Integritas, dapatkah diukur dan diramalkan?
Oleh
Matius Sobolim, S. Th
|
Ny Anny dan Matius S |
Sangat menarik untuk
membahas apakah integritas dapat diukur dan diramalkan. Di
bawah ini ada
beberapa panduan untuk mengukur “
integrity in action“, yang lebih bersifat konkrit operasional, yang
mudah diikuti sebagai panduan wawancara. Masalahnya, sampai seberapa jauh
indikator tersebut dapat diterapkan, terutama pada posisi di bawah upper middle
management. Karena, indikator di
bawah ini bisa berjalan, jika memang banyak past experiences dari calon yang dinilai, banyak critical
incidents dalam pengalaman
hidupnya yang terkait dengan aspek tersebut. Misal, pernah mengalami peristiwa
yang mengundang conflict of interest, pernah menjalani suatu tanggung jawab yang sulit, pernah harus
mengambil keputusan yang tidak populer. Kalau sample nya terbatas, otomatis agak “sulit’ melakukan
penilaian berkaitan dengan hal ini. Mengukur integrity, banyak terkait dengan moralitas seseorang.
Namun demikian, banyak sekali perusahaan yang mencantumkan integrity sebagai aspek yang harus dimiliki oleh calon
karyawan dan pimpinannya.
Walaupun sulit, dari
hasil korespondensi dengan psikolog yang telah menamatkan PhD nya di UQ (University of
Queensland), diilhami artikel ibu
Eileen Rachman yang pernah dimuat di Kompas, serta pengalaman menilai sikap dan
perilaku (termasuk integritas) bawahan di suatu perusahaan, saya akan mencoba
merangkai apa, bagaimana serta mungkinkah integritas dapat diukur serta
diramalkan.
1. Definisi integritas menurut kamus kompetensi
Integritas kerja adalah bertindak konsisten sesuai dengan kebijakan dan kode
etik perusahaan. Memiliki pemahaman dan keinginan untuk menyesuaikan diri
dengan kebijakan dan etika tersebut, dan bertindak secara konsisten walaupun
sulit untuk melakukannya.
2. Bagaimana menilai integritas bawahan/calon pimpinan?
a. Apakah kode etik
telah dilaksanakan?
Setiap profesi mempunyai
kode etik profesional yang harus dipatuhi. Etika ini harus tercantum dalam
peraturan perusahaan dan dapat diobservasi dalam penilaian perilaku. Sebagai
contoh: Pada salah satu perusahaan, tingkat kedalaman perilaku integritas
bertingkat, dari 1 sampai 3 , disesuaikan dengan dimensi tingkat risiko yang
harus dihadapi karena bertindak konsisten sesuai kode etik dan kebijakan.
Seseorang bisa saja
pandai berkomunikasi dan menunjukkan bahwa integritasnya tinggi, namun dapat
diuji dan dilakukan probing, aspek apa yang paling dijunjung tinggi dalam kode etiknya.
Misalkan dengan menanyakan, apakah pernah mengalami kasus seputar etika, dan
seberapa jauh keterlibatannya dalam kasus tersebut? Apabila tak terkait,
bagaimana cara menyelesaikan kasus tersebut, jika yang terlibat adalah anak
buahnya?
b. Bagaimana mengatasi conflict of
interest
Setiap orang perlu
menyesuaikan perilakunya dilapangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada
situasi ini, seorang individu ada kemungkinan berhadapan dengan conflict of interest, bagaimana cara memecahkan masalahnya, yang
dalam pemecahannya akan terkandung kadar integritasnya. Bagaimana dia
menggunakan wewenangnya dalam menyelesaikan persoalan, sebaik apakah wewenang
tersebut dimanfaatkan? Integritas pimpinan dapat diukur, bagaimana pimpinan
memanfaatkan wewenangnya, dan mengambil risiko melakukan putusan dari yang
populer maupun yang sama sekali tak populer.
c. Apakah seseorang
bersifat sebagai risk taker atau risk avoider?
Apakah seorang akan lari
dari tanggung jawab? Atau berani pasang badan untuk mempertanggung jawabkan ?
Untuk level operasional/first level management, kriteria kedisiplinan dan cooperative behaviour (yang bisa diterjemahkan sebagai ketaatan pada
peraturan dan kesediaan bekerjasama untuk memenuhi tuntutan organisasi) sudah
cukup mewakili perilaku kerja yang diinginkan melalui apa yang dinamakan “integrity” itu.
Untuk level upper
middle management memang
perlu ada interview yang mendalam, untuk melihat seberapa jauh kecenderungan seseorang
untuk berperilaku yang merugikan organisasi dan masyarakat luas, terutama untuk
wewenang besar yang mereka miliki. Yang terkadang sulit diukur adalah
keberanian mengambil risiko (dalam pengertian positif), yang terkadang dekat
sekali artinya dengan mengambil keputusan diluar prosedur yang ada. Sebaliknya,
pimpinan yang terlalu prosedural (cenderung cari aman dan berlindung dibalik
prosedur) juga tidak akan efektif mendorong kemajuan organisasi.
d. Komitmen terhadap
organisasi.
Sejauh mana seorang
pimpinan akan melakukan perubahan, mengembangkan anak buahnya untuk memajukan
perusahaan? Bagaimana komitmennya terhadap organisasi, apakah seseorang berani
melakukan hal sulit untuk kemajuan organisasi? Seorang pimpinan yang baik juga
akan menjadi mentor bagi bawahannya, serta menyiapkan kaderisasi sebagai
penggantinya kelak.
e. Perhatian terhadap
sesama
Dalam menilai pendekatan
ke manusia, diperlukan suatu data dan fakta, untuk mengetahui gambaran
integritas seseorang. Hal ini memerlukan kepekaan dan kemampuan
penilai/pewawancara, untuk melihat konteks danframework seputar fakta yang dibicarakan dalam tanya jawab
intensif.
3. Apakah mungkin dilakukan training untuk meningkatkan integrity?
Melakukan observasi
perilaku seperti bahasan di atas akan lebih mudah bila orang tersebut belum
bergabung dengan perusahaan. Namun bagaimana apabila yang dinilai adalah
seseorang yang akan mendapat kesempatan untuk menjadi pimpinan yang lebih
tinggi? Pada umumnya penilaian dilakukan dengan metoda tertentu, dan melalui assessment
center. Permasalahan yang
sering muncul, adalah kekurangan orang sesuai yang dibutuhkan, ataupun kalau
ada masih terdapat “gap” yang harus diperbaiki.
Persoalan yang muncul adalah, bagaimana cara training yang tepat untuk menutup gap tersebut? Di satu sisi, integritas merupakan
kunci kemajuan perusahaan, karena maju mundurnya perusahaan ditentukan oleh SDM
nya, yang diharapkan menjunjung integritas tinggi. Disadari, bahwa perusahaan
lebih mudah membuat orang pandai dengan meningkatkan skill nya, tetapi yang sulit adalah meningkatkan soft kompetensinya.
Jika training untuk soft kompetensi begitu sulit, perlu dipikirkan
membuat sistem manajemen dan budaya organisasi sedemikian rupa, sehingga tidak
ada peluang bagi anggotanya untuk berperilaku “menyimpang”. Sistem yang
terbuka, record yang lengkap, pertanggung jawaban yang jelas, reward dan sanksi yang tegas untuk perilaku kerja
tertentu, akan dapat membantu terbentuknya “integrity in action” tersebut. Tumbuhnya sense of belonging dan
komitmen yang tinggi terhadap organisasi juga kondusif dampaknya untuk
mengurangi perilaku yang menyimpang. Kalau seseorang sudah merasakan bahwa
organisasi tempat dia bekerja adalah bagian penting dari dirinya sendiri, maka
dia tidak akan berperilaku merugikan bagi perusahaannya, karena berarti akan
merugikan diri sendiri. Jadi situasi kerja demikian yang harus dibentuk, untuk
meningkatkan integrity di tempat kerja, dibanding dengan pendidikan khusus tentang hal ini.
Sumber data:
1.
Eileen Rachman. Meraba
integritas, bisakah? Kompas. Experd, Jakarta, 2006
- Rayini, University of Queensland. Brisbane,
2006