadi fokusnya adalah bahwa seorang wanita
memiliki rambut panjang, sebab “rambut
diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung”
Jadi sudah logislah kalau wanita sedang berdoa harus memakai penutup
kepala. Sudah barang tentu, argumen dari hukum alam ini dipakai untuk
mendukung argumen yang berkenaan dengan permasalahan yang terjadi di
Korintus, sehingga hal ini bukan bersifat normatif.
11:16.
Tetapi, jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaat-jemaat
Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian.
Paulus
sekarang sampai pada akhir argumennya, dan dalam ayat ini Paulus
menyampaikan kebiasaan yang berlaku di jema’at yang didirikannya
maupun di jema’at-jema’at secara universal. Kata penghubung
“tetapi” menunjuk kepada hal yang bertentangan dengan hal
sebelumnya, bahwa “jika
ada orang yang mau membantah (filoneiko
yang berarti orang yang suka berdebat untuk kepentingan perdebatan
itu sendiri),”
hal ini menunjuk kepada mereka yang mungkin tidak puas dengan argumen
Paulus dan masih mau berdebat lagi, maka Paulus memakai argumen yang
terakhir bahwa “kami
maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian.”
Artinya bahwa
kebiasaan untuk memakai tutup kepala, tidak dilakukan dalam
jema’at-jema’at yang didirikan, maupun jema’at secara
universal. Walaupun demikian karena konteks di Korintus menurut
Paulus perlu memakai maka Paulus mengharapkan bahwa mereka lebih baik
menghargai kebiasaan setempat. Sebenarnya, permasalahannya bukan
hanya sekedar masalah kebudayaan setempat, tetapi masalah
penyimpangan pemahaman secara theologis tentang apa artinya menjadi
manusia rohani, sehingga bertindak melawan kebiasaan yang ada. Bagi
Paulus sudah jelas bahwa hal ini bukanlah bersifat normatif, tetapi
bersifat situasional.
1
D.W.J.Gill, “The Importance of Roman Portraiture for
Head-Coverings in 1 Corinthians 11:2-16,” TynB
41 (190) 245-260. Lebih lanjut Gill menulis bahwa memakai penutup
kepala bukanlah merupakan kebiasaan dari wanita-wanita yang
menghadiri penyembahan berhala, hanya dipakai oleh wanita yang
mengambil bagian secara aktif dalam penyembahan tersebut (hlm. 248).
5
Pendapat ini telah dipertahankan oleh S. Bedale, The
Meaning of kefalh in the Pauline Epistle,
JTS 5 (1954)
211-215.
Menurut Bedale, dalam literatur Yunani jarang sekali kata kefalh
mempunyai arti lain dari ini. Walaupun demikian pengertian ini hanya
salah satu saja dari banyak arti yang ada. Ahli-ahli lain yang
mendukung arti diatas adalah, R. Scroggs, “Paul and the
Eschatological Women: Revisited,” JAAR
42 (1974)
534;
Idem,
“The Classical Concept of ‘head’ as ‘Source’ di dalam
bukunya, Serving Together: A
Biblical Study of Human Relationship
(ed. G. Gabelein Hull; New York, 1987). B dan A. Mickelsen, “The
‘Head’ of the Epistle” CT
25 (1981)
264-267.
Gordon Fee, 1
Corinthians,
501-505.
6
W. Grudem, “Does kepalh
(“Head”)
Mean “Source” or “Authority over” in Greek Literature? A
Survey of 2,336 Examples” TrinJ
n.s. 6 (1985) 38-59. Arndt and Gingrich, Greek-English
Lexicon,
(Chicago: University of Chicago Press, 1979) 430. Ben Witherington,
Conflict
and Community in Corinth,
hlm.231-240; S.T. Lourie, “1 Corinthians XI and Ordination of
Women as Ruling Elders,” PTR
19 (1921) 113-130. Selain itu, ahli-ahli Perjanjian baru seperti
Barret dan Conzelman juga mendukung pendapat ini.