KESATUAN
SURAT 2 KORINTUS
(Matius Sobolim)
2 Korintus |
Kesatuan surat Korintus telah menjadi perdebatan
selama berabad-abad.1
Perdebatan biasanya berkenaan dengan pertanyaan
apakah pasal 1-9 dan pasal 10-13 merupakan satu unit kesatuan atau
merupakan bagian yang terpisah; atau antara teori partisi atau teori
kesatuan. Teori partisi telah didukung oleh mereka yang melihat bahwa
terdapat perbedaan antara pasal 1-9 dan
10-13, bukan hanya dalam tataran pokok pikiran,
atau juga dalam nada serta gaya surat.2
Sementara, mereka yang mendukung teori kesatuan
berpendapat bahwa ada banyak ciri-ciri yang menjamin kesatuan ke dua
bagian tersebut.3
Yang lain mengusulkan pendapat yang ke tiga dengan
mengatakan bahwa pasal 10-13 merupakan
bagian besar dari surat yang ke lima yang ditulis Paulus kepada
jema’at Korintus.4
Agar
supaya memahami hubungan antara pasal 1-9 dan
10-13, kita tidak boleh hanya bersandar kepada
upaya melakukan rekonstruksi ulang terhadap hubungan Paulus dengan
jema’at di Korintus, sebab hal ini
terlalu dan kita tidak memiliki sumber yang cukup untuk meneliti
kejadian yang sesungguhnya pada waktu itu. Oleh sebab itu, hal ini
harus dianggap hanya sebagai sebuah hipothesis saja.5
Setuju dengan Witherington, penulis
mengusulkan bahwa bagian dari alasan untuk teori partisi adalah bahwa
kebanyakan ahli tidak memanfaatkan penggunaan Paulus tentang gaya
Retorika kuno.6
Banyak tulisan pada akhir-akhir ini untuk berusaha
memecahkan permasalahan ini.7
Menurut pendekatan kesatuan, pasal 1-9 dan
10-13 adalah ditujukan untuk unsur “ethos
dan pathos
secara bergantian.”8
Lebih lanjut, “Paulus
pasti telah menggunakan banyak waktu untuk memperkuat sifat moralnya
(ethos) pada bagian pertama dari suratnya,
dengan meemohon secara lemah lembut yang bisa
mempengaruhi hati dan meyakinkannya.”9
Pathos, sebaliknya, adalah merupakan ekspresi dari
emosi yang lebih kuat seperti marah, dan
lebih memiliki nada yang mengganggu dan bersifat perintah.10
Menurut Witherington, “jika
Paulus tidak bisa sekali lagi membangun
karakter yang baik di hadapan jema’at mulai dari awal dari suratnya
maka argumen-argumen dan permintaan dengan emosi yang lebih keras
tidak akan memberi dampak yang nyata dalam hati pendengarnya.
Oleh sebab itu dengan membangun sebuah ethos sudah
dimulai sejak awal dari suratnya.”11
Kelihatannya kemudian, bahwa disamping banyak
argumen yang telah diusulkan utnuk teori partisi, kita harus juga
mempertimbangkan pendekatan secara retorikal agar bisa melihat
kesatuan dari surat 2 Korintus.
Kemungkinan
pemecahan yang lain untuk memedahkan kesatuan dari 2 Korintus adalah
adanya fakta bahwa di sana ada dua masalah yang perlu untuk
dipecahkan dalam surat 2 Korintus: pertama, untuk mendapatkan kembali
kesetiaan dari jema’at Korintus kususnya mereka yang telah dihasut
oleh para pengacau dari luar. Kedua, untuk menghadapi para
lawan-lawan Paulus yang telah membuat banyak masalah di Korintus.
Paulus tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama
kepada ke dua kelompok tersebut. Hal ini adalah sejalan dengan
pendekatan secara retorika.12
Jika kita mempertimbangkan bahwa 2 Korintus adalah
ditujukan ditujukan kepada ke dua kelompok ini maka perubahan
nada bisa dimengerti. Bahkan perubahan tersebut sebetulnya tidak
begitu tajamjika kita mempertimbangkan pernyataan yang pertama dalam
pasal 10:1: “Dalam kelemah-lembutan
Kristus..” yang mengandung implikasi
bahwa kata-kata yang keras yang akan dgunakan dalam pasal
10-13 dalah didasarkan pada kelemah-lembutan
Kristus.13
Masalah
lain dalam perdebatan adalah berhubungan dengan menghubungkan pasal
10-13 dengan “surat
yang keras,”14
tetapi yang lain menolak untuk menyamakannya
dengan “surat yang keras”15
sementara yang lain mengusulkan bahwa sebagian
besar dari materi dalam surat yang keras tersebut berada dalam pasal
10-13.16
1 Telah
banyak literatur yang membahas tentang
kesatuan suta 2 Korintus. lihat Alfred Plummer, A Critical
and Exegetical Commentary on the Second Epistle to the Corinthians,
ICC, (Edinburgh: T & T Clark, 1915) xxii-xli; Philip E. Hughes,
The Second Epistle to the Corinthians (Grand Rapids, MI.:
Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1962), xxi-xxxv; Victor P.
Furnish, II Corinthians, AB, 32A, (Garden City, NY.:
Doubleday, 1984), 30-48; C.K. Barret, A Commentary on the Second
Epistle to the Corinthians (Peabody, MA.: Hendrickson
Publishers, 1973) 5-28; Ralp P. Martin, 2
Corinthians, WBC, (Waco, Texas: Word Books, Publisher, 1986)
.xxxviii- lii; Margareth E. Thrall, The Second Epistle to
the Corinthians, CEC, (Edinburgh: T & T Clark, 1994) 3-61;
Colin Kruse, 2 Corinthians, TNTC, (Leicester, England:
Inter-Varsity Press; Grand Rapids, MI.: Wm.B. Eerdmans Publishing
Company, 1994) 25-40.
2
Hypothesis ini
pertama-tama diusulkan pada tahun 1776 oleh
Semler dan didukung oleh banyak ahli pada zaman
modern. Lihat diskusi tentang pokok ini
dalam Victor P. Furnish, II Corinthians, 30-32; Dia
memberi ringkasan atas perbedaan-perbedaan ini: (1) di
pasal 1-9, Paulus menyatakan keyakinannya
terhadap kesetiaan jema’at Korintus , gayanya
terlihat bersifat ekspository, sementara
dalam pasal 10-13, permohonan untuk
menolak bujukan dari rasul palsu dan meneguhkan kembali kesetian
mereka kepada kerasulan Paulusdan Injilnya. (2). Dalam
pasal 10-13, ada prospek
untuk kunjungan dalam waktu dekat di mana dalam
pasal 1-9 kelihatannya tidak nampak. (3). Ini
adalah hal yang luar biasa bahwa permohonan terhadap masalah yang
terdapat dalam pasal 8-9, atas nama
pengumpulan dana untuk Yerusalem harus
diikuti oleh sebuah polemikdalam pasal 10-13. (4).
Berdasarkan pasal 1-9 sendiri
seseorang harus membuat kesimpulan bahwa Titus hanya mengadakan
kunjungan satu kali ke Korintus, tetapi menurut 12:8a, ada
indikasi bahwa Paulus telah melakukan kunjungan yang lain,
sehingga ini adalah kemungkinan kunjungan missi
yang kedua ke Korintus. (5). Sementara
orang pertama jamak mendominasi padal 1-9, orang
pertama tunggal mendominasi pasal 10-13. Lihat
juga argumen Barret, 2 Corinthians, pp. 11-17; and
Thrall, 2 Corinthians, 5-13.
3
These features can be summarized as follows: (1). There is no
manuscript or patristic warrant for thinking that any section of
canonical 2 Cor. ever circulated independently or as part of a
separate letter. (2). The change in tone between 1-9 and 10-13 is no
more difficult than Rom. 8:38-39 and 9:1; or between Gal. 5:1 and
5:2. Thus, there are some suggestions to explain the problem, i.e.,
(a). There could have been “a lapse of time” or at least “a
sleepless night;” (b). In chaps. 1-9, Paul’s remarks concern the
congregation as such, whereas in chaps. 10-13 he is specifically
confronting certain “false apostles,” who have intruded
themselves into the congregation; (c). It is possible that chaps.
1-9 are the work of Paul’s scribe, taking down the apostle’s
dictation, and that, beginning in 10:1, Paul is writing with his own
hand. (3). On the ground of a perceived thematic, structural, and
functional coherence, they are binding the thirteen chapters
together. See Furnish, II Corinthians, pp. 33-34. See also
the argument of Phillip Hughes, 2 Corinthians, pp. xxi-xxxv;
Colin Kruse, in 2 Corinthians, pp. 29-33.
4
Furnish, II Corinthians, pp. 31-41; Barret, A Commentary
on the Second Epistle to the Corinthians, pp. 9,10,21;
Martin, 2 Corinthians, pp. xl; Kruse, 2 Corinthians,
pp. 34-35.
5
Although one may argue that he/she has been able to prove it with
enough exegetical work, yet others may have another approach which
is feasible.
7
Christopher Forbes, “Comparison, Self - Praise and Irony: Paul’s
boasting and the conventions of Hellenistic Rhetoric,” New
Testament Studies 32 (1986), pp. 1-30; J. Paul Sampley, “Paul,
His Opponents in 2 Corinthians 1013,
and the Rhetorical Handbooks,” in The Social World of Formative
Christianity and Judaism, eds. Jacob Neusner, et al.
(Philadelphia: Fortress Press, 1988), pp. 162-177; J.T. Fitzgerald,
“Paul, the Ancient Epistolary Theorists, and 2 Corinthians 10-13:
The Purpose and Literary Genre of a Pauline Letter,” in Greeks,
Romans, and Christians, ed. D.Balch, et al. (Philadelphia:
Fortress Press, 1990, pp. 190-200; Ben Witherington, Conflict &
Community in Corinth, 1994, pp. 327-339.
11
Ibid. This is in spite of the argument of Thrall that analysis of
rhetorical structure could produce a quite different answer to the
question of unity because chaps. 1-7 constitute a rhetorical unit
complete in itself. See Thrall, 2 Corinthians, p.12. We have
to argue that we must consider this approach because it has been
understood by many scholars that Paul’s conscious choosing the
words and devices or method of argument, shows that he was familiar
with Greek rhetorical method.
12 See
J. Paul Sample, “Paul. His opponents in 2 Corinthians 10
13, and Rhetorical Handbooks,” pp. 162-175.
13 It
should be understood that it does not mean that Paul does not deal
with the intruders in chapters 1-9, nor he does not deal with the
Corinthian believers in chapters 10-13. This is only to show that
the focus is different.
14 This
argument was first proposed in 1870 by A. Hausrath, who maintained a
double thesis first, that 2
Cor. 10-13 form a separate letter, mutilated at the beginning; and
second, that this letter is identical with that letter written with
tears, spoken in 2 Cor. 2:4.. See the discussion on this subject in
Martin, 2 Corinthians, pp. xlvii-l; but Martin does not
support this position; For more information about this position see
Thrall, 2 Corinthians, pp. 13-14.
15 For
the most detailed argument of this proposal, see Thrall, 2
Corinthians, pp. 14-18; For comparison see also Furnish, 2
Corinthians, pp. 37-38; Martin, 2 Corinthians, pp.
xlvii-l; Kruse, 2 Corinthians, pp. 27-29.
16 Plummer
gives four reasons to support this argument: (1). the extraordinary
change of tone which is manifest when we pass from ix. to x.; (2).
the apparent inconsistency between passages in i-ix. and passages in
x-xiii., which make it difficult to believe that statements so
inconsistent can have been penned in one and the same letter; (3).
the fact there are passages in i-ix. which seem to refer to passages
in x-xiii., and therefore indicate that x-xiii. was written and sent
to Corinth before i.-ix. was written; (4). the fact that x.16 is
expressed naturally, if the writer was in Ephesus, where the severe
letter was written. See Plummer, 2 Corinthians, pp.
xxix-xxxiii.