Selasa, 04 Juni 2013

KESATUAN SURAT 2 KORINTUS

KESATUAN SURAT 2 KORINTUS




(Matius Sobolim)


2 Korintus
Kesatuan surat Korintus telah menjadi perdebatan selama berabad-abad.1 Perdebatan biasanya berkenaan dengan pertanyaan apakah pasal 1-9 dan pasal 10-13 merupakan satu unit kesatuan atau merupakan bagian yang terpisah; atau antara teori partisi atau teori kesatuan. Teori partisi telah didukung oleh mereka yang melihat bahwa terdapat perbedaan antara pasal 1-9 dan 10-13, bukan hanya dalam tataran pokok pikiran, atau juga dalam nada serta gaya surat.2 Sementara, mereka yang mendukung teori kesatuan berpendapat bahwa ada banyak ciri-ciri yang menjamin kesatuan ke dua bagian tersebut.3 Yang lain mengusulkan pendapat yang ke tiga dengan mengatakan bahwa pasal 10-13 merupakan bagian besar dari surat yang ke lima yang ditulis Paulus kepada jema’at Korintus.4

Agar supaya memahami hubungan antara pasal 1-9 dan 10-13, kita tidak boleh hanya bersandar kepada upaya melakukan rekonstruksi ulang terhadap hubungan Paulus dengan jema’at di Korintus, sebab hal ini terlalu dan kita tidak memiliki sumber yang cukup untuk meneliti kejadian yang sesungguhnya pada waktu itu. Oleh sebab itu, hal ini harus dianggap hanya sebagai sebuah hipothesis saja.5 Setuju dengan Witherington, penulis mengusulkan bahwa bagian dari alasan untuk teori partisi adalah bahwa kebanyakan ahli tidak memanfaatkan penggunaan Paulus tentang gaya Retorika kuno.6 Banyak tulisan pada akhir-akhir ini untuk berusaha memecahkan permasalahan ini.7 Menurut pendekatan kesatuan, pasal 1-9 dan 10-13 adalah ditujukan untuk unsur “ethos dan pathos secara bergantian.”8 Lebih lanjut, “Paulus pasti telah menggunakan banyak waktu untuk memperkuat sifat moralnya (ethos) pada bagian pertama dari suratnya, dengan meemohon secara lemah lembut yang bisa mempengaruhi hati dan meyakinkannya.”9 Pathos, sebaliknya, adalah merupakan ekspresi dari emosi yang lebih kuat seperti marah, dan lebih memiliki nada yang mengganggu dan bersifat perintah.10 Menurut Witherington, “jika Paulus tidak bisa sekali lagi membangun karakter yang baik di hadapan jema’at mulai dari awal dari suratnya maka argumen-argumen dan permintaan dengan emosi yang lebih keras tidak akan memberi dampak yang nyata dalam hati pendengarnya. Oleh sebab itu dengan membangun sebuah ethos sudah dimulai sejak awal dari suratnya.”11 Kelihatannya kemudian, bahwa disamping banyak argumen yang telah diusulkan utnuk teori partisi, kita harus juga mempertimbangkan pendekatan secara retorikal agar bisa melihat kesatuan dari surat 2 Korintus.

Kemungkinan pemecahan yang lain untuk memedahkan kesatuan dari 2 Korintus adalah adanya fakta bahwa di sana ada dua masalah yang perlu untuk dipecahkan dalam surat 2 Korintus: pertama, untuk mendapatkan kembali kesetiaan dari jema’at Korintus kususnya mereka yang telah dihasut oleh para pengacau dari luar. Kedua, untuk menghadapi para lawan-lawan Paulus yang telah membuat banyak masalah di Korintus. Paulus tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama kepada ke dua kelompok tersebut. Hal ini adalah sejalan dengan pendekatan secara retorika.12 Jika kita mempertimbangkan bahwa 2 Korintus adalah ditujukan ditujukan kepada ke dua kelompok ini maka perubahan nada bisa dimengerti. Bahkan perubahan tersebut sebetulnya tidak begitu tajamjika kita mempertimbangkan pernyataan yang pertama dalam pasal 10:1: “Dalam kelemah-lembutan Kristus..” yang mengandung implikasi bahwa kata-kata yang keras yang akan dgunakan dalam pasal 10-13 dalah didasarkan pada kelemah-lembutan Kristus.13
Masalah lain dalam perdebatan adalah berhubungan dengan menghubungkan pasal 10-13 dengan surat yang keras,”14 tetapi yang lain menolak untuk menyamakannya dengan “surat yang keras15 sementara yang lain mengusulkan bahwa sebagian besar dari materi dalam surat yang keras tersebut berada dalam pasal 10-13.16



1 Telah banyak literatur yang membahas tentang kesatuan suta 2 Korintus. lihat Alfred Plummer, A Critical and Exegetical Commentary on the Second Epistle to the Corinthians, ICC, (Edinburgh: T & T Clark, 1915) xxii-xli; Philip E. Hughes, The Second Epistle to the Corinthians (Grand Rapids, MI.: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1962), xxi-xxxv; Victor P. Furnish, II Corinthians, AB, 32A, (Garden City, NY.: Doubleday, 1984), 30-48; C.K. Barret, A Commentary on the Second Epistle to the Corinthians (Peabody, MA.: Hendrickson Publishers, 1973) 5-28; Ralp P. Martin, 2 Corinthians, WBC, (Waco, Texas: Word Books, Publisher, 1986) .xxxviii- lii; Margareth E. Thrall, The Second Epistle to the Corinthians, CEC, (Edinburgh: T & T Clark, 1994) 3-61; Colin Kruse, 2 Corinthians, TNTC, (Leicester, England: Inter-Varsity Press; Grand Rapids, MI.: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1994) 25-40.



2  Hypothesis ini pertama-tama diusulkan pada tahun 1776 oleh Semler dan didukung oleh banyak ahli pada zaman modern. Lihat diskusi tentang pokok ini dalam Victor P. Furnish, II Corinthians, 30-32; Dia memberi ringkasan atas perbedaan-perbedaan ini: (1) di pasal 1-9, Paulus menyatakan keyakinannya terhadap kesetiaan jema’at Korintus , gayanya terlihat bersifat ekspository, sementara dalam pasal 10-13, permohonan untuk menolak bujukan dari rasul palsu dan meneguhkan kembali kesetian mereka kepada kerasulan Paulusdan Injilnya. (2). Dalam pasal 10-13, ada prospek untuk kunjungan dalam waktu dekat di mana dalam pasal 1-9 kelihatannya tidak nampak. (3). Ini adalah hal yang luar biasa bahwa permohonan terhadap masalah yang terdapat dalam pasal 8-9, atas nama pengumpulan dana untuk Yerusalem harus diikuti oleh sebuah polemikdalam pasal 10-13. (4). Berdasarkan pasal 1-9 sendiri seseorang harus membuat kesimpulan bahwa Titus hanya mengadakan kunjungan satu kali ke Korintus, tetapi menurut 12:8a, ada indikasi bahwa Paulus telah melakukan kunjungan yang lain, sehingga ini adalah kemungkinan kunjungan missi yang kedua ke Korintus. (5). Sementara orang pertama jamak mendominasi padal 1-9, orang pertama tunggal mendominasi pasal 10-13. Lihat juga argumen Barret, 2 Corinthians, pp. 11-17; and Thrall, 2 Corinthians, 5-13.



3  These features can be summarized as follows: (1). There is no manuscript or patristic warrant for thinking that any section of canonical 2 Cor. ever circulated independently or as part of a separate letter. (2). The change in tone between 1-9 and 10-13 is no more difficult than Rom. 8:38-39 and 9:1; or between Gal. 5:1 and 5:2. Thus, there are some suggestions to explain the problem, i.e., (a). There could have been “a lapse of time” or at least “a sleepless night;” (b). In chaps. 1-9, Paul’s remarks concern the congregation as such, whereas in chaps. 10-13 he is specifically confronting certain “false apostles,” who have intruded themselves into the congregation; (c). It is possible that chaps. 1-9 are the work of Paul’s scribe, taking down the apostle’s dictation, and that, beginning in 10:1, Paul is writing with his own hand. (3). On the ground of a perceived thematic, structural, and functional coherence, they are binding the thirteen chapters together. See Furnish, II Corinthians, pp. 33-34. See also the argument of Phillip Hughes, 2 Corinthians, pp. xxi-xxxv; Colin Kruse, in 2 Corinthians, pp. 29-33.



4  Furnish, II Corinthians, pp. 31-41; Barret, A Commentary on the Second Epistle to the Corinthians, pp. 9,10,21; Martin, 2 Corinthians, pp. xl; Kruse, 2 Corinthians, pp. 34-35.



5  Although one may argue that he/she has been able to prove it with enough exegetical work, yet others may have another approach which is feasible.



6  See Witherington, Conflict & Community in Corinth, p. 329.



7  Christopher Forbes, “Comparison, Self - Praise and Irony: Paul’s boasting and the conventions of Hellenistic Rhetoric,” New Testament Studies 32 (1986), pp. 1-30; J. Paul Sampley, “Paul, His Opponents in 2 Corinthians 1013, and the Rhetorical Handbooks,” in The Social World of Formative Christianity and Judaism, eds. Jacob Neusner, et al. (Philadelphia: Fortress Press, 1988), pp. 162-177; J.T. Fitzgerald, “Paul, the Ancient Epistolary Theorists, and 2 Corinthians 10-13: The Purpose and Literary Genre of a Pauline Letter,” in Greeks, Romans, and Christians, ed. D.Balch, et al. (Philadelphia: Fortress Press, 1990, pp. 190-200; Ben Witherington, Conflict & Community in Corinth, 1994, pp. 327-339.



8  See Witherington, Conflict & Community in Corinth, p. 353.



9  Ibid.



10  Ibid.



11  Ibid. This is in spite of the argument of Thrall that analysis of rhetorical structure could produce a quite different answer to the question of unity because chaps. 1-7 constitute a rhetorical unit complete in itself. See Thrall, 2 Corinthians, p.12. We have to argue that we must consider this approach because it has been understood by many scholars that Paul’s conscious choosing the words and devices or method of argument, shows that he was familiar with Greek rhetorical method.



12 See J. Paul Sample, “Paul. His opponents in 2 Corinthians 10 13, and Rhetorical Handbooks,” pp. 162-175.



13 It should be understood that it does not mean that Paul does not deal with the intruders in chapters 1-9, nor he does not deal with the Corinthian believers in chapters 10-13. This is only to show that the focus is different.



14 This argument was first proposed in 1870 by A. Hausrath, who maintained a double thesis first, that 2 Cor. 10-13 form a separate letter, mutilated at the beginning; and second, that this letter is identical with that letter written with tears, spoken in 2 Cor. 2:4.. See the discussion on this subject in Martin, 2 Corinthians, pp. xlvii-l; but Martin does not support this position; For more information about this position see Thrall, 2 Corinthians, pp. 13-14.



15 For the most detailed argument of this proposal, see Thrall, 2 Corinthians, pp. 14-18; For comparison see also Furnish, 2 Corinthians, pp. 37-38; Martin, 2 Corinthians, pp. xlvii-l; Kruse, 2 Corinthians, pp. 27-29.



16 Plummer gives four reasons to support this argument: (1). the extraordinary change of tone which is manifest when we pass from ix. to x.; (2). the apparent inconsistency between passages in i-ix. and passages in x-xiii., which make it difficult to believe that statements so inconsistent can have been penned in one and the same letter; (3). the fact there are passages in i-ix. which seem to refer to passages in x-xiii., and therefore indicate that x-xiii. was written and sent to Corinth before i.-ix. was written; (4). the fact that x.16 is expressed naturally, if the writer was in Ephesus, where the severe letter was written. See Plummer, 2 Corinthians, pp. xxix-xxxiii.