KRISIS DAN IRONI
KEPEMIMPINAN
Krisis Kepemimpinan
Global
Kepemimpinan tidak identik dengan posisi. Kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi otoritas. Kendati posisi otorits yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tetapi sekedar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Melainkan kepemimpinan adalah sebuah fungsi. Atau dapat dikatakan, kepamimpinan adalah suatu proses mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang untuk mencapai satu tujuan dalam kehidupan pribadi atau profesional mereka, anda sedang menjalankan peran/fungsi sebagai pemimpin.
Walaupun
secara formal ada banyak pemimpin yang kita miliki yaitu mereka yang menduduki
posisi kepemimpinan dalam pemerintahan, bisnis, universitas dan gereja. Namun
realita yang nampak sangat mengecewakan. Antara lain. pejabat pemerintah
diberbagai tingkat haus kuasa dan terus ingin berkuasa sedangkan orientasi
melayani masyarakat semakin sirna. Mengenai kenyataan pemerintah yang haus
kuasa dan lalai melayani masyarakat, ”Krisis ini berpangkal dalam krisis etika.
Etika mengajarkan apa yang seharusnya; apa yang sebaliknya. Misalnya pemimpin
mengatakan mereka adalah abdi negara, abdi masyarakat, namun yang muncul adalah
haus kuasa dari pada pengabdian. Banyak pemimpin menindas bawahan daripada
mengayominya. Banyak pemimpin memeras rakyat ketibang melayaninya.” Dalam dunia
bisnis ada banyak skandal korporat yang terkait dengan para pemimpin, ada
banyak tindakan tidak etis yang terjadi dengan para pegawai dan pelanggan.
Yang
paling tragis lagi adalah gereja, kelompok yang sering dianggap – setengah
ilahi - setengah manusia, juga mengalami yang namanya krisis kepemimpinan.
Gereja telah kehilangan pengaruhnya karena absennya kepemimpinan yang efektif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami krisis kepemimpinan
global. Adapun penyebab krisis kepamimpinan ini adalah karena pemimpin yang
tidak kapabel secara moral dan teknis, pemimpin tidak diperlengkapi dengan
kompetensi kepemimpinan yang mapan, pemimpin cacat dalam karakter dan
integritas pribadi, adanya vaksin anti kepemimpinan yang berakibat pada tidak
adanya usaha untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang baru, serta masalah
ignorance = ketidakpedulian terhadap situasi bahwa kita tidak ada pemimpin.
Memimpin Di Tengah Dua
Pilihan Adopsi Atau Aborsi
Ada dua fenomena tragis yang
mestinya mendpat perhatian khusus dari setiap pemerhati dan praktis
kepemimpinan Kristen yaitu dunia bisnis yang dipersepsi sebagi sekular dan
kotor, berusaha mengadopsi prinsip dan pola kepemimpinan biblikal. Sedangkan
gereja (Umat Allah, tubuh Kristus, baik sebagai institusi maupun yang berkarya
diberbagai bidang), malah bertindak mengaborsi prinsip dan pola kepemimpinan
yang biblikal. Adapun area-area yang mengalami proses adopsi dan aborsi adalah:
VISI
Visi
adalah konsep biblikal. Visi merupakan suatu gambaran tentang masa depan. Visi
adalah suatu gambaran yang jelas dalam jiwa kita mengenai masa depan yang
dikehendaki, yang ditanamkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya dan didasarkan
pada pemahaman yang akurat tentang Allah, diri sendiri dan situasi yang ada.
Oleh karena visi diberikan oleh Allah maka Alkitab merupakan dasar dan
sekaligus dokumen tertua yang memuat dan mengajarkan tentang visi secara
eksplisit. Alkitab mengatakan ,”Jika tidak ada wahyu (Visi), menjadi liarlah
rakyat.” (Ams 29 :18). Yesus dalam pelayanan-Nya pun selalu mempunyai visi yang
jelas. Alkitab menjelaskan bahwa sebelum Yesus terangkat ke sorga, Yesus
kembali menegaskan Visi-Nya kepada para murid (Mat 28:19-20).
Namun dalam perjalanan perkembangan gereja yang merupakan komunitas umat Allah
dan sekaligus menyatakan bahwa Alkitab sebagai dasar ajaran gereja, tetapi
kenyataannya gereja sendiri yang tidak mempraktekkan apa yang diungkapkan oleh
Alkitab. Gereja mengaborsi konsep Alkitab tentang visi yang adalah gambaran
masa depan gereja. Hal ini mengakibatkan roda perjalanan gereja pun menjadi
terhambat bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga sekuler.
Akuntabilitas
Seluruh
konsep kepamimpinan Kristen bertumpu pada satu azas yaitu hanya ada satu
pemimpin yang sejati yaitu Tuhan Allah sendiri. Pemimpin yang lain adalah
pemimpin-pemimpin dalam huruf kecil, yang bersifat relatif dan sekaligus
subordinatif terhadap pemimpin yang sejati yaitu Tuhan Allah. Dengan demikian
akuntabilitas merupakan suatu keharusan bagi setiap pemimpin. Apalagi seorang
pemimpin Kristen.
Akuntabilitas menjaga pemimpin agar
tetap memiliki pengaruh yang tajam (Ams 27:17). Jadi Semakin besar kepercayaan
dan tanggungjawab yang diberikan kepada seorang pemimpin, semakin besar
akuntabilitas yang ia miliki dihadapan Allah dan umat-Nya (Luk 12:48).
Tanggungjawab terakhir para pelaku ekonomi dan bisnis, bahkan para
pemimpin-pemimpin Kristen bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah.
Bertanggung jawab kepada Allah berarti: bertanggungjawab atas kesejahteraan
penuh setiap dan seluruh ciptaan-Nya (termasuk disini para pekerja, para
pelanggan, para jemaat, bahkan seluruh masyarakat dan lingkungan hidup).
Akuntabilitas adalah hal yang sangat
krusial dan telah lama lenyap dari dalam diri pemimpin Kristen. Baik di dalam
gereja maupun diluar gereja, orang tidak lagi mengutamakan akuntabilitas.
Bahkan akuntabilitas itu sendiri di aborsi oleh umat Kristen sendiri, sehingga
moral hidup pemimpin Kristen tidak lagi mencerminkan kemuliaan kristus
melainkan kehidupan duniawi yang semakin bobrok di hadapan Allah.
Pemberdayaan:
Pemberdayaan dalam istilah menajemen
disebut “Empowerment”, jelas-jelas merupakan konsep biblikal. Dalam Efesus
4:12, dijelaskan bahwa Allah memberikan berbagai karunia kepada orang percaya
dengan tujuan untuk memberdayakan tubuh Kristus. Rasul Paulus dalam
pelayanannya sangat memperhatikan ide pemberdayaan yaitu untuk membawa manusia
(jemaat) semakin sempurna dalam Kristus (Kol 1:28). Jemaat seharusnya dibina,
diperlengkapi, diberi kepercayaan, kesempatan, akses dan fasilitas untuk
menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Atau dengan lain kata agar jemaat bisa
menjadi pemimpin-pemimpin yang baru. Jauh sebelum manajer modern, Yesus sibuk
mempersiapkan orang-orang bagi masa depan. Dia tidak bermaksud untuk memilih
seorang pangeran bermahkota, tetapi untuk menciptakan suatu generasi terus
menerus. Ketika tiba waktu-Nya untuk meninggalkan para murid-Nya, Dia tidak
melakukan program dadakan tentang pengembangan kepemimpinan – kurikulum telah
diajarkan selama tiga tahun dalam ruang kelas kehidupan.
Namun sayang, pemberdayaan yang merupakan pola kepemimpinan biblikal juga
diaborsi oleh pemimpin-pemimpin Kristen. Pemimpin merasa dirinya yang mendapat
panggilan Tuhan untuk menjadi pemimpin, sehingga kepentingan dan panggilannya
untuk memberdayakan atau menciptakan pemimpin baru tidak dipedulikan mereka.
Kepemmpinan Yang Melayani
(Servant Leadership)
Yesus mengajarkan Servant Leadership dengan sangat jelas: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Markus 10:45. Selanjutnya Yesus berkata dalam Mat 20: 25-28,…tidaklah demikian diantara kamu, barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa ingin menjadi terkemukan diantara kamu, handaklah ia menjadi hambamu…Artinya kepemimpinan Yesus adalah kepamimpinan yang melayani. Dan Yesus menginginkan setiap pengikut-Nya juga melayani. Esensi pemimpin Kristen tidak terletak pada jabatan, pangkat, gelar melainkan pada tindakan melayani. Bagi para pengikut Yesus kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukan pilihan. Itu adalah mandat bukan perintah. Kepemimpinan yang melayani harus menjadi statemen hidup dari mereka yang tinggal dalam Kristus, cara kita memperlakukan satu sama lain, dan cara kita memperlihatkan cinta Kristus kepada seluruh dunia.” Namun filosofi kepemimpinan yang biblikal ini diaborsi oleh para pemimpin Kristen. Pemimpin Kristen mencampakan prinsip kepemimpinan yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan dan modelkan. Sedangkan diluar sana, dunia bisnis, dunia sekular mulai perlahan-lahan menerapkan (mengadopsi) prinsip kepemimpinan yang melayani dalam lingkungan mereka.
Masalah kepemimpinan
sudah sangat banyak dipelajari, diteliti, didiskusikan, diseminarkan dan
ditulis, termasuk di dalam kekristenan. Bahkan kekristenan termasuk yang
pertama berbicara tentang kepemimpinan. Namun kita terus-menerus menghadapi
masalah kepemimpinan: di tingkat nasional, di tingkat lebih kecil termasuk di
gereja dan di keluarga – sebagai unit sosial terkecil. Di mana-mana kita
mengalami krisis kepemimpinan. Sesuatu telah menjadi salah sehingga krisis ini
terjadi. Dari mana kesalahan ini bermula? Bisa dipastikan ini bermula dari
konsep yang salah tentang kepemimpinan. Dalam dunia modern (atau sekarang
memasuki post-modern), di dunia korporasi dan organisasi masa kini, kata
leadership memiliki konotasi kekuasaan, otoritas, hormat, prestis, dan
keunggulan pribadi (sang pemimpin).
Sadar atau tidak sadar, inilah yang menjadi daya tarik luar biasa seseorang dalam mengejar posisi pemimpin, karena menjanjikan kekuasaan yang besar. Dan inilah yang mereka kerjakan ketika berada di posisi itu. Termasuk di banyak organisasi yang berlabel Kristen, bahkan di organisasi gereja. Jelas ini bukan nada Alkitab ketika berbicara tentang kepemimpinan. Kita perlu kembali kepada konsep yang benar tentang kepemimpinan. Sebagai orang percaya kita tahu konsep yang benar tentang kepemimpinan yang sejati adalah berasal dari Alkitab. Kemudian dikembangkan oleh manusia, baik manusia percaya maupun yang tidak percaya. Nah, apa kata Alkitab tentang kepemimpinan? Alkitab tidak mendefinisikan kepemimpinan namun banyak berbicara tentang kepemimpinan.
Dalam
Matius 20: 25 – 28, Yesus mengatakan pemimpin dunia bersifat otoriter, menjalan
kekuasaannya dengan keras. Namun di antara orang percaya, mereka yang
menginginkan menjadi pemimpin harus menjadi ’pelayan’. Yesus sendiri, Sang Raja
di atas segala raja, dan Tuhan di atas segala tuhan, datang untuk melayani
bukan untuk dilayani, hingga titik darah terakhir. Penjelasan ini Yesus berikan
ketika dua orang murid-Nya minta posisi tinggi dalam kerajaan-Nya nanti.
Kepemimpinan kristiani adalah melayani, daripada mendominasi. Yesus sendiri menegaskan bahwa Dia datang untuk melayani. Ketika Dia memimpin para murid, itu adalah bagian dari pelayanan-Nya. Sang pemimpin yang demikian memberikan dorongan kepada anggota timnya dan inspirasi arah yang akan dicapai kelompok. Dia menghormati pribadi-pribadi, daripada mengeksploitasi kepribadian orang lain. Dari Yesus kita tidak sekadar mendapatkan pengajaran-pengajaran tentang kepemimpinan yang melayani tapi Dia sendiri menjadi model kepemimpinan itu. Dia menunjukkan kepada para murid-Nya bagaimana memimpin dengan memberikan contoh bagaimana Dia melayani dengan tulus. Dia menuntut tidak kurang kepada mereka yang akan mengerjakan misi-Nya di bumi pada jaman sekarang. Jika kita berpegang erat pada standar-standar Kristus dalam pelayanan yang tulus, kita akan menyaksikan perubahan-perubahan yang hebat dalam struktur-struktur organisasi kita sendiri dan dalam hubungan-hubungan kita dengan orang lain. D’Souza lebih lanjut menyimpulkan citra Alkitab tentang kepemimpinan dengan 3S, yaitu servant (pelayan), shepperd (gembala) dan steward (penatalayan). Masing-masing memiliki sejumlah atribut sendiri. Pemimpin sebagai pelayan memberikan layanan, dukungan dan empower bagi mereka yang ia pimpin.
Sedangkan sebagai gembala, seorang pemimpin berciri memperhatikan dombanya, yaitu anggota tim yang ia pimpin. Ketika satu dari 100 dombanya hilang, ia meninggalkan yang 99 yang oke, untuk mencari yang satu untuk membawa dia kembali. Seorang gembala juga memberikan dorongan dan pimpinan atau arahan kepada anak buahnya. Seorang pemimpin dalam Alkitab juga digambarkan sebagai seorang penatalayan, yaitu seorang profesional yang bertanggung jawab atas sejumlah sumber daya milik orang lain yang harus dia kelola dan kembangkan. Karena itu dia haruslah orang yang bisa dipercaya, bertanggung jawab dan akuntabel.
Dunia sekuler sendiri sudah melihat keunggulan leadership yang melayani (servant leadership) yang berasal dari Alkitab. Dengan kepemimpinan yang demikian mereka mencoba merevolusikan struktur organisasi yang tadinya bersifat komando dan kontrol dengan sang pemimpin di puncak struktur menjadi oraganisasi dengan model service and support. Dalam struktur ini, sang pemimpin ada di posisi dasar organisasi dan melalui komunikasi dua arah memberikan visi organisasi kepada jajaran manajemen. Pada tingkat ini, manajemen berfungsi memberikan dukungan kepada para front liners. Front liner berkomunikasi dua arah melayani pelanggan. Seandainya para pemimpin dibentuk dengan dasar karakter kepemimpinan kristiani ini dan organisasi-organisasi diformat dengan jiwa pelayanan yang tulus, kita tidak akan kekurangan pemimpin yang efektif, dan organisasi akan berkiprah secara maksimal dalam usaha-usaha kesejahteraan umat manusia.
Ev. Matius Soboliem, M. Th.