Rabu, 16 Maret 2016

Penciptaan Manusia Menurut Gambar dan Rupa Allah

Penciptaan Manusia Menurut Gambar dan Rupa Allah


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Matius sobolim, S. Th
 Pemahaman tentang penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah adalah hal yang penting, karena berdasarkan pemahaman tersebut, manusia akan menempatkan diri secara benar sebagai makhluk yang diciptakan dan akan menghormati Penciptanya sebagai Oknum yang berkuasa penuh di dalam hidupnya.  Kesalahan pengertian terhadap konsep penciptaan manusia, maka manusia akan menjadikan dirinya sebagai allah terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang berada di sekitarnya.

Penciptaan manusia dalam kitab Kejadian pasal 1 bahwa Allah menciptakan manusia seturut gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya yang ada di taman Eden. Allah memiliki tujuan menciptakan manusia dan tujuan itu sudah diketahui oleh banyak orang. Namun alangkah baiknya apabila kebenaran itu diungkap dari Alkitab sendiri dalam hal ini Kitab Kejadian 1:26-28 tentang gambar dan rupa Allah.  Adapun judul penulisan ini adalah “Ekposisi Gambar Allah Menurut Penciptaan Manusia Berdasarkan Kejadian 1:26-28.”
Tujuan penulisan ini diharapkan dapat memberikan makna gambar Allah dalam penciptaan manusia, tujuan penciptaan manusia dan implikasi teologis gambar Allah berdasarkan Kejadian 1:26-28. Penulisan inimembeatsi teks hanya pada konteks Kejadian 1:26-28 dan peristiwa manusia belum jatuh ke dalam dosa. Penulisan ini mengusahakan pendekatan biblical research  dan didukung dengan buku-buku yang berhubungan dengan judul tersebut diatas.
BAB II
EKSPOSISI GAMBAR ALLAH MENURUT PENCIPTAAN MANUSIA  BERDASARKAN KEJADIAN 1:26-28
Asal Mula Manusia
Sebagai seorang Kristen harus mempercayai bahwa di dalam penciptaan manusia ada keterlibatan Allah.  Di dalam kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, kata menjadikan dalam ayat tersebut berasal dari bahasa Ibrani השׂע ‘asah yang berarti “menjadikan” atau “membuat” dengan memakai bahan.[1] Kata tersebut berbicara mengenai tubuh manusia yang diciptakan oleh Allah dengan menggunakan bahan yaitu debu tanah, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7a) dan kata ארב bara’ yang berarti “menciptakan” dengan tidak memakai bahan,[2]  kata tersebut mengacu kepada jiwa manusia yang diciptakan Allah tanpa memakai bahan melainkan Allah langsung menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7b). kata berikut ialah yatsar yang berarti “membentuk”, bukan bertumbuh dan bertambah-tambah (Kej. 2:7).[3] Jadi dari ketiga kata tersebut dapat disimpulkan bahwa teori evolusi yang mengatakan “suatu jenis berkembang dan berubah sampai menjadi jenis baru yang lebih tinggi tingkatannya”,[4] hal itu merupakan kekeliruan karena Allah sendiri yang telah menciptakan manusia secara langsung baik dengan menggunakan bahan maupun tanpa menggunakan bahan. “Cerita Kitab Kejadian tentang penciptaan memberikan kepada manusia tempat mulia dalam alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya ciptaan Allah, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk.”[5] Teori evolusi dan teori penciptaan merupakan teori yang paling sering dibicarakan dan dipertentangkan. Untuk mengetahui kebenaran yang asli harus kembali kepada kebenaran Alkitab  secara menyeluruh bukan setengah-setengah. 
Makna Gambar dan Rupa dalam Kejadian 1:26-28
Kata tselem juga berarti sia-sia (vain), empty (kosong), image (gambar, patung, kesan, bayang-bayang), likeness (persamaan).  Pengertian dasar dari kata tselem adalah to shade (melindungi, membayangi, menaungi). Dalam budaya Timur Tengah, tselem digunakan untuk menyatakan suatu bentuk pemberhalaan terhadap suatu bentuk gambar atau patung.  Suatu figur yang represntatif untuk diberhalakan.
Penggunaan tselem dalam PL menjelaskan tentang gambar dalam konsep penciptaan (Kej. 1:26, 27; 9:6), gambar dalam konsep yang dilahirkan manusia (Kej. 5:3), penekanan tentang siapa yang membuhuh manusia, darahnya akan tertumpah sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya (Kej. 9:5), patung-patung tuangan yang menjadi berhala (Bil. 33:52), gambar binatang yang diberhala (I Sam. 6:5, 11), patung-patung sembahan (II Raja 11:18; II Taw. 23:17; Yeh. 7:20; 16:17; Amos 5:26), gambar orang (Yeh. 23:14), hidup manusia yang hampa (Mzr. 39:7). Penggunaan demut dalam PL menjelaskan tentang rupa dalam konsep ciptaan (Kej. 1:26; 5:1), rupa dalam konsep keturunan yang dihasilkan manusia (Kej. 5:3), bagan (II Raja 16:10), gambar yang mirip dengan asli, kiasan (II Taw. 4:3), penyerupaan yang menyatakan kiasan (Mzr. 58:5), seperti yang menyatakan penggambaran (Yes. 13:4), serupa yang menyatakan perbandingan yang tidak sama (Yes. 40:18), menyerupai yang menyatakan kemiripan, atau nampaknya/seperti (Yeh. 1:5, 10, 13, 16, 22, 26; 8:2; 10:1, 10, 23:15; Dan. 10:18), berbentuk seperti (Yeh. 10:21).
Manusia pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling spesial, karena Allah menciptakan manusia secara langsung, Allah membentuk manusia itu dengan memakai tangan Allah sendiri (Kej.2:7) “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Tidak sama halnya dengan penciptaan makhluk lainnya, Allah menciptakan makhluk lainnya hanya dengan berfirman tanpa Allah membentuk langsung.
Allah juga memberikan kuasa kepada manusia atas mahkluk ciptaan yang lain (Kej. 1:26,28), ini juga merupakan salah satu bukti bahwa manusia itu berbeda dari makhluk ciptaan yang lainnya. Hal yang paling membedakan manusia dengan makhluk ciptaan yang lainnya ialah manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “Di dalam bahasa Ibrani tidak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi “marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita.” Baik Septuaginta[6] maupun Vulgata[7] memasukkan kata dan sehingga beri kesan bahwa “gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda.”[8] Pada kenyataannya kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang begitu jauh melainkan kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir sama, keduanya saling melengkapi satu sama lainnya. Terbukti kata tersebut dipakai bergantian di dalam penggambaran penciptaan manusia di dalam Kej. 1:27 memakai kata gambar “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya,”sedangkan di dalam Kej. 5:1 di gunakan kata rupa, “dibuatNyalah dia menurut rupa Allah.” Di dalam Kej. 1:26 dan Kej. 5:3 mengandung kedua kata tersebut tetapi dengan urutan yang berbeda, ada yang kata gambar yang terlebih dahulu dan ada pula kata rupa yang terlebih dahulu.   
Kata Ibrani untuk gambar ialah םלצ tselem yang diturunkan dari akar kata yang bermakna “mengukir” atau “memotong.” Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa ialah תומד damuwth yang bermakna “menyerupai”. Jadi, orang bisa berkata bahwa kata damuwth di Kejadian 1 mengidentifikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, “gambar yang menyerupai Kita.” Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa bahwa manusia mempresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.”[9]
 
Hakikat Manusia
Salah satu keserupaan manusia dengan Allah ialah manusia diberi kekuasaan oleh Allah atas binatang dan atas seluruh bumi ini merupakan aspek dari gambar Allah. Maksud Allah memberikan kekuasaan kepada manusia agar manusia menjadi serupa dengan Allah, dalam hal memiliki kekuasaan atas bumi. Yang membedakan manusia dan Allah ialah manusia berkuasa atas segala makhluk ciptaan Allah yang di bumi karena diberi kuasa oleh Allah sedangkan Allah adalah pemilik kekuasaan tertinggi atas segala makhluk di bumi karena Dia adalah sang pencipta. Jadi pada hakikatnya manusia merupakan cerminan dari beberapa sifat Allah.
Ada dua tahapan dalam penciptaan manusia, Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup agar menjadi makhluk hidup (Kej. 2:7), yang hasilnya adalah tunggal, yaitu manusia yang berupa satu kesatuan.  Tanah adalah bahan kebendaan dan napas Allah yang memberi hidup.  Unsur kebendaan menghasilkan saluran darah, otak, otot dan sebagainya.  Unsur bukan kebendaan menghasilkan jiwa, roh, hati nurani, kemauan, kesadaran, dan sebagainya.  Tanpa kesatuan dari kedua hal tersebut, masing-masing tidak dapat berfungsi.[10] 
Manusia diciptakan dari materi (debu tanah) dan non-materi (napas hidup dari Allah) yang menjadi satu kesatuan.  Kematian memisahkan badan dari roh (Yak. 2:26).  Ibrani  4:12, “Firman tidak memisahkan jiwa dari roh tetapi firman itu menembus sehingga membagi jiwa dan roh, bagian yang terdalam dari manusia.”  Dengan maksud, firman tidak meninggalkan apa pun yang tersembunyi dari manusia. I Tesalonika 5:23,  nampaknya bagian bukan materi terdiri dari jiwa dan roh.  Tekanan ayat ini adalah kesempurnaan penyucian.  Tidak ada tempat yang tersembunyi dari bagian non-materi manusia yang tidak disucikan oleh Allah  (Bdg. I Kor. 15:44; II Kor. 7:1; I Pet. 2:11; Mark. 12:30; Ibr. 10:3).
Setara Namun Berbeda
Laki-laki dan perempuan diciptakan Allah setara nanum berbeda, setara dalam keberadaan sebagai manusia, berbedaan dalam keberadaan jenis kelamin (Kej. 1:27).
1.        Dan Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya.
2.        Menurut gambar Allah Ia menciptakan mereka.
3.        Laki-laki dan perempuan Ia menciptakan mereka.
Laki-laki dan perempuan sama martabatnya di hadapan Allah sebagai manusia, sebelum maupun sesudah kejatuhan (Kej. 5:2), sebagai penyandang gambar Allah.
1.        Dan menciptakan Allah manusia menurut gambar-Nya.
2.        Menurut gambar Allah Ia menciptakan dia.
Manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar Allah dalam posisi setara tanpa hierarki. Martabat manusia terletak dalam keberadaannya sebagai gambar Allah.  Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam mandat yang sama dari TUHAN untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej. 1:26, 28-29).  Laki-laki tidak diciptakan untuk berada di atas perempuan atau sebaliknya.  Sehingga sebenarnya kesertaan manusia (laki-laki dan perempua) telah dimulai sejak manusia diciptakan, namun dalam perkembangan sejarah hidup manusia, memberikan kesan bahwa derajat kaum perempuan direndahkan.
Tujuan Penciptaan Manusia
Memiliki Hubungan Dengan Ciptaan Lain
Allah tidak menciptakan manusia dari seekor binatang, tetapi dari debu tanah.  Penciptaan yang demikian dengan tegas menolak teori evolusi yang mengatakan bahwa manusia berevolusi dari binatang hingga menjadi manusia.  Manusia terpisah dari binatang, tetapi menjadi bagian dari tatanan ciptaan, sehingga relasi antara manusia dengan ciptaan yang lain mendapat penekanan penting dalam Alkitab.[11]  Manusia yang diciptakan Allah memiliki dua aspek, yaitu debu tanah dan meniupkan napas hidup ke dalamnya sehingga menyebabkan manusia menjadi makhluk hidup.  Ungkapan yang sama juga dikenakan kepada hewan (1:21, 24; 2:19), tetapi hewan tidak diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.[12]  Manusia yang dibentuk, baik Adam maupun Hawa adalah manusia yang dewasa (adam), bukan melalui proses perkembangan menjadi dewasa. Kadang janji-janji Allah dikaitkan dengan perjanjian yang diberikan dalam konteks tanah dan ibadah umat Allah kadang berhubungan dengan bumi yang dihidupi.  Ketika manusia pertama kali jatuh dalam dosa, kutukan dikenakan kepada tanah (Kej. 3:17-18), dosa mencemari negeri (Ul. 24:4).  Setelah negeri dicemari oleh dosa, ia memuntahkan penduduknya (Im. 18:25,28).  Di pihak lain, Yerusalem menjadi simbol gunung TUHAN, di mana segala bangsa akan naik untuk beribadah kepada Allah (Yes. 2:2-4).  Saat itu, damai meliputi negeri, integritas umat akan dipulihkan, dan singa akan berbaring dengan anak lembu (Yes. 11:6-9). Dunia menjadi area kehidupan manusia yang dapat membahagiakan manusia, tetapi karena dosa, dunia menjadi penjara bagi manusia.[13]
Adam, manusia pertama, diberikan kuasa untuk menamai dan mengkategorikan semua jenis binatang, akan tetapi tidak ada satu pun yang pantas berperan sebagai penolong yang sepadan, “Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:20).  Memberi nama adalah menempatkan dalam suatu rencana bagi segala sesuatu dan menujukkan keunggulan Adam dari segala ciptaan yang lain.  Memberi nama adalah kelanjutan pekerjaan Allah yang dikerjakan oleh manusia.  Dalam hal inilah manusia memiliki relasi yang terikat dengan alam.[14]
Memiliki Hubungan Dengan Sesama
Hanya manusialah yang diciptakan Allah untuk dapat memenuhi kepuasan dan kebutuhan dasar manusia, oleh sebab itu, Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan (Kej. 1:27).  Manusia diciptakan untuk berelasi dan saling melengkapi dalam kasih.  Kedua-duanya sama derajat di hadapan Allah.  Perkawinan diperkenalkan oleh Allah kepada manusia sebagai lembaga yang utama dan monogami (laki-laki dan perempuan), keduanya menjadi satu daging.
Dalam Perjanjian Lama, manusia tidak dilihat secara terpisah atau sendiri-sendiri, tetapi sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dari satu keluarga atau suku bangsa.  Seorang individu adalah seorang anggota keluarga atau suku bangsa, yang termasuk dalam satu marga, dipersatukan dalam satu suku, yang semuanya berada dalam kesatuan dari seluruh kaum Israel (Yos. 7:16-18).  Panggilan Allah juga datang kepada individu-individu untuk demi kepentingan kelompok.  Abraham dipanggil untuk meninggalkan kesenangan hidup keluarga dan negerinya agar menjadi berkat bagi sarana berkat bagi banyak orang (Kej. 12:1-3).  Musa dipanggil untuk hidup dekat dengan Allah agar menjadi berkat bagi bangsa Israel (Kel. 24:2).  Imam Besar masuk ke dalam ruang maha kudus seorang diri demi tugas untuk banyak orang (Im. 16:17-19).  Para nabi dipanggil untuk melayani bangsa Israel dan Yehuda.[15]
Tujuan Kemuliaan dan  Rencana Allah
Segala sesuatu tentu ada tujuannya, demikian pula dengan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia tentunya dengan maksud dan tujuan yang berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya. Tujuan Allah dalam penciptaan manusia ialah:
1.        Untuk Kemuliaan Allah
Tujuan utama penciptaan manusia yaitu untuk kemuliaan Allah. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Maksud dari segambar dan serupa dengan Allah untuk menyatakan kemuliaan melalui kehidupan manusia (Rom. 11:36)
2.        Untuk Menggenapi Rencana Allah
Dari awal penciptaan Allah memberkati manusia Adam dan Hawa dalam sebuah pernikahan dan berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dalam Kejadian 1:28 mengandung beberapa rencana Allah bagi kehidupan manusia.  Dimulai dengan kata  beranakcuculah disini memiliki dua pengertian: Pertama, beranakcucu secara jasmani yaitu menghasilkan keturunan secara fisik, untuk menggenapi rencana Allah di dalam dunia ini. Kedua, dari bahasa aslinya הרפ parah yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya fruitful yang berarti berhasil, pertemuan yang berhasil baik, bermanfaat, subur dan penuh keberhasilan. Rencana Allah dalam kehidupan manusia untuk mendapat berkat, berguna bagi sesama, menjadi berkat, dan penuh dengan keberhasilan.
Kata bertambah banyak dalam bahasa aslinya הבר rabah yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya multiply memiliki pengertian mengalikan dan melipat gandakan. Allah ingin manusia mengembangkan segala sesuatu yang telah Allah berikan atau percayakan kepadanya sebagai contoh talenta yang telah Tuhan berikan dikembangkan untuk melayani Dia, kepandaian yang dipercayakan digunakan  untuk memuliakan nama Allah, karunia digunakan untuk membangun tubuh Kristus. Beranakcucu dan bertambah banyak adalah bagian rencana Allah untuk memenuhi bumi dan memuliakan diri-Nya.
Implikasi Teologis Tentang Gambar Allah
Gambar Allah Menyatakan Kepribadian[16]
Gambar menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan bahwa bentuk luar manusia mengambil bagian dari penggambaran Allah.  Rupa menitikberatkan kepada kesamaan daripada tiruan, sesuatu yang mirip dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera.  Dalam hal ini, manusia menjadi saksi kekuasaan Allah atas ciptaan dan bertindak sebagai wakil penguasa.  Dengan demikian, kekuasaan manusia mencerminkan kekuasaan Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung jawab manusia.
Gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggung jawab di hadapan Allah, yang pantas mencerminkan Penciptanya dalam pekerjaan yang ia lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan mereka.  Tubuh manusia dianggap sebagai sarana yang tepat untuk kehidupan rohani. Allah menciptakan manusia dan mengenalnya (Mzr. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya menuju akhir hidupnya.
Gambar Allah  sebagai Tanggung Jawab[17]
Orang sering beranggapan bahwa gambar kemiripan manusia dengan Penciptanya yang dinyatakan dalam gambar Allah, terletak pada karakteristik manusia yang membedakannya dari binatang, seperti rasio, kekekalan dan konsepnya, dan perasaan moral.  Seperti yang dijelaskan oleh Eichrodt, bahwa keunikan manusia sebagai gambar dan rupa Allah terletak pada kesadaran diri dan kemampuannya untuk menentukan diri.  Namun menurut, Yonky Karman, persoalan bagi teologi biblika adalah kategori-kategori gambar Allah itu diimpor dari luar konteks.  Von Rad, menyatakan bahwa dalam kontek Timur Dekat kuno, “tselem-gambar” dapat dimaksud sebagai bentuk fisik yang mewakili kehadiran seorang penguasa.  Raja yang memiliki kekuasaan di luar daerahnya, dapat diwakili oleh patung dirinya sebagai representasi kehadirannya di daerah itu. 
Berdasarkan analogi ini, penciptaan manusia menurut gambar Allah, secara negatif menyangkal manusia sama dengan Allah.  Gambar Allah bukanlah Allah.  Semulia-mulia manusia, ia tetap bukan Allah hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal dari debu tanah (Kej. 2:7) dan kembali kepada debu (Kej. 3:7).  Jika ia memanipulasi untuk dirinya berbagai bentuk ketaatan dan dedikasi orang lain yang seharusnya untuk Tuhan, maka ia mencuri kemuliaan Allah. 
Gambar Allah bersifat fungsional, yang mana manusia ditempatkan di bumi untuk menunjukkan kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan cara menaklukkan dan berkuasa atas bumi (Kej. 28).  Manusia memiliki relasi yang istimewa dengan Allah, penguasa bumi sebenarnya, berkenaan dengan kewajibannya mewakili Yang Mahakuasa untuk menguasai alam.  Menguasai alam memiliki pemahaman hidup harmoni dengan alam sebelum Kejatuhan dan belum ada unsur keserakahan manusia untuk menguras alam (Kej. 1-2).  Menguasai alam juga berarti mempelajari hukum-hukumnya, menyelidikinya, mengeksporasinya.  Ini bukanlah pekerjaan yang ringan, sehingga diperlukan keseriuasan dan kekuatan manusia.  Manusia menjalankan kekuasaannya tetapi terbatas pada yang didapat dari Penciptanya dan semua usaha harus mendatangkan kesejahteraan bagi semua orang bukan hanya segelintir orang saja. 
 
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan teks yang membedakan manusia dan Allah ialah manusia berkuasa atas segala makhluk ciptaan Allah yang di bumi karena diberi kuasa oleh Allah sedangkan Allah adalah pemilik kekuasaan tertinggi atas segala makhluk di bumi karena Dia adalah sang pencipta. Jadi pada hakikatnya manusia merupakan cerminan dari beberapa sifat Allah.
Tujuan penciptaan manusia berdasarkan konteks Kejadian 1:26-28 yaitu manusia diciptakan untuk berhubungan dengan ciptaan yang lain dan juga kepada sesama manusia dimana Allah menghendaki manusia beranakcucu dan bertambah banyak memenuhi bumi. Allah menciptakan manusia untuk memenuhi rencana-Nya dan seluruh makhluk ciptaan-Nya memiliakan Dia.
Gambar Allah yang ada pada manusia mencerminkan kepribadian Allah sebelum manusia jatuh dalam dosa. Dan manusia yang diciptakan segambar Allah memiliki tanggung jawab untuk menaklukkan segala ciptaan-Nya sebagai tanggung jawab atas kedaulatan Allah sebagai wakilnya di muka bumi.