HAKEKAT ALKITAB SEBAGAI FIRMAN
ALLAH DAN HERMENEUTIK ALKITABIAH
oleh
Ev. Matius Sobolim, S. Th.
oleh
Ev. Matius Sobolim, S. Th.
Hakekat Alkitab |
Pada abab I & II penulis telah memaparkan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan Kritk Tinggi dan Kritik Historis terhadap Alkitab.
Fenomena-fenomena ini harus dapat ditinjau ulang secara Alkitabiah sehingga
menghasilkan solusi yang dapat mempertahankan kebenaran yang mutlak tentang
"Hakekat Alkitab sebagai Firman Allah".
A.
HAKEKAT ALKITAB SEBAGAI FIRMAN ALLAH
1. ALKITAB SEBAGAI ALAT PENYATAAN ALLAH
Dalam ruang lingkup dunia kekristenan, yang menjadi pusat perhatian utama
ialah hal-hal yang diungkapkan atau dinyatakan Allah kepada umat-Nya. Hal
ini dikenal dengan istilah "Penyataan (Revelation atau Wahyu)" yang
merupakan inisiatif Allah untuk mengungkapkan/menyingkapkan hal-hal yang
tidak jelas atau tidak diketahui sebelumnya. Dalam hal ini dibutuhkan iman
dan bukannya rasio murni manusiawi sehingga manusia mampu memberi respon
kepada penyataan Allah.
Penyataan Allah dibagi atas 2 bentuk, yaitu :
a. Penyataan umum (General Revelation) [1]
Adalah tindakan Allah untuk menyatakan dirinya kepada umat-Nya secara umum
melalui alam semesta, sejarah dunia dan hati nurani manusia. Hal ini
terbatas fungsinya hanya kepada pengetahuan intuisional tanpa memiliki
dampak keselamatan kekal (Band. Lukito, 1996:53).
b. Penyataan khusus (Special Revelation)
adalah tindakan Allah untuk menyatakan diri-Nya dalam diri Yesus Kristus dan
melalui karya dan firman-Nya dalam Alkitab. Hal ini dikhususkan hanya bagi
orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yesus Kristus.
Berkaitan dengan istilah "umum dan khusus", G.C. Berkouwer menulis :
"The words 'general' and 'special' are borrowed from earthly human
relationship and don't appear in scripture. The distinction between general
and special revelation doesn't posit a rupture in the unity of God's
revelation, but points out rather the revealing acts of God in the history
in the way of creation, fall and redeption" (Berkouwer dalam Henry,
1976:23).
Pemakaian istilah "umum dan khusus" (dimana peristilahannya tidak terdapat
dalam Alkitab dan pembagiannya dibuat oleh teolog) tetap mengarahkan
manusia untuk belajar mengenal Allah dengan tepat, menaati dan melayani-Nya.
Sehingga penyataan Allah mencakup kebenaran-kebenaran proporsional sebagai
komunikasi yang rasional dari Allah untuk dinyatakan melalui ide dan
perkataan yang berarti dan dapat dimengerti (Henry, 1979:455-456).
1. ALKITAB SEBAGAI ALAT PENYATAAN ALLAH
Dalam ruang lingkup dunia kekristenan, yang menjadi pusat perhatian utama
ialah hal-hal yang diungkapkan atau dinyatakan Allah kepada umat-Nya. Hal
ini dikenal dengan istilah "Penyataan (Revelation atau Wahyu)" yang
merupakan inisiatif Allah untuk mengungkapkan/menyingkapkan hal-hal yang
tidak jelas atau tidak diketahui sebelumnya. Dalam hal ini dibutuhkan iman
dan bukannya rasio murni manusiawi sehingga manusia mampu memberi respon
kepada penyataan Allah.
Penyataan Allah dibagi atas 2 bentuk, yaitu :
a. Penyataan umum (General Revelation) [1]
Adalah tindakan Allah untuk menyatakan dirinya kepada umat-Nya secara umum
melalui alam semesta, sejarah dunia dan hati nurani manusia. Hal ini
terbatas fungsinya hanya kepada pengetahuan intuisional tanpa memiliki
dampak keselamatan kekal (Band. Lukito, 1996:53).
b. Penyataan khusus (Special Revelation)
adalah tindakan Allah untuk menyatakan diri-Nya dalam diri Yesus Kristus dan
melalui karya dan firman-Nya dalam Alkitab. Hal ini dikhususkan hanya bagi
orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yesus Kristus.
Berkaitan dengan istilah "umum dan khusus", G.C. Berkouwer menulis :
"The words 'general' and 'special' are borrowed from earthly human
relationship and don't appear in scripture. The distinction between general
and special revelation doesn't posit a rupture in the unity of God's
revelation, but points out rather the revealing acts of God in the history
in the way of creation, fall and redeption" (Berkouwer dalam Henry,
1976:23).
Pemakaian istilah "umum dan khusus" (dimana peristilahannya tidak terdapat
dalam Alkitab dan pembagiannya dibuat oleh teolog) tetap mengarahkan
manusia untuk belajar mengenal Allah dengan tepat, menaati dan melayani-Nya.
Sehingga penyataan Allah mencakup kebenaran-kebenaran proporsional sebagai
komunikasi yang rasional dari Allah untuk dinyatakan melalui ide dan
perkataan yang berarti dan dapat dimengerti (Henry, 1979:455-456).
Hakekat tentang Penyataan Allah yang Alkitabiah inilah yang harus dipegang
sebagai dasar bagi pengertian tentang status Alkitab. Penyataan Allah yang
terjadi dalam sejarah terjadi sekali dan tidak akan terulang persis lagi
padahal nilai kejadian-kejadian bersejarah itu bukan hanya diperuntukkan
bagi pribadi atau bangsa yang mula-mula mengalaminya saja namun juga tetap
relevan bagi segala bangsa di segala zaman secara turun-temurun. Seandainya
hal itu hanya diteruskan secara lisan di sepanjang sejarah umat manusia,
tentu penyataan itu dapat ditambah atau dikurangi oleh manusia yang
meneruskannya. Maka perlulah peristiwa-peristiwa itu dibukukan sehingga
kesaksian menjadi tetap untuk menjaga kemurnian Penyataan Allah. [3]
Kedudukan Alkitab dalam Penyataan Allah harus dilihat dari 2 segi, yaitu :
1. Sebagai kesaksian tentang Penyataan Allah yang intinya berisi tentang
sejarah penebusan-Nya dan bermaksud menyediakan keselamatan.
2. Sebagai wujud Penyataan Allah itu sendiri melalui kata-kata (yang
tertulis) yang mengartikan tindakan-tindakan Allah. Keduanya perlu untuk
keselamatan tetapi dengan cara yang berbeda dengan maksud untuk menyediakan
pengetahuan yang tepat dan lengkap mengenai keselamatan itu (Parker,
1970:39).
Jadi proses inskripturasi sangat diperlukan untuk menghindari bahaya
pengrusakan atau perubahan isi penyataan itu oleh manusia, kelemahan ingatan
manusia untuk menyimpan Firman Allah itu dan kebutuhan gereja di segala
abad. Kata-kata Pinnock merupakan kesimpulan yang tepat mengenai kedudukan
Alkitab dalam penyataan Allah yaitu : "The Bible is the witness to and
graphical residue of the divine act-word event, the locus in which God's
revealing activity now takes place. It represents both the culmination of
revelation and its primary product" (Pinnock, 1978:35).
2. OTORITAS ALKITAB
Alkitab adalah Firman Allah yang telah terdokumentasikan berbentuk sebuah
kitab kanonik yang lengkap. Alkitab bukanlah sekedar suatu pelengkap
kekristenan namun merupakan Firman Allah yang intrinsik sehingga berotoritas
bagi iman Kristen.
Berbicara tentang Allah menunjuk kepada anggapan bahwa Allah itu ada (Ibr.
11 : 6), sehingga ketika berbicara tentang Firman Allah, manusia harus
beranggapan bahwa Ia adalah Allah yang maha kuasa sehingga firman-Nya pun
mempunyai kuasa dan wewenang tertinggi (Maz. 33:4-6; Rom 1:16) Alkitab
sendiri mengindikasikan bahwa hakekat Allah dan Firman-Nya tidak terpisahkan
(Yesaya 55:11). [5]
Sifat dari otoritas tidak bisa dilepaskan dari otoritas Allah sendiri.
Ketika menyatakan bahwa Alkitab adalah Firman Allah maka berarti juga
percaya bahwa Allah mengkomunikaskan Firman-Nya kepada manusia yaitu
Alkitab. Didalamnya disampaikan hal-hal bermakna yang penuh arti untuk dapat
mengenal kehendak dan wahyu Allah, melalui mengenal, memperhatikan dan
menaati perintah dan petunjuk Tuhan. Alkitab yang berkuasa dan berotoritas
penuh mengubah kehidupan manusia ini tidak boleh dianggap dan diperlakukan
seperti dokumen studi akademis saja atau tulisan-tulisan manusia biasa
lainnya (Band. Lukito, 1996:80-82). Tentang hal itu Harris menyimpulkan :
The authority of scripture depends ".upon God" (Who is truth itself), the
author thereof; and therefore it's to be received, because it's the word of
God. The old testament is Hebrew.. and the New Testament .. is Greek. being
immediately inspired by God .. are therefore authentical . the church is
finally to appeal into them (1969:73)
3. INSPIRASI ALKITAB
Masalah inspirasi Alkitab hanya dapat dimengerti dalam hubungan dengan
penyataan Allah. Karena kita telah melihat makna penyataan dan kedudukan
Alkitab di dalam penyataan itu maka sekarang kita dapat mendalami masalah
inspirasi. Teori tentang inspirasi merupakan upaya untuk menjelaskan
keyakinan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang berotoritas sehingga
pengertian yang mendasar tentang otoritas Alkitab merupakan sebuah permulaan
yang penting untuk memahami doktrin tentang inspirasi.
Inspirasi adalah pengaruh atau tuntunan supranatural dari Roh Kudus Allah
dalam diri para penulis Alkitab yang memimpin mereka menjadi instrumen Allah
bagi komunikasi infalibel yang menghasilkan tulisan-tulisan berotoritas dan
progresif dari penyataan dan kehendak-Nya (Hodge I, 1960:154).
Berkaitan dengan doktrin Inspirasi Alkitab (Masalah Theopneustos) dapat
dipahami dalam II Timotius 3:16 dan II Petrus . Namun yang akan
dibahas di sini ialah pengertian istilah theopneustos yang terdapat dalam
II Tim. 3:16, karena ayat ini yang merupakan salah satu ayat yang paling
jelas memahami inspirasi Alkitab terdapat dalam II Tim. 3:16 berbunyi :
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik
orang dalam kebenaran".
Dalam bahasa asli disebut "pasa graphe theopneustos" yang diterjemahkan
dengan : "Segala tulisan yang diilhamkan Allah". Dalam Revised Standard
Version "All Scripture is inspired by God" dan dalam New International
Version : "All Scripture is God-breathed". [6]
Dengan demikian pengilhaman atau inspirasi Alkitab mempunyai arti bahwa
Allah adalah pengarangnya. Selanjutnya mengenai hubungan antara graphe
dengan theopneustos membawa kepada pemahaman bahwa yang diilhamkan Allah
bukan hanya penulis melainkan tulisan itu juga. [7]
Selanjutnya apakah theopneustos dianggap sebagai kata sifat predicative atau
atributive, menentukan pandangan kita tentang luasnya inspirasi. Jika
theopneustos adalah kata sifat atributive maka pasa graphe theopneustos
berarti "setiap tulisan yang diilhamkan oleh Allah " (seperti dalam
terjemahan bahasa Indonesia). Ini membawa implikasi bahwa dalam kata-kata
Henry : "A distinction is to be made within Scripture beetwen what is and
is not inspired and useful" (1979:131).
Jika theoneustos adalah kata sifat predictive maka pasa graphe theopneustos
berarti "setiap tulisan diilhamkan oleh Allah" (seperti yang terdapat dalam
RSV dan NIV). Memang menurut tata bahasa Yunani kedua macam terjemahan ini
mungkin . Akan tetapi menurut Warfield konstruksi predictative adalah yang
lebih tepat sehingga terjemahan yang lebih tepat ialah : "Every Scripture,
seeing that it is God-breathed, is as well profitable" (1979:134). Dalam
uraiannya tentang kedua macam konstruksi dari theoneustos ini, Paul
Feinberg memberikan alasan mengapa konstruksi predicative lebih tepat "The
attributive interpretation seems to leave open the possibility that there
might be some uninspired graphe (1980:279).
Alasan Feinberg di atas menjadi penekanan dalam pembahasan kita. Dengan
berpegang pada konstruksi predicative maka kita menyimpulkan bahwa Alkitab
secara keseluruhan dan juga dalam bagian-bagiannya adalah Firman Allah yang
diilhamkan.
Selain itu kita perlu menggarisbawahi artikel VI dalam The Chicago Statement
on Biblical Inerrancy : "We affirm that the whole of Scripture and all its
parts down to the very words of the original were given by divine
inspiration. We deny that the inpiration of Scripture can rightly be
affirmed of the whole without the parts or of some parts but not the whole"
(dalam Henry, 1980:213).
Setelah membahas makna theopneustos ini kita juga pada saat yang sama harus
memahami bahwa istilah itu tidak menjelaskan bagaimana caranya inspirasi itu
berlangsung namun hanya bahwa setiap tulisan diinspirasikan oleh Allah.
4. INERANSI ALKITAB
Inspirasi membawa implikasi bahwa Alkitab tidak menyesatkan dan dapat
dipercaya sepenuhnya (infallible) dan tidak mengandung kekeliruan atau
kesalahan (inerrant). Walaupun infallibility dan inerrancy bukannya istilah
Alkitabiah akan tetapi maksudnya adalah alkitabiah. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa Alkitab infallible tetapi tidak inerrant karena mereka
melihat adanya berbagai kekeliruan dalam Alkitab yang menyangkut sejarah,
geografi, biologi atau kosmologi (Lindsell, 1979:161-183).
Namun kedua-duanya baik infallibility maupun inerrancy Alkitab harus
ditekankan jika kita berpegang pada fakta bahwa Allah adalah Pengarang
Alkitab sesuai dengan uraian tentang theopneustos di atas (Manuain,
3: )
Istilalah "innerancy" sendiri adalah sebuah kata yang relatif muda dalam
bahasa Inggris. Awalnya berasal dari kata "Inneranheia' sebagai bentuk
partisip dari kata benda. "inerro". Secara etimologis inerrancy
didefinisikan sebagai kualitas atau kondisi dari kebenaran yang tanpa salah,
bebas dari kesalahan. Sedangkan inerrant berarti tidak berbuat kesalahan.
Sebaliknya istilah "errant" berarti tindakan atau keadaan yang salah dalam
pandangan; sesuatu yang dilakukan secara tidak tepat karena ketidaktahuan
atau karena tidak hati-hati (Feinberg, 1980:291-292).
Jadi ineransi adalah suatu keyakinan bahwa Alkitab secara keseluruhan (PL &
PB) adalah Firman Allah yang tertulis dan tanpa salah. Berarti bahwa Alkitab
harus dipahami dan ditafsirkan dari sudut pandang latar belakang kebudayaan
dan komunikasi yang ada pada waktu penulisannya. Kepercayaan terhadap
Alkitab yang ineran adalah kepercayaan yang rasional. Hal itu sebenarnya
sudah merupakan suatu tradisi kristen yang konstan bahkan sudah merupakan
sebuah ajaran yang sudah umum dikenal oleh seluruh penulis Kristen mula-mula
(Lukito, 1996:130). Mereka percaya bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab
adalah karya inspirasi Allah sehingga Alkitab dapat diandalkan dan ineran
adanya.
Keyakinan terhadap ineransi adalah keyakinan terhadap pribadi Allah yang
sifat-Nya adalah kebenaran dan perkataan-Nya tidak mungkin keliru, palsu,
menipu atau menyesatkan namun tentunya mampu mengkomunikasikan Firman-Nya
dengan tepat sekalipun melalui manusia-manusia pilihan-Nya yang terbatas.
Inilah landasan keyakinan terhadap ineransi. Hal ini berarti bahwa orang
yang menyingkirkan ajaran tentang ineransi dari Alkitab sama saja
menyingkirkan "raison d'etre" (alasan bagi eksistensi) Alkitab and
konsistensinya pekerjaan Allah (Lukito, 1996:133)
Pengajaran mengenai ketidaksalahan merupakan unsur dasar dari kewibawaan
Alkitab dan sesuatu yang diperlukan bagi gereja Kristus yang sehat, dalam
suatu usaha memenangkan gereja kembali kepada posisi sejarah .
Berkaitan dengan perbedaan antara naskah-naskah asli dan salinan-salinan
untuk menggambarkan kesalahan-kesalahannya, Jhon D. Woodbridge dan Randall
Balmer mengutip pernyataan dari Charles Hodge dalam tulisannya sebagai
berikut :
The autographs appear to have perished early and the copies which were
taken, become more or less subject to those errors, which arise from the
mistakes of transcribers. The false correction of commentators and critics,
from marginal notes and from other sources (dalam Carson, 1983:266).
Dengan demikian ketaksalahan Alkitab yang dimaksudkan adalah ketaksalahan
pada naskah-naskah asli (original authographs) dan bukan pada naskah salinan
atau versi-versi terjemahan Alkitab.
5. FENOMENA ALKITAB
Ada beberapa ciri yang menunjukkan keinsanian Alkitab yang juga adalah karya
manusia zaman kuno, tetapi yang tidak mengurangi hakekat keilahian-Nya :
1. Bahasa yang dipakai dalam Alkitab untuk menjelaskan alam dunia
adalah bahasa sehari-hari, bukannya bahasa ilmu pengetahuan, misalnya :
matahari terbenam, langit terbentang, dunia di bawah dan lain-lain.
Pemakaian istilah-istilah seperti itu tidak dapat digolongkan sebagai suatu
kekeliruan.
2. Terdapat bahasa figuratif, simbolis bahkan mitologis yang dipakai
sebagai cara penulisan. Ayat-ayat seperti Yes. 27:1 & Maz. 74:14 (istilah
"Lewiatan") mengandung pemakaian unsur mitilogis. Namun itu tidak berarti
bahwa pengarangnya mempercayainya, melainkan hanya dipakai sebagai alat
komunikasi, khususnya dalam bagian-bagian puisi (Band. Manuain, 1983:56).
3. Kutipan dari PL yang terdapat dalam PB tidak selamanya persis
sama dalam kata-kata seperti yang terdapat dalam teks Ibrani atau Yunani
(septuaginta). Hal ini tidak meniadakan konsep inspirasi penuh (plenary
inspiration) [8] [9]
4. Dalam kitab-kitab Injil, ucapan-ucapan Yesus yang dicatat para
penulis Injil tidak selamanya adalah "ipsissima verba" Yesus (kata-kata yang
tepat) melainkan hanyalah "ipsissima vox" Yesus (maksud yang tepat).
Di samping beberapa fenomena di atas, dalam Alkitab juga terdapat beberapa
hal yang dapat dilihat sebagai pertentangan-pertentangan/kesulitan-kesulitan
yang menunjukkan ciri keinsaniannya itu, tetapi yang tidak berarti
mengganggu integritas Alkitab. Pertentangan-pertentangan itu antara lain :
1. Kekeliruan Historis : (antara Kitab Samuel, Raja-raja dan
Tawarikh). Misalnya dalam II Sam 10:18 disebut adanya 700 ekor kuda kereta,
sedangkan dalam I Taw. 19:18 disebut 7.000 ekor. Dalam II Taw. 9:25 ditulis
adanya 4.000 kandang sedangkan dalam I Raja 4:26 ditulis adanya 40.000
kandang. Untuk menjawab hal itu, Gleason Archer mengatakan : Hal-hal
tersebut paling banyak disebabkan karena kesulitan mengerti/melihat
penomeran ketika menyalin dari manuskrip-manuskrip awal yang sudah usang,
kuno dan tergores. Merupakan suatu hal yang sangat mudah terjadi dengan
kekurang hati-hatian menambahkan angka nol (a zero) ketika menyalin sebuah
nomor dalam membulatkan suatu penggambaran.
2. Kekeliruan dalam sumber : dalam beberapa bagian Alkitab, kutipan
diambil dari sumber yang bukan teks asli PL sehingga menimbulkan
pertentangan, misalnya dalam Kis. 7:14, Stefanus menyebut pertentangan 75
orang keluarga Yakub yang ke Mesir, sedangkan teks Masoret dari Kel. 46:27
menyebut hanya 70 orang. Pinnock menyebutkan bahwa teks Masoret memasukkan
Yakub, Yusuf dan dua anak Yusuf, sedangkan septuaginta menghilangkan Yakub
dan Yusuf tetapi memasukkan 9 anak Yusuf (Pinnock, 1978:25).
3. Kebenaran yang diwarnai dengan kebudayaan tertentu: Alkitab
timbul dalam suatu periode waktu yang lama dalam suatu kebudayaan zaman
kuno, sedangkan kebanyakan dari kerangka kebudayaan kuno itu tidak ada lagi
sekarang, misalnya dalam tulisan Paulus tentang tudung wanita (I Kor. 11:10)
dan cium kudus (Rm. 16:16) hanya dapat dimengerti dalam konteks kebudayaan
yang berlaku pada zaman itu.
Menjawab hal itu, perlu disadari bahwa Alkitab adalah "time-related"
(berkaitan dengan waktu) namun bukan "time-bound" (terikat kepada waktu)
(Lewis dalam Geisler, 1980:237). Dari uraian tersebut fenomena Alkitab yang
menunjukkan ciri keinsaniannya ini dapatlah dimengerti mengapa Alkitab
merupakan obyek berbagai kritik. Jadi Alkitab menyatakan bahwa inspirasi
Alkitab adalah suatu hal yang jelas. Masalahnya adalah untuk menetapkan
nature tentang inpirasi dan terang dari muatan-muatan fenomena di dalamnya
(Harrison, 1974:239).
B. HERMENEUTIK ALKITAB
1. PENGERTIAN
Kata Hermeneutik (Inggris : Hermeneutics) berasal dari Bahasa Ibrani
"pathar" : menafsirkan (to interpret) dan "Pithron" (suatu penafsiran) serta
dari Bahasa Yunani "Hermeneia" (to interpret) yang berarti menjelaskan,
menginterprestasikan atau menerjemahkan. Kata ini berhubungan dengan Dewa
Hermes dalam mitologi Yunani.
Hermeneutik adalah salah satu bagian dari teologi yang mempelajari teori,
prinsip dan metode penafsiran Alkitab dengan prinsip-prinsip yang berisi
ajaran-ajaran yang mengekspresikan berbagai hal yang diikuti oleh penafsir
untuk mendapatkan artinya. Setelah PD II pengertian Hermeneutik berkembang
dalam hal menunjuk kepada seluruh proses penafsiran yang tidak hanya mencari
maksud penulis yang sesungguhnya kepada pembaca mula-mula tetapi juga kepada
pembaca modern (Runia, 1984:121-122).
Ada tiga perspektif yang secara kritis menuju kepada pengertian yang tepat
dari tugas penafsiran yang alkitabiah yaitu : Hermeneutik merupakan bagian
teologia yang bersifat illmiah (dengan menyediakan sesuatu yang logis dan
klasifikasi yang tertib dari aturan-aturan/hukum-hukum penafsiran), sebagai
suatu seni (suatu keahlian yang menyajikan persyaratan bagi imajinasi dan
kemampuan untuk menetapkan aturan atau menyeleksi bahan-bahan) dan
Hermeneutik juga sebagai suatu tindakan spiritual yang bergantung pada
pimpinan Roh Kudus (Band. Osborne, 1991:5).
2. URGENSI
Kebutuhan akan Hermeneutik disebabkan karena adanya hal-hal sebagai berikut:
1. Historical Gap, dimana disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya
pembagian/ perbedaan waktu yang sangat panjang antara para penulis awal
dengan pembaca.
2. Cultural Gap, dimana adanya perbedaan kebudayaan antara Ibrani kuno
dengan kebudayaan manusia masa kini.
3. Linguistic Gap, Alkitab ditulis dalam bahasa Ibrani Aram dan Yunani
yang struktur dan ungkapan-ungkapannya sangat berbeda dengan bahasa kita.
4. Philosophical Gap, pandangan tentang hidup, keadaan dan keberadaan hal
umum berbeda di antara kebudayaan-kebudayaan yang beragam untuk mengirimkan
pesan dari suatu kebudayaan ke kebudayaan yang lain, seorang penerjemah atau
pembaca harus menyadari baik persamaan dan perbedaa dalam pandangan dunia.
"Hermeneutics is needed, then, because of the historical, cultural.
Linguistic and philosophical gaps that block a spontaneous, accurate
understanding of God's word" (Virkler, 1981:20).
Hermeneutik merupakan suatu hal yang penting sebab itu dapat memungkinkan
suatu hal bergerak dari suatu hal bergerak dari teks kepada konteks, untuk
mengikuti arti/maksud dari inspirasi Ilahi dari firman Allah yang dikatakan
hari ini dengan relevansi yang segar dan berkuasa seperti itu berada dalam
keadaannya yang mula-mula.
3. BERBAGAI ISTILAH TERKAIT
Ada 2 istilah lain yang berhubungan dengan Hermeneutik, yaitu :
1. Ekesegesa (Inggris:Exegesis) (Yunani) dari kata "exegeomai": memimpin
keluar dari) eksegesa adalah aplikasi dari prinsip-prinsip Hermeneutik untuk
menghasilkan pengertian yang tepat dari teks. Prefix "ex" (out of, from)
menunjukkan ide bahwa penafsir berusaha untuk memperoleh pengertiannya dari
teks dan bukannya memasukkan pikirannya ke dalam teks (eisegesis) (Virkler,
1981:18).
2. Fee dan Stuart melanjutkan eksegesa berkenaan dengan sejarah sebagai
usaha untuk mendengar Firman sebagaimana penerima yang mula-mula
mendengarnya. Kuncinya kepada eksegesis yang baik adalah dengan belajar
membaca teks dengan teliti dan menanyakan pertanyaan yang tepat mengenai
teks itu (1982:9,11).
3. Eksposisi (Inggris:Exposition) berhubungan dengan penafsiran. Jika
penafsiran lebih berkonsentrasi pada arti suatu bagian Alkitab maka
eksposisi lebih memperhatikan aplikasi dan hubungan dari bagian Alkitab
tersebut dengan konteks si penafsir.
Jadi perbedaannya adalah Hermeneutik lebih condong kepada penyelidikan
prinsip, hukum dan cara-cara penafsiran Alkitab sedangkan exrgesis lebih
kepada penggunaannya ; sedangkan hubungan antara penafsiran dan eksposisi
adalah penafsiran adalah sebagai dasar dari eksposisi sedangkan eksposisi
adalah pernyataan dari penafsiran (Sutanto, 1993:4). Ada dua jenis
Hermeneutik yang dikenal, yaitu :
a. Hermeneutik umum : berkaitan dengan prinsip-prinsip umum yang dapat
dipakai untuk menafsirkan semua bahasa dan penulisan Alkitab secara
keseluruhan. Hal ini dapat dengan tepat mengambil pengetahuan atau tanggung
jawab dari operasi secara logis dari pikiran manusia dan filosofi dari
kemampuan manusia berbicara.
b. Hermeneutik khusus : menunjuk kepada aturan-aturan yang dibangun
dengan referensi kepada bagian-bagian yang khusus dari Alkitab.
4. HERMENEUTIK SPIRAL
Penafsiran Alkitab dapat digambarkan seperti sebuah "Spiral" dari teks ke
konteks, dari penulis kepada para pembaca dan dari arti yang mula-mula
kepada penerapan secara kontekstual. Dan hal itu merupakan suatu spiral atau
lingkaran yang tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan satu dengan lainnya.
Berikut ini akan dipaparkan secara singkat berbagai disiplin ilmu
theologia yang berkaitan erat dengan Hermeneutik yang Alkitabiah :
Teologi Alkitabiah (Bibical Theology) : menyusun sebagian teologia dari
unit-unit dan kitab-kitab ke dalam pola dasar "teologi" Israel dan gereja
mula-mula (sebagai integritas perjanjian), Teologi Historika (Historical
Thelogy) mempelajari cara gereja melewati sejarah pada taraf yang berbeda
dari pembangunan secara historis, Teologi Sistematika (Systematika Theology)
: mengkontekstualisasikan teologi biblikal guna ditujukan kepada
masalah-masalah sekarang ini dan untuk meringkaskan kebenaran teologia bagi
generasi masa kini, Teologi Homiletika (Homiletic Theology) : menerapkan
hasil dari tiap langkah di atas kepada kebutuhan kekristenan masa kini
(persiapan khotbah sebagai bagian dari tugas hermeneutik).