Minggu, 16 Januari 2022

KUALITAS KEPEMIMPINAN KRISTEN

 

 KUALITAS KEPEMIMPINAN KRISTEN   


       


Gereja yang seharusnya menghasilkan pemimpin yang tinggi iman, tinggi ilmu, dan tinggi pengabdian malah terkontaminasi dengan berbagai masalah kepemimpinan. Peneliti Kristen George Barna melakukan studi selama 15 tahun tentang kehidupan gereja secara global dan memberikan konklusi sebagai berikut: Gereja telah kehilangan pengaruhnya karena absennya kepemimpinan yang efektif. Kalau pemimpin yang baik di dunia jarang dijumpai, maka pemimpin yang sangat baik yang memenuhi standar Allah dalam firmanNya lebih jarang lagi. Pendek kata, banyak masalah akut dan kronis yang melumpuhkan organisasi bermuara atau memiliki korelasi yang sangat erat dengan kepemimpinan. 
        Gereja yang dipimpin oleh orang-orang yang kurang diperlengkapi dengan kompetensi kepemimpinan yang solid. Beberapa dari mereka bahkan memiliki cacat karakter. Integritas seringkali dikorbankan demi kelanggengan ambisi pemimpin. Pada saat yang bersamaan dampak dari aksi kepemimpinan mereka menjalar seperti kanker dari dalam organisasi, dan melumpuhkannya secara perlahan. Kita berada dalam krisis kepemimpinan. Pemerhati kepemimpinan Profesor Warren Bennis bahwa organisasi gagal karena over-managed dan under-led. Meskipun kepemimpinan bukan solusi satu-satunya dari berbagai jenis masalah organisasi, ia adalah sebuah critical success factor yang membedakan organisasi yang sehat dan berhasil dengan organisasi yang sakit dan gagal.


    Seperti Nehemia yang telah mengetahui visi dan misinya, begitu juga seorang pemimpin Gereja harus mengetahui visi dan misinya yang jelas. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke muka untuk 10 – 25 tahun yang akan datang.  Antisipasi jauh ke depan sambil membaca kesempatan dan tantangan dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan kehidupan spiritual yang dimilikinya. Sekaligus berdiri dalam visi dan misi Gereja di dunia ini, yakni memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid Tuhan dengan penyertaan Allah. Ketergantungan kepada Allah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengemban tugas ini. Sebagaimana Nehemia dengan doanya telah menunjukkan ketergantungannya kepada Allah. Pemimpin Gereja dan doanya tidak dapat dipisahkan. Pemimpin harus turut serta dalam gerak maju pembangunan, tanpa mengorbankan imannya, kesaksiannya, serta pelayanan sebagai hamba Tuhan.  Semuanya ini adalah satu sikap yang memperlihatkan solidaritas kepada bangsa dan negara yang selalu berkaitan dengan kehidupan doa seorang pemimpin Gereja, yaitu pelayanan doa yang mencakup seluruh aspek. Bagian inilah yang disebutkan pengandalan kepada Tuhan secara total yang dimulai dari pembangunan tubuh Gereja yang rohani.


Karakteristik Pemimpin

    Sedikit sekali pemimpin menyadari empati dalam seni memimpin adalah hal yang sama dengan kasih. Pentingnya kasih dalam kepemimpinan sudah menjadi prasyarat seseorang untuk jadi pemimpin . Betapa kuatnya pernyataan mengenai pentingnya kasih, baik dalam pengajaran Yesus maupun penekanan-penekanan yang diajarkan Oleh Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya. Kasih itu mencakup semua aspek kehidupan yang berorientasi kepada sikap baik kepada sesama yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal ini harus dimiliki oleh pemimpin Kristen yang mengetahui kebutuhan yang dipimpinnya. Kasih itu meliputi antara lain: kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, tidak pernah congkak, tidak egois, bersikap lembut, tidak menuntut kemauannya sendiri, tidak mudah tersinggung, tidak menaruh dendam, kasih hampir tidak memperhatikan kesalahan orang, tidak pernah senang memandang kelaliman, bergembira bila kebenaran menang, setia, mempercayai orang lain, membela orang lain, dan kasih tiada pernah berkesudahan.  Semua kategori ini adalah hal yang sama satu dengan yang lain, yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pemimpin.


    Bersikap tegas, pemimpin yang besikap tegas akan terbukti rajin/giat; efektif dan efisien serta berorientasi kepada sasaran kerja.  Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang pragmatis serta produktif, yang menghasilkan buah (hasil) dalam kepemimpinannya. Pemimpin Kristen sekalipun adalah pemimpin rohani, ia harus berorientasi kepada hasil atau sukses, dengan menerapkan gaya wirausaha. Alasan utama bagi orientasi ini ialah bahwa Allah pun menghendaki agar pemimpin Kristen itu berhasil dalam kepemimpinannya. Kebenaran ini diteguhkan oleh analogi perumpamaan pada Matius 25:14-30, dimana ketidaktaatan yang menandakan ketidakberhasilan dikecam oleh Tuhan Yesus dengan tegas.
       
PENUTUP

Mengapa kita berada dalam krisis kepemimpinan? Karena kita telah kehilangan kapasitas institusional dan interpersonal yang mampu mentransformasi individu secara utuh untuk mencapai efektifitas hidup sebagaimana yang Allah inginkan. Terlalu banyak kendala struktural, intelektual, emosional, dan kultural yang memperlambat proses transformasi tersebut hingga ke titik nol. Kapasitas institusional dan interpersonal disini adalah kemampuan sebuah insitusi dan para individu yang ada didalamnya untuk berupaya secara sadar dan masuk ke dalam proses mencetak pemimpin. Kultur dan struktur yang ada dalam berbagai jenis organisasi seringkali malah mematikan potensi kepemimpinan seseorang. Demikian juga proses saling mempertajam dan memperlengkapi telah lama absen dalam relasi antara individu. Seakan-akan ada vaksin anti-kepemimpinan yang telah disuntikkan ke dalam sistem urat syarat organisasi dan individu. Krisis kepemimpinan adalah sebuah masalah yang krusial. Namun ada masalah yang lebih krusial, dan sekaligus urgen, yaitu masalah ignorance. Banyak orang yang ignorant akan kebutuhan kepemimpinan diatas. Banyak orang cuek dan acuh tak acuh terhadap krisis kepemimpinan. Tanpa adanya kesadaran publik.

Tantangan yang terbesar bagi para pemerhati berbagai institusi yang disebut diatas adalah menciptakan kesadaran publik sehingga kebutuhan kepemimpinan dirasakan dan dipahami signifikansi-nya. Kita harus bangun dari tidur panjang ini. Kesadaran ini adalah sebuah langkah pertama yang harus dicapai dalam perjalanan kepemimpinan yang memakan waktu seumur hidup. Tanpa itu, perjalanan panjang tersebut tidak akan pernah dimulai. Kepemimpinan Gereja tema yang sangat luas - dapat didekati dari segi pemahaman Alkitab tentang berbagai bentuk kepemimpinan politis dan religius; dari teologi sistematis, yaitu eklesiologi.

Apakah dalam kepemimpinan gereja kita telah siap untuk saling mendukung dan menguntungkan seperti kawanan burung tersebut? Bekerja keras untuk mereka yang ikut di belakang? Menguatkan mereka yang ada di depan dengan penghargaan dan kritik yang konstruktif? Atau kita lebih cenderung saling menjatuhkan, saling mempersulit kemajuan dan kesuksesan? Kita cemburu kepada mereka yang lebih di depan. Dan kita lebih cenderung mendefinisikan kepemimpinan secara statis, jabatan "di atas" dan jabatan "di bawah", bukan secara dinamis, mereka berjuang di depan dan mereka yang bekerja di belakang. Kita harus belajar kembali dalam gereja bahwa kita hanya akan maju kalau kita semua siap untuk bekerja sama dan saling mendukung dan memberi motivasi, dan untuk memahami struktur pimpinan secara fungsional untuk kepentingan dan misi bersama.

1. Kepemimpinan suatu gerakan seperti gereja adalah penting namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta yang aktiv dan bertanggung jawab dari anggota-anggota lainnya. Disini yang dituntut adalah kerjasama yang baik dan kesadaran akan tanggungjawab masing-masing. Sekali lagi: tujuan bukanlah untuk menjatuhkan mereka yang berada di depan. Namun yang dituntut oleh mereka di depan adalah kesediaan untuk membagi tanggung jawab dengan yang lain, membiarkan dan menguatkan orang lain untuk memimpin dalam bidang merka masing-masing dan memungkinkan suatu koordinasi yang harmonis. Tidaklah sehat kalau semua hanya tergantung pada suatu orang, dan yang lain hanya merasa bertanggung jawab kalau "disuruh". Kita harus belajar dalam gereja untuk tidak memegang secara statis posisi kita masing-masing (yang penting tidak didahului orang lain) dan lebih fleksibel dalam melihat dan menjawab panggilan dan fungsi kita yang paling dibutuhkan dalam situasi tertentu. (termasuk kesedian untuk meletakkan jabatan/suksesi)

2. Ada satu aspek lagi yang saya anggap relevan berhubungan dengan tema kita: Jika dalam perjalanan yang cukup jauh ada burung yang lemah atau sakit, selalu ada dua ekor burung lain yang akan mendampingi yang sakit ke bawah dan melindunginya dan membantunya sampai ia sembuh atau mati. Lalu mereka akan bersama-sama meneruskan perjalan mereka dengan menggabung dengan sekawanan angsa yang lain, sehingga tidak pernah ada yang tertinggal atau ditinggalkan begitu saja. Dalam gereja juga sangat penting bahwa pemimpin-pemimpin tidak maju sendiri tanpa memperhatikan mereka yang ikut dalam perjalanan kita. Memang ada pencobaan yang cukup besart untuk meninggalkan saja mereka yang mengganggu perencanaan kita, mereka yang tidak bisa ikut dengan kecepatan atau dengan tuntutan-tuntutan moralis dan prestasi kita. Lebih gampang meninggalkan dan menghakimi saja orang yang keluar dari "jalur" nilai dan kebiasaan kita, karena kelemahan manusiawi mereka. Namun gereja harus mengembangkan kembali sikap kepemimpinan Yesus yang siap untuk meninggalkan ke-99 domba untuk mencari satu yang hilang, berani untuk berpihak pada mereka yang lemah atau bahkan diasingkan dari persekutuan mereka (apakah karena kesalahan mereka sendiri atau kesalahan orang lain), dan melakukan fungsi integratif.  Siapa tahu kapan saya sendiri menjadi lemah atau terancam jatuh? Sikap solidaritas bukan dengan mereka yang kuat, melainkan dengan mereka yang lemah, menjadi ukuran utama untuk kepemimpinan gereja yang relevan. Seorang pemimpin tidak menunggu orang datang, tetapi mencari orang yang membutuhkannya.

Berangkat dari pengamatan burung ini saya ingin, dalam bagian terakhir pengantar diskusi saya, untuk memperluas dan menyimpulkan beberapa aspek tentang kepemimpinan gereja yang relevan secara sistematis dalam 4 poin:

1. Kepemimpinan gereja antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia.

2. Kepemimpinan gereja antara menerima tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain.

3. Kepemimpinan gereja antara karisma dan kompetensi.   

4. Kepemimpinan gereja antara konservasi dan transformasi.

 

   I.        Kepemimpinan gereja antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia.

        jelas: tugas pimpinan gereja "bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" dan menjadi gembala yang tidak "memerintah atas mereka yang dipercayakan" kepadanya, melainkan yang "menjadi teladan" (bdk Mat 20:25-28, Mrk 10:45; Yoh 13:5-15 dll), dan tidak menggunakan paksaan melainkan kesukarelaan (bdk 1 Petr 5:2-4). Disini gereja harus menjadi teladan untuk dunia tentang kepemimpinan yang sebenarnya, dan bukan sebaliknya (menerapkan struktur-struktur kekuasaan dan penindasan duniawi dalam gereja). Kepemimpinan dan administrasi adalah untuk melayani (ad + ministrare!)

Tentu saja pelayanan seorang pemimpin gereja terutama dipahami sebagai pelayanan kepada Tuhan. Namun dimensi vertikal ini tidak pernah terlepas dari dimensi horisontal, karena tidak ada jalan lain untuk melayani Allah kecuali melalui melayani sesama manusia. Kita selalu harus mengingatkan diri dan para pemimpin kita bahwa konsep pelayanan ini memutarbalikkan struktur pikiran dan struktur hirarki masyarakat kita: seorang pejabat baru menjadi pemimpin kalau ia merendahkan diri menjadi seorang pelayan. Karena pelayanan seseorang pemimpin bukan hanya masalah antara dia dan Allah, melainkan "masalah duniawi" (antarmanusia), pelayanannya harus juga diukur dengan kriteria-kriteria duniawi. Jangan sampai kata "melayani" hanya menjadi kata kosong untuk menyelubungi kekurangan dalam melakukan kerja dan menggunakan kuasa kita secara bertanggungjawab (ada yang sudah "alergi" dengan kata "pelayanan" dalam gereja).

II.        Kepemimpinan gereja antara menerima tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain

        Kuasa yang diberikan Allah kepada jemaatNya dan pemimpin-pemimpinnya menjadi nyata dalam kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Sering kita berbicara seoloah-olah tidak ada kekuasaan dalam gereja (karena kita bersaudara, semua sama di muka Allah, saling mengasihi dll.). Namun di mana ada interaksi antarmanusia dan kehidupan yang diatur secara organisatoris, di situ juga ada kekuasaan. Siapa yang menentukan penggunaan dana jemaat atau sinode, siapa yang menempatkan pendeta, siapa yang punya posisi sosial yang lebih didenggar dari pada orang lain, dia juga punya kekuasaan. Jadi pertanyaan bukanlah apakah ada hal-hal duniawi seperti kekuasaan dalam gereja atau tidak, melainkan bagaimana kekuasaan itu digunakan secara bertanggung jawab, secara transparen, secara jujur dan secara partisipatoris. Termasuk disini bahwa dalam gereja juga harus ada sistem kontrol kekuasaan secara teratur dan transparen.

Ada dua bahaya kekuasaan: menyangkal/melarikan diri dari tanggung jawab kekuasaan itu dan tidak menerimanya sebagai tantangan; atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri atau kelompok tertentu. (Contoh: dosen dlm memberi nilai – konsekwensi biografis untuk mahasiswa; dua pencobaan: meluluskan semua, lari dari tanggung jawab kekuasaan, tetapi akhirnya sistem pendidikan hancur – menilai secara subyektif: siapa yang dekat dengan saya, simpatis, dari suku atau gender tertentu…). Paling sulit: menggunakan kekuasaan secara obyektif dan bertanggung jawab.

        Kalau di satu sisi seorang pemimpin harus mampu untuk menerima kekuasaan yang dipercayakan kepadanya secara bertanggung jawab, ia harus juga mampu untuk membagi kekuasaan dan mendelegasikan tanggung jawab. Tidak ada juga gunannya kalau seorang pemimpin memikul semua beban kekuasaan sendiri, mengorbankan kesehatannya dan keluarganya, tetapi akhirnya semua tergantung pada dia dan orang lain tidak dibutuhkan, tidak berdaya lagi dan hanya menjadi penonton. Seorang pemimpin gereja tidak boleh menghindari orang lain maju hanya karena merasa posisinya terancam, tetapi ia harus memotivasi dan memberdayakan orang lain, menemukan kelebihan dan karunia mereka dan mengembangkannya. Kita harus mampu untuk melibatkan orang lain dalam keputusan-keputusan dan dalam realisasinya secara partisipatoris. Profesionalisme dalam kepemimpinan gereja sangat penting, namun jangan sampai profesionalisme itu hanya terbatas pada kelompok elite kecil, dan tanggung jawab dan imanat am orang percaya atau kaum awam semakin diabaikan. (kelebihan gereja Indonesia dibanding gereja di Jerman: orang masih merasa gereja=kita; namun masih lebih cenderung "mensosialisasikan" dari pada "memberdayakan").

 III.        Kepemimpinan gereja antara karisma dan kompetensi

        Setiap orang diberi karunia atau karismata oleh Roh Kudus, dan ini tidak boleh diabaikan melainkan seharusnya menentukan pembagian tanggung jawab dalam kepemimpinan gereja. PB menyebut beberapa karunia seperti mengajar,  melayani, membuat ajaib atau menyembuhkan, berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, bernubuat, membedakan bermacam-macam roh dll. (bdk 1 Kor 12; 1 Tim 4:14), dan sudah dikembangkan dalam PB bermacam-macam fungsi atau jabatan gerejawi seperti apostolat, diakonat, presbiter, pastorat, episkopat dll, untuk memimpin gereja dalam panggilan duniawi, dalam dimensi pelayanan (diakonia), kesaksian (marturia) dan pengayuban (koinonia) termasuk kehidupan spiritual (leiturgia). Dalam tubuh Kristus tidak ada fungsi dan karunia yang lebih tinggi atau lebih penting dari pada yang lain, sehingga kepemimpinan gereja adalah fungsi untuk memberdayakan, mengkoordinasi dan mengorganisir karunia-karunia yang ada dengan baik sehingga tubuh ini dapat melakukan misinya di dunia ini secara optimal. Jangan dilupakan bawah kepala gereja tidaklah lain dari pada Kristus sendiri.

Namun tidak cukup jika seorang pemimpin gereja hanya percaya kepada karunia yang diberikannya. Ia juga bertanggung jawab untuk mengembangkannya, untuk memperbaiki kekurangannya dan meningkatkan kompetensinya sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang dihadapinya. Sering kita merasa kalau kita sudah mencapai pososi tertentu tidak perlu lagi kita belajar. Sebaliknya, semakin tinggi posisi kita dan  semakin besar tanggung jawab kita, semakin banyak kita harus belajar. Misalnya sering diabaikan bahwa seorang pendeta yang memimpin jemaat atau sebuah struktur gereja bersama dengan orang lain tidak hanya membutuhkan dasar teologis yang cukup kuat, tetapi juga misalnya kepandaian menajemen atau pengelolaan. Disini juga masih terletak salah satu kekurangan dalam pendidikan teologi. Dari kompetensi yang seharusnya lebih dikembangkan saya ingin menekankan kompetensi sosial atau kompetensi komunikasi, termasuk kompetensi untuk menangani konflik secara konstruktif. Ia harus mampu untuk menjadi moderator atau mediator dalam konflik, dari pada hanya menghindari atau menekankan konflik, atau bahkan menyebabkan konflik dan melibatkan emosi pribadi. Ia berada dalam posisi yang paling berpengaruh untuk mendukung atau menghindari perkembangan suatu kultur kritik dan konflik yang konstruktif dalam gereja. Semua ini adalah kompetensi-kompetensi yang dapat dilatih, dan dalam dunia modern dan semakin rumit tidaklah cukup kalau seorang pemimpin sudah puas dengan karunianya dan pengalamannya.

IV.        Kepemimpinan gereja antara konservasi dan transformasi.

Dalam poin terakhir ini kita melihat kepemimpinan gereja dalam ketegangan yang konstruktif antara upaya untuk menjamin kontinuitas dan tradisi gereja di satu sisi, dan menjadi motor perubahan dan transformasi sosial di sisi lain.

Disini seorang pemimpin menjadi "konservatif" dalam arti yg sebenarnya: mempertahankan dan menjamin nilai, tradisi dan aturan gereja yang menjadi identitas persekutuan. Disini sering dituntut bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan yang baik (atau bahkan sempurna) dalam menaati nilai-nilai perseketuannya. Dan ini tidak hanya berlaku jika konformitas dituntut oleh nilai-nilai etika Kristen, namun juga jika dituntut oleh kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat yang harus diperhatikan (mis: di kota tidak apa-apa pendeta ke bioskop atau pendeta perempuan memakai jeans, dan tidak ada larangan dari etika Kristen; namun di desa hal tersebut bisa melanggar nilai-nilai masyarakat) – Paulus: demi mereka yang "lemah", tidak menjadi batu sandungan dan hambatan untuk pemberitaan firman.

Di sisi lain, seorang pemimpin gereja selalu harus sadar bahwa formalisme aturan, kelembagaan yang statis dan sikap yang eksklusif adalah lawan gereja sebagai gerakan misi Allah dan dinamika Roh Kudus. Injil Yesus Kristus selalu menantang kita untuk menerobos dan mentransformasikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan kita sesuai dengan inti perintah kasih terhadap Allah dan sesama manusia. Disini kepemimpinan gereja harus selalu siap untuk membaca tanda-tanda zaman, memiliki "sense of krisis" dari pada hanya sibuk dengan masalah-masalah intern gereja. Kepemimpinan gereja harus mendengar, mengangkat dan menyuarakan suara-suara kenabian dalam gereja sehingga gereja dapat menjadi motor untuk perubahan atau transformasi masyarakat, dan sekaligus berani untuk ditransformasikan atau mengalami perubahan sesuai dengan konteks di mana kita berat.

Kerohanian Pemimpin

Kerohanian yang telah teruji merupakan syarat mutlak seorang pemimpin yang sudah harus ia miliki. Ukuran yang paling penting bukan terletak pada apa yang dikerjakan, tetapi pada hubungannya dengan Allah. Kerohanian yang mantap memungkinkan untuk memiliki kepekaan rohani di hadapan Allah, sehingga prinsip dasar kepemimpinan yang digunakan juga bertumpu pada Allah. Melayani adalah satu panggilan Allah dan harus senantiasa mengkonsultasikan kepada Allah sebagai wujud nyata yang terlihat setiap waktu dari seorang pemimpin.


    Seperti Nehemia yang telah mengetahui visi dan misinya, begitu juga seorang pemimpin Gereja harus mengetahui visi dan misinya yang jelas. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke muka untuk 10 – 25 tahun yang akan datang.  Antisipasi jauh ke depan sambil membaca kesempatan dan tantangan dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan kehidupan spiritual yang dimilikinya. Sekaligus berdiri dalam visi dan misi Gereja di dunia ini, yakni memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid Tuhan dengan penyertaan Allah. Ketergantungan kepada Allah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengemban tugas ini. Sebagaimana Nehemia dengan doanya telah menunjukkan ketergantungannya kepada Allah. Pemimpin Gereja dan doanya tidak dapat dipisahkan. Pemimpin harus turut serta dalam gerak maju pembangunan, tanpa mengorbankan imannya, kesaksiannya, serta pelayanan sebagai hamba Tuhan.  Semuanya ini adalah satu sikap yang memperlihatkan solidaritas kepada bangsa dan negara yang selalu berkaitan dengan kehidupan doa seorang pemimpin Gereja, yaitu pelayanan doa yang mencakup seluruh aspek. Bagian inilah yang disebutkan pengandalan kepada Tuhan secara total yang dimulai dari pembangunan tubuh Gereja yang rohani.

Karakteristik Pemimpin

Seorang pemimpin Gereja masa sekarang harus berani menghadapi tugas dan tantangan. Tugas utama membawa Gereja bertumbuh secara kualitas dan kuantitas. Dan untuk tugas ini merupakan perjalanan panjang dan penuh tantangan, tetapi dituntut keberanian yang radikal dalam diri pemimpin. Kesanggupan dalam menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh dan tekun  akan berdampak langsung pada kewibawaannya terhadap orang-orang yang dipimpinnya.  Dalam menjalankannya harus dengan motivasi yang murni. Kemurnian motivasi dalam menjalankan tugas adalah hal yang sangat sakral dalam diri pemimpin. Tujuannya adalah demi kepentingan pekerjaan Tuhan yang selalu bersifat terbuka.


    Sedikit sekali pemimpin menyadari empati dalam seni memimpin adalah hal yang sama dengan kasih. Pentingnya kasih dalam kepemimpinan sudah menjadi prasyarat seseorang untuk jadi pemimpin . Betapa kuatnya pernyataan mengenai pentingnya kasih, baik dalam pengajaran Yesus maupun penekanan-penekanan yang diajarkan Oleh Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya. Kasih itu mencakup semua aspek kehidupan yang berorientasi kepada sikap baik kepada sesama yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal ini harus dimiliki oleh pemimpin Kristen yang mengetahui kebutuhan yang dipimpinnya. Kasih itu meliputi antara lain: kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, tidak pernah congkak, tidak egois, bersikap lembut, tidak menuntut kemauannya sendiri, tidak mudah tersinggung, tidak menaruh dendam, kasih hampir tidak memperhatikan kesalahan orang, tidak pernah senang memandang kelaliman, bergembira bila kebenaran menang, setia, mempercayai orang lain, membela orang lain, dan kasih tiada pernah berkesudahan.  Semua kategori ini adalah hal yang sama satu dengan yang lain, yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pemimpin.

    Bersikap tegas, pemimpin yang besikap tegas akan terbukti rajin/giat; efektif dan efisien serta berorientasi kepada sasaran kerja.  Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang pragmatis serta produktif, yang menghasilkan buah (hasil) dalam kepemimpinannya. Pemimpin Kristen sekalipun adalah pemimpin rohani, ia harus berorientasi kepada hasil atau sukses, dengan menerapkan gaya wirausaha. Alasan utama bagi orientasi ini ialah bahwa Allah pun menghendaki agar pemimpin Kristen itu berhasil dalam kepemimpinannya. Kebenaran ini diteguhkan oleh analogi perumpamaan pada Matius 25:14-30, dimana ketidaktaatan yang menandakan ketidakberhasilan dikecam oleh Tuhan Yesus dengan tegas.
       

PENUTUP 

Prinsip-prinsip dasar kepemimpinan Nehemia rupanya mampu menjawab kebutuhan dalam masa krisis kepemimpinan yang sedang terjadi sekarang dalam Gereja. Berkaitan dengan situasi dan kondisi yang hampir sama, maka pemimpin Kristen dapat langsung mengaplikasikannya dalam strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan Gereja. Dalam lingkup pelayanan rohani sangat erat berkaitan dengan Allah. Maka pemimpin harus memiliki keimanan di dalam Allah sebagai sentral dalam menjalankan semua tanggungjawab yang telah dibebankan kepadanya.    

Ev. Matius Soboliem, M. Th.